(BADAI)
RINDU
SITI
SONIA ASEKA
Jembatan Folk begitu lengang pagi
ini. Lebih tenang dibanding sore hari, satu bulan lalu saat terakhir kali aku
kemari. Danau Moii di bawah sana memantulkan siluet wajahku dengan cukup
sempurna. Sesekali, teratai merah muda di permukaan bergerak mengikuti laju
angin semilir. Aku mengeluarkan kamera saku yang sejak tadi menganggur dari
dalam tas. Mengambil beberapa gambar, sekedar untuk melengkapi suasana sepi
yang telah melingkupiku sejak menginjakkan kaki disini, beberapa saat lalu.
Sebuah pohon ek rindang menarik
perhatianku untuk mampir. Beberapa sisi permukaan dahannya nampak berlumut
tebal, seperti tumpukan kentang tumbuk padat buatan ibu kala aku pulang ke
rumah setiap bulan. Ku potret tumpukan lumut itu, sebelum kemudian bergerak
untuk meruntuhkannya buru-buru. Tiga buah kata menyambut pandangan mataku
ketika dahan telah bersih sempurna. Senyum kecil tersungging disana. Ada
kehangatan yang nyaman entah dari mana datangnya, mengundangku untuk
mengamatinya lama.
Aku adalah Kau
Bibirku menggumamkan kalimat itu
beberapa kali. Setitik kenangan yang menunggu untuk turut abadi.
Klik!
Ku dudukkan tubuhku sejenak.
Menghela nafas sembari menikmati alunan balada lembut dari KyuHyun yang
mengalir dari pori-pori MP3 ditangan. Sudah satu bulan aku tak bernafas selega
ini. Ada banyak hal yang menyesakkan, tanpa tau cara menghapus lukanya. Hingga
jalan terakhir yang ku punya hanya menjatuhkan diri di atas ranjang, kemudian
terisak hingga lelah.
Aku
tak bisa mengingat orang lain,
Namun
mengapa kau…?
Aku
sudah tak memiliki kenangan lain
Tidak
masalah jika aku hidup hanya dengan setengah jiwaku
Meski
aku harus hancur dalam air mata
Di
tengah semua kenangan ini
Semua
hariku, adalah tentangmu….
Detik menjelma menit. Mendung entah
kapan telah menutupi rona kebiruan di langit. Aku bangkit, melanjutkan
penelusuran yang sempat terhenti. Melintasi kembali jembatan Folk untuk tiba di
seberang. Pemberhentian ketiga, Moonsun.
Suara lonceng berbunyi tepat ketika
aku membuka pintu. Seperti yang ku duga, ramai. Orang-orang jelas tengah
menghindari air hujan yang turun beberapa detik setelah aku memasuki café.
Menuju konter tanpa melihat papan menu, “Mocca Latte.”
Tak ada waktu untuk mencari tempat
yang pas. Kehilangan satu detik, dapat dipastikan aku menghabiskan minuman
sambil berdiri. Pasrah, ku dudukkan bokongku ke atas sebuah kursi di tengah
ruangan. Sungguh, ini benar-benar bukan gayaku. Aku terlalu suka mengasingkan
diri menghindari keramaian, bukan malah terdampar di tengah ruangan sebagai
pusat perhatian seperti ini. Ku keluarkan buku agendaku dari dalam tas.
Sesekali sibuk menyesap Mocca Latte hangat di udara lembab.
31 mei 2015
Jembatan Folk, pohon ek, dan
sekarang… Moonsun.
Hujan masih menghias stabil. Jendela
kaca nampak berembun tipis disana. Penaku membeku sejenak.
Setelah ini kemana lagi?
Oh, iya! Stasiun kereta!
Ide bagus. Ku sesap minumanku
buru-buru. Tak hendak kehilangan mood yang dapat berubah sewaktu-waktu. Ku
pandangi Moonsun yang terindukan, sebelum lagi-lagi mengabadikannya dalam
kamera.
“Tuan, bisakah aku meminjam sebuah
payung?” pintaku berbinar pada pelayan konter. “Tentu, nona. Satu buah payung
segera datang.”
Sudah lama aku tak berkeliaran
ditengah hujan. Merasakan sensasi nyaman ketika percikan air itu sampai di
tangan dan kakiku. Menuju stasiun kereta, aku merasakan debaran aneh. Perasaan
yang sama dengan empat bulan lalu, ketika….
Aku
menggeleng cepat.
Tujuanku kemari bukan untuk
mengingat dia, tetapi hanya sekedar mengabadikan kenangan yang pernah ada. Tak
ada salahnya. Ku palingkan wajah ke arah kanan. Tampak disana Moonsun yang baru
saja ku tinggalkan kehangatannya. Pohon ek terakhir yang ku datangi juga
melambai-lambai ditiup angin. Nelson Park memang penuh dengan kenangan. Pilihan
pertama wisatawan untuk singgah barang sejenak. Ah, tidak. Bagi Nelson Park,
tak pernah ada kata sejenak.
Stasiun kereta Declaire sudah tampak
di depan mata. Membuatku mengayunkan langkah dua kali lebih cepat dari biasa. Sebentar
lagi, aku akan kembali tenggelam di keramaian. Payung kuningku meneteskan air
hujan ke sekian. Segera ku rapikan payung itu, serta beberapa helai rambut yang
terkena percikan genit rintik dari langit. Mataku bergerak mencari tempat yang
nyaman untuk duduk, sekedar memutar masa kemudian larut bersamanya.
Sekarang, aku tau cara untuk
kembali menghidupkanmu di memoriku.
Empat bulan lalu,
Kita saling menemukan disini.
Kau dengan kacamata tegas yang
tampak biasa bagiku.
Juga aku dengan ransel hitam,
begitu buru-buru hingga menabrakmu tanpa permintaan maaf setelah itu.
Matamu menatapku datar, dan aku
dengan senyum segaris menepuk pundakmu seraya berujar, “Lain kali hati-hati,
bung!”
Kau tau apa?
Saat itu, aku sama sekali tak
menyadari bahwa ternyata yang ada dihadapanku adalah ‘kau’.
Hingga Moonsun mempertemukan kita
tanpa diduga-duga.
Kala itu, begitu ramai dan bising.
Di luar hujan.
Aku duduk di pojok kiri ruangan,
sendirian.
Tak benar-benar peduli dengan
keadaan sekitar.
Sibuk dengan agenda harian kerja di
tangan.
“Boleh aku duduk disini?”
Aku mendongak sekejap, kemudian
mengangguk pelan.
Kau, dengan segelas kopi krim ada
disana, dihadapanku.
Lagi-lagi, aku masih tak menyadari
bahwa itu kau.
Entah, bagai kebodohan yang
berulang.
Hingga kita berpisah untuk kedua
kali, dan bagiku itu masih sebuah kebetulan yang jauh dari istimewa.
Satu hari…
Dua hari…
Tiga hari…
Empat hari…
Pohon ek rindang menjadi saksi bisu
atas pertemuan ketiga kita hari itu.
Kau sedang santai mendengarkan
balada KyuHyun, dari headset putih yang berada di kedua daun telingamu,
sementara aku mendudukkan diri tanpa memeriksa lebih dulu.
Kita berada dibawah naungan yang
sama, namun di sisi yang beda.
Seperti kebiasaan, aku menyalakan
balada yang sama denganmu keras-keras, membuatmu mencari sumber suara dan
menemukanku.
Kita bertatapan dalam diam yang
lama, kemudian tertawa untuk sebab yang tak dapat terbaca.
“Eternal Sunshine?” tanyaku mulai
tertarik. Kau mengangguk dengan senyum pertama.
Di detik itu, aku mulai menyadari
bahwa kau adalah ‘kau’.
Setelahnya, hari-hari berjalan
dengan kita,
dengan cerita,
tentang cinta.
Aku membuka mata, sendu. Bayangan
itu bergerak di memoriku, begitu cepat. Seolah roda film yang takkan berhenti
sebelum rusak atau memang habis porosnya. Kau adalah tumpukan kata yang menunggu
untuk ku rangkai, seperti saat aku menuliskan puluhan cerita kita dalam
berlembar-lembar prosa. Tak pernah ada kata sudah.
Empat bulan bersamamu terasa begitu
singkat dibanding satu bulan tanpamu. Aku diharuskan terbiasa dengan segala
yang beda, harus terbiasa dengan ketiadaan, tanpamu dan tanpa kita tentu saja.
Kenyataannya, kita berpisah
diantara kenangan yang menunggu untuk diselesaikan.
Aku tersenyum hambar. Batinku
mengira-ngira sesuatu yang sepertinya sudah terpampang nyata. Perpisahan ini,
senyatanya adalah pengajaran tentang setiap hari yang takkan lagi sama,
sehingga memaksa untuk mulai terbiasa.
Kekasihmu,
Apakah dia juga menceritakan tentang legenda
romantis jembatan Folk, seperti yang pernah kulakukan padamu, dulu?
Kerumunan orang hilir mudik. Tak
memerhatikan sekitar benar-benar. Aku menghela nafas berat. Bisakah aku begitu?
Hilir
mudik tanpa memerhatikanmu yang menatapku dari rerimbunan rindu.
Karena
aku, sungguh ingin kembali kesitu.
Palembang,
1 juni 2015
Bagus eon, two thumbs up (y) (y) ! :^)
BalasHapusMakasih ya dear~ ^^
Hapus