Blogger Perempuan

Blogger Perempuan
Kunjungi laman Blogger Perempuan dan baca tulisan saya melalui link berikut

Senin, 31 Desember 2018

Summer Maze


Bukan jenis another ending, tapi lebih ke sequel atas kisah EUNOIA oleh @augustddrugs di Wattpad dengan sudut pandang Song Jian sebagai pemeran utama wanita.

Anyway, sedikit bercerita, aku menemukan Eunoia dan Arcas pada bulan Agustus 2018 ketika memutuskan untuk aktif kembali di Wattpad setelah nyaris satu tahun menarik diri.

Good story, great account, and also an inspiring writer.

Note:
Bagi yang penasaran dengan kisah asli, silahkan baca Eunoia di Wattpad, ya.
Cerita yang bagus untuk kita agar lebih peduli terhadap kesehatan mental.

Karena resiko atas rehabilitasi seseorang dengan mental illness tidak main-main. Kalau tidak melupakan kenangan dan seluruh memori, ya meninggal. Sudah, tidak ada kemungkinan lain.

Selamat membaca.

_____

Song Jian masih mengingat semuanya. Memori masa kecil, hawa terik musim panas, aroma pie apel, pohon sansuyu, sepeda dan rumah sakit, taman bermain, bahkan pusat rehabilitasi, Busan, serta…

Jeon Jungkook.

Semua kenangan itu menjelma bagai sensasi gelitik yang menyerang di tengah suasana hati super buruk; menyebabkan tawa dan menghadirkan luka bersamaan. Tapi, jelas, Jian tidak bisa mengelak. Sama seperti kekecewaannya yang mengendap tinggi. Sekalipun ia coba benahi berkali-kali hingga mual, perasaan tak bernama yang kerap hadir tiap malam itu tidak bersedia enyah begitu saja.

Jadi, dengan gelegar petir yang hadir bersama hujan sejak sore, Jian menurunkan kaki-kaki kurusnya dari atas ranjang. Menyalakan lampu kamar, mengikat rambut hitam miliknya tinggi-tinggi sembarangan. Kerongkongannya kering, kepalanya pening, dan hidungnya tersumbat sebab terbangun dalam keadaan terisak hebat. Kedua matanya memerah dan sembab. Suaranya? Jangan tanya. Sudah luar biasa serak.

Jian lupa hal-hal macam ini telah berjalan seberapa sering. Yang ia tahu, mama akan menatapnya prihatin setiap pagi, menyodorkan segelas susu hangat dan roti tawar diolesi selai cokelat, menyapa riang, lalu bertingkah seolah wajah anak gadisnya tidak terlihat seperti habis dipukuli sebab tertangkap basah mencuri suami orang. Oh, buruk sekali. Padahal Jian sadar, mama akan dengan buru-buru menyuruhnya mengompres wajah setelah menandaskan sarapan, beralasan hal semacam itu baik untuk kesehatan.

Membuka pintu kamar, melangkah menuruni tangga, aroma manis samar tercium. Jian merasakan suhu udara di dalam rumah makin menggila. Berangin, lembab, mungkin mereka bisa didapati mati beku esok hari bila pemanas di dalam kamar tidak berfungsi dengan baik.

"Jian? Terbangun lagi, sayang?"

Perempuan dengan celemek biru laut cantik menoleh pada presensi Jian yang tampak terkejut dari arah dapur, menelusuri seraut wajah anak gadisnya yang seperti biasa, membengkak dan memerah, habis menangis. Sisa air mata bahkan masih tampak mengalir di kedua pipi.

"Iya, ma. Tiba-tiba haus. Mama belum tidur?"

"Belum mengantuk. Omong-omong, mama sedang membuat pie apel. Kau tidak keberatan dengan camilan tengah malam, kan?"

Jian mendekat pada dispenser, mengalirkan air hangat ke dalam gelas yang diserahkan mama baru saja. Kedua perempuan itu terdiam beberapa saat, sebelum salah satu dari mereka kembali buka suara.

"Aku selalu suka pie apel mama kapan saja. Beberapa potong tidak akan membuat kita tiba-tiba gemuk, kan?"

Mama tertawa. Melirik sekilas pada jam dinding yang menampilkan jarum pendek pada angka dua belas.

"Dan kenapa tiba-tiba mama terpikir untuk membuat pie apel di jam segini?"

Jian menjatuhkan tubuhnya pada kursi di hadapan meja makan. Menenggak air hingga tandas, mengerjap beberapa detik demi menunggu jawaban dari sang mama.

Mereka berpandangan pada satu garis lurus. Hening, sebelum kemudian suara nyaring dari pemanggang menyadarkan bahwa pie apel yang sedari tadi ditunggu telah matang dan mengeluarkan aroma menyenangkan untuk ditelan.

"Wah, kelihatannya lezat sekali. Sense seorang koki memang tidak bisa hilang."

Mama memandang anak gadisnya. Tersenyum pedih sebelum menaruh nampan ke atas meja. Memotong pie tersebut dalam diam dan meletakkannya ke atas piring, mendorong benda tersebut lebih dekat pada Jian.

"Jian, selamat hari satu September, lagi."

_____

Di tengah gulungan badai yang membawamu pergi, bersama kenangan, harapan, dan janji yang memeluk erat, ketiga hal tersebut berputar ibarat kaset rusak, menghantam kepala hingga berdarah, menyajikan kesepian dengan luka dan masa depan yang perlahan pudar dari pandangan.

Mengapa kau berlari, mengejar?
Padahal aku masih di sini, tak beranjak meski seinchi.
Menunggumu datang, memimpikanmu pulang.

Bersama memori yang berpesta pora, dengan janji yang menari di atas kepala, aku terjatuh di tengah lantai dansa, terisak parau, meneriakkan namamu yang bergema nyaring dalam ingatan.

Lantas, untuk alasan itu, aku berusaha meraihmu, menggenggam.
Menyadari bahwa tangan ini belum mampu menjaga apa-apa. Namun, impianku ternyata jelas tinggal jejak bayang dan pendar samar ilusi dalam angan.

Kemudian, pada satu titik paling egois yang kupunya, sekali ini saja, aku menginginkanmu melupakan sejenak jalan setapak yang terus kau gunakan demi menemukanku lagi.
Aku ingin berkata, aku hanya ingin menegaskan bahwa aku tak berada di sana, aku sama sekali tak menuju ke sana.

Maka, berbaliklah.

Kau sudah terlalu lama berlari, ragu berhenti, ketakutan setengah mati.
Aku tahu. Aku dapat membacamu.
Kau kehilangan kompas dan diselubungi gelap.
Kau hanya mendengar tanpa mampu melihatku mencegahmu semakin jauh dari hamparan mata.

Padahal, jika sedari awal kau melepaskan semuanya, bila kau dengan mudah menerima segalanya, Sirius yang kau puja tidak akan sebegitu menyilaukan.

Aku hanya memikirkanmu,
aku sangat merindukanmu.

Atas semua rasa sakit yang kau pendam, atas seluruh luka yang kau rasa, untuk setiap air mata yang kau simpan rapat, aku menyaksikan redup pada matamu bertambah kelam dan berpendar harap dalam waktu yang bersamaan.

Bisa aku memerintah waktu berputar ke belakang?

Menyaksikan kita dalam atmosfer musim panas, semangka dan ngengat, saling bercakap tanpa suara melalui masing-masing buku gambar di balkon kamar yang berhadapan, menatap langit demi memandangi gemintang walau semuanya tampak sama.

Aku masih mengingat semuanya, aku masih menyimpan memori kita kuat-kuat.
Dengan dalih hanya bila kau kembali dan melupakanku, melupakan kenangan yang pernah terjalin rapi bak sulaman benang, aku mampu mengisahkannya sekali lagi, membawamu menjumpai kotak memori terindah yang harusnya kita jaga hingga menua.

Jika aku dapat memelukmu sekali lagi,
Bila aku mampu menghalaumu pergi untuk kesekian kali,
Apabila aku bisa mempertahanmu di sini dan mencegah badai masa lalu maupun masa kini membawamu lari, maka aku ingin mengatakan, aku hanya ingin memberitahumu bahwa sekarang dan selamanya, segala kenangan yang terekam dalam ingatan sama sekali tidak pantas dikoyak maupun disobek sedemikian keras kepala.

Summer Maze,
Jian Song

_____

Bila dapat memilih, Song Jian jelas tidak kembali demi menyaksikan Jeon Jungkook mengaku kalah. Jika bisa, dia tentu ingin tiba dengan sambutan dan kabar bahwa seseorang yang masih ia nantikan sampai entah kapan, juga berjuang demi bertemu dengannya dalam kabar paling baik dan menyenangkan.

Tapi, bertahun-tahun berlatih mengelastiskan hati, Jian jelas sadar, keegoisan macam itu, keinginan yang tidak akan membawa pada satupun destinasi terbaik memang patut dienyahkan dari dalam kepala.

Memangnya, hidup dalam bayang-bayang masa lalu yang pemiliknya pun ingin hapuskan sudah pasti berjalan indah? Keadaan macam itu justru akan membawa jauh dari gravitasi kebahagiaan. Dan Jian tentu tidak mau.

Jian jelas tidak dapat melupakan hari di mana Jeon Jungkook secara resmi pergi menuju pusat fasilitas. Bersama pelukan erat yang seolah tak ingin dilepas, pria itu tersenyum dengan setitij air mata menetes dan habis mengalir sebab jatuh di telapak tangan Jian. Ada hati yang nyaris pecah, ada jiwa yang memberontak hebat terhadap skenario semesta, lantas segala riuh batin terasa sesak, berkumpul mendesak perempuan tersebut meloloskan kalimat paling drama dalam hidupnya, "Apapun yang terjadi, aku akan menunggumu kembali. Kau pasti sembuh. Pasti."

Ia jelas tidak tahu lagi apa yang Jungkook hadapi selepas hari itu. Jian jelas tidak akan mengerti betapa menyakitkan mengingat kembali moment terburuk dalam hidup dan merasakan kepingan luka masa lalu dipaksa mampir hanya demi dihapus dan dienyahkan sedemikian rupa.

Jian tidak akan paham, perempuan itu jelas tidak akan pernah mengerti.

Karena yang ia tanamkan di dalam hatinya, sesuatu yang Jian rancang bak bangunan pencakar langit megah nan dingin hanyalah kepercayaan bahwa Jeon Jungkook akan menemuinya dengan senyum paling indah, lantas berkata hangat, "Aku pulang."

_____

"Mencoba meraih harapan yang ditebarkan orang-orang, berusaha mengumpulkan serpih dari sekian kepercayaan, menjejak sebuah tempat baru demi janji petualangan dan masa depan. Ah, bukankah meletakkan keyakinan terhadap manusia seringkali menghadirkan kesakitan? Tetapi, mengapa aku masih tak menyerah? Bahkan bodohnya, kedua tangan kurus ini malah mati-matian menggapai cahaya yang tak pernah tampak; hati sekelam puncak menara pengawas, sempit nan gulita."

Pada sepasang mata hidup pun benderang tersebut, kutemukan engkau melambai-lambai bersama senyum paling meneduhkan yang pernah terbayang dan hadir dalam mimpi tiap malam. Bersama genggaman kecil penuh harap itu, kurasakan dirimu kembali merasuk pada rupa sepoi angin bahkan celoteh kecil yang dilayangkan mulut manis lagi dirindu.

Maka, beberapa kali dalam lipatan bulan, kupaksakan bercangkir tawa serta berpiring-piring canda hadir dengan hangat paling mengikat, berusaha membuat seseorang yang kau cinta berlari kuat dalam pelukan. Sebab, dialah juga satu dari sekian jalan untuk mengobati denyar rindu yang seringkali melompat-lompat bak kelinci manis bergigi lucu.

"Noona, mengapa kau tidak pindah kemari saja dan tinggal bersamaku?"

Kau tahu, sayang?

Jian noona-mu ini bahkan tidak lebih kuat dari sebatang kayu lapuk yang dapat patah dalam sekali hempas. Dan berdiri tegak begini saja, dengan kedua kaki yang bisa luruh kapanpun juga, aku tidak bisa berjanji untuk pula mampu menjadi punggung kuat tempatmu meletakkan ribuan kisah dan kenangan lagi.

Sebab, bila kau memaksa dan jika hal itu sampai terkabul, aku tidak dapat membayangkan apa yang mungkin terjadi pada kita. Aku bisa tidak mustahil membawa kekecewaan baru, atau malah menghadirkan kisah sama dengan milik papamu.

Jangan sampai kita terjebak dalam memori kosong bernama euforia fiksi, Kano.

Karena sekuat apapun rindumu pada pria itu, ia tidak akan pernah bisa kembali menyerupa nyata demi menyaksikanmu tumbuh besar dalam asuhan Min Yoongi si wajah batu, dan aku; si bodoh yang selalu berbohong tentang hati dan perasaanku.

Jadi, memaksakan seulas senyum yang kuharap tampak alami, memeluk erat tubuh mungil itu sekali lagi, merasakan jemari bocah itu melingkar pada pinggang kurus ini, aku menahan setengah mati getar suara demi melontarkan jawaban yang juga berkali-kali ia dengar ketika tawaran semacam itu hadir di tengah lingkar pertemuan.

"Noona tidak bisa meninggalkan pekerjaan Noona di Seoul, Kano."

Pekerjaan memandangi rumah lamamu yang kini dibiarkan tetap kosong tanpa penghuni. Mengulas setiap kenangan yang terjadi lagi dan lagi, ibarat candu, dampak dari rindu. Memikirkan dapur, pekarangan depan, halaman belakang, ruang tengah, bahkan balkon kamar kami yang saling berhadapan dan pernah menjadi saksi atas kisah kacang kenari bertahun-tahun lalu.

"Jian, masih di sini?"

"Oh, Yoong? Tentu. Urusanmu sudah selesai?"

Min Yoongi tersenyum samar, nyaris tak tampak. Mengangguk kecil mengiyakan kemudian. Lantas, pria tersebut meletakkan sesuatu yang ia bawa bersamanya melewati pintu kamar Kano di hadapanku lalu berujar pelan, "Makanlah. Ini sudah nyaris pukul dua."

Aku memandang isi kotak ukuran lumayan besar yang Yoongi bawa. Menghadirkan potongan-potongan ayam serta aroma gurih asin menggoda. Hah, pria ini. Bahkan menawarkan makan siang pada seorang perempuan pun bisa luar biasa kaku begini? Padahal, aku hanya Song Jian yang bertengkar dengannya sampai nyaris berteriak kuat sekali hanya karena tidak rapi dalam melipat baju Kano beberapa minggu lalu.

"Hey, kau dengar aku bukan? Jangan bilang otak idiotmu itu kembali disaat seperti ini."

Aku berdecih, hampir-hampir mengeluarkan seluruh persediaan makian yang terkumpul sepanjang hidup, jika saja tak merasakan seseorang menangkup wajahku hangat sembari berkata, "Ayo, akan kutemani Noona menghabiskan ayam-ayam lezat ini."

_____

Ada yang tetap tidak bisa Jian lakukan walau segala nasihat tentang melupakan dan melanjutkan hidup telah ia terima ribuan kali, sejak kembali dari pelarian dengan dalih bekerja, mendedikasikan waktunya demi membunuh sekian perasaan sepi dan bersalah. Perempuan tersebut hanya mampu tersenyum, mengangguk, meyakinkan orang-orang bahwa dia baik-baik saja dan akan hidup dengan bahagia.

Jian ingat perkataan Taehyung padanya beberapa waktu setelah perempuan itu kembali dari Paris. Jian ingat apa yang Taehyung lakukan untuknya tanpa ia minta melalui tutur bahkan tangis. Taehyung ada di sana untuknya, mendengarkan, tidak menyela. Mencoba memahami Jian yang retak sebab telak oleh kenyataan. "Selain cinta," kata Taehyung, "janji adalah salah satu dari sekian harapan seseorang untuk tetap bertahan hidup."

"Ya, dan aku berjanji pada Jungkook untuk tetap hidup dan bahagia."

"Tepat."

"Kau pikir itu saja alasanku bertahan sampai sekarang?"

"Memangnya apa lagi? Aku memahamimu, Jian. Jangan sok kuat begitu, lah. Kau menangis sedetik setelah aku berbalik badan, menutup pintu selangkah setelah aku meninggalkan."

Jian tertawa, terdengar seolah tercekik dan kehabisan napas. Perempuan itu menggeleng kecil, sebelum kemudian berujar lagi, "Ada banyak sekali konsep cinta di dunia ini, dan mencintai diri sendiri sebelum mati-matian mencurahkan cinta terhadap orang lain adalah satu dari sekian konsep yang amat kusukai."

"Jadi, apa alasanmu bertahan?"

"Karena aku ingin."

"Itu saja?"

"Karena mama, Kano, Yoongi, kau..." Jian menghela napas panjang, menatap lurus sebelum tersenyum kecil, "Setidaknya aku punya kalian ketika harapan seolah berpendar samar dan nyaris redup tanpa sisa."

Taehyung menatap tak percaya, menyunggingkan satu senyum keraguan lantas berkata pelan, nyaris tak terdengar, "Apa itu artinya, Jungkook perlahan bisa kau letakkan di belakang?"

Dan Jian hanya dapat mengedip dua kali sebelum buru-buru meraih gelas tehnya yang mulai beranjak dingin. Belum ada jawaban untuk tanya semacam itu. Belum ada kepastian yang dapat Jian berikan atas tanya tentang Jeon Jungkook.

Sebab, berulang kali, kala perempuan tersebut berpikir dapat berdamai dengan masa lalu dan bayang-bayang pria itu, kenangan dimensi lampau seketika menghantam kepalanya, menyebabkan pening, nyaris menggelapkan pandang.

Yang Jian sadari, sekeras apapun ia memaksa meletakkan memori sejenis itu disudut paling terpencil di dasar hati yang kelabu, memori tersebut akan dengan sangat kurang ajar, mengekspansi bagian lain hingga nyaris rusak dan hancur. Sudah cukup buruk bertahan dengan luka di sana sini tanpa tahu benda macam apa yang mampu mengobati. Jian ingin berhenti melawan arus.

Lantas, dengan seluruh kesadaran yang tersisa, perempuan tersebut membangun kepercayaan lain agar mampu melawan sekian kemungkinan tentang mengalah pada hidup dan mulai menata banyak kesiapan baru; masa depan.

Seperti kalimat yang pernah dikatakan Yoongi, "Kau punya tanggung jawab untuk melanjutkan hidup, mengambil banyak kesempatan, memenangkan sekian peran. Lalu, setelah segalanya membaik, saat kau mulai mampu berhenti menyalahkan keadaan dan menyesali kepergian, kau akan memandang banyak hal dengan syukur yang lebih dari sekedar ucapan. Sesederhana itu, Jian."

_____

Teruntuk Arcas,

Dengan Metanoia dan POV Taehyung yang akan tiba Januari nanti, kupersembahkan Song Jian dengan keadaan paling seadanya dan jauh dari kata istimewa.

Sekali lagi, tulisan ini sama sekali tidak diikutsertakan dalam Giveaway Eunoia, ya. Ini murni diposting demi kepentingan pelegaan hati penulis saja, hahaha.

Jadi, untuk kalian yang tengah berjuang demi Eunoia dan One Summer to Stay juga, bahkan. Semangat. Semoga nasib baik berada di pihakmu.


Sincerely,
AlwaySonia

(Siti Sonia Aseka)
Palembang, 31 Desember 2018

Note:
Summer Maze sudah pernah saya Posting di Wattpad dengan judul Eunoia - Summer Maze di akun @AlwaySonia

Versi di Blog sudah mengalami penambahan part dan jelas lebih panjang (lebih dari 2000 kata) ketimbang Wattpad yang hanya sekitar 1500-an kata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Miskonsepsi Pernikahan Dini dan Menikah Muda

Miskonsepsi Pernikahan Dini & Menikah Muda Oleh: Siti Sonia Aseka Pernah salah sangka soal narasi nikah muda, nggak? Bertahun lalu, saya...