Blogger Perempuan

Blogger Perempuan
Kunjungi laman Blogger Perempuan dan baca tulisan saya melalui link berikut

Rabu, 22 Januari 2020

The End

Untuk sekian rasa benci yang orang lain tumbuhkan terhadapmu, cobalah untuk jangan terlalu habis-habisan dalam mencari tahu alasannya. Sebab, sama seperti cinta, terkadang kebencian hadir begitu saja. Agar tak terkejut, barangkali sudah saatnya merasa bahwa diri tak pernah mampu capai kata sempurna, sekeras apapun berusaha.



"Kau tidak sedang lari dari masalah lagi, 'kan?"

Kali ini, suara Namjoon sumpah terdengar lebih menyakitkan sebab berisi sepenuhnya tuduhan ketimbang murni pertanyaan.

"Aku tidak lari, kok." kalem, masih dengan upaya melindungi kepala dari amarah dan kekesalan pria di depan sana, aku melontarkan sanggahan paling tidak berguna dan kemungkinan besar malah tidak berdampak apa-apa.

"Ha, omong kosong." Namjoon berdecih, menutup bukunya keras-keras di hadapanku demi mengalirkan sejumput isi hatinya yang carut marut. "Kalau begitu, berhentilah sembunyi dan hadapi gerombolan sapi betina itu!"

"Kau tidak berada di posisiku." rasa Americano yang kami pesan siang ini jadi jauh lebih hambar. "Kau tidak pula tahu bagaimana rasanya menjadi satu-satunya manusia di tengah padang rumput berisi kawanan sapi liar. Kau tidak mengerti. Sekali kumunculkan bayangan barang sekelebat, mereka akan mati-matian menyerangku. Seolah aku ini ancaman mengerikan bagi mereka. Predator yang memangsa anak-anaknya barangkali."

Sepasang netra yang sedari tadi memerhatikan itu menyipit, dalam rangka menelusuri kebohongan dan jelas hanya menemukan kekosongan.

"Jadi, kau rela saja menjadi fosil di sana tanpa berani menantang bahaya?"

"Aku tidak bilang bahwa aku akan melindungi diri dengan cara begini selamanya." satu senyum kuumbar percuma. "Suatu hari, ketika mereka lengah, saat rumputnya sudah mulai membosankan, aku akan keluar menyelamatkan diri. Pergi sejauh-jauhnya dan tidak akan kembali."

"Tetap saja itu namanya melarikan diri, idiot!"

"Itu namanya tahu diri."

Senyum miring Namjoon terbit.
Buku yang sedari tadi ia pegang akhirnya mendarat juga di kepalaku.

Aku meringis, namun paham tak pula dalam posisi yang benar untuk membalas.

"Mereka tidak tahu malu, serius deh. Bagaimana mungkin menyakiti orang lain tanpa merasa bersalah begitu? Setidaknya berusaha untuk berbuat bersih dan berhenti playing victim."

Aku mengangkat bahu, acuh. Sudah tidak ingin mengungkit racun yang hanya akan menghancurkan dari dalam, melubangi hingga rapuh.

"Manusia, sudah sifat alaminya mengamankan diri sendiri, tak peduli jika tindakan tersebut membuat orang lain terkena imbasnya. Aku belajar banyak dari mereka. Belajar caranya menyudahi kebencian dengan ketidakpedulian. Belajar menghentikan keingintahuan yang hanya akan berbuah luka."

Aku pernah sedemikian menggantungkan keinginan untuk menikmati Utopia selama yang kubisa. Aku pernah tersenyum dengan sebenar-benar senyuman, pernah pula tertawa keras karena dilanda bahagia.
Pernah terjadi. Sudah lama, lama sekali.

Tapi, kini, seperti kata Namjoon, gerombolan hewan liar entah dari mana menyerbu wilayahku hingga aku sendiri hampir terusir pergi.

Heck, tidak terdengar elite.

Penduduk asli dikalahkan oleh pendatang?
Yang benar saja.
Tapi, well, itu faktanya.

"Ya sudahlah, sepertinya memang sudah tidak ada lagi kesempatan bagimu, bukan? Bergegas. Jangan terlalu lama bertahan di sana, sembunyi dari mereka yang tetap akan menghabisimu tanpa belas kasihan."

Namjoon seperti biasa berkata tanpa emosi, menandaskan kopinya lalu menikmati dalam diam sepotong cake cokelat bertabur almond. Sementara aku, terkurung dalam fase terkapar dan meminta pertolongan dengan teriakan membabi buta, jauh di dalam sana. Namjoon jelas mendengarku. Namun, hei, dia bilang aku memang harus mendapat hukuman sebab terlalu banyak berjuang sendirian.

"Kau tahu, terkadang bukan soal kuantitas eksistensi kepala yang terpenting, namun kualitas isinya. Banyak pertarungan di atas muka bumi ini berakhir dimenangkan oleh kelompok dengan jumlah prajurit lebih sedikit ketimbang kelompok berisi banyak manusia. Tahu mengapa? Aku tidak akan bilang yang sedikit memiliki kapasitas otak lebih baik. No. Naif sekali. Namun jelas, mereka yang menang tentu lebih pandai dalam mengambil kesempatan dan mengisi celah kosong. Lebih mengantisipasi dan meninggikan konsentrasi sebab sadar mereka sudah kalah jumlah. Yang kulihat di sini dalam kasusmu, kau sama sekali tidak memiliki kualitas dan keberanian itu. Kau sendirian, tak berani mengambil kesempatan, dan konsentrasimu telah jauh pecah sejak lama sekali. Padahal, di depan mata, kalau kau bertekad sedikit lebih keras saja, kau bisa melakukannya. Sudah berapa banyak celah yang kau pandangi namun tak jua kau isi? Tak terhingga. Aku tahu kau sudah kehilangan semangat, aku mengerti kau telah nyaris menyerah di persimpangan jalan kemarin. Namun, hei, pada akhirnya kau tiba di tempat tujuan. Apa kau rela destinasimu dikuasai orang lain, sedang kau mati-matian meraihnya? Semesta tidak menciptakan manusia hanya agar mereka pasrah terhadap manusia lain. Arenamu tersedia, dan kau tinggal mengangkat senjata demi memenangkan hakmu, sekali lagi. Jangan diam hanya demi kata damai. Kalau kau benar, perangi yang salah. Ambil tempatmu, dapatkan apa yang memang pantas kau genggam."

Panjang, lebar, dan semoga mengubah sesuatu.
Namjoon sudah bekerja keras mengembalikan akal sehatku, maka sebagai perempuan tahu terima kasih, sudah seharusnya aku meletakkan isi kepala utuh tanpa kurang satu sel pun.

Butuh begitu lama bagiku demi menyadari terkadang dikasihani sebagai korban, terlihat menyenangkan sebab pembelaan tanpa diminta malah datang cuma-cuma, alibinya sih 'melawan pelaku', walau tak pula jelas, apakah memang pelakunya benar ada atau sekedar halu.

"Kau sudah lama sekali hidup dengan cap tersangka di keningmu. Tidak lelah?"

Aku tertawa kering.
Malah terdengar seperti tercekik sebenarnya.

"Tuduhan yang manis bukan? Percaya atau tidak, aku menikmati sensasi bersalah atau kebenaran yang kuudarakan, meski sekali lagi dianggap sebagai dosa besar."

Aku tahu orang lain gemas terhadapku. Gemas melihat si idiot memainkan peran sebagai terdakwa meski tak ada setitik kesalahan dibuat oleh tangannya.

Ah, ada, sih.
Bila berusaha menjadi lurus di tengah bengkok dianggap sebagai dosa, ya, aku memang pendosa besar, sungguh.

Heck, mengapa aku jadi percaya diri sekali begini?
Aku bukan orang suci.
Serius, deh.

Hanya memang tak harus orang suci yang punya tugas mengingatkan sesama manusia.

"Sudah, jangan sok berpikir begitu. Aku tahu kau sudah kehilangan separuh isi otakmu dalam perjalanan kemari."

Terserah.
Aku berdecak.
Lantas bangkit setelah menghabiskan seluruh pesanan, ingin pulang dan melupakan.

"Jangan lupa salam perpisahannya!"

Tentu.
Ha, seperti aku akan lupa saja.

Siti Sonia Aseka
Palembang, 22 Januari 2020

Jumat, 17 Januari 2020

Just Enough

"Jadi, benar-benar sudah menyerah memaafkan? Sudah mengerti mengapa kebencian itu tumbuh dan membesar dalam hati hingga nyaris membunuh diri sendiri?"



Dalam beberapa keadaan, aku jelas tidak pernah ingin pasrah mengakui kekalahan. Tidak akan sudi kehilangan kesempatan untuk membuktikan bahwa aku tak tertandingi dalam hal melupakan. Tapi, hari ini entah bagaimana, kemampuan bersilat lidah dan bakat terlihat baik-baik saja itu menguar tanpa sisa.

Kepedulian, kepercayaan, kesabaran, tampaknya telah tumbuh subur namun berbuah nelangsa. Durinya lebih tajam dari mawar, bahkan getahnya lebih berbahaya ketimbang bisa ular. Barangkali aku salah memilih pupuk, mungkin pula aku keliru dalam menentukan petak lahan.

Tanaman yang kuanggap akan memberi kesejukan dan berguna, malah dengan keji menimbulkan luka berdarah-darah.

"Kau bilang bahwa aku harus berhenti menjadi bodoh dengan terus menerus memberi pemakluman, 'kan? See, aku melakukannya. Aku bahkan tidak tahu lagi cara memberi senyum serta berbagi sapa atau sekedar menatap mata. Muak. Barangkali itu titik tertinggi kebencian yang kau maksud. Aku sudah berhenti untuk percaya, apalagi peduli. Kesabaranku habis. Aku harus menyelamatkan diri bila tidak ingin ditelan bulat-bulat oleh kekecewaan lagi."

Kau tersenyum miring, membuat seolah aku ini terdakwa kasus kriminal kelas berat, lantas tanpa pikir dua kali mengudarakan kalimat klise yang sayangnya harus kujawab.

"Sudah berapa kali kau mengabaikan rasa sakit hanya demi dianggap pemaaf dan mendahulukan kepentingan orang lain? Kau tahu, monster dalam dirimu barangkali sudah berekor sembilan dengan kekuatan mampu menghancurkan seluruh Desa di Negeri Naruto saking marahnya."

Aku terbahak.
Benar juga.
Belakangan ini, bahkan kesalahan sepele saja mampu membuatku bagai kebakaran jenggot. Siap meledak.

"Berapa kali? Aku sungguh tak sanggup menghitung lagi."

"Sekarang kau paham bagaimana manusia, 'kan? Mereka melakukan segalanya demi diakui, berbuat sesukanya agar mendapat atensi, menjatuhkan dan melenyapkan apa yang mereka anggap menghalangi jalan. Biarpun kerikil kecil, bila mereka pikir itu dapat membuat cacat keadaan, maka boom! Enyah. Serakah. Tidak tahu diri. Tidak punya malu. Manusia sulit menghargai namun selalu minta dianggap berharga paling mahal."

Kau lelah terhadap fakta menjijikkan itu, benar bukan?
Aku pun sama.
Itulah mengapa aku memutuskan untuk berhenti berada di lingkaran rusak. Aku berhenti mengalah terhadap hal-hal yang sebenarnya mampu kumenangkan.
Sebab bahkan sebanyak apapun aku memberikan bagian terbaik, yang kudapat hanya sekedar pedih atas darah yang tak henti mengalir. Aku dipaksa mendahulukan namun tak pernah diberi kesempatan untuk sekedar menentukan pilihan.

Menyedihkan.

"Aku tersesat, aku ingin pulang. Namun rumah yang kudamba telah berubah asing meski masih tampak familiar. Mereka yang kupikir keluarga juga tak lagi memberi kesan sebanyak yang kukira. Terjebak dalam situasi begini benar-benar menyebalkan, ya?"

"Idiot. Itulah akibat dari terlalu banyak dibodohi kisah fiksi. Otakmu jadi menganggap bahwa semua hal di dunia ini akan berakhir bahagia selamanya seperti dongeng Cinderella dan sepatu kaca. Payah. Berhenti membuat dirimu sendiri tampak tak berguna."

Aku mengedipkan mata.
Menatap pantulan cermin.
Tertawa kecil.

Iya, iya.
Benar.
Idiot, payah, tidak waras, tak berguna.

Padahal yang harusnya kujatuhi kepercayaan secara absolut hanya diriku sendiri. Karena bahkan di saat tergelap, hanya bayanganku yang tetap tinggal meski tak terlihat. Hanya bayanganku saja yang melekat erat.

Jadi, mengapa aku malah mati-matian memprioritaskan manusia?

Siti Sonia Aseka
Palembang, 15 Januari 2020

Urgensi Kemahiran Berbahasa Inggris di Era Modernisasi dan Globalisasi

Urgensi Kemahiran Berbahasa Inggris di Era Modernisasi dan Globalisasi Sejak abad ke-18, bahasa Inggris ditetapkan sebagai bahasa Internasio...