Blogger Perempuan

Blogger Perempuan
Kunjungi laman Blogger Perempuan dan baca tulisan saya melalui link berikut

Minggu, 25 November 2018

Hari Anti Kekerasan Perempuan Internasional

#KAMPANYE16HARIANTIKEKERASANTERHADAPPEREMPUAN

Secara fisik, perempuan jelas jauh lebih lemah ketimbang laki-laki. Tidak perlu banyak argumen atau debat kusir mengenai hal ini. Kelemahan itulah yang menjadikan Perempuan rentan mendapat pelecehan bahkan kekerasan di berbagai tempat di belahan bumi. Sayangnya, dari berbagai tindak pelecehan maupun kekerasan tersebut, hanya sedikit sekali perempuan yang berani melaporkan tindakan tidak menyenangkan yang ia terima kepada pihak berwajib. Alasannya? Karena mereka malu dan takut. Malu merusak nama baik keluarga serta takut menghancurkan reputasinya sendiri di masyarakat. Padahal mereka sadar, melepaskan pelaku pelecehan dan kekerasan begitu saja hanya akan memberikan mereka ruang untuk melakukan pelecehan dan kekerasan serupa terhadap pihak lain. Ini artinya, secara tidak langsung, perempuan yang mengalami pelecehan, mengizinkan pelecehan atau kekerasan yang sama terjadi kepada perempuan lain. Ironi, bukan?

Komisi Nasional (Komnas) Perempuan mencatat sebanyak 348.446 kasus kekerasan terhadap perempuan terjadi di Indonesia baik yang dilaporkan maupun di tangani sepanjang tahun 2017. Sebanyak 335.062 kasus tersebut bersumber pada data kasus yang di tangani oleh Pengadilan Agama (PA), 13.384 kasus ditangani oleh 237 lembaga mitra pengadaan layanan yang tersebar di 34 provinsi. Di tahun 2017, kekerasan tertinggi terjadi di ranah privat/personal. Data PA menunjukan ada 335.062 kasus kekerasan terhadap istri yang berujung perceraian. Sementara 13.384 kasus masuk dari lembaga mitra pengadaan layanan, dengan kekerasan yang terjadi di ranah privat/personal sebanyak 71% atau 9.609 kasus. Ranah publik/komunitas 3.528 atau 26% kasus dan 247 atau (1,8%) itu di ranah negara.

Data tersebut hanyalah data yang berhasil dihimpun di Indonesia. Dengan kata lain, adalah kemungkinan besar bahwa di belahan bumi berbeda, angka kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan lebih tinggi dan ekstrim. Yang harus digaris bawahi, perempuan perlu memiliki pemahaman mengenai jenis-jenis pelecehan dan kekerasan, tidak boleh menganggap remeh bila diperlakukan demikian dan harus melawan. Diam saja tidak akan mengubah apapun. Diammu bukan lagi emas ketika hak pribadi untuk bersuara dan melindungi diri hanya sebatas kata-kata.

Sekitar dua bulan lalu, pemikiran tentang keterampilan bela diri bagi perempuan merangsek masuk dalam kepala saya berkali-kali, menjadi cikal bakal renungan, menunggu eksekusi pasti barangkali. Dan saya sepakat juga luar biasa mendukung kaum hawa mengembangkan serta melatih keterampilan tersebut sebagai bentuk perlindungan dan penjagaan diri. Karena seperti yang telah saya sebutkan di awal, kelemahan fisik perempuan menjadi tameng bagi pelaku kekerasan dan pelecehan untuk melancarkan aksi kejinya.

Jadi, anggapan bahwa perempuan hanya boleh bersikap lembut dan penuh kasih tidak semata membodohi perempuan untuk terhenti di tempat, dengan mengabaikan fakta bahwa perempuan perlu memiliki kesempatan dan peluang melawan penindasan.

Catatan penting, ironi lain yang saya dapatkan setelah membaca dan memperoleh informasi seputar kasus-kasus pelecehan dan kekerasan terhadap perempuan, bahwa terkadang sesama perempuan sendirilah yang seolah menyalahkan korban dengan berbagai alasan. Mengomentari cara berpakaian, cara berbicara, dandanan, juga lain sebagainya. Padahal, sungguh bukan penghakiman semacam itu yang dibutuhkan oleh korban pelecehan dan kekerasan. Mereka memerlukan dukungan tanpa batas, serta diyakinkan untuk bersemangat dalam meraih kembali hak yang telah dirampas. Kehilangan simpati tidak akan menjadikan kita manusia suci, justru sebaliknya; menekan pribadi kita sampai pada titik tidak memiliki hati.

Perlu diingat dan diresapi, entah memiliki makna mengena atau tidak sama sekali, tidak ada kasus pelecehan maupun kekerasan terhadap perempuan yang patut dikesampingkan demi kasus lain sejenis. Kita haruslah adil, menuntut setara kasus semacam itu dan tidak membedakan atas dasar kepentingan individu atau kelompok saja. Seperti masalah #KitaAgni juga #UntukBaiqNuril. Jelas, tidak ada namanya kasus prioritas, tidak ada kasus yang lebih penting untuk diurus dengan meninggalkan kasus yang lain. Kedua kasus tersebut harus mempunyai porsi sama, tak beda. Maka, bila satu mendapat kejelasan, yang lainnya pun berhak atas kejelasan yang sama.

Sebagai penutup, saya teringat kata-kata yang menjadi penguat Geng Gullaby asal India untuk terus bergerak melindungi korban pelecehan dan kekerasan di negara mereka; "Jika hukum tidak dapat melindungi perempuan, maka perempuanlah yang harus melindungi diri mereka sendiri."

Palembang, 25 November 2018
Memperingati Hari Anti Kekerasan Perempuan Internasional

Urgensi Kemahiran Berbahasa Inggris di Era Modernisasi dan Globalisasi

Urgensi Kemahiran Berbahasa Inggris di Era Modernisasi dan Globalisasi Sejak abad ke-18, bahasa Inggris ditetapkan sebagai bahasa Internasio...