HUJAN
(SITI
SONIA ASEKA)
Kepada
seseorang,
Yang
(masih) ku cinta dengan begitu dalam…
Hari ke-28.
Masih di tempat yang sama, orang yang
sama dan perasaan yang sama. Tepat di hari ini, aku menyadari satu hal.
Kepergianmu, senyatanya hanya membuatku terbiasa dengan ketiadaan, namun tetap
dengan hati yang tak ada ubahnya. Aku ingin memaafkanmu jika tak bisa dibilang
melupakanmu, atau tetap disisimu sebagai seorang teman. Tapi faktanya, kau sama
sekali tak memberiku kesempatan. Kita semakin jauh dan aku tak dapat lagi
menjangkaumu.
Mengalami yang tak pernah terbayangkan
adalah masa-masa sulit, dan aku sedang berada di fase itu sekarang. Perpisahan
memang bukan akhir dunia ataupun kematian yang tiba-tiba. Perpisahan hanya soal
kesiapan mengenai banyak hal yang takkan lagi sama.
Aku bangkit dari ranjang, masih dengan
nyawa yang setengah hilang. Berjalan terseok menuju dapur lalu menyeduh kopi
untuk membuka pagi beraroma sepi (lagi-lagi). Udara terasa lembab di kulitku.
Mungkin karena hujan yang turun semalaman, atau memang perasaanku saja yang
selalu lembab setiap saat? Entahlah, aku enggan memikirkannya. Ku nyalakan TV
yang dalam dua hari terakhir seolah tak dianggap ada. Sama sekali tak tertarik
untuk menyimak berita, aku bergerak malas-malasan menuju jendela. Begini lebih
baik, lebih ramai di telinga.
Aku menatap ponsel yang terbujur kaku di
atas nakas. Tak ada dering sama sekali, membuat seulas senyum tipis tersungging
di bibirku. Senyum yang kemudian berubah jadi isak kecil. Ada sesak yang mampir
tiba-tiba. Sesak yang sama dengan kemarin dan kemarin kemarinnya lagi. Setiap
pagi, selalu di awali dengan hujan di pipi.
Harusnya aku terbiasa tanpamu, tanpa
kita. Dua puluh delapan hari yang bagiku tak ubahnya bom waktu. Kita mengurai
spasi selebar ini sekarang, namun tetap saja hatiku tak dapat menjeda. Aku ingin
mengatakan betapa aku merindu. Tapi untuk apa? Perasaanku sama sekali tak
berarti. Tak peduli seberapa aku meronta untuk kembali seperti dulu, ketika
semua masih dalam kendaliku. Kita tetap saja di posisi ini; luka yang
terbisukan fakta.
Lukaku mungkin tak kau rasakan juga,
karena sekarang kau telah punya dia. Coba beritahu aku caranya menghapus rasa
sedemikian cepat, atau ajari saja aku cara yang lebih baik dari menghapus;
membenci.
Beginilah caraku melalui pagi. Dengan
kopi, dengan sepi, lalu dengan air mata di pipi. Dapatkah kau bayangkan betapa
hancurnya?
Kita hanya dua insan yang saling bertemu
di perjalanan. Ketika di hadapkan pada persimpangan, aku menyadari bahwa
sesungguhnya kita tak memiliki tujuan yang sama. Aku ke kiri sementara kau ke
kanan. Tak pernah ada kata satu pada kenyataannya. Tetapi, mengapa? Apa maksud
Tuhan mempertemukan kita?
Aku terlalu bodoh untuk menemukan
jawabnya. Ketika hati kembali sesak, aku hanya dapat menangis, kemudian
mengingat setiap kenangan, yang berarti juga mengingat luka.
Palembang, 26 mei 2015.
Dariku, untukmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar