Blogger Perempuan

Blogger Perempuan
Kunjungi laman Blogger Perempuan dan baca tulisan saya melalui link berikut

Selasa, 09 Juni 2015

Cerpen (Mendung)


MENDUNG
(SITI SONIA ASEKA)

  S
udah dua puluh hari berlalu, sejak kita memutuskan untuk berjalan sendiri-sendiri. Dengan mimpi yang sepertinya hanya tinggal sisa-sisa bagimu, dan aku yang serupa genangan masa lalu sehingga wajib kau lupa seiring berjalannya waktu. Pernahkah terlintas di pikiranmu tentang aku, yang terseok menghapus puluhan bahkan ratusan memori seorang diri? Sementara kau dengan tenang telah menggandeng dia, kekasih barumu.
            Bohong bila ku bilang aku baik-baik saja. Bohong jika ku katakan bahwa aku telah melupakan semua yang pernah ada. Adakah kebohongan lagi yang harus ku lontarkan agar menghilangkanmu dari hati? Seolah aku terlampau kuat untuk menangisimu, padahal faktanya ada air mata disana yang ku yakin kau pun tak dapat menduga.
            Apakah episode melupakan dan menghapus ini akan tetap berlanjut? Atau akan ada masa dimana kita tak berat lagi untuk berbagi sapa, seolah tak pernah ada luka yang tercipta?
            Empat bulan bukan waktu yang singkat bagiku untuk percaya padamu, percaya pada semua yang kau katakan. Kau ingat waktu itu? Ketika kau datang saat aku masih menyimpan banyak luka karenanya?
            Atau ketika kau datang menghadirkan banyak tawa, yang tanpa sadar sempat menghilang tertutup kedukaan (lagi-lagi) oleh dia. Kala itu, aku ingin segera mempercayaimu. Meyakini bahwa kedatanganmu yang tiba-tiba adalah balasan Tuhan atas segala doa yang ku panjatkan pada-Nya. Namun ternyata, butuh waktu lama. Butuh begitu banyak masa untuk memaku setitik suka yang kau bawa. Dan batinku bertanya, sebesar itukah rasaku padanya hingga menerimamu aku tak kuasa?
            Kau membuktikan banyak hal. Tentang rasamu, keinginanmu, serta mimpi yang ternyata sejalan denganku. Berbeda dengan dia yang penuh doktrin, kau lebih bisa menerima segala mauku. Perbedaan kita yang tak dapat disangkal itu, nyatanya bukan halangan berarti. Kau memahamiku, dan aku tak menemukan sosok itu dalam dirinya, dulu. Kau seolah tau kita akan sampai dimana dan menjadi seperti apa. Tanpa ku sadari, kau membawaku menuju banyak hal. Segala yang bahkan tak pernah terlintas di benakku, kau jadikan nyata.
            Kepercayaan  itu datang. Benar-benar mampir pada ketukan ke sekian. Untuk kedua kalinya, aku jatuh cinta.
            Detik itu, aku merasa hidup kembali. Bernafas dengan oksigen yang lebih penuh dan tak tertandingi. Kau selalu ada dan aku menghargai itu. Pemikiranmu menuntunku untuk belajar banyak hal agar nanti dapat mengimbangi ide-ide menakjubkan yang kau cipta. Aku terlampau bahagia. Tak ku pungkiri, kini cinta itu perlahan berubah jadi ambisi. Aku menginginkanmu dan aku tau aku mampu melakukan itu.
            Pemikiran yang ternyata ku sesali kini. Ambisi yang membunuh logika ku terhadap mimpi-mimpi.
            Keberadaanmu serupa pelangi. Tak peduli sebanyak apa pertengkaran yang kita alami, kau mampu meyakinkanku untuk bisa menghadapi ini. Ketika keinginan untuk menyerah itu menyerang hati, kau datang kembali. Menahanku agar tak pergi. Membangun tembok yang lebih kokoh dan lebih bisa menjaga segala hal yang berkaitan tentang hati. Tanpa terasa, aku jadi secinta ini, sebergantung ini padamu. Tak pernah mampu ku bayangkan hari-hari tanpa hadirmu, tanpa percakapan mengundang tawa yang kau bawa sebagai usaha untuk benar-benar menghapus dia. Ku akui, kau berhasil.


            Pukul dua pagi. Seperti biasa, aku sudah terbangun bahkan sebelum ayam berkokok berisik di titik permulaan hari. Sibuk memeriksa akun twitter, berharap ada sedikit jejak yang kau tinggalkan sebelum larut di dunia mimpi.
            Dulu, akan selalu ada sedikitnya satu pesan darimu. Entah itu lelucon lucu atau hanya sekedar ucapan selamat malam yang entah mengapa mampu menerbangkanku ke angkasa.

Aku mendesah gusar. Tak ada jejak. Kau menghilang lagi.

            Mataku memanas. Lelehan air mata pada akhirnya meluncur lagi, tak peduli seberapa keras aku berusaha untuk menguatkan diri. Sedetik kemudian aku menyadari, siapa aku ini? Tak tau diri sekali! Mungkin kau sudah mengucapkan selamat malam pada dia, wanitamu yang baru. Atau bahkan, mungkin kau sedang memimpikan dia saat ini?
            Aku meraih headset di atas kepala. Memasangnya buru-buru. Ingin segera larut dalam perasaan yang entah bagaimana bisa menyakitiku sedemikian kejam.

            Eternal Sunshine.


            Kita berdiri berdampingan, apa kau sadar?

            Pesta perpisahan yang bagiku serupa bom waktu. Sebenarnya, aku tak hendak datang. Namun, mengingat kekata ibu waktu itu, aku akhirnya mengubah pikiran. Ini mungkin kali terakhir kita jumpa. Dan aku cukup menantikan reaksinya.

            Beku.

            Itu yang ku rasa ketika melihatmu. Ada dingin yang mampir dan ada sesak yang mendobrak kencang di dada. Ada air mata yang berontak ingin keluar, aku tak dapat memungkiri luka. Sepertinya memang benar, aku tak harus datang. Tembok yang ku bangun itu nyatanya belum cukup kokoh walau sekedar untuk menatap wajahmu.


            Kita berada di tempat yang sama, namun tak dapat berbagi tawa.
            Kita berada di tempat yang sama, namun tak mampu melontar kata.
            Kita berada di tempat yang sama, namun tak bisa saling menatap mata.

            Merindukanmu adalah saat-saat tergelap. Ketika keinginan untuk melupakan itu semakin kuat meski namamu masih terpatri di hati, aku hanya mampu larut dalam diam yang lama. Kemana pelangi itu kau bawa pergi? Mengapa hanya sisa mendung disini? Teganya kau membawa serta bahagia itu tanpa sisakan sedikit ruang bagiku untuk turut memeluk tawa.
            Kau telah temukan cahaya yang baru, yang lebih mampu menyinarimu ketimbang aku. Kau sudah punya indah yang baru, yang lebih bisa menghias harimu dibanding aku. Kau sudah melupakan kita, meski aku masih disini mengingatmu.
            Aku masih larut dalam kenangan yang nyaman. Hingga nanti tiba waktunya berpindah, mengubur banyak hal.

            Untuk saat ini, izinkan aku menata hati. Membersihkan sisa-sisa hadirmu yang masih nyata terasa. Takkan ku biarkan sembarang orang untuk mampir. Akan ku jaga tempat ini, ku kunci rapat tanpa celah sedikitpun bagi orang-orang untuk mengintip ke dalam. Karena aku telah mengubah banyak sisi, agar nanti pantas di tempati oleh yang terbaik, yang di takdirkan Tuhan untuk menetap, tak hanya singgah dan menimbulkan luka ke sekian kali.



Palembang, 18 mei 2015

Teruntuk Anda, selalu Anda.
Adakah mendung itu mampir di langit duniamu malam tadi?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Miskonsepsi Pernikahan Dini dan Menikah Muda

Miskonsepsi Pernikahan Dini & Menikah Muda Oleh: Siti Sonia Aseka Pernah salah sangka soal narasi nikah muda, nggak? Bertahun lalu, saya...