Blogger Perempuan

Blogger Perempuan
Kunjungi laman Blogger Perempuan dan baca tulisan saya melalui link berikut

Selasa, 22 September 2020

[CERPEN] Lilith & Adam

Lilith & Adam

 

"Pernah dengar kisah tentang Lilith dan Adam?" Monalisa memandang lurus pada sepasang netra kelam yang belakangan mencoba akrab dengan miliknya.

"Kamu membaca apa lagi?" temannya di hadapan menghela napas putus asa. "Sudah kubilang, berhenti menggali mitologi yang persentase benarnya nyaris mendekati nol. Itu semua omong kosong, Sa."

"Legenda." ralat Monalisa, kalem. Ia membalik lembar buku Antropologi yang masih ia dalami meski benci setengah mati. Matanya terpaku pada barisan kalimat, melontarkan muak, muak, dan hanya muak dalam benak.

"Lilith sama seperti Adam; diciptakan dari tanah. Itulah mengapa Lilith menganggap ia dengan Adam setara, tak peduli perbedaan perempuan-lelaki yang kerap membuatnya seolah dijadikan nomor dua." Monalisa tersenyum tanpa makna, menyambung, "Lilith lari, dalam rangka membebaskan dirinya dari dinding yang membelenggu. Walau surga katanya adalah sebaik-baik rumah, bagi Lilith, tempat tersebut tidak lebih dari penjara."

Monalisa menggeleng kecil, "Laut merah. Lilith berdiam di sana. Meski sekian utusan telah diperintahkan Tuhan untuk membujuknya, Lilith tetap tak bergeming. Ia membenci anggapan atas-bawah, ia tidak suka segala sesuatu yang dibentuk hanya vertikal."

"Cerita tersebut dibuat untuk menakut-nakuti manusia saja, Sa."

"Masa?" Monalisa mengangkat satu alisnya, sangsi. "Aku hanya ingin memberitahu perihal kesetiaan dan kesalahan dalam bertindak sok kuasa, sebenarnya."

"Ketika Lilith melarikan diri, Adam tak sekalipun mengejarnya. Justru memohon pada Tuhan untuk memberikan pengganti. Dari sanalah Hawwa diciptakan. Tidak lagi tanah, namun berasal dari tulang rusuk Adam sendiri. Tetapi, pernahkah Adam berpikir, bila keegoisannya bisa diredam setitik saja, barangkali ia tidak akan diturunkan ke bumi sebab ulah Hawwa yang terhasut oleh iblis?"

Lawan bicaranya menggeleng pelan beberapa kali, tampak tidak sepakat.

"Kamu percaya takdir?"

Monalisa diam. Kepalanya dimiringkan. Dahinya mengerut tipis, lantas mengangguk agak ragu.

"Kalau begitu, kamu harusnya tahu, bagaimanapun jalannya, dengan atau tanpa tragedi di antara Lilith dengan Adam, mereka tetap akan diturunkan ke bumi."

"Bagaimana dengan Hawwa?" tanya Monalisa skeptis. "Bila Adam cukup sabar menanti Lilith kembali, ia tidak akan merengek meminta perempuan lain kepada Tuhan, kan?"

"Pola takdir mengatakan Hawwa akan tetap ada meski Adam meminta ataupun tidak. Ada ragam cara agar semua hal yang belum dan akan terjadi dinyatakan oleh Tuhan, Sa. Barangkali di luar nalar manusia."

"Menurutmu keputusan Tuhan benar?" Monalisa menangkap raut setenang lautan milik temannya, jemari dari kedua tangan bertaut, berpikir.

"Tuhan tidak pernah salah." ada hembusan napas berat terdengar. "Tetapi, manusialah yang kerap kali mengingkari kekuatan percaya."

Mereka berdua diam. Monalisa menyelam jauh ke dalam samudera pikiran. Tangannya memainkan sebatang pena dan mengetuk meja berirama.

"Sedikit banyak, aku sepakat dengan Lilith." Monalisa mencoba menekan laju suaranya. "Terkadang, kita harus melepaskan sesuatu untuk sesuatu yang lain. Dalam hal ini, Lilith melepaskan Adam demi kebebasan."

"Menurutmu ia bahagia dengan apa yang ia pilih?" tanya temannya, menegapkan punggung. Aroma pengharum ruangan lemon mulai membuat perut bergolak mual.

"Aku tidak mendapatkan informasi penyesalan apapun yang mungkin Lilith rasakan. Jadi, ya. Bagiku, ia sepenuhnya bahagia."

"Menurutku, ia separuh menyesal."

Monalisa terkekeh kecil, "Dan mengapa kamu berpikir demikian?"

"Belum dengar bagian romantis antara Adam dan Lilith, ya?"

Monalisa menggeleng, "Aku bersyukur tidak membaca lembaran tersebut." perempuan itu mengerang geli. "Kupikir aku tidak cocok dengan romansa jenis apapun."

Mereka tertawa pendek. Ada sejemang lega yang mampu ditangkap Monalisa dari binar mata temannya.

"Kamu percaya lelaki dan perempuan setara, kalau begitu?" Monalisa mendongak, mengibaskan tangan saat pertanyaan tersebut dilontarkan.

"Pernah dengar istilah setara tidak selamanya adil?" Monalisa mengetuk permukaan buku yang sedari tadi dibiarkan menganggur. Irisnya mempertemukan sorot tanya dari lawan bicaranya.

"Aku percaya pada jenis-jenis keadilan, dan sedikit ragu dengan anggapan setara. Aku perempuan, tetapi menyatakan diriku sama dengan lelaki dalam segala hal dan memaksakan ihwal tersebut tanpa melihat kembali perkara hak dan kewajiban, rasanya agak… konyol."

"Aku sepakat dalam hal bermasyarakat, lelaki dan perempuan memiliki hak yang sama. Tidak bisa dibatasi A sampai Z. Pekerjaan, pendidikan, pemeliharaan atas hidup, label sebagai entitas dan mendapat porsi sama dalam kemanusiaan. Tidak ada yang bisa melarang seseorang bekerja dan belajar, atau kehilangan kesempatan untuk diperlakukan sama dengan manusia lain hanya karena dia perempuan."

"Lalu?" menyelidik, menguji. Monalisa tahu lawan bicaranya tengah melakukan dua metode tersebut dengan pertanyaan sesingkat gerak awan. Ia terlampau mengerti.

"Di rumah, peran perempuan seringkali disalahartikan. Kodrat perempuan hanya tiga; mengandung, melahirkan, dan menyusui. Pekerjaan rumah tangga seperti memasak, mencuci, bahkan mengurus anak dan sebagainya bukan hanya dilimpahkan pada perempuan, tetapi juga lelaki sebagai penghuni atap yang sama. Sayangnya, masalah justru datang dari kesalahan berpikir berkenaan dengan apa yang harus dan tidak."

Ada anggukan dari seseorang di seberang. Monalisa menghela napas. Matanya sebentar melirik jam dinding yang menempel angkuh pada sekat perpustakaan.

"Jadi itulah yang membuatmu tidak bergerak ke manapun?"

"Tentu saja aku bergerak." Monalisa mendengus terang-terangan. "Kamu bicara soal orang yang datang beberapa waktu lalu?"

Mengangkat bahu, bertindak naif, temannya itu membuat Monalisa mengumpat dalam hati sebab tak ingin terlihat sedemikian bar-bar.

"Aku tidak bisa menerima siapapun yang datang begitu saja seolah tidak diberikan pilihan." putus perempuan tersebut, pelan. "Aku tidak ingin berakhir seperti Lilith; melarikan diri, dilepaskan, menghadapi pengkhianatan, terganti. Aku tidak siap."

"Kamu ingin menjadi seperti Hawwa, kalau begitu?"

"Tidak juga. Aku tentu tidak ingin menjadi nomor dua. Tidak ingin dianggap ada karena kepergian orang lain." Monalisa membiarkan semilir angin dari air conditioner berhembus menerbangkan untaian jilbabnya.

"Aku tidak yakin ingin memiliki kisah seperti siapa. Namun, yang jelas, semesta tidak bisa memaksaku menjadi bagian cabang setelah lama menunggal. Bagiku, tidak ada ganjil atau genap, tidak ada utuh atau separuh. Kita semua bukan bagian dari apa dan siapapun. Kita adalah diri kita sendiri, secara penuh."

Lilith adalah bagian dari perlawanan, pikir Monalisa. Kisah yang memiliki terang meski lebih banyak dianggap getir dan kacau.

"Membaca sesuatu bukan berarti mengimaninya, bukan?" Monalisa tertawa, suaranya jatuh. Padangannya mengambang di udara, berkelana jauh.

"Kamu pikir aku akan menghakimi seseorang hanya karena ia bersedia menghabiskan waktu demi membaca mitologi kuno?" temannya terbahak, sementara Monalisa mengulum senyuman lega. "Aku tidak sekolot itu, Sa. Aku tidak suka kamu membacanya, bukan berarti aku menganggap keyakinanmu terhadap agama ini terkikis kemudian habis."

"Sayangnya beberapa orang, bahkan banyak, berpikir demikian." Monalisa melempar tatap ke luar jendela. Suara adzan ashar sayup terdengar.

"Kita harus berhenti bertindak seolah hakim bagi hidup orang lain, benar kan?"

Monalisa meringis, mengangguk. Perlahan mulai membereskan meja dan barangnya yang berantakan.

"Mempelajari agama dalam rangka semakin dekat dengan Tuhan tidak semerta menjadikan kita justru menjauh dari manusia lain. Beragama bukan untuk marah-marah, apalagi mengkafir-kafirkan. Kasih sayang adalah sesuatu yang dijadikan pedoman. Keindahan hati tidak bisa terlihat apabila benak menyimpan sekelumit benci dan angkara."

Monalisa tertawa, membenarkan.
Tangannya memberikan isyarat untuk bangkit. Mengajak temannya menuju masjid kampus tak seberapa jauh dari sana.

Ada kewajiban yang harus diutamakan ketimbang segala hal duniawi. Ada waktu yang menunggu ditemui setelah panjang rentang digunakan untuk berinteraksi dengan manusia lain, mengurusi pernak-pernik tentang hidup; tersungkur di hadapan Tuhan, merapal sekian doa-doa dalam lima kali sehari.

Kedekatan manusia dengan Tuhan barangkali bisa terlihat dari seberapa lapang dada dan rendah hati seseorang menghadapi macam kusut serta carut marut.

Bagian tersebut, yang harusnya tertanam dalam benak, bukan perlombaan dan argumen tentang siapa yang paling benar.

***

Palembang, 22 September 2020
Siti Sonia Aseka

Kamis, 17 September 2020

[PUISI] Catatan Kosong

 

Catatan Kosong

Siti Sonia Aseka

 


Dibuat di tengah hiruk pikuk pengerjaan skripsi, revisi, bimbingan, sampai drama tangis-menangis.

Diposting di sebuah ruang guru yang coba diakrabi selama genap empat belas hari.

Kesibukan berbeda. Namun, semoga kita tetap sama.

***

Seharian, tak lepas barang sependar pandang dari layar monitor, lupa berkedip sampai lalai bernapas.

Sesorean, kubuatkan secangkir kopi susu bagi diri. Diseruput selagi hangat, tak kelewat manis cenderung pahit.

Kupikir-pikir, telah lama tak rasakan damai yang demikian; kala bahagia hanya sebatas kafein ditemani hujan, tak ketinggalan ide ruah dalam kepala.

Sudah jauh terbentang spasi lantas lucuti memori, membuat kenangan menggenang kemudian hanyut, memaksa redup tak ayal lesap.

Tugas-tugas belakangan memberatkan pundak, memperjelas margin hitam di bawah mata, membuat letih kelopak, mengaburkan presensi yakin lalu luruh bersama secawan ragu; seolah jauh langkah sekadar demi penuhi hasrat orang-orang, meski diri gosong terpanggang.

Jelang tengah malam ketika yang wajib sempurna tunai, kuputuskan berbaring sejenak, menaikturunkan kursor pada beranda sosial media, menyaksikan apa saja, menjernihkan pikir demi ciptakan setitik hasil.

Membentuk pola pada lembar aplikasi editing masih jadi favoritku, begitupula menciptakan fiksi dari pengalaman paling buruk sekalipun.

Semakin malam, bahkan sampai dini hari menyambut dibarengi harum atas mekarnya kuncup-kuncup jasmine milik ibu.
Tergerak tubuh mencari-cari sesuatu, entah apa dan untuk siapa, hanya sebab merasa kehilangan benda tertentu.

Lantas, sebuah buku catatan kosong, hadiah dari seorang kawan muncul. Hangatkan hati, tumbuhkan rindu. Secara bersamaan; luruh sudah kokohku.

Kutuliskan padamu dan semoga sampai tanpa dihampiri seonggok lesu; hei, masihkah kau ingat padaku?

Kamis, 10 September 2020

[Sepotong] VALID SENSE: Salwa Kyra

 

Valid Sense

“Salwa Kyra”

 


Assalamuallaikum Warahmatullah Wabarakatuh!

 
Valid Sense, novel pertama saya yang telah tercetak melalui salah satu penerbit indie menghimpun begitu banyak tokoh dan memiliki ceritanya sendiri. Dari beberapa pembaca, saya kerap mendapatkan pertanyaan tentang kisah selanjutnya dari tokoh-tokoh tertentu.

Dan most requested actor, goes to… ADIT, absolutely.

Entah kenapa si 2nd lead ini umpama pemeran pria ngenes di drama Korea yang tidak berjodoh dengan tokoh utama perempuan. Padahal, kalau sudut pandangnya diubah ke Adit sendiri, akan ada begitu banyak penjelasan mengenai kenapa dan bagaimana.

And this is it.

Setelah beragam pertimbangan, akhirnya saya memutuskan untuk membawa satu per satu potongan cerita mereka. Memang tidak utuh, karena saya sudah punya rencana sendiri mengenai geng Tahu Jeletot Mang Awi. Tapi paling tidak, sedikit kehadiran orang-orang absurd ini bisa mengobati kerinduan pembaca (kalau ada yang rindu, sih… hahaha).

 

Happy reading!

***

 

"Bisa nggak," Yusuf menghela napas, matanya terpejam beberapa saat seolah tengah berpikir begitu berat. "sekali aja, berhenti mikirin perasaan orang lain?"
Bukan tanpa alasan pemuda yang amat jarang meninggikan nada suara tersebut, kini bahkan tak mampu mengendalikan raut terganggu dan kesal habis-habisan. Salwa di hadapannya menatap skeptis, pun tak mampu memperlihatkan sisi baik-baik saja. Ia cukup terkejut atas reaksi Yusuf yang di luar ekspektasi.
"Suf," Salwa berujar setelah mendengus terang-terangan. "Ini bukan semata tentang perasaan atau semacamnya. Ini soal tanggung jawab."
"Okay, sekarang kamu ngomong seolah kamu memang ibunya."
Dahi Salwa mengerut. Ia tentu cukup sabar untuk tidak membalas perkataan Yusuf lebih ketus dari cara pemuda itu membalik tiap kalimat.
"Indeed." Salwa memalingkan wajah. Pandangannya tanpa sengaja bertemu dengan milik Yaya yang berjalan masuk di belakang Raka. Pasangan dosen tersebut terlihat tengah mengobrol santai dan Salwa mendadak mengulas sebuah senyum tipis.
"Wa, Azmi bukan tanggung jawabmu. Dia punya ayah yang bertanggung jawab atas dirinya."
"Udah kubilang aku nggak bisa lepasin Azmi begitu aja. He needs me."
"Maksudmu Azmi atau ayahnya yang butuh kamu? Jangan naif, Salwa."
Mata Salsa menajam. Ia tak bisa lagi menahan emosinya. Yusuf tidak membantu sama sekali alih-alih memberi solusi.
"Hei, serius amat!"
Yaya menarik sebuah kursi di sisi Salwa. Senyumnya lebar seperti biasa. Raka di belakang sana tengah mengobrol dengan Wirya, sesekali tampak tertawa.
"Aku ke sana dulu." Yusuf mengusap wajah, melontar istighfar beberapa kali di bawah napas. Tak ingin ketahuan tengah bermood buruk dan sekejap lenyap menyusul Raka serta Wirya. Lengan kemejanya sudah digulung hingga siku.
"Yusuf kenapa?" Yaya menoleh pada Salwa. Menangkap kejanggalan di antara kedua sahabatnya.
Salwa mengangkat bahu, pura-pura tak tahu apalagi peduli. Ia cukup lelah selepas rapat dewan guru hari ini lalu harus dihadapkan pada Yusuf yang entah mengapa tengah sangat tidak tepat diajak mengobrol. Biasanya, Yusuf tidak demikian. Lelaki tersebut selalu menyenangkan dalam kondisi bagaimanapun.
"Eh, tentang proposal yang kubilang kemarin," Yaya menatap temannya ragu, "kamu yakin nggak mau tahu dari siapa? Benar nggak mau coba baca?"
"Nggak, Ya." Salwa menggeleng, lagi-lagi begitu tegas. "Aku belum kepikiran buat nikah."
Jujur saja, Salwa gamang. Tetapi alih-alih penasaran, ia malah secara tak terduga menolak niat baik yang datang padanya melalui Raka dan Yaya. Salwa memang ingin menikah, ya semua orang sedikit bahkan banyak sepertinya pernah berniat demi menghabiskan waktu sepanjang usia bersama seseorang, teman hidup. Tetapi hal tersebut sama sekali tidak masuk dalam daftar prioritas Salwa untuk waktu dekat, atau entah sampai kapan, barangkali.

Usianya menginjak dua puluh lima, tetapi semakin ke sini, ia merasa ada cukup banyak benang kusut yang tidak bisa ia abaikan. Ada ungkapan anonim yang sempat Salwa baca. Katanya, “Bila hidupmu seolah tidak memiliki titik dan koma, maka coba munculkan tanda tanya.” Salwa tak sepenuhnya paham, jelas. Ia hanya iseng membuka Quora pada tengah malam setelah menyusun soal ujian tengah semester, lantas menemukan ambiguitas menghias netra. Namun, kini, tanda tanya yang dimaksud ibarat terpop-up di depan mata begitu saja, menamparnya.

“Masih belum terlambat, Wa. Masih ada waktu.” Yaya menepuk lengan Salwa, tersenyum ramah. “Jangan ada keterburuan dalam proses yang diharapkan berkah. Kalau kamu berubah pikiran, let me know.”

Salwa memiringkan kepala, matanya mengerjap demi mengumpulkan fokus. Perasaannya saja, atau kini Yaya terdengar luar biasa memaksa?

 

 

 

A little piece of “Valid Sense”

Salwa Kyra version

 

Palembang, 10 September 2020

Siti Sonia Aseka

 

Urgensi Kemahiran Berbahasa Inggris di Era Modernisasi dan Globalisasi

Urgensi Kemahiran Berbahasa Inggris di Era Modernisasi dan Globalisasi Sejak abad ke-18, bahasa Inggris ditetapkan sebagai bahasa Internasio...