Blogger Perempuan

Blogger Perempuan
Kunjungi laman Blogger Perempuan dan baca tulisan saya melalui link berikut

Sabtu, 15 Desember 2018

CANOPUS

Aku ingat semuanya.
Aku ingat kesan pertama ketika kali awal kita bertatap mata. Ada yang merangsek masuk dalam dada, perasaan sekuat keyakinan, nyaris menyita atensi terbaik, tidak pantas atas perhatian setengah dari porsi normalnya.
Sebentuk denyar yang memaksa hati berjanji untuk selalu terjaga, bertahan dan setia di sana. Pada ruang yang kau ciptakan, pada pondasi yang coba kau bangun, dalam rinai bernama keberanian dan kehangatan.
Walau aku dapat melihat, kendati aku mampu merasakan dari sorot mata redup itu, kau jelas tak menjanjikan apa-apa. Tapi, sekali lagi, meski dipatahkan berkali-kali, walau dihempas tanpa ampun berulang kali, aku tetap memilih tegak di sini.



Kira-kira mengapa, ya?
Kenapa aku begitu keras kepala?

Mencoba menggapaimu, meraih, merengkuh.
Namun, ke mana semua persediaan rasa sakit itu luput dan tergilas? Di mana seluruh luka dan air mata hilang kemudian reda? Apa yang terjadi pada semua sisa keraguan dan ketakutan?

Sebab, pada akhirnya, setelah sekian lama, meski tampak retak dan patah, aku masih saja menanti di ambang pintu. Lelah mengetuk dan pilih menunggu.

Biarkan aku masuk, izinkan aku tinggal.
Sebagaimana kesempatan yang masih kau punya dan harapan yang selalu ku bawa.

Kita bisa menjaganya berdua.

Aku mengenalimu pada sebingkai tawa dibalut canda senja hari itu. Dalam bercangkir-cangkir khawatir pun berpiring gelisah pada sebentuk logika yang nyaris miring, aku menemukan setitik rasa melecut pedih, lantas membawa hamparan kenyataan terbentang seadanya, di bawa angin, digiring hujan. Memalingkan wajah, menatap jendela kusam berwarna putih yang nyaris menguning, Apodis tampak menyenangkan meski kepalaku habis dilibas tanya.

Mengapa?
Ada apa?

Mereka ulang percakapan sederhana kita entah kapan, berputar bak kaset rusak di ruang pikiran, menyita banyak gurat tuntutan dan keinginan, "Kapan engkau pulang?"

Sebab, aku ingin membagi segalanya. Bersamamu, denganmu, menuntaskan harapan dan menegaskan keharusan. Tentang batas dan dinding, mengenai peran dan cara bermain. Aku ingin menatap matamu dan mengalirkan diksi hidup, paling tidak sekali sepanjang usia.

Desember membawa segalanya. Harapan, impian, angan, khayalan, menyatukan semua dalam satu kotak kecil bernama awal yang baru; masa depan.

Pernah tidak kau terbangun dengan kepala penuh sesak, seolah tidur barusan tak mengubah apapun?

Aku mengalami itu sejak entah minggu ke berapa pertemuan kita yang selurus takdir. Bersama mimpi yang kau bagi, dengan tekad di atas kepalaku kala itu, aku ingin menggapaimu erat, meraih tujuan dan melihat pada sudut yang sama. Aku ingin di sana bersamamu, walau kau tidak menjanjikan apa-apa, meski aku seolah benar-benar meminta, aku hanya ingin kau tahu bahwa ada begitu banyak cinta di dunia ini, dan salah satu bentuk yang dijadikan konsepsi atas dasar kebutuhan dan tanggung jawab adalah jenis yang paling ku percaya sedemikian hebat.

Aku ingin bertemu denganmu, berhenti berlari, mendobrak, menepis anggapan dan menjadi seorang paling bahagia di muka bumi. Hanya bila hidup sepakat untuk turut mengubah kita, hanya jika aku sanggup untuk memeluk semesta dan mencegah keburukan terjadi lagi pada kali kedua.

Mungkin aku bukan orang yang kau bayangkan, bukan seseorang yang kau masukkan dalam daftar terdepan. Bisa jadi, aku adalah yang tak pernah terlintas barang setitik. Bukan masalah, tak akan mengubah apa-apa.

Sebab bagiku, engkau masih sama saja.

CANOPUS
Siti Sonia Aseka

_________________

Palembang, 15 Desember 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Miskonsepsi Pernikahan Dini dan Menikah Muda

Miskonsepsi Pernikahan Dini & Menikah Muda Oleh: Siti Sonia Aseka Pernah salah sangka soal narasi nikah muda, nggak? Bertahun lalu, saya...