Rabu, 08 April 2020
Trilogi Bagian 2: Semesta
Semesta barangkali mengingat impian ibu tentang keagungan namanya. Yang tak tertandingi, tanpa batas, luas bagai lapang dada milik yang Esa; Semesta Raya. Tapi kemudian, bertahun setelah hari itu membuatnya terbang ke angkasa, Semesta mulai berpikir; mungkin memang sejak awal, ibu tidak perlu menggantung harapan setinggi bintang padanya.
"Tahu tidak apa eksistensi cendala terkonyol di dunia ini?"
"Apa?" Kala itu, Kejora membuat Semesta menebak-nebak kelabu dibalik mentari jelang siang.
"Saat kesempurnaan adalah tuntutan, namun mencapainya justru berbuah hinaan."
Semesta terbahak. Keras sekali. Hari itu ia tidak sedikitpun menangkap makna utuh dari kalimat getir milik Kejora.
Namun, setelah Kejora bahkan menemukan langit abadinya, bercahaya layak dan menyinari redup dalam hati temaram meski harus terkubur di dasar tanah, Semesta baru menyadari; sekeras dan sehebat apapun ia berusaha memenuhi keinginan semua orang, itu bahkan tidak akan mendekati cukup untuk memuaskan mereka.
Semesta harusnya mengerti lebih awal. Perempuan itu lebih baik menelan pahit dari kalimat milik Kejora sebelum teman baiknya pergi dibawa lari takdir atas sebuah insiden konyol persis ucapannya; "Aku sudah tidak ingin menerima permintaan yang bahkan tidak mampu kuwujudkan."
Atas alasan itu, Semesta barangkali memang tak berminat jadikan Galaksi sebagai rekan. Tidak, dia tidak siap kehilangan lagi. Tidak akan pernah. Namun, sosok itu, sekeras apapun Semesta mendorong bersama tatap dan ucap paling keji, Galaksi tak pernah sekalipun berniat angkat kaki.
"Hei, katanya kamu ahli dalam Antropologi, ya? Aku suka sih pelajaran itu, tapi sulit. Mau mengajarkanku, tidak?"
"Tidak."
Semesta melengos. Habiskan cepat-cepat sepotong terakhir martabaknya demi enyah dari hadapan pemuda itu.
"Buset, gitu amat."
Andai Kejora ada di sini, Semesta mungkin tak perlu repot meladeni presensi orang-orang yang sama sekali tak hendak ia temui. Kejora, sesuai namanya; bersinar, menyilaukan, dan tak ragu bagikan cahaya kepada redup milik sekitar, termasuk Semesta tentu saja.
"Tahu tidak kalau semesta dan galaksi selalu punya hubungan?"
Dahi Semesta mengernyit. Galaksi tersenyum lebar, menyaksikan setitik binar tanya dari sepasang netra milik teman barunya.
"Mau tahu jawabannya? Kamu harus bersedia mengajariku Antropologi dulu. Nanti, kita bisa bahas soal tata surya bila perlu."
Semesta tertawa dalam benak. Pola klise yang sudah dapat ia duga seharusnya. Jadi di sana, menatap tanpa ekspresi, menghabiskan sisa lelahnya pada segelas es teh, Semesta gesit melarikan diri. Buat renggang spasi, sengaja ciptakan jarak.
Semata agar dongeng tentang satu kesatuan konstelasi hingga kumpulan awan tidak berhasil mampir, hancurkan jiwanya, lagi dan lagi.
Palembang, 8 April 2020
Siti Sonia Aseka
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Miskonsepsi Pernikahan Dini dan Menikah Muda
Miskonsepsi Pernikahan Dini & Menikah Muda Oleh: Siti Sonia Aseka Pernah salah sangka soal narasi nikah muda, nggak? Bertahun lalu, saya...
-
Jadi, pada senja yang nyaris rebah itu, ku telusuri jalanan padat lagi sempit. Demi satu porsi Gelato yang habis ditelan ingin, pada mas...
-
Urgensi Kemahiran Berbahasa Inggris di Era Modernisasi dan Globalisasi Sejak abad ke-18, bahasa Inggris ditetapkan sebagai bahasa Internasio...
-
Miskonsepsi Pernikahan Dini & Menikah Muda Oleh: Siti Sonia Aseka Pernah salah sangka soal narasi nikah muda, nggak? Bertahun lalu, saya...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar