Disa
menengadahkan tangan. Menunduk dalam-dalam diatas sajadah, terdiam.
Pipinya basah oleh air mata. Dia belum mengucapkan apapun, belum
mengadukan apapun pada Tuhan-nya. Hanya saja, entah mengapa air mata
selalu meluncur tatkala hendak memulai doa. Batin Disa berkecamuk.
Dadanya sesak. Sedikit terisak, bibir mungil itu akhirnya mengucap
suara. Ringan, pelan, perlahan. Ia tau
Tuhan mendengar setiap denting bahkan yang terkecil sekalipun. Ia yakin,
Tuhan melindungi tubuh kecilnya dibalik sayap-sayap damai, tanpa kata
terkadang.
"Terimakasih untuk segala nikmat-Mu hari ini, Ya Rabb. Terimakasih atas apapun yang Kau beri, yang ku sadari maupun tidak. Yang ku ketahui maupun tersembunyi. Tenangkan aku, selalu. Terangi jalanku, sentuh aku dengan jemari-Mu. Kau tau apa yang ku mau dan yang terbaik bagiku. Termasuk, tentang dia. Mungkin Kau bosan mendengar aku menyebut namanya. Tapi, dialah mauku, bisa? Jaga ia, Ya Rabb. Limpahi berkah di hidupnya. Dia pria baik, dan aku tau Kau pasti lebih tau. Bimbing ia, haramkan bagi bencana untuk mampir di hidupnya. Jadikan aku pantas untuk berada disisinya, dan pantaskan ia untuk tetap ku harapkan...."
***
Amran baru saja selesai mengajar ngaji anak-anak di Mushola kampungnya. Belasan tubuh mungil itu, kini mengantri hendak menyalaminya hormat.
Amran tersenyum. Wajahnya cerah seperti biasa. Barulah, setelah Mushola sepi, ia mengeluarkan Al-Quran dari dalam tas hitamnya. Harta terbaik yang ia punya.
Kitab itu dibukanya pelan-pelan, seakan takut merusak.
"Siapa wanita itu, nak?"
Amran menoleh terkejut, sekejap kemudian buru-buru bangkit menyalami si empunya suara.
"Bapak mengejutkan saya." ternyata bapaknya. Amran tersipu malu, mempersilahkan sang bapak duduk lebih dulu.
"Bapak juga pernah muda." pria tua itu tersenyum bersahaja. Matanya menatap Amran teduh. "Jangan sungkan untuk bercerita pada bapak."
Amran mengangguk tiga kali, membiarkan bapaknya menyelesaikan batuk-batuk kecil di penghujung kata.
"Jadi, siapa wanita itu, Ran? Bapak perhatikan, kamu tidak pernah dekat dengan yang namanya wanita, selain ibu dan Listi."
"Namanya Disa, pak. Maharani Adisa." pelan Amran, kemudian tersenyum menatap bapaknya, segan.
"Nama yang cantik." gumam pria tua itu, lalu mengernyitkan dahi. "Kamu menyukainya?" sedikit terkejut, Amran merendah.
"Entahlah, pak. Saya bingung."
"Walah.. Jadi pria itu musti tegas toh, Ran. Suka ya bilang suka, tidak ya tidak. Bapak justru curiga, kalau tidak suka kenapa kamu menyimpan foto Disa disana?" bapaknya menunjuk Al-Quran yang terletak di atas meja, membuat Amran sekali lagi salah tingkah.
"Iya pak, saya menyukai Disa." menghela nafas sebentar, Amran melanjutkan, "Tapi tidak tau, Disa-nya suka saya atau tidak."
Bapak mengangguk-angguk paham. Kemudian menepuk bahu putra sulungnya itu memberi semangat.
"Allah tidak tidur, Ran. Kalau berjodoh, sudah pasti ada saja jalan untuk disatukan. Yang jelas, kamu musti sungguh-sungguh, berusaha, berdoa. Kalau sudah benar-benar yakin, bilang sama bapak. Biar kita kesana, temui orang tuanya, minta izin melamar anak mereka."
Amran tersenyum. Sedikit berkaca-kaca kedua matanya.
"Terimakasih, pak."
"Sama-sama. Sudah, jangan galau lagi. Anak bapak yang kuat kok ya bisa cengeng gara-gara wanita." bapaknya tertawa kecil, dan Amran segera menghapus setitik air mata pertama yang jatuh dari kedua matanya.
***
Palembang, 23 Februari 2015.
"Jika jatuh cinta, berdoalah. Semoga Allah merestui maumu, dan memudahkan jalanmu untuk bersamanya."
"Terimakasih untuk segala nikmat-Mu hari ini, Ya Rabb. Terimakasih atas apapun yang Kau beri, yang ku sadari maupun tidak. Yang ku ketahui maupun tersembunyi. Tenangkan aku, selalu. Terangi jalanku, sentuh aku dengan jemari-Mu. Kau tau apa yang ku mau dan yang terbaik bagiku. Termasuk, tentang dia. Mungkin Kau bosan mendengar aku menyebut namanya. Tapi, dialah mauku, bisa? Jaga ia, Ya Rabb. Limpahi berkah di hidupnya. Dia pria baik, dan aku tau Kau pasti lebih tau. Bimbing ia, haramkan bagi bencana untuk mampir di hidupnya. Jadikan aku pantas untuk berada disisinya, dan pantaskan ia untuk tetap ku harapkan...."
***
Amran baru saja selesai mengajar ngaji anak-anak di Mushola kampungnya. Belasan tubuh mungil itu, kini mengantri hendak menyalaminya hormat.
Amran tersenyum. Wajahnya cerah seperti biasa. Barulah, setelah Mushola sepi, ia mengeluarkan Al-Quran dari dalam tas hitamnya. Harta terbaik yang ia punya.
Kitab itu dibukanya pelan-pelan, seakan takut merusak.
"Siapa wanita itu, nak?"
Amran menoleh terkejut, sekejap kemudian buru-buru bangkit menyalami si empunya suara.
"Bapak mengejutkan saya." ternyata bapaknya. Amran tersipu malu, mempersilahkan sang bapak duduk lebih dulu.
"Bapak juga pernah muda." pria tua itu tersenyum bersahaja. Matanya menatap Amran teduh. "Jangan sungkan untuk bercerita pada bapak."
Amran mengangguk tiga kali, membiarkan bapaknya menyelesaikan batuk-batuk kecil di penghujung kata.
"Jadi, siapa wanita itu, Ran? Bapak perhatikan, kamu tidak pernah dekat dengan yang namanya wanita, selain ibu dan Listi."
"Namanya Disa, pak. Maharani Adisa." pelan Amran, kemudian tersenyum menatap bapaknya, segan.
"Nama yang cantik." gumam pria tua itu, lalu mengernyitkan dahi. "Kamu menyukainya?" sedikit terkejut, Amran merendah.
"Entahlah, pak. Saya bingung."
"Walah.. Jadi pria itu musti tegas toh, Ran. Suka ya bilang suka, tidak ya tidak. Bapak justru curiga, kalau tidak suka kenapa kamu menyimpan foto Disa disana?" bapaknya menunjuk Al-Quran yang terletak di atas meja, membuat Amran sekali lagi salah tingkah.
"Iya pak, saya menyukai Disa." menghela nafas sebentar, Amran melanjutkan, "Tapi tidak tau, Disa-nya suka saya atau tidak."
Bapak mengangguk-angguk paham. Kemudian menepuk bahu putra sulungnya itu memberi semangat.
"Allah tidak tidur, Ran. Kalau berjodoh, sudah pasti ada saja jalan untuk disatukan. Yang jelas, kamu musti sungguh-sungguh, berusaha, berdoa. Kalau sudah benar-benar yakin, bilang sama bapak. Biar kita kesana, temui orang tuanya, minta izin melamar anak mereka."
Amran tersenyum. Sedikit berkaca-kaca kedua matanya.
"Terimakasih, pak."
"Sama-sama. Sudah, jangan galau lagi. Anak bapak yang kuat kok ya bisa cengeng gara-gara wanita." bapaknya tertawa kecil, dan Amran segera menghapus setitik air mata pertama yang jatuh dari kedua matanya.
***
Palembang, 23 Februari 2015.
"Jika jatuh cinta, berdoalah. Semoga Allah merestui maumu, dan memudahkan jalanmu untuk bersamanya."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar