Blogger Perempuan

Blogger Perempuan
Kunjungi laman Blogger Perempuan dan baca tulisan saya melalui link berikut

Rabu, 19 Agustus 2015

Setitik Tinta



SETITIK TINTA
SITI SONIA ASEKA

            Aline berjalan santai. Didepan dadanya ia dekap sebuah kardus berisi kertas-kertas naskah yang harus segera ia edit dan sempurnakan. Akhir-akhir ini, pekerjaannya bertambah satu; bolak-balik lantai satu dan tiga demi seorang atasan baru yang kelewat pintar. Kelewat pintar? Ya. Saking pintarnya, bahkan hal sepele yang dapat dilakukan oleh pegawai magang pun harus ia tanyakan. Gadis itu geleng-geleng kepala mengingatnya. Satu tangannya meraih tombol lift, menunggunya terbuka, kemudian bersenandung ringan.

“Hai!”

            Aline menoleh sebentar, lalu tersenyum lebar. Disampingnya telah berdiri Reza, teman sejak kuliah yang sekarang menjadi partner kerja paling ramai seantera kantornya

“Terlambat lagi?” tebak gadis itu tepat, sementara yang ditanya hanya nyengir kuda.

“Semalam ada pertandingan bola sih, dini hari.” Reza meraih kardus ditangan Aline ketika pintu lift terbuka dan mereka berdua masuk ke dalamnya.

“Masih kebiasaan anak kost banget kamu.” Cibirnya membuat pria itu terkikik kecil. “Maklum ya, sewaktu kost kan nonton suka nggak fokus. Keinget paper terus, jadinya ya gitu, hambar.”

“Sekarang balas dendam ceritanya?” retorika, tak perlu jawaban. Reza mengangguk kecil.

            Mereka sampai. Aline buru-buru melangkah menuju ruang atasannya. Reza mengekor sembari membalas sapaan yang ditujukan padanya sesekali..

“Pak bos belum datang, Al.” Sarah, sekretaris yang bertugas mengatur jadwal kerja si bos mengangkat bahu. “Jam berapa bisa ku temui?” Aline bertanya tak sabar. Wajahnya ia tekuk seribu, manyun.

“Mm… dua jam lagi.” Aline mendengus, tersenyum masam, kemudian mengucap terima kasih pada Sarah. Satu lagi point kekesalannya yang bertambah kepada sang atasan baru.

“Ke ruanganku dulu, yuk!” Reza menawarkan, sembari berjalan tanpa menunggu persetujuan Aline. Gadis itu menurut saja, terlanjur kehilangan mood.

“Aku sebel deh, Za. Pak bos suka gitu, gak jelas. Padahal dia yang menyuruhku menemuinya pagi ini.” yang diajak bicara tertawa geli.

“Pak, tolong bawakan dua cangkir teh ke ruangan saya, ya?” Aline menolak buru-buru, “Kopi.” Ketusnya singkat. Reza nyengir, “Satu cangkir teh dan secangkir kopi.”

Pak Anung yang diminta mengangguk patuh, segera berlalu menuju dapur.

            Aline terduduk lesu. Jemarinya mengotak-atik rubik yang secara tak sengaja ia temukan menganggur diatas meja Reza. Manyunnya bertambah sesenti.

“Gak usah manyun gitu juga kali, Al.” tegur Reza yang kini sibuk membuka laptopnya, memeriksa email. Gadis itu meletakkan kepalanya diatas meja, lalu memejamkan mata.

“Oh, iya. Kamu ingat Vania?”

Aline tampak berpikir, kemudian mengangkat kepalanya, menggeleng lucu. Reza berdecak kesal.

“Itu loh, anak BEM fakultas kita. Yang dulu dikejar-kejar Rio sampai takut masuk kuliah.” Aline seketika tertawa. Ia ingat sekarang.

“Kenapa dia?”

“Mau nikah minggu depan.” Singkat, tak perlu penjelasan tambahan. Reza nyengir. “Anak angkatan kita udah naik pelaminan semua. Tinggal kita nih.”

            Tawa Aline berderai. Sebenarnya, progress menikah itu masih satu tahun lagi untuknya. Tapi, ya. Ia sedikit terganggu dengan pertanyaan-pertanyaan yang kerap datang dari keluarga besarnya. Kapan nikah?

“Kalau sudah waktunya, pasti datang kok. Banyakin doa sajalah.” Gadis itu membetulkan jilbab ungunya, ketika pintu diketuk dari luar.

“Masuk.”

Pak Anung datang dengan nampan cokelatnya. Meletakkan dua buah cangkir diatas meja. Aline meletakkan kepalanya lagi, melamun.

“Terima kasih, pak.”

“Nanti sama aku aja, ya?” Reza berujar ketika pak Anung telah keluar. Aline mengerutkan dahi. “Sama kamu apanya?”

“Nikahnya!” Reza tertawa lebar. Yang digoda melemparkan gumpalan kertas dan nyaris mengenai kepala pria itu. “Gak lucu tauk!”

“Maksudku ke nikahannya Vania. Gak usah merah juga kali mukanya.”

“Reza!”

“Tapi, kalo beneran mau nikah sama aku juga hayuk.”

Aline mencibir, bibirnya manyun lagi. “Nggak ah, kamu nggak berpotensi membuatku suka.”

“Memangnya harus ya, nikah sama orang yang kamu suka? Pepatah mengatakan, ‘Mencintai tidak harus memiliki, dan memiliki belum tentu mencintai.’ Benar?”

Aline mengangguk-angguk lucu. “Menikah dengan yang kamu cintai adalah jawaban atas doa yang disegerakan. Tetapi, mencintai orang yang kamu nikahi adalah keharusan, proses memperoleh jawaban. Kurang lebih begitu.”

Reza tersenyum, nampak tertarik, “Bisa jelaskan dibagian, ‘Mencintai orang yang kamu nikahi adalah keharusan.’ Al?”

Aline menarik nafas dalam, bersiap mengoceh panjang lebar. “Tidak semua orang diberikan kesempatan untuk menikah dengan orang yang ia cintai dan juga mencintainya. Karena, bisa jadi orang yang kamu cinta tidak dapat menggenapkan hidupmu dan kamu tidak dapat menggenapkan hidupnya. Jadi, ketika menikah dengan yang belum kamu cintai adalah takdir, maka adalah keharusan untuk mencintainya. Dialah kiriman terbaik dari Tuhan.”

            Reza menyeruput tehnya. Satu pelajaran ia dapatkan lagi hari ini. Sosok di hadapannya tersenyum seolah menang. “Aku terdengar bijak banget, ya?” pria itu tergelak tanpa dapat ditahan. Membuat tehnya muncrat ke atas meja.

“Pelan-pelan dong minumnya. Sekagum itukah kamu?” Aline menyodorkan tissue dari saku rok panjangnya. Mencibir Reza yang tengah sibuk membersihkan meja dan sudut bibirnya,

“Bijak, tapi nggak nikah-nikah!” balas Reza, mengakibatkan kepalanya menjadi sasaran lemparan Aline untuk kedua kalinya.

“Kenapa sih semua orang heboh tentang pernikahan? Orangtuaku, adik-adikku, keluarga besar dan kamu juga ikut-ikutan!”

“Hahaha… itu artinya kamu harus segera bawa calon.”

“Wanita yang baik tidak membawa, tapi didatangi. Kalau ada yang benar-benar serius, kenapa aku yang harus mengajaknya ke rumah? Harusnya dia dong yang punya inisiatif.”

Reza mengangguk-angguk lagi. Gadis dihadapannya ini banyak benarnya, walau suka bertingkah bak anak kecil dan menyebalkan ketika sedang unmood seperti tadi.

“Kalau aku yang ke rumah, gimana?” Aline mendelik, manyun lagi. “Mau ngapain?” ketus Aline, galak. “Mau… mau apa ya?” Reza pura-pura berpikir, menggoda Aline untuk ke sekian kali hari ini.

“Udah ah, Za. Bercanda kamu nggak lucu. Garing!”

“Siapa yang bercanda sih, Al?”

Gadis itu mengibas-ngibaskan tangan kanannya di udara, meremehkan. Ia melirik arloji di pergelangan kirinya.

“Sebentar lagi pak bos datang nih. Aku tunggu di ruangannya aja.” Aline berdiri, meraih kardusnya dan berjalan segera ke arah pintu. Reza mengekor, membukakan pintu untuk Aline.

“Mm… Al, nanti pulang bareng ya!”

Gadis itu membentuk lingkaran dengan jempol dan telunjuk kanannya, sembari tetap berjalan. Reza tersenyum, memandangi punggung itu hingga menghilang dibalik pintu ruangan sang atasan.

***

            “Suruh Reza sama Aline saja. Gak mungkin juga sebanyak ini mau survey kesana. Bisa-bisa kita diusir!” usulan ketua forum mengakhiri debat panjang sejak satu jam lalu. “Lagipula, ini cuma survey kok. Belum wawancara dan sebar angket.”

“Nah, gitu dong. Dari tadi kek!” suara cempereng dari pojok ruangan mendapat sorakan keras seisi forum.

“Gimana, Za? Bisakan? Kamu juga, Al? Bisa?”

            Yang ditanya mengangguk. Lalu mulai membereskan perlengkapan mereka dari atas meja. Resiko jabatan, tidak mungkin menolak. Satu per satu anggota keluar setelah rapat hari itu resmi di tutup. Sekre LPM kembali sepi.

“Al, udah belom? Lamaaaaa!” protes Reza dari arah pintu keluar. Aline menghentak-hentakkan kakinya, pura-pura kesal. “Sabar dong!”

“Jangan lupa bawa baterai cadangan, loh. Aku gak mau pakai kamera ponsel lagi. Kesannya nggak professional.” Reza mengingatkan, melirik Aline yang berjalan beberapa langkah dibelakangnya.

“Beres!”

“Jangan lupa pena. Kamu sering banget neglupain yang satu itu.”

“Iya, siap. Eh, setelah itu kita makan, ya? Lapar nih.” Aline meringis, memegangi perutnya, memasang tampang komik.

“Oke.”

“Rezaaa… hai sayaaaaang!”

Langkah Aline dan Reza terhenti. Sosok gadis manis dengan wajah Melayu bener, muncul di hadapan mereka. Aline terkikik kecil, mengabaikan tampang Reza yang tampak tak suka, risih lebih tepatnya.

“Hai.” singkat, terkesan acuh.

“Mau kemana? Aku kangen tauk!”

“Mau jalan. Eh, minggir dong. Buru-buru nih.”

“Jalan kemana? Sama siapa?”

Reza berdecak. “Kemana aja.” pria itu melirik Aline.

“Sama Aline?” mata gadis itu menyipit, ikut melirik ke belakang.

“Hai Lusi.” yang dilirik menyapa, lalu nyengir tak enak hati.

“Hai. Mm… oke deh. Jagain Rezaku ya, Al.” Aline tersenyum simpul, menyembunyikan tawanya yang mungkin bakal muncrat sebentar lagi. “Kecil!”

“Jagain aja, jangan diambil!”

Reza dan Aline berpandangan. “Apa sih. Yok, Al. duluan Lus!”

            Aline mengekor Reza dengan tawa yang tidak bisa ditahan lagi. “Pacaran, ya? Kok nggak bilang-bilang? Ku laporin ketua baru tau rasa!”

“Kenapa? Cemburu?” Reza mengerling usil. Aline mendengus, memukul bahu pria di depannya dengan gulungan kertas ditangannya.

“Kamu bukan tipeku, tauk!”

Reza tergelak, mengeluarkan motornya dan segera menyuruh Aline naik. Parkiran sepi penghuni.

***

            Reza bersandar di bagian depan mobilnya. Memainkan ponsel dan membalas beberapa pesan. Kemeja biru mudanya ia gulung sebatas siku. Senja telah sejak tadi menggantung.

“Holaaaaa… maaf lama.” Aline mengejutkan Reza sembari melambai-lambaikan tangan. Sok artis.

“Berkarat nungguin kamu.” Gadis itu ngakak, kemudian langsung masuk tanpa menunggu Reza yang masih di posisi semula.

“Mau langsung pulang atau jalan dulu nih?” Reza mendudukkan diri di kursi kemudi, menatap Aline yang menggembungkan pipinya, berpikir.

“Makaaaaaaaaaan!” sorakan memekakkan telinga. Reza geleng-geleng kepala. “Udah ketebak.”

“Ada yang titip salam buat kamu, loh.” Aline terkikik, sementara yang ditertawai tersenyum kecil, tak ingin tau.

“Nggak mau tau siapa orangnya?” merasa gagal, gadis itu memancing lagi.

“Nggak penting.”

“Aaaaa… pura-pura mau tau aja dong, Za! Mati gaya nih aku.”

“Hahaha… iya deh. Siapa?”

“Itu loh, si Anna bagian administrasi.”

“Oh….”

“Oh doang?”

“Ya terus mau gimana?”

“Tanya kek berapa umurnya, gimana orangnya.”

“Nggak ah, nggak tertarik.”

            Aline mendengus sebal. Tangannya ia lipat di dada. “Reza nggak asik!”

Pria itu menghentikan mobilnya ketika lampu lalu lintas berubah merah. “Seperti katamu, kalau benar-benar serius, ia akan berinisiatif melamar. Dan aku merasa, nggak ada yang harus diseriusin dengan Anna.”

“Terserah deh.” Aline mengibaskan tangan kanannya di udara.

“Kamu nggak mau ngasih salam ke aku nih?” Reza mulai lagi. Aline kembali manyun.

“Assalamuallaikum!”

“Waalaikumsalam, ukhti.” Balas Reza sok manis.

“Hih… sejak kapan suka pake sapaan itu? Yang ikut komunitas odoj beda ya….” Aline menyindir, sementara Reza kembali menjalankan mobilnya.

“Ke resepsinya Vania pakai baju samaan yuk. Biar gempar!” mengganti topik, Reza menatap Aline sekilas.

“Boleh, boleh. Biru bagus lho, atau hijau aja?”

“Biru deh.”

“Tapi, ntar dikira kita udah nikah, gimana?”

“Biarin. Malah bagus, kan?”

“Bagus apanya? Buruk itu mah!”

            Reza memilih tak menanggapi, kemudian buru-buru memarkirkan mobilnya di sebuah foodcourt.

“Abis makan bisa langsung naik.”

“Ngapain?” selidik Aline curiga.

“Lho, katanya mau pakai baju couple?”

Gadis itu mengangguk-angguk, lalu nyengir kuda.

***

            “Kamu makan banyak, tapi nggak gemuk-gemuk. Bisa gitu, ya?” sindir Reza, setelah dia dan Aline menyelesaikan survey. Hujan turun deras, membuat mereka cepat-cepat melindungi diri dari tetes air hujan.

“Biarin. Banyak yang berusaha keras untuk kurus, aku sih bersyukur.”

Reza tersenyum, lalu terkikik. Benar juga, pikirnya.

“Kamu nggak makan?”

“Kenyang ngeliatin kamu.”

Aline ngakak, kemudian menyeruput es jeruknya.

“Liat deh, di luar hujan dan kamu masih minum yang dingin-dingin gitu? Gak tau cuaca banget sih, Al!” protes Reza, lalu meringis.

“Aku suka dingin, gimana dong?” yang diprotes membela diri.

Reza menghela nafas kasar. Begitulah Aline, batinnya. Gadis yang ia kenal sejak dua tahun lalu. Mereka berada di antrian yang sama ketika hendak mendaftar organisasi kampus. Si ceria yang di kali pertama dapat membangun banyak suasana. Aline masih tetap begitu bahkan hingga kini. Tidak berusaha menjaga image seperti kebanyakan gadis-gadis berjilbab di kampus. Dia terlalu apa adanya. Mungkin itulah yang membuat mereka bisa dekat. Dan ditahun ini, kebetulan membuat ia dan gadis itu berada pada devisi yang sama, dengan kedudukan yang berdekatan.

            “Hei, melamun!” Aline menghancurkan lamunan Reza seketika.

***

            “Gimana dengan yang ini, Al?” Reza mengangkat sebuah long dress di hadapan Aline. gadis itu menggeleng. “Aku nggak suka yang terlalu ramai, Za.”

Reza mengangguk-angguk kecil, bingung.

“Selamat sore, ada yang bisa kami bantu?”

Aline menoleh, kemudian tersenyum ramah. “Mm… kami….”

“Mencari couple dress nih, mbak.” Potong Reza, ringan. Kedua tangannya ia masukkan ke saku celana. Aline melotot.

Si mbak tersenyum simpul, mengerti.

“Warna biru.” sambung Reza.

“Mari, ikut saya.”

            Reza mengekor Aline. sesekali usil menarik pelan jilbab gadis itu, dan membuat yang diganggu mendelik kesal.

“Mas dan mbak ini, baru menikah ya?”

“Iya mbak, baru dua bulan.”

Aline tersedak ludahnya sendiri. Menikah? Dua bulan?

“Oh, pantas saja. Saya lihat sedari tadi mesra sekali. Selamat atas pernikahannya.”

Aline melotot ke belakang, sementara Reza menahan tawanya kuat-kuat. Takut muncrat. “Terima kasih.” Sahut Reza, tanpa mempedulikan Aline yang bersiap melempar sepatunya ke kepala pria itu.

***

            Aline manyun. Mendahului Reza masuk ke dalam mobil. Wajahnya tertekuk. Kedua tangannya ia lipat di dada.

“Maaf deh. Gitu doang kok marah?” Reza masih cekikikan. Membuat dongkol di hati Aline berlipat-lipat.

“Aku nggak suka menjadikan pernikahan sebagai bahan candaan, Za.” Gadis itu berujar dingin. Membungkam tawa Reza. Perjalanan berlangsung dalam diam. Pria itu menarik nafas, lalu melempar pandangan keluar kaca mobil. Diluar gerimis. Mungkin sebentar lagi hujan.

            Mereka berdua masih betah dalam diam. Tak ada yang berinisiatif memulai pembicaraan. Sibuk bergelut dengan pikiran masing-masing, tak saling ganggu.

“Aku juga tidak suka bercanda tentang pernikahan, sebenarnya.” suara Reza terdengar datar, membuat Aline menahan nafasnya, lalu buru-buru memalingkan wajah ke arah jendela disampingnya.

“Tapi, kamu terlalu jauh. Membumbung tinggi setiap harinya. Hanya ini cara untuk menarikmu mendekat.”

Hening lagi. Aline merasakan pipinya basah. Sama basahnya dengan kaca jendela mobil tempat ia berada saat ini. Reza tak berniat melanjutkan apapun. Memilih diam. Belum saatnya ia bicara banyak. Hingga mobil berhenti di depan rumah Aline dan gadis itu melepas sit belt nya, menghela nafas yang tertahan beberapa kali sepanjang jalan. Air matanya sudah tak terlihat lagi. Reza meraih payung di kursi belakang, mengulurkan pada gadis disampingnya.
            Sebelum benar-benar keluar, Aline menoleh. Kemudian kembali memalingkan wajah. Ragu mengatakan sesuatu yang ada diujung lidahnya.

“Kamu tau apa yang harus kamu lakukan.” gumam gadis itu, sebelum kemudian membuka payung dan berjalan kearah pagar. Reza terdiam, menatap punggung Aline yang tiba-tiba begitu rapuh dimatanya. Pria itu tersenyum, lalu kembali melajukan mobilnya di jalanan yang basah ketika tubuh Aline telah sempurna tertelan pintu rumah.

***

            Sekre masih sepi. Hanya ada Reza yang tengah memeriksa kembali hasil dokumentasi survey perkebunan teh yang ia dan Aline lakukan kemarin.

Aline!

Pria itu teringat, kemana gadis itu? Tak biasanya ia terlambat bahkan hingga setengah jam lebih begini. Reza mengeluarkan ponsel dari saku celananya, mencari satu nama dan meletakkan benda tersebut di daun telinga.

“Assalamuallaikum. Al?”

            Dahi Reza berkerut. Khawatir terpancar dari wajah komiknya. Ada yang tidak beres.

“Aline?” ulang Reza kemudian. Terdengar sahutan dari seberang. pria itu menghela nafas, lega.

“Kemana aja? Aku nungguin lho, dari tadi.” Reza sengaja menekankan kata ‘dari tadi’, menyindir.

“Sakit?” kali ini Reza tak dapat menyembunyikan kepanikannya lagi. Matanya bersitatap dengan Malik, sang ketua yang baru tiba.

“Aku kesana ya?”
….
“Ada kak Malik.” Yang namanya disebut, menoleh bingung. Matanya seolah bertanya, ‘Ada apa?’
….
“Udah deh, jangan banyak protes. Aku kesana sekarang!”

Reza buru-buru memutus telepon, menatap penuh harap pada Malik. Yang ditatap, mengerutkan dahi, curiga.

“Kak, pimpin rapat, ya?”

“Lha, kok aku? Yang survey kan kamu dan Aline.”

“Aline sakit. Aku mau ke kostnya sekarang.”

Malik geleng-geleng kepala. “Ninggalin rapat, demi seorang Talina Assyifa nih, ceritanya?”

Reza nyengir kuda. “Apaan sih. Aku duluan ya! Makasih kak, I love you full!”

Beberapa anggota yang kebetulan telah datang menatap Reza, geli. Sementara Malik menepuk jidatnya kuat-kuat. Resiko punya adik tingkat yang kadar kewarasannya tidak stabil seperti Reza memang butuh kesabaran ekstra.

***

“Aku sudah di depan nih!” Reza bersuara pada ponselnya, kemudian menunggu seseorang keluar dan membukakan pintu. Pria itu menenteng dua buah plastik putih berbeda ukuran yang berisi obat flu dan demam, serta buah-buahan.
            Aline keluar. Wajahnya pucat, seperti yang telah Reza duga. “Masuk, Za.” Aline sekali lagi menutupi hidungnya dengan selembar tissue.

“Pusing?” Reza bertanya bodoh, dan Aline seperti biasa. mendengus lalu mengangguk.

Bapak kost yang sedang menyirami tanaman menyapa Reza sejenak, ramah seperti biasa. Mereka sudah saling kenal karena Reza sering main kesini, mengantarkan tugas-tugas lembaga Aline ketika gadis itu tidak sempat mengikuti rapat.
Aline menyandarkan kepalanya di puncak punggung kursi, mendongak. Menahan cairan hidungnya agar tak keluar. Mata gadis itu terpejam.

“Nih, aku bawain obat dan buah-buahan.” Reza meletakkan bawaannya diatas meja teras. sementara Aline mengangguk kecil.

“Sudah sarapan? Tidur cukup?”

            Aline mengangguk dua kali menjawab pertanyaan beruntun dari Reza.

“Ya ulangi aja. Pas hujan minum yang dingin-dingin.” Pria itu menyindir, yang dibalas dengan senyum lemah di wajah Aline.

“Ntar diulangi lagi kok.” ujar gadis itu, membuat Reza mendelik sebal.

“Awas aja. kalo sakit lagi, ntar ku foto terus masukin mading, biar satu fakultas tau. Talina Assyifa sakit karena minum yang dingin-dingin pas hujan!” pria itu menggebu-gebu, membuat Aline tergelak. “Judulnya panjang amat.”

“Biarin!”

“Jarang-jarang kan aku liat mukamu yang khawatir banget kayak gitu. Harusnya dari dulu aja aku sakit.” canda Aline. Reza manyun.

***

            Hari minggu yang cerah. Aline berlari-lari kecil mengitari kompleks perumahan. Pagi masih sepi, sehingga ia dengan leluasa menghirup udara segar. Dua putaran, dan gadis itu memutuskan untuk berjalan santai saja di putaran ketiga untuk kembali ke rumahnya. Tanda-tanda adanya aktivitas belum begitu kentara, hanya beberapa kali ia berpapasan dengan asistent rumah tangga tetangganya yang hendak pergi ke pasar. Membalas sapaan mereka dan melanjutkan kegiatannya.
            Sebuah mobil yang ia kenali terparkir di depan pagar rumahnya. Jantung Aline berdetak cepat. keringat di pelipisnya bertambah banyak, gugup. Ingin rasanya ia memutar tubuhnya dan melarikan diri seharian, hingga sang tamu pulang dan ia akan aman. Tapi, tentu itu hanya ada dalam khayalnya. Tak mungkin seorang Aline melarikan diri hanya karena seorang tamu. Seorang tamu?

“Assalamuallaikum….” Gadis itu mengatur suaranya agar tak terdengar gugup. Memasang ekspresi ceria seperti biasa.

“Waalaikumsalam.” Beberapa suara yang ia kenali. Ya, ia yakin ia mengenali semuanya. Aline melangkahkan kaki, kemudian menahan nafas selama beberapa detik demi melihat sesosok tubuh yang familiar dimatanya.

“Reza….”

***

FIN~

Urgensi Kemahiran Berbahasa Inggris di Era Modernisasi dan Globalisasi

Urgensi Kemahiran Berbahasa Inggris di Era Modernisasi dan Globalisasi Sejak abad ke-18, bahasa Inggris ditetapkan sebagai bahasa Internasio...