Blogger Perempuan

Blogger Perempuan
Kunjungi laman Blogger Perempuan dan baca tulisan saya melalui link berikut

Selasa, 26 Mei 2020

[CERPEN] The Escape

Kanvas dengan berbagai gambar, warna dan makna yang dahulu hanya dibiarkan tersusun acak di ruang sempit apartement beberapa kilometer dari ibu kota, barangkali telah menemukan rumah barunya; sebuah galeri seni di sudut kota. Tidak besar namun cukup. Cita-cita seseorang sejak empat-lima tahun lalu, mengelola karya dan mengoleksi memori agar dapat dinikmati siapa saja.


"Apa yang mendasari Anda memilih The Escape sebagai tempat memamerkan beragam lukisan dan beberapa karya seni lain, sementara Montana pada akhir tahun lalu merilis ajakan untuk berkolaborasi dengan Anda dalam launching project The Eve dua pekan mendatang?"

Pria dengan rambut hitam legam bergelombang tertutup flat cap cokelat pudar tersenyum tipis. Ia memalingkan wajah sejenak dari jurnalis tersebut, lantas memandang sebuah simpson apik, satu dari sekian gambar favoritnya.


"Montana adalah seniman hebat. Saya tersanjung atas tawaran berpartisipasi dalam The Eve. Semua orang antusias menanti karya-karyanya tanpa tepi. Saya pun demikian." Pandangannya kembali, senyumnya kian lebar dan ramah. Sorot dari sepasang netra itu sedikit lelah meski tetap bersahabat, bersinar terang.

"Tapi, saya tahu tidak pada tempatnya untuk ikut campur dalam project perdana seseorang. The Escape sudah lebih dari cukup untuk saya huni."

Atas alasan paling logis dalam kepala pria di hadapannya, sang jurnalis mengangguk mengerti. Ia mengajukan beberapa pertanyaan lagi, masih di tengah hiruk pikuk galeri seni, berpindah lambat dari satu lukisan ke lukisan lain, mendengarkan penjelasan seniman muda gemerlap prestasi tanpa bosan dan kecuali.

"Padahal, The Eve adalah batu loncatan yang kemungkinan besar membuat galeri seni Anda mampu dinikmati sampai mancanegara."

Sang seniman memandang dengan raut tak terbaca, matanya mengedip dua kali, terkejut, namun sebisa mungkin tak menampilkan ekspresi terganggu. Pertanyaan klise yang ia dapat sejak berbulan-bulan dari orang-orang terdekat. Harusnya, ia sudah terbiasa.

"Itu memang mimpi saya." Putusnya, yakin. Tak berusaha menutupi nada sarat akan cita. "Tetapi, bukan begitu cara kerjanya. Saya tidak bisa mengandalkan nama besar orang lain hanya demi mengejar ambisi saya sendiri. Semua sukses butuh waktu dan proses yang benar."

"Tetapi Montana adalah guru Anda juga. Publik menanti kalian berdua dalam satu frame yang sama sebagai rekan kerja. Terdengar tak terbantahkan."

Pria tersebut tertawa. Matanya menyipit. Ia bertepuk tangan sekali demi menghabiskan sisa ledakan geli dalam benak.

"Pasti. Suatu hari nanti. Namun, tidak sekarang."

Tidak sekarang. Jadi, kapan?

Jurnalis dengan kacamata cukup tebal itu menurunkan recorder yang sedari tadi ia genggam. Memastikan benda tersebut mati dan menyimpannya dalam tas minimalis sedikit lusuh.

"Kamu selalu mengatakan 'suatu hari nanti' sejak dulu sekali dan tidak pernah membuktikan apapun hingga kini."

"Oh, jadi sesi pura-pura kita sudah selesai?" Ada nada iseng terselip di sana. Terdengar sengaja mengundang jengkel bagi lawan bicara.

"Ayolah." Perempuan dengan peran sebagai jurnalis salah satu media terkemuka negeri ini mengerang pendek. "Kita bertemu kembali setelah bertahun-tahun dan kamu bahkan tidak berniat berterus terang?"

"Aku tidak berbohong."

"Tapi tidak pula begitu jujur. Ada apa denganmu sebenarnya?"

Yang ditanya memiringkan kepala. Tak segera menjawab dan malah sibuk mengamati sekitar. Keadaan makin ramai. Pengunjung bertambah. Ada lega di hati, juga rasa khawatir entah mengapa.

"Bagaimana aku menurutmu?" Sedikit rancu, sang seniman menatap sendu, agak ragu.

"Apa?" Memicing heran, separuh tak percaya, perempuan itu menggeleng singkat. "Kamu pelukis paling dicari belakangan. Juga teman tidak tahu diri yang hilang tanpa kabar."

Pria bertopi tertawa lagi. Kali ini lebih dapat diterima dan manusiawi. Jauh dari sekadar reaksi formalitas.

"Itu yang tengah kuperjuangkan. Sebuah pengakuan atas keberhasilanku membuktikan bahwa aku pantas."

Ada jeda waktu genap dua digit tahun kala kalimat itu berhasil menggugah kesadaran. Bahkan satu sosok mampu berubah sedemikian tak terkira setelah habis dimangsa gamang dan dilema.

"Orang sepertimu membutuhkan validasi eksternal juga? Mengejutkan."

Mengangguk, ia melanjutkan, "Kamu tahu, sejak dulu, aku selalu bertanya-tanya, mengapa aku bisa mencintai seni lebih besar dari keinginanku untuk mengikuti jejak ayah; bergabung dalam dunia bisnis dan politik."

Menyimak, perempuan tersebut tak memotong meski hanya sepatah kata.

"Aku selalu tertarik untuk menekuni bidang yang sama dengan ayah. Terlihat menyenangkan bergelut bersama sibuk dan dokumen menumpuk. Ia terlihat keren di mataku. Tapi kemudian, aku sadar, sekeras apapun berusaha untuk menyenangkan ayah dengan menunjukkan antusiasme terhadap hal yang dilakukannya, semakin aku merasa bahwa aku tidak seharusnya berada di sana. Seperti tersesat."

Ada hening beberapa detik sebelum si pria kembali berkisah, "Kukatakan pada ayah bahwa aku keberatan melanjutkan pendidikan di sekolah bisnis atau mengambil jurusan ilmu politik yang sama dengannya. Dia tidak menentang, namun juga tak semerta menerima. Seperti dugaanku, ia membiarkan kemauan anaknya dengan tetap memberi batas."

"Itu sebabnya kamu memutuskan untuk keluar dari sekolah?"

"Salah satunya, ya. Tetapi, alasan sesungguhnya yang mendasariku untuk berhenti buang-buang waktu di tempat yang tidak akan membawaku ke manapun adalah permintaan ayah sendiri. Dia ingin aku membuktikan sesuatu. Dia ingin memastikan bahwa aku aman di jalan yang kupilih. Menurutku, orangtua manapun di dunia pasti berpikiran serupa; berusaha agar anak-anaknya tumbuh dan hidup dengan layak."

"Seniman, pelukis, bukanlah sesuatu yang menjanjikan bagi ayahmu, ya?"

"Begitulah. Lucu, kan? Satu tahun setelah drop out, aku berhasil bergabung dengan salah satu organisasi seni menjanjikan dalam hal finansial. Itu bukan tujuanku, tentu. Tetapi ayah melihat hal tersebut sebagai pencapaian luar biasa. Itulah mengapa aku bertahan. Meski bagiku, karya tidak hanya bisa dinikmati ketika berhasil memperluas pundi-pundi uang. Setidaknya, aku tahu ayah bangga."

"Ya, aku ingat sejak saat itu namamu dibicarakan kembali di tahun terakhir sekolah menengah. Kamu populer melebihi kapten tim basket dan semacamnya. Padahal, sosokmu lama tak tampak."

Mereka berdua tertawa. Melepaskan sekian tuntutan di masing-masing pundak sebentar saja. Kesempatan semacam ini tidak akan datang dua kali.

"Kamu bahagia dengan pilihanmu?"

"Aku cukup lelah mendapati pertanyaan semacam itu, tetapi… ya. Tentu aku bahagia."

"Tidak menyesal?"

"Kenapa aku harus menyesal?" si pria terbahak, "Aku mungkin bukan orang paling segalanya, tetapi aku merasa cukup dengan apa yang kupunya."

"Kamu terdengar naif sekali."

"Montana juga berkata begitu." Ada nada lebih lembut saat sang pelukis menggumam, "Aku mati-matian lari dari bantuan nama besar ayah bukan karena sombong sebab yakin semua akan berjalan sesuai rencanaku. Aku hanya tidak ingin dianggap benalu. Butuh waktu bertahun-tahun untuk mendapatkan tak sedemikian besar kepercayaan publik dan menyamarkan nama belakangku dengan nama panggung baru."

"Kamu menolak Montana karena tak ingin usahamu sia-sia?"

"Tepat. Rasanya percuma bila aku melepaskan diri dari bayang-bayang ayah namun tetap merasa tak terbebani ketika menjadikan tawaran Montana sebagai satu-satunya peluang."

Mereka berdua menepi ke sudut berisi jajaran tembikar. Ragam bentuk unik tak biasa, disertai warna-warna mencolok namun tetap nyaman dipandang.

The Escape. Lelaki tersebut memberi nama demikian bukan tanpa alasan. Galeri seni yang menjadi tujuannya bertahun-tahun. Ajang pembuktian atas pelarian dirinya yang tak main-main. Tempat di mana ia membangun versi terbaik dari diri sendiri. Jauh, amat jauh dari ekspektasi orang-orang.

Dulu, semua mengatakan hidupnya sempurna. Jalan yang disiapkan kedua orangtua untuk ia pijak sampai puncak tak sediakan barang setitik cacat. Ia hanya perlu meniti lebih sabar.

Namun kini, ia tidak lagi dapati pujian-pujian serupa. Melegakan sebab akhirnya, kekaguman orang-orang justru menjelma kalimat tentang betapa berani ia memutuskan pilihan lantas terbuang. Meski ia sendiri tak pernah merasa demikian. Ayahnya bahkan datang saat grand opening ceremony kemarin. Ibunya sama; bertandang sejenak dan memberikan pujian mengenai betapa sang anak lebih dari sekadar berbakat.

Dia baik-baik saja.


Palembang, 26 Mei 2020
Siti Sonia Aseka

Sumber gambar: Twitter dan Weverse
Terinspirasi dari BTS V

He posted these picture yesterday

Kamis, 21 Mei 2020

VALID SENSE

#1st NOVEL PROJECT
VALID SENSE

For those of you who don't know, since May 19 until May 26, I opened my first novel pre-order entitled Valid Sense. If you are interested in joining the PO, please check the following link https://www.instagram.com/p/CAWx6meAe7F/?igshid=1xfjtiptgn5d and don't forget to always interpret this book with the wisest logic! I look forward to a variety of feedback from readers without exception.



Valid Sense atau akal sehat. Saya memberi judul demikian sebab beberapa letup keresahan tentang berbagai fenomena. Tentu barangkali tidak semua merasakan keresahan yang sama. Saya tidak memaksa orang-orang untuk membangun persepsi yang mana hanya sekadar hadir dari sudut pandang saya sendiri. Saat membaca buku ini, mungkin akan ada batin mengiyakan bahkan menolak mentah-mentah. Mungkin. Saya tidak tahu, dan tidak terlalu mempermasalahkan. Karena sebuah karya ada, sebuah ide hadir sebab isi kepala kesulitan menyuarakan dalam gerak bicara. Saya merasakan hal itu. Seringkali menemukan sesuatu, merasa ganjil, kemudian tertuang dalam rupa tulisan-tulisan. Saya menemukan rumah yang lain ketika berhasil jujur terhadap diri sendiri di dalam sebuah tulisan dan saya lega. Hanya lembar kertas yang akan mendengarkan tanpa menginterupsi. Hanya lembar kertas yang tidak berkata ‘mengerti’ namun tak pula memuntahkan apa yang saya ukir di atasnya dengan dalih ‘muak’. Untuk alasan tersebut, Valid Sense lahir.
Jujur, Valid Sense sama sekali bukan tulisan pertama yang saya rencanakan untuk menjadi buku demi jadi teman dalam genggaman. Valid Sense adalah work ke sekian yang saya bahkan masih belum sepenuhnya percaya ia sudah menemukan kejelasan tentang ‘ada dan tiada’. Saya bersyukur pada akhirnya mengalami fase nekat dan maju pantang mundur ketika mendalami berbagai karakter. Saya tahu pada akhirnya, saya memang akan dihadapkan pada keadaan demikian; memutuskan secara cepat tanpa memiliki pilihan berisi penyesalan apalagi rasa bersalah.



Ayunindya Kirana, diceritakan sebagai perempuan visioner dan selalu mengandalkan diri sendiri untuk tegak di atas bumi tanpa berharap-harap setitik apresiasi bahkan validasi orang lain. Tipe perempuan yang membagi dirinya dalam banyak peran untuk dihidupkan dalam banyak tempat dan kondisi pula. For those of you who think that Ayunindya Kirana is a representation of the writer, you should be relieved when I say that she does not reflect me at all. Saking berlawanannya, saya kadang terpenjara oleh pola pikir karakter Ayunindya Kirana karena bingung, bagaimana cara yang tepat untuk membentuk logika-logika Ayunindya agar tidak terkesan menyebalkan dan malah tampak seolah sok idealis. Bagaimana cara menjadikan karakter-karakter di dalam buku ini lebih manusiawi adalah tantangan terbesar. Saya memang menulis fiksi, namun menjadikan tokoh utama sebagai pusat tata surya ibarat matahari yang dikelilingi planet-planet, bagi saya bukan lagi zamannya. Ayunindya Kirana sama sekali tidak sempurna, dan seharusnya memang demikian.
Begitu pula tokoh utama pria; Rayyan Baskara. Orang yang bagi saya demi apapun adalah tipe yang akan saya hindari di kehidupan nyata dalam banyak situasi. Sebagai penulis, membayangkan Rayyan Baskara berputar-putar dalam keseharian, menjadi temannya misal, barangkali saya akan dengan sukarela menjelma kritikus hidup orang habis-habisan. Ada banyak hal yang masih harus Rayyan Baskara pelajari. Ada banyak kesalahan yang ia buat dan membuat saya kadang menutup laptop hanya demi sekejap istirahat dan merenungi tingkah laku ia dalam lembar-lembar kertas. Tentu, ada banyak pula sisi Rayyan Baskara yang membuat saya salut. Ada banyak keputusan dalam hidupnya yang membuat saya tahu, bahwa barangkali meski menjadi kritikus bila bertemu orang semacam ia dalam kehidupan nyata, saya juga akan membentuk sosok lain dalam diri hanya demi memastikan Rayyan Baskara tidak pergi kemanapun. Dengan kata lain, I want to keep people like him to keep my common sense in the right place.
Konflik yang terlalu banyak memang berasal dari internal diri dan harus dimaknai sebaik-baiknya tanpa melibatkan emosi berlebihan. Karena bagaimanapun, ini bukan kisah menguras air mata, bukan pula cerita menye-menye yang membuat kita senyum-senyum sendiri. Saya tidak membangun atmosfer demikian hanya agar dikatakan berhasil menyentuh hati. Nope. Terlalu biasa menyentuh gumpalan tak tergapai itu hanya demi sekadar diingat. Makna yang terkandung, pesan-pesan lain di luar konteks romansa lebih menarik untuk dijadikan bahan pemikiran baru. Sisi hubungan manusia kepada manusia tanpa melibatkan unsur merah jambu pun drama ala-ala.
Saya sebenarnya sangat ingin berkata, “Jangan berharap lebih terhadap Valid Sense.” tapi kok seolah saya pesimis, ya? Maka, dengan tanpa mengurangi kehati-hatian, saya ingin agar apapun yang pembaca temui di dalam buku ini adalah awal baru untuk melihat sejauh apa lingkungan berkembang, bagaimana seseorang atau sesuatu yang tadinya biasa-biasa saja mampu melampaui ketakutan dan rasa khawatir. Bagaimana kemudian keberanian muncul menggantikan cemas dan rasa tidak pantas, melawan pandangan orang-orang dan perspektif serta sudut pandang yang terlalu dipaksakan.
Terakhir, semoga semakin banyak pemuda yang menyadari potensinya tanpa terkurung keragu-raguan untuk melangkah dan hanya stagnan di tempat, berdiam diri sebab mengkhawatirkan sesuatu yang belum tentu terjadi.
Berkaryalah dan munculkan presensi terbaik dari diri melalui isi kepala, bermanfaat, berikan dampak. Jangan hanya menunggu dan duduk menanti, menyirami harapan dengan dusta dan utopia dalam fantasi. Kita harus miliki dunia kita sendiri mulai saat ini.


Sincerely,

Siti Sonia Aseka
“Yang tetap akan menjadi diri sendiri meski dunia menempa dengan api hingga memukul bersama besi. Jiwa seseorang bertahan meski raganya tak sama lagi.”

Anyway, jangan ketinggalan pre-ordernya, ya!

Senin, 11 Mei 2020

"Orang Baik"

ORANG BAIK (?)

Sejak dulu, saya tidak pernah begitu percaya terhadap anggapan orang kepada saya. Karena saya yakin, apa yang dilihat mata manusia, seringnya keliru, namun disimpulkan dalam rupa keburukan secara berlebihan hingga buru-buru.

 
Tetapi, saya tentu pernah berusaha, mencoba menerima, saya amati dan lihat-lihat, memaksa diri sendiri, bodohnya.

Dahulu, saya bodoh ketika membiarkan keputusan mengalah itu melintas dan ditangkap sebagai keharusan oleh hati. Kemudian, hari ke hari, waktu ke waktu, setelah pasrah, berserah, saya tiba-tiba berpikir, “Mengapa saya bersedia merusak diri sendiri demi membiarkan mereka bahagia, sebab merasa berhasil membentuk saya sesuai dengan apa yang mereka suka?”

Sampai Allah sajikan jatuh melalui tangan-tangan manusia yang sama. Hingga Allah tunjukkan betapa harapan saya sudah terlampau begitu besar terhadap manusia. Saya ini sebenarnya diciptakan untuk mengabdi pada anggapan orang, atau sesederhana menjadi versi terbaik dari diri saya? Karena sempurna menurut orang lain, nyatanya menyiksa. Toh, yang dibilang ‘paling’ pun kini tak lebih dari biasa. Jadi, standar menjadi manusia baik hanya harus berdasar pada orang yang dianggap baik saja, atau bagaimana? Apakah suci tidaknya seseorang hanya akan dilihat dari seberapa sering ia memposting ‘kalimat-Nya’ di media sosial, mengizinkan orang-orang membangun ekspektasi, membiarkan pembaca menyimpulkan hanya kebaikan?

Kini, setelah sekian waktu berlalu, setelah tahun berganti, Ketika saya berbalik dan menziarahi masa lalu, agaknya tawa selalu menguar getir bersama kata ‘bodoh’ di akhir berkali-kali, berulang-ulang. Saya tidak pernah menyesal menjadi terbuang. Tidak pula malu sebab pernah dianggap sampah. Kala ditanya, “Sekarang sudah sadar kan di mana letak salahmu?” hanya senyum tipis yang saya urai tanpa banyak membantah. Tidak, saya bukannya membenarkan, bukan pula menganggap pertanyaan tersebut sebagai kalimat kosong tanpa makna. Justru karena saya tahu, bicara dengan orang-orang tak paham keadaan, hanya akan menjadikan saya sama seperti mereka.
Jadi, saya diam.

Saya pernah dijatuhkan hanya karena dianggap berbeda. Hanya karena saya berusaha menjadi lebih baik dengan cara saya sendiri, lantas orang-orang menganggap saya melampaui batas, tak pantas. Padahal, dengan cara demikian, saya bekerja di bawah naungan semesta; tidak sama, bukan berarti hina.

Pada akhirnya, hari ini, saya sampai pada titik mengamati. Hanya mengamati. Lagi-lagi mengamati. Tak berkeinginan meluruskan apa-apa sebab yang bengkok pun tak selamanya salah. Meski terasa lucu, kala kisah yang pernah saya alami justru seolah terulang. Iya, lucu.

Ingin saya bertandang dalam rangka mengeraskan suara, bukan untuk menyadarkan, namun hanya demi sedikit saja memberitahu, bahwa sebelum mereka, saya adalah entitas ke sekian juga. Saya pernah merasa tidak diharapkan. Pernah. Lalu, apakah saya memilih berhenti? Awalnya, iya. Saya sempat merasa tak berguna berada di tempat yang sama dengan racun di tiap senyum palsu, terlalu dibuat-buat, cenderung formalitas. Namun, bila mundur, bukankah artinya, saya secara langsung mengaamiinkan tujuan mereka dan malah ikut memperluas lingkaran alpa?

Dunia masih begitu luas untuk dijelajahi. Tidak melulu soal lingkungan dengan atas-bawah yang menjadikanmu babu. Itu bukan cara terbaik untuk menjadi sebenar manusia hanya karena merasa diakui dan dianggap ada.
Buat apa?

Kekecewaan bukan segalanya, bukan pula alasan demi mendendam dan berbuat jahat. Cara begitu sudah kelewat kampungan, kawan.

Sini, saya beri saran. Coba dengarkan tanpa lebih dahulu bulatkan prasangka. Kamu tidak perlu bekerja keras demi menyakiti dan mengotori tangan. Tidak, tidak. Kita tengah berusaha menjadi benar di tengah keliru, bukan? Maka, jadilah membanggakan untuk kepuasan diri, bukan validasi apalagi acungan jempol orang lain.

Menjadi orang baik, bukan sekadar terlihat baik demi dihadiahi kebaikan. Menjadi sebenar baik karena dunia krisis kepemilikan terhadap empat huruf satu kata yang sama.

Menjadi baik, bukan demi A-Z kepentingan dunia, tetapi sebab kita punya Allah yang Maha Baik.



Di mata Allah, kita selalu sama.
Pembedanya hanya soal ketakwaan, iman,
bukan level 'tak terukur' dari (hanya) manusia.



Palembang, 11 Mei 2020
Siti Sonia Aseka 



Pict by Vante 

Urgensi Kemahiran Berbahasa Inggris di Era Modernisasi dan Globalisasi

Urgensi Kemahiran Berbahasa Inggris di Era Modernisasi dan Globalisasi Sejak abad ke-18, bahasa Inggris ditetapkan sebagai bahasa Internasio...