Hujan kembali mampir sore ini.
Membuat aroma tanah yang khas menguar dengan bebasnya di udara.
Trotoar berderap. Belasan kaki menghentak teratur untuk segera menyelamatkan diri.
Mataku tak lepas memandang sekitar.
Sesekali harus mengalah pada percikan air yang melompat dari tanah, tak tertampung sempurna.
Mengabaikan teriakan orang-orang di kanan-kiri agar berteduh ke tempat yang lebih baik.
Aku harus berterimakasih.
Langit mewakili hatiku untuk menumpahkan sesaknya.
Aku kelabu, dan luar biasanya, tanpa perlu berujar banyak, tekanan-tekanan resah itu perlahan terbawa arus air hujan yang mulai membasahi tepi-tepi sepatuku.
Ini hari yang sulit.
Di awali dengan usaha untuk melepaskan yang hampir tergenggam. Siapapun tau bahwa itu tidak mudah, tak akan pernah mudah.
Sama sekali ketika aku harus berpaling ke arah yang lain untuk menghindari kontak, sedikit saja. Aku terluka begitu banyak.
Entah bagaimana, ketika seseorang berkata, ada sejenis belati bambu mengiris hatimu perlahan-lahan. Itu benar.
Aku sesakit itu, dan tak ada yang tau.
Aku rapuh, tetapi tak ada yang menyadari dan membantu.
Mengingat yang tak pernah peduli, adalah bentuk dari simpati.
Tapi bukan itu maksudku.
Aku mencintai, yang tak pernah bisa tersentuh.
Mencintai yang tak pernah mampu tergapai, mencintai yang tak pernah ada di kala ku butuh.
Sehingga aku menyebutnya, masalah.
Lagi, ketika aku di hadapkan pada pilihan terakhir, bertahan atau pergi, yang ku mampu hanya menggeleng tanpa bisa melontarkan kata.
Jauh sebelum ini, aku benar-benar ingin menjadi satu-satunya.
Yang ia lihat tanpa perlu membandingkan berdasar pada apa dan bagaimana.
Tetapi tentu salah, ketika ku tau ia justru melihat pada yang lain di saat yang sama.
Lagi dan lagi, untuk waktu yang sudah tak bisa ku hitung banyaknya, aku terluka.
Hujan semakin deras, dan aku menarik nafas berat.
Izinkan aku mundur secara terhormat.
Membuat aroma tanah yang khas menguar dengan bebasnya di udara.
Trotoar berderap. Belasan kaki menghentak teratur untuk segera menyelamatkan diri.
Mataku tak lepas memandang sekitar.
Sesekali harus mengalah pada percikan air yang melompat dari tanah, tak tertampung sempurna.
Mengabaikan teriakan orang-orang di kanan-kiri agar berteduh ke tempat yang lebih baik.
Aku harus berterimakasih.
Langit mewakili hatiku untuk menumpahkan sesaknya.
Aku kelabu, dan luar biasanya, tanpa perlu berujar banyak, tekanan-tekanan resah itu perlahan terbawa arus air hujan yang mulai membasahi tepi-tepi sepatuku.
Ini hari yang sulit.
Di awali dengan usaha untuk melepaskan yang hampir tergenggam. Siapapun tau bahwa itu tidak mudah, tak akan pernah mudah.
Sama sekali ketika aku harus berpaling ke arah yang lain untuk menghindari kontak, sedikit saja. Aku terluka begitu banyak.
Entah bagaimana, ketika seseorang berkata, ada sejenis belati bambu mengiris hatimu perlahan-lahan. Itu benar.
Aku sesakit itu, dan tak ada yang tau.
Aku rapuh, tetapi tak ada yang menyadari dan membantu.
Mengingat yang tak pernah peduli, adalah bentuk dari simpati.
Tapi bukan itu maksudku.
Aku mencintai, yang tak pernah bisa tersentuh.
Mencintai yang tak pernah mampu tergapai, mencintai yang tak pernah ada di kala ku butuh.
Sehingga aku menyebutnya, masalah.
Lagi, ketika aku di hadapkan pada pilihan terakhir, bertahan atau pergi, yang ku mampu hanya menggeleng tanpa bisa melontarkan kata.
Jauh sebelum ini, aku benar-benar ingin menjadi satu-satunya.
Yang ia lihat tanpa perlu membandingkan berdasar pada apa dan bagaimana.
Tetapi tentu salah, ketika ku tau ia justru melihat pada yang lain di saat yang sama.
Lagi dan lagi, untuk waktu yang sudah tak bisa ku hitung banyaknya, aku terluka.
Hujan semakin deras, dan aku menarik nafas berat.
Izinkan aku mundur secara terhormat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar