Blogger Perempuan

Blogger Perempuan
Kunjungi laman Blogger Perempuan dan baca tulisan saya melalui link berikut

Selasa, 04 Desember 2018

Cheat-chat

Perempuan itu tidak beranjak dari duduknya setelah nyaris dua kali putaran penuh jarum jam menyentuh angka tepat dua belas.
Kursi di hadapannya telah kosong, walau bayang seseorang yang menemaninya sejak tadi telah pergi dan menyisakan satu cangkir berisi ampas kopi dan kehangatan yang perlahan pudar.



Jadi, apa alasannya masih bertahan di sini?
Tentu bukan sekedar demi secangkir latte atau buku-buku fiksi keluaran lama yang digandrunginya. Tidak, sama sekali bukan itu. 

"Itulah sebabnya aku tak pernah memperlakukan orang lain dengan cara yang kelewat biasa. Aku sadar, tak setiap manusia memiliki pola pikir sama dengan kita. Aku jelas akan baik-baik saja dengan sapaan selamat malam, atau bagaimana ketika beberapa orang mengingatkanku untuk makan siang. Aku juga akan luar biasa tak mengapa saat mereka meminta ditemani ke toko buku, membeli sesuatu di toserba atau sekedar duduk untuk berdiskusi tentang apa saja. Aku benar-benar terbuka untuk hal-hal macam itu. Tetapi, jelas beberapa orang tidak, kan? Akan ada beberapa opsi buruk ketika kita merasa istimewa, ketika orang lain seolah menjadikan kita segalanya. Sampai pada titik itu saja sebenarnya kita sudah diperdaya, loh. Bukan oleh orang lain, namun oleh pikiran kita sendiri."

Kalimat-kalimat panjang itu berdengung di telinga kala mengingat kembali percakapan yang terjalin hampir setengah jam lalu.

Tentang perasaan istimewa, perasaan paling sesuatu dan dianggap berbeda.

Diluar sedang tidak hujan, sayangnya. Panas terik juga lahan-lahan yang tampak gersang membuat mata malas memandang. Tapi, perempuan itu tak punya pilihan selain memandang jalanan kecil di samping jendela kaca dan debu yang berterbangan lalu bercampur dengan udara.

"Tapi, aku masih tidak mengerti. Mengapa aku bisa menjadi salah satu yang terjebak dalam istilah, 'merasa paling' itu?"

"Hei, dengar. Kamu sama sekali tidak terjebak. Jangan sok penting, begitu. Kamu hanya sedang tidak punya banyak pilihan selain menjadikan segala hal yang datang sebagai prioritas dan orang semacam pemberi perhatian cuma-cuma itu adalah salah satunya."

"Maksudmu aku terlalu iya-iya saja?"

"Bisa jadi, deh. Agak rumit kalau dibahas dengan manusia dengan logika anak kelas lima SD sepertimu."

Perempuan itu mendengus sejenak sebelum beralih menandaskan sisa latte, lalu terdiam untuk beberapa waktu yang mendadak hening.

"Jadi, bisa aku pergi sekarang? Jujur saja, aku sudah telat dua menit."

Lawan bicara menyebalkan itu mengangkat kedua alis, tampak memohon untuk diizinkan melarikan diri. Memang siapa sih, yang betah mendengarkan keluh kesah perempuan setengah depresi begini?

"Pergi sana."

"Jangan lupa pulang sebelum pukul enam. Aku akan tiba sekitar pukul delapan. Ingin titip sesuatu?"

"Tidak, terima kasih."

Dua perempuan itu melempar tatap beberapa detik, sebelum satu diantaranya memutuskan pergi dan meninggalkan perempuan lain dengan tanda tanya penuh di atas kepala.

"Kenapa aku tidak bisa untuk tidak peduli dan berhenti memasukkan segalanya ke dalam hati?"

___

Indralaya, 4 Desember 2018 
Siti Sonia Aseka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Miskonsepsi Pernikahan Dini dan Menikah Muda

Miskonsepsi Pernikahan Dini & Menikah Muda Oleh: Siti Sonia Aseka Pernah salah sangka soal narasi nikah muda, nggak? Bertahun lalu, saya...