Blogger Perempuan

Blogger Perempuan
Kunjungi laman Blogger Perempuan dan baca tulisan saya melalui link berikut

Selasa, 18 Desember 2018

Being Who I Am


Di dalam dimensi yang kepala ini ciptakan kala sendiri, alat pengendali waktu ternyata bekerja cepat sekali. Dalam satu detik menyebalkan, ia membawaku kembali pada masa di mana langit masih sempurna biru. Lalu, di detik setelahnya melemparku serta merta, tanpa permisi, demi menyaksikan diri ini berada dalam satu kotak kaca yang bisa pecah kapan saja.

Ada masa ketika kau tak memahami apa-apa, tak bisa membedakan mana yang harus dan mana sekedarnya. Ada saat di mana kau hanya ingin didengar kemudian segala nasihat panjang lagi membosankan itu tidak menghentikan atau mengubah apapun juga. Singkatnya, kau merasa dirimu sudah mampu tanpa bantuan dari siapa-siapa dalam satu bentuk pemikiran paling sempit yang pernah ada. Dan sialnya, radar logika macam itu tidak bisa diselamatkan sebab pemahaman yang hanya sebatas mata kaki tanpa kesadaran dan jauh dari keinginan untuk coba ditingkatkan.

Tapi, hei.
Terkadang perasaan melangit justru membawamu pada dasar inti bumi.
Dan, ya. Aku mengalami yang demikian.

Maka, pada satu titik ketika segalanya seolah dihancurkan tanpa sisa, aku mencoba meraih keping yang mungkin bisa memperbaiki semuanya. Walau jelas, tak ada lagi yang dapat dilakukan terhadap bangunan tanpa atap serta dinding selain menghadirkan kekhawatiran dan perasaan kecewa.

Apa yang salah?
Siapa yang bertanggung jawab?

Waktu tidak akan kembali. Ia menelanmu dan kesempatan sampai habis, menghapusmu hingga jadi debu lalu terbang dibawa angin.

Pada akhirnya, ketika tak ada yang sedia menawarkan pundak, saat tak ada yang bisa membawa kembali ke arah cahaya, maka satu-satunya pilihan yang tersisa tinggal harapan. Dan kepada siapa harap itu dapat diletakkan? Berkacalah, lalu temukan presensi paling bisa diandalkan dalam situasi tergenting; diri sendiri.

Bangkit, terseok, terjatuh, bangkit lagi, terseok lagi dan terjatuh untuk ke sekian kali.
Tidak, jangan menyerah, jangan berserah, jangan merasa bersalah.
Garis finish belum terlihat, genderang menang belum ditabuh, sorak sorai juga belum terdengar.

Aku selalu berpikir bahwa kebaikan dan perjuangan adalah garis lurus tanpa cabang. Padahal, jauh sekali, ketika menyadari di mana kaki berpijak, atau kepada apa mata ini memandang dan apa saja yang sudah masuk dan tersaring oleh gendang telinga, konklusiku mengarah pada konfigurasi paling sederhana; naif.

Lantas, menatap ke atas, mengamati tebing tinggi nan menjulang, mendapati kedua tangan yang mungkin hanya akan terluka bila mati-matian memanjat, aku menghela nafas dengan pemikiran paling kusyukuri sepanjang usia; aku harus.

Kala itu, aku hanya meyakini satu hal; apapun yang terjadi, setidaknya aku telah mencoba.

Lalu, apa yang kugenggam hari ini tidak akan serta merta menghapus begitu banyak luka yang mampir di kedua telapak tangan. Menjadi saksi atas berapa panjang dan berat jalan yang harus kulalui sedemikian hebat demi sampai di puncak. Aku tak perlu buka suara, tak harus memaksa orang mendengar kisah. Aku hanya harus mencapai tempat setinggi-tingginya bersama kemampuan yang mungkin masih rendah di bawah.

Sampai di sini, segalanya tidak terdengar begitu sederhana, kan?

Sebab, pada faktanya, segala sakit hati dan kecewa yang tertelan tanpa pernah terlontar, seluruh persediaan air mata dan sumpah serapah, semua perih dalam luka, tidak akan pernah bisa diterjemahkan sedemikian sempurna oleh hanya sekedar kata pada kepala dengan sirkuit yang telah rusak.

Sejujurnya, tidak ada begitu banyak pilihan. Bahkan bisa dibilang, tidak ada cukup pilihan. Lakukan saja, atau terbuang, mati, hilang, dilupakan. Dan percayalah, tidak ada satu entitas hidup pun yang bersedia berdiri pada pilihan kedua. Tentu, aku salah satunya.

Jadi, apapun yang terjadi, apa saja yang berhasil diraih atau gagal tertangkap tangan, biarkan. Aku hanya perlu mencapai satu kata demi melega sedemikian rupa; layak, pantas.

Tapi, di mana? Bagaimana caranya?
Pertanyaan yang kutemukan sendiri dengan susah payah, meletakkan segala rasa sakit dan tak kuasa itu jauh dari pandangan mata. Hanya agar tidak ada istilah bermanja pada proses takdir yang sementara. Segala drama ini harus berakhir, selesai, habis.

Dan untukmu, bila dalam kepala itu masih ada sepetak tanya tentangku, maka benahilah dan bulatkan tekad untuk bertanya dengan hati paling lapang. Atau tetaplah diam. Jangan bersuara, bungkam saja. Jika kau tahu pada akhirnya, segala untai kata hanya akan makin menyakiti lubuk yang tengah mencari jalan demi menerima.

Kau tak tahu apa yang tersembunyi dibalik satu senyuman.
Kau tidak mengerti apa yang terjadi dibalik tirai keceriaan.
Kau pun tak melihat air mata yang terhela disela canda mengangkasa.

Karena kau adalah kau, bukan aku.

______________________________
Palembang, 18 Desember 2018
Siti Sonia Aseka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Miskonsepsi Pernikahan Dini dan Menikah Muda

Miskonsepsi Pernikahan Dini & Menikah Muda Oleh: Siti Sonia Aseka Pernah salah sangka soal narasi nikah muda, nggak? Bertahun lalu, saya...