"Mendung tak berarti hujan."
~
Ketika bangun, hal pertama yang tertangkap oleh visual mataku adalah wajah ibu.
Sembab, bengkak, memerah, berantakan.
Ia (tidak) sendirian.
Di sampingnya, sang suami -ayah tiriku- berdiri dengan wajah biasa, sangat biasa bahkan terkesan datar.
Ibu menjerit.
Nyaring suaranya menembus gendang telingaku begitu cepat.
Aku memegangi kepala.
Nyeri.
"Ya Tuhan... Ini mukjizat! Sayang, tolong panggilkan dokter!"
Beberapa kata penuh penekanan itu di ucapkan ibu cukup cepat. Aku memejamkan mata.
Nyerinya makin terasa.
"Ibu, kepalaku..."
~
Tidak banyak hal istimewa terjadi dalam hidupku. Termasuk dengan bagaimana caraku menghabiskan waktu.
Pohon ek ini semakin tua saja, kelihatannya.
Akar yang tampak menembus permukaan tanah mengingatkanku pada secangkir kopi yang biasa ku minum di kala senggang.
Dan ngomong-ngomong, aku melewatkan musim panas dengan amat sukses.
Rumah sakit menginfeksi berbagai indra tubuh, membuatku seolah terus-menerus tak berdaya.
Aktivitas baruku sejak terbangun seminggu yang lalu adalah tak henti menatap sekelompok edelweis di halaman belakang rumah.
Setauku, ibu tidak menyukai apapun yang berhubungan dengan bunga. Sama sekali tidak.
Suaminya?
Jangan tanya.
Aku bahkan lupa siapa namanya, berapa umurnya, atau sejak kapan mereka menikah. Apalagi mengenai hobi pria itu. Aku benar-benar tak tau. Lebih tepatnya, tak peduli.
Untungnya, pohon ek tua ini masih cukup rindang untuk menampungku dan sebuah kursi roda yang ku duduki.
Yang ku ingat, dulu pohon ini masih sangat kecil ketika ayah masih hidup. Yah... Dulu sekali.
"Masih disini rupanya."
Aku memutar kepala ke arah samping.
Tampilan seorang pria berwibawa menyambut pandangan mataku seketika.
Kacamata berbingkai hitam yang menggantung di antara kedua matanya, menyadarkanku betapa kharismatiknya ia.
Tapi terlepas dari itu semua, aku tak pernah sedikitpun berpikir untuk menyukainya.
Seseorang yang telah dengan tega merebut ibu dari ku. Jelas, aku takkan pernah melupakannya.
"Ya." singkat. Harapanku, ia akan segera berlalu dari sini atau bahkan pergi dari rumah ini selamanya, tanpa pernah kembali lagi.
"Kamu menyukainya?"
Aku mengernyit. Telunjuk pria itu mengarah pada gerombolan edelweis yang sejak tadi ku perhatikan.
Aku balas dengan mengangguk kecil. Entah ia melihat atau tidak, aku tak peduli.
"Lalu, kenapa tidak coba untuk memetiknya?"
Aku memutar kursi rodaku, mengarah padanya. "Aku tak tertarik, terimakasih."
Aku mengarahkan diri ke dalam rumah, melewatinya. Ingin segera sampai di kamar, lalu mengunci pintu dan berdiam diri seharian.
"Itu bunga keabadian. Aku menanamnya sebulan lalu, untukmu. Bahagia melihat kau menyukainya."
Aku menghentikan laju kursi rodaku lamat-lamat.
"Mengesankan." aku mendesis pendek. Ku dengar langkah kaki berderap menuju ke arahku dari belakang.
Dorongan besar begitu terasa disana. Seolah ini adalah adegan slow motion drama TV.
"Mau kemana kita? Ini bukan arah menuju kamarku."
"Ada yang ingin ku bicarakan. Sebentar saja, jika kamu tak keberatan."
Bayangan tubuhnya memutar, setelah kursi rodaku berhenti berjalan.
Sosok tinggi itu begitu tepat berada di depanku. Memaksa kepala ini mendongak menatap matanya.
Sekujur tubuhku menghangat.
"Apa yang ingin kamu sampaikan?"
"Kami akan bercerai."
Aku meringis, "Apa?"
Ia tersenyum teduh.
Dapat ku lihat genangan air yang siap melompat keluar dari matanya.
"Aku tak tau lagi apa yang harus ku perbuat agar kamu mau menerimaku. 7 tahun aku melewatkan kesempatan dan peluang untuk merebut paling tidak simpatimu. Ku pikir, sudah saatnya berhenti. Aku tau kamu tersiksa, nak. Maafkan aku terlalu egois, maafkan ibumu yang telah memilihku menjadi pendampingnya yang baru. Sekarang, kamu berhak bahagia. Dan ku sadari, inilah saatnya. Bersabarlah sebentar lagi, waktunya akan segera tiba."
Pria itu berjongkok.
Mensejajarkan posisi kami, sehingga kini aku dapat melihat cairan-cairan ketulusan itu mengalir pelan di wajahnya.
Kedua tangannya terulur memegang bahuku. "Senang dapat menjadi ayahmu walau hanya sekilas waktu."
Ia bangkit, dengan terlebih dahulu mengusap lembut puncak kepalaku. Derap langkahnya samar-samar.
"Jangan pergi... Ayah." aku tercekat. "Aku akan coba menerimamu sekali lagi."
Pria itu menghentikan langkah, dan di menit selanjutnya, ku rasakan sebuah pelukan hangat di punggungku, di sertai isak kecil pilu.
"Aku dan ibu membutuhkanmu."
~
*FIN*
~
Ketika bangun, hal pertama yang tertangkap oleh visual mataku adalah wajah ibu.
Sembab, bengkak, memerah, berantakan.
Ia (tidak) sendirian.
Di sampingnya, sang suami -ayah tiriku- berdiri dengan wajah biasa, sangat biasa bahkan terkesan datar.
Ibu menjerit.
Nyaring suaranya menembus gendang telingaku begitu cepat.
Aku memegangi kepala.
Nyeri.
"Ya Tuhan... Ini mukjizat! Sayang, tolong panggilkan dokter!"
Beberapa kata penuh penekanan itu di ucapkan ibu cukup cepat. Aku memejamkan mata.
Nyerinya makin terasa.
"Ibu, kepalaku..."
~
Tidak banyak hal istimewa terjadi dalam hidupku. Termasuk dengan bagaimana caraku menghabiskan waktu.
Pohon ek ini semakin tua saja, kelihatannya.
Akar yang tampak menembus permukaan tanah mengingatkanku pada secangkir kopi yang biasa ku minum di kala senggang.
Dan ngomong-ngomong, aku melewatkan musim panas dengan amat sukses.
Rumah sakit menginfeksi berbagai indra tubuh, membuatku seolah terus-menerus tak berdaya.
Aktivitas baruku sejak terbangun seminggu yang lalu adalah tak henti menatap sekelompok edelweis di halaman belakang rumah.
Setauku, ibu tidak menyukai apapun yang berhubungan dengan bunga. Sama sekali tidak.
Suaminya?
Jangan tanya.
Aku bahkan lupa siapa namanya, berapa umurnya, atau sejak kapan mereka menikah. Apalagi mengenai hobi pria itu. Aku benar-benar tak tau. Lebih tepatnya, tak peduli.
Untungnya, pohon ek tua ini masih cukup rindang untuk menampungku dan sebuah kursi roda yang ku duduki.
Yang ku ingat, dulu pohon ini masih sangat kecil ketika ayah masih hidup. Yah... Dulu sekali.
"Masih disini rupanya."
Aku memutar kepala ke arah samping.
Tampilan seorang pria berwibawa menyambut pandangan mataku seketika.
Kacamata berbingkai hitam yang menggantung di antara kedua matanya, menyadarkanku betapa kharismatiknya ia.
Tapi terlepas dari itu semua, aku tak pernah sedikitpun berpikir untuk menyukainya.
Seseorang yang telah dengan tega merebut ibu dari ku. Jelas, aku takkan pernah melupakannya.
"Ya." singkat. Harapanku, ia akan segera berlalu dari sini atau bahkan pergi dari rumah ini selamanya, tanpa pernah kembali lagi.
"Kamu menyukainya?"
Aku mengernyit. Telunjuk pria itu mengarah pada gerombolan edelweis yang sejak tadi ku perhatikan.
Aku balas dengan mengangguk kecil. Entah ia melihat atau tidak, aku tak peduli.
"Lalu, kenapa tidak coba untuk memetiknya?"
Aku memutar kursi rodaku, mengarah padanya. "Aku tak tertarik, terimakasih."
Aku mengarahkan diri ke dalam rumah, melewatinya. Ingin segera sampai di kamar, lalu mengunci pintu dan berdiam diri seharian.
"Itu bunga keabadian. Aku menanamnya sebulan lalu, untukmu. Bahagia melihat kau menyukainya."
Aku menghentikan laju kursi rodaku lamat-lamat.
"Mengesankan." aku mendesis pendek. Ku dengar langkah kaki berderap menuju ke arahku dari belakang.
Dorongan besar begitu terasa disana. Seolah ini adalah adegan slow motion drama TV.
"Mau kemana kita? Ini bukan arah menuju kamarku."
"Ada yang ingin ku bicarakan. Sebentar saja, jika kamu tak keberatan."
Bayangan tubuhnya memutar, setelah kursi rodaku berhenti berjalan.
Sosok tinggi itu begitu tepat berada di depanku. Memaksa kepala ini mendongak menatap matanya.
Sekujur tubuhku menghangat.
"Apa yang ingin kamu sampaikan?"
"Kami akan bercerai."
Aku meringis, "Apa?"
Ia tersenyum teduh.
Dapat ku lihat genangan air yang siap melompat keluar dari matanya.
"Aku tak tau lagi apa yang harus ku perbuat agar kamu mau menerimaku. 7 tahun aku melewatkan kesempatan dan peluang untuk merebut paling tidak simpatimu. Ku pikir, sudah saatnya berhenti. Aku tau kamu tersiksa, nak. Maafkan aku terlalu egois, maafkan ibumu yang telah memilihku menjadi pendampingnya yang baru. Sekarang, kamu berhak bahagia. Dan ku sadari, inilah saatnya. Bersabarlah sebentar lagi, waktunya akan segera tiba."
Pria itu berjongkok.
Mensejajarkan posisi kami, sehingga kini aku dapat melihat cairan-cairan ketulusan itu mengalir pelan di wajahnya.
Kedua tangannya terulur memegang bahuku. "Senang dapat menjadi ayahmu walau hanya sekilas waktu."
Ia bangkit, dengan terlebih dahulu mengusap lembut puncak kepalaku. Derap langkahnya samar-samar.
"Jangan pergi... Ayah." aku tercekat. "Aku akan coba menerimamu sekali lagi."
Pria itu menghentikan langkah, dan di menit selanjutnya, ku rasakan sebuah pelukan hangat di punggungku, di sertai isak kecil pilu.
"Aku dan ibu membutuhkanmu."
~
*FIN*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar