Blogger Perempuan

Blogger Perempuan
Kunjungi laman Blogger Perempuan dan baca tulisan saya melalui link berikut

Kamis, 04 Juni 2015

Cerpen (Badai Rindu)


(BADAI) RINDU
SITI SONIA ASEKA

            Jembatan Folk begitu lengang pagi ini. Lebih tenang dibanding sore hari, satu bulan lalu saat terakhir kali aku kemari. Danau Moii di bawah sana memantulkan siluet wajahku dengan cukup sempurna. Sesekali, teratai merah muda di permukaan bergerak mengikuti laju angin semilir. Aku mengeluarkan kamera saku yang sejak tadi menganggur dari dalam tas. Mengambil beberapa gambar, sekedar untuk melengkapi suasana sepi yang telah melingkupiku sejak menginjakkan kaki disini, beberapa saat lalu.
            Sebuah pohon ek rindang menarik perhatianku untuk mampir. Beberapa sisi permukaan dahannya nampak berlumut tebal, seperti tumpukan kentang tumbuk padat buatan ibu kala aku pulang ke rumah setiap bulan. Ku potret tumpukan lumut itu, sebelum kemudian bergerak untuk meruntuhkannya buru-buru. Tiga buah kata menyambut pandangan mataku ketika dahan telah bersih sempurna. Senyum kecil tersungging disana. Ada kehangatan yang nyaman entah dari mana datangnya, mengundangku untuk mengamatinya lama.

Aku adalah Kau

            Bibirku menggumamkan kalimat itu beberapa kali. Setitik kenangan yang menunggu untuk turut abadi.

Klik!

            Ku dudukkan tubuhku sejenak. Menghela nafas sembari menikmati alunan balada lembut dari KyuHyun yang mengalir dari pori-pori MP3 ditangan. Sudah satu bulan aku tak bernafas selega ini. Ada banyak hal yang menyesakkan, tanpa tau cara menghapus lukanya. Hingga jalan terakhir yang ku punya hanya menjatuhkan diri di atas ranjang, kemudian terisak hingga lelah.


Aku tak bisa mengingat orang lain,
Namun mengapa kau…?
Aku sudah tak memiliki kenangan lain
Tidak masalah jika aku hidup hanya dengan setengah jiwaku
Meski aku harus hancur dalam air mata
Di tengah semua kenangan ini

Semua hariku, adalah tentangmu….


            Detik menjelma menit. Mendung entah kapan telah menutupi rona kebiruan di langit. Aku bangkit, melanjutkan penelusuran yang sempat terhenti. Melintasi kembali jembatan Folk untuk tiba di seberang. Pemberhentian ketiga, Moonsun.
            Suara lonceng berbunyi tepat ketika aku membuka pintu. Seperti yang ku duga, ramai. Orang-orang jelas tengah menghindari air hujan yang turun beberapa detik setelah aku memasuki café. Menuju konter tanpa melihat papan menu, “Mocca Latte.”
            Tak ada waktu untuk mencari tempat yang pas. Kehilangan satu detik, dapat dipastikan aku menghabiskan minuman sambil berdiri. Pasrah, ku dudukkan bokongku ke atas sebuah kursi di tengah ruangan. Sungguh, ini benar-benar bukan gayaku. Aku terlalu suka mengasingkan diri menghindari keramaian, bukan malah terdampar di tengah ruangan sebagai pusat perhatian seperti ini. Ku keluarkan buku agendaku dari dalam tas. Sesekali sibuk menyesap Mocca Latte hangat di udara lembab.


31 mei 2015
Jembatan Folk, pohon ek, dan sekarang… Moonsun.
            Hujan masih menghias stabil. Jendela kaca nampak berembun tipis disana. Penaku membeku sejenak.


Setelah ini kemana lagi?
Oh, iya! Stasiun kereta!

           
            Ide bagus. Ku sesap minumanku buru-buru. Tak hendak kehilangan mood yang dapat berubah sewaktu-waktu. Ku pandangi Moonsun yang terindukan, sebelum lagi-lagi mengabadikannya dalam kamera.

            “Tuan, bisakah aku meminjam sebuah payung?” pintaku berbinar pada pelayan konter. “Tentu, nona. Satu buah payung segera datang.”




            Sudah lama aku tak berkeliaran ditengah hujan. Merasakan sensasi nyaman ketika percikan air itu sampai di tangan dan kakiku. Menuju stasiun kereta, aku merasakan debaran aneh. Perasaan yang sama dengan empat bulan lalu, ketika….

Aku menggeleng cepat.

            Tujuanku kemari bukan untuk mengingat dia, tetapi hanya sekedar mengabadikan kenangan yang pernah ada. Tak ada salahnya. Ku palingkan wajah ke arah kanan. Tampak disana Moonsun yang baru saja ku tinggalkan kehangatannya. Pohon ek terakhir yang ku datangi juga melambai-lambai ditiup angin. Nelson Park memang penuh dengan kenangan. Pilihan pertama wisatawan untuk singgah barang sejenak. Ah, tidak. Bagi Nelson Park, tak pernah ada kata sejenak.
            Stasiun kereta Declaire sudah tampak di depan mata. Membuatku mengayunkan langkah dua kali lebih cepat dari biasa. Sebentar lagi, aku akan kembali tenggelam di keramaian. Payung kuningku meneteskan air hujan ke sekian. Segera ku rapikan payung itu, serta beberapa helai rambut yang terkena percikan genit rintik dari langit. Mataku bergerak mencari tempat yang nyaman untuk duduk, sekedar memutar masa kemudian larut bersamanya.


Sekarang, aku tau cara untuk kembali menghidupkanmu di memoriku.

Empat bulan lalu,
Kita saling menemukan disini.
Kau dengan kacamata tegas yang tampak biasa bagiku.
Juga aku dengan ransel hitam, begitu buru-buru hingga menabrakmu tanpa permintaan maaf setelah itu.
Matamu menatapku datar, dan aku dengan senyum segaris menepuk pundakmu seraya berujar, “Lain kali hati-hati, bung!”

Kau tau apa?
Saat itu, aku sama sekali tak menyadari bahwa ternyata yang ada dihadapanku adalah ‘kau’.
Hingga Moonsun mempertemukan kita tanpa diduga-duga.

Kala itu, begitu ramai dan bising.
Di luar hujan.
Aku duduk di pojok kiri ruangan, sendirian.
Tak benar-benar peduli dengan keadaan sekitar.
Sibuk dengan agenda harian kerja di tangan.

“Boleh aku duduk disini?”
Aku mendongak sekejap, kemudian mengangguk pelan.
Kau, dengan segelas kopi krim ada disana, dihadapanku.

Lagi-lagi, aku masih tak menyadari bahwa itu kau.
Entah, bagai kebodohan yang berulang.
Hingga kita berpisah untuk kedua kali, dan bagiku itu masih sebuah kebetulan yang jauh dari istimewa.

Satu hari…
Dua hari…
Tiga hari…
Empat hari…

Pohon ek rindang menjadi saksi bisu atas pertemuan ketiga kita hari itu.
Kau sedang santai mendengarkan balada KyuHyun, dari headset putih yang berada di kedua daun telingamu, sementara aku mendudukkan diri tanpa memeriksa lebih dulu.
Kita berada dibawah naungan yang sama, namun di sisi yang beda.

Seperti kebiasaan, aku menyalakan balada yang sama denganmu keras-keras, membuatmu mencari sumber suara dan menemukanku.
Kita bertatapan dalam diam yang lama, kemudian tertawa untuk sebab yang tak dapat terbaca.

“Eternal Sunshine?” tanyaku mulai tertarik. Kau mengangguk dengan senyum pertama.
Di detik itu, aku mulai menyadari bahwa kau adalah ‘kau’.

Setelahnya, hari-hari berjalan dengan kita,
dengan cerita,
tentang cinta.


            Aku membuka mata, sendu. Bayangan itu bergerak di memoriku, begitu cepat. Seolah roda film yang takkan berhenti sebelum rusak atau memang habis porosnya. Kau adalah tumpukan kata yang menunggu untuk ku rangkai, seperti saat aku menuliskan puluhan cerita kita dalam berlembar-lembar prosa. Tak pernah ada kata sudah.
            Empat bulan bersamamu terasa begitu singkat dibanding satu bulan tanpamu. Aku diharuskan terbiasa dengan segala yang beda, harus terbiasa dengan ketiadaan, tanpamu dan tanpa kita tentu saja.


Kenyataannya, kita berpisah diantara kenangan yang menunggu untuk diselesaikan.


            Aku tersenyum hambar. Batinku mengira-ngira sesuatu yang sepertinya sudah terpampang nyata. Perpisahan ini, senyatanya adalah pengajaran tentang setiap hari yang takkan lagi sama, sehingga memaksa untuk mulai terbiasa.


Kekasihmu,
 Apakah dia juga menceritakan tentang legenda romantis jembatan Folk, seperti yang pernah kulakukan padamu, dulu?


            Kerumunan orang hilir mudik. Tak memerhatikan sekitar benar-benar. Aku menghela nafas berat. Bisakah aku begitu?

Hilir mudik tanpa memerhatikanmu yang menatapku dari rerimbunan rindu.
Karena aku, sungguh ingin kembali kesitu.


Palembang, 1 juni 2015

2 komentar:

Miskonsepsi Pernikahan Dini dan Menikah Muda

Miskonsepsi Pernikahan Dini & Menikah Muda Oleh: Siti Sonia Aseka Pernah salah sangka soal narasi nikah muda, nggak? Bertahun lalu, saya...