JELANG DUA BULAN
(SITI SONIA ASEKA)
Aku tak tau sejak kapan jadi segila
ini. Puluhan lemparan bahkan tendangan membabi buta telah kulayangkan kesana,
pada ring basket yang tak bersalah apa-apa. Hasilnya, aku terduduk ditengah
lapangan, dengan keringat mengucur deras dan nafas yang tak beraturan lagi
arahnya. Pandanganku meremang, setidaknya sebelum kuhempaskan bola basket itu
sekuat tenaga untuk terakhir kalinya. Buru-buru bangkit, kuseka kasar keringat
yang lagi-lagi mengalir dari pelipis dengan punggung telapak tangan.
Aku tetaplah aku. Tak peduli
sebanyak apa sakit yang kau antarkan padaku, atau seberapa besar luka yang kau
jejalkan di jiwaku. Dan kau tetaplah kau. Yang tak butuh waktu lama untuk temukan
tambatan hati yang baru, kemudian dengan mudahnya melupakanku; seseorang yang
kau sebut sebagai masa lalu.
Inilah jalan yang kita sepakati,
awalnya. Ketika kau tawarkan jurang dan aku mengetuk palu tanda setuju. Semua
sesak ini, terasa ngilu. Pun itu menggerogoti kesehatan batinku. Senyum ini,
tawa ini jika kau mau tau, tak pernah lagi sebebas dulu. Terlalu sulit dan
membelit tiap-tiap syaraf sadarku.
Seharusnya,
aku menyebutmu apa?
Hingga akhir dari segala kenangan
itu tinggallah keinginan untuk melupakan, tanpa berpikir menyisakan sedikit
saja cerita untuk dibagi nanti, ketika kita telah belajar memaafkan keadaan.
Hampir dua bulan, Tuan. Sejak segala
yang manis itu berakhir pahit bagiku. Seolah pemanis buatan, memaksa segala
hambar menjadi rasa yang dicinta, kemudian meninggalkan bekas yang sulit
hilang, pun itu menenggak air seteko penuh.
Jelang dua bulan, Tuan. Berdiriku
sendiri, tertawaku bukan karenamu lagi. Aku tak minta kau mengingat setiap
memori. Hanya sedikit saja, sisakan ruang bagi sosokku untuk kau kenang di
kemudian hari. Sebagai pembelajaran atas segala salah yang harus dibenahi.
Pun, dimasa depan. Ketika kita
menjelma mimpi yang abadi. Engkau dengan dia sementara aku dengan seseorang
yang lebih baik. Takkan ada lagi spasi yang mengiringi sapa, atau tangis tanpa
muara. Kita sama-sama berhak bahagia dan pantas untuk menikmati rentetan
gelora, tak hanya tentang kita berdua.
Jika nanti, Tuan. Jika nanti
terbersit keinginan di hati untuk kembali, maka halaulah sesegera mungkin. Tak
peduli jika aku pun masih mencintaimu, tak peduli bila rinduku menggebu
menuntut temu. Jangan pernah datang lagi. Jangan pernah mengatasnamakan takdir
atas segala yang telah terjadi. Karena bagiku, angin yang telah berhembus tak
dapat kembali lagi. Dan kau harus berusaha untuk mencari jalan yang baru, tanpa
aku… tanpa kita.
Palembang,
16 Juni 2015.
Kepada,
yang telah kulupakan namanya.
Berbahagialah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar