Blogger Perempuan

Blogger Perempuan
Kunjungi laman Blogger Perempuan dan baca tulisan saya melalui link berikut

Sabtu, 18 April 2020

Kei Te Kaainga Ahau, Ko Queenstown

Queenstown merupakan kota wisata di Otago bagian barat daya Pulau Selatan. Terletak di Danau Wakatipu, di kaki pegunungan. Kota terbesar di Otago Tengah, dengan jumlah penduduk lebih dari sembilan ribu jiwa.


Selama lima hari ini, Jasmine tidur cukup nyenyak. Bangun pukul tujuh pagi sedikit kurang atau lebih, menikmati sarapan dengan tenang, membersihkan diri, memeriksa perkiraan cuaca, lalu memutuskan untuk pergi ke mana demi menghabiskan jeda waktu yang tersedia.

Dua hari pertama, ia coba naiki Gondola ke Bob’s Peak, tinggi di atas Queenstown ke kompleks Skyline. Nikmati panorama dari puncak Southern Alps dan seluruh Danau Wakatipu. Cuma beberapa menit, namun kepalanya seolah berhasil diterobos angin kencang, sampai mampu banyak melupakan keping memori buruk, dan riuh pertanyaan kalang kabut.

Kemudian, tak ketinggalan coba mendatangi salah satu pemandian air panas atas rekomendasi Leo, sahabatnya. Berendam nyaris empat puluh lima menit, berharap otaknya matang sempurna, atau paling tidak melunturkan jejak-jejak ingatan tentang seseorang di Pulau Utara sana.

Pada sore hari, beberapa kali ia bersepeda, berkeliaran di Arrowtown, mengunjungi Lakes District Museum, atau sekedar duduk-duduk di tepi sungai, berkontemplasi.

Secara sederhana, Jasmine amat menikmati kesendirian yang dihidangkan. Spasi yang ia rentang sampai sulit dijangkau oleh kawan-kawannya di ibu kota, ternyata berhasil menghadirkan kembali logika terbaik setelah dibuat jungkir balik. Ia mematikan ponselnya, sengaja tidak menyentuh media sosial demi menghindari pertanyaan di mana dan mengapa. Dia terlalu lelah harus menjelaskan dan membuat orang-orang menarik kesimpulan secara acak.

Hari ini, ia menjadwalkan untuk pergi ke Gibbston. Mengunjungi kawasan budidaya anggur yang diapit, kadang-kadang tampak menonjol, di antara pegunungan sekis yang terjal dan jurang Kawarau River berbatu. Mungkin juga membeli beberapa potong keju, mencicipi susu domba atau malah menjadi bungy jumper satu hari. Ia butuh berteriak kencang, memaki di atas udara, atau apapun itu untuk mengeluarkan endapan angkara hasil dipupuk bertahun-tahun.

"Lain waktu, akan kutemani mencoba Canyon Swinging."

Leo sempat menjanjikan hal itu kala menjemput Jasmine di airport. Keduanya bahkan gegas menulis daftar destinasi wisata ekstrem apa saja yang akan dicoba. Sayang sekali, Leo punya pekerjaan yang harus diselesaikan, padat sampai akhir pekan. Membuat Jasmine harus rela menunggu. Ia tak sabar merasakan sensasi arung jeram dan berkuda juga.

Jasmine menempati sebuah villa milik keluarga Leo. Bangunan tingkat dua, tegak menjulang bersama konsistensi kayu-kayu cokelat sampai hitam, menghadirkan kesan hangat dan sensasi sebenar rumah. Bagaimanapun, Leo telah mendengar kisah yang dibawa temannya itu dari Auckland. Seperti biasa, melarikan diri. Terdesak oleh kenyataan dan sembunyi. Jasmine selalu demikian, tak berubah sejak masa sekolah menengah.

Makanya, Leo menawarkan paket liburan dengan iming-iming mengunjungi masa kecil mereka di Queenstown. Saat Jasmine menelepon dengan suara serak yang dipastikan hasil habis menangis semalaman, Leo tahu ia memang harus melakukan sesuatu.

Ia tidak paham mengapa perempuan tersebut bisa mendapatkan kisah pahit di Auckland, sebab selama ini, ia tahu bahwa sahabatnya menetap di Wellington bersama orangtua dan seorang adik. Melanjutkan pendidikan serta akan lulus sebentar lagi. Ia ingin bertanya. Namun, mood Jasmine tidak dalam keadaan stabil untuk membeberkan lebih banyak hal, selain permintaan tolong.

Lagipula, Leo merindukan sahabatnya. Empat tahun mereka tidak berjumpa, hanya saling melempar sepatah-dua patah kabar dari pulau berseberangan. Tidak pula terlalu mengikuti kegiatan dan mengetahui lingkar pertemanan macam apa yang mengikat masing-masingnya.

Kemarin, ketika mereka pulang dari menikmati keindahan Arrow River, Jasmine sempat menanyakan tentang camp-camp perkemahan yang mereka lalui demi sampai ke villa. Ada beberapa titik, menampilkan van-van mondar-mandir, bahkan SUV pulang-pergi. Aroma kayu bakar dan barbeque menguar samar-samar. Leo bilang, gelombang pendatang kadang kala lebih tertarik menegakkan tenda sendiri ketimbang harus mencari penginapan yang sulit dijangkau. Juga untuk alasan mencintai alam, beberapa orang lebih suka tertidur berselimut bintang-bintang daripada mencium aroma pewangi buatan yang berdisfusi dengan udara.

"Kamu mau berkemah juga?"

Jasmine mengangguk semangat. "Mau!"

Leo tertawa senang. "Okay, akhir pekan ini setelah semua tugasku selesai, kita akan pergi mencari tempat berkemah yang nyaman."

"Kita harus beli banyak daging dan sosis juga!"

"Iya."

"Lalu, jagung bakar. Iya, aku suka jagung bakar!"

"Tentu."

"Bermain uno, truth or dare, pokoknya semua permainan yang tidak sempat kita lakukan selama empat tahun, harus kita coba!"

"Apapun untukmu."

Jasmine bahagia. Sangat. Rencana menyenangkan yang dibuat bersama Leo selalu happy ending. Mood-nya meningkat, akal sehatnya seolah kembali, dan dia untuk beberapa saat berharap waktu seketika berhenti. Ia ingin menetap di Queenstown selamanya, jauh dari hiruk-pikuk, jauh dari kenangan, dan jauh dari seseorang yang membuat lukanya kian lebar.

"Kamu tahu betapa bahagia aku bisa kembali kemari, bukan?"

Jasmine mengudarakan itu ketika tiba di villa. Mengatakan beberapa ucapan selamat malam dan terima kasih seperti yang lalu-lalu, sebelum Leo akan melaju lagi, pulang ke rumah, lantas menemui ia pagi-pagi. Sarapan bersama, melakukan beberapa hal sesuai permintaan sahabatnya.

"Queenstown memang selalu dapat membujukmu pulang. Tinggalah lebih lama lagi. Aku tidak keberatan sama sekali."

Sungguh, Jasmine ingin mengangguk saat itu juga. Ia memang ingin tinggal selama mungkin. Menghabiskan seluruh sisa liburan dari semester yang menyebalkan. Melupakan masalah yang sengaja ia tinggalkan di dalam lemari kamar di rumah sampai berdebu dan usang.

"Kamu coba merayuku lagi, huh?"

Leo terbahak, namun juga mengangguk. Pemuda satu itu selalu melakukan banyak hal yang mampu mengembalikan Jasmine ke tempat semestinya.

"Sebesar aku menginginkanmu tetap bertahan di sini, sebesar itu pula aku tahu kamu masih sulit untuk melepaskan yang telah pergi."

Jasmine tertawa hambar. Sedikit tersindir dan menghalau udara di hadapan wajah. Omong kosong milik Leo seperti yang ia kenal, tidak pernah terasa benar-benar kosong.

"Percaya kan, bahwa Queenstown punya sisi magis yang bisa menyembuhkan luka jenis apa saja?"

Jasmine mengangguk setuju, membalas jenaka. "Ya, tentu. Bahkan lebih besar dari kepercayaanku terhadap mitologi Māori."

Leo, bagaimanapun, merasa tidak mungkin bila harus terus berdiam diri. Ia mempelajari sahabatnya tanpa disadari. Menerka dengan logika, menarik konklusi dan mendekatkan fakta dengan beberapa email dari Rosella--adik Jasmine, yang mendadak menanyakan keberadaan kakaknya.

"Hei, mau dengar sedikit saran dariku?"

Puan di samping menatap penasaran, mengangguk kecil dengan mata bulat yang sempat Leo percaya mengandung satu sampai dua rasi bintang.

"Sometimes, you have to be willing to let go of the grips of the hands that have been held by someone else's. It's better to start everything from scratch with a new person, rather than looking after someone who doesn't want to be looked. The relationship is not a piece of rope that can be easily broken by a pair of scissors. But, if the sense of belonging to one another only ends up hurting, then use existing commitments to reinforce; love is not present just to hurt one even both. Let go, let it be. Then you will cry once, to laugh as much as possible afterwards."


Palembang, 17 April 2020
Siti Sonia Aseka

Image by Gerard Walker/Getty Images

Rabu, 08 April 2020

Trilogi Bagian 3: Galaksi


Sepanjang hidup, Galaksi tidak pernah merasa benar-benar sedih. Baginya, menderita atas takdir baik yang gagal setelah berupaya, sama sekali tidak mampu mengubah apa-apa. Ia bukannya si sempurna yang punya semua dalam genggaman. Ia bukan anak emas yang lahir dari sepasang berlian. Dia Galaksi, hanya Galaksi.

Jika bicara soal sempurna, barangkali Kejora, sepupunya, adalah definisi paling benar, paling dekat. Meski terkadang, Galaksi tak dapat singkirkan rasa janggal tiap tangkap tawa riang si gadis yang justru selalu terdengar hampa.

Kemudian, setelah satu telepon terakhir berisi percakapan aneh mereka soal surga dan neraka, Galaksi mendadak sadar; Kejora tengah susah payah obati jiwanya yang patah, meski gagal dan malah makin terhempas hingga kacau balau, berserakan.

Untuk pertama kali dalam hidupnya, Galaksi meneteskan air mata. Bukan, bukan soal kepergian. Bukan soal raga ringkih yang tak mampu lagi ia lihat dalam sekali lipatan jarak, namun tentang ketidakmampuan menyelamatkan meski sekedar mengulurkan tangan.

Lantas, di pemakaman hari itu, Galaksi mengangkat payung hitamnya tinggi-tinggi. Pandangi nisan bersama hati sesak dan sakit. Sekarang, apa yang bisa ia perbaiki?

Namun, nyaris. Nyaris kakinya melangkah pergi, sepasang netranya menangkap sosok asing. Mata tajam yang redup, wajah pucat namun tidak terlihat rusak sama sekali. Kekosongan yang tercipta barangkali adalah pertama dan satu-satunya pedih atas kehilangan dan penyesalan.

Lagi, untuk pertama kali, Galaksi sadar, ia tidak benar-benar sendiri. Untuk pertama kalinya, ia tahu, dirinya memiliki sesuatu untuk digenggam setelah telapaknya tandus dan gersang.

Untuk pertama kali ia pikir, kali ini, ia tidak terlambat membuat keputusan dengan benar. Akan ia ulurkan tangan sampai disambut suka cita tanpa ada yang harus pergi dan hilang. Karena sungguh, ia tak siap untuk dihabisi kerinduan, dilibas angan-angan dan berakhir mati sebelum ciptakan sebentuk manis yang telah lama usang.

Palembang, 8 April 2020
Siti Sonia Aseka

Trilogi Bagian 2: Semesta


Semesta barangkali mengingat impian ibu tentang keagungan namanya. Yang tak tertandingi, tanpa batas, luas bagai lapang dada milik yang Esa; Semesta Raya. Tapi kemudian, bertahun setelah hari itu membuatnya terbang ke angkasa, Semesta mulai berpikir; mungkin memang sejak awal, ibu tidak perlu menggantung harapan setinggi bintang padanya.

"Tahu tidak apa eksistensi cendala terkonyol di dunia ini?"
"Apa?" Kala itu, Kejora membuat Semesta menebak-nebak kelabu dibalik mentari jelang siang.

"Saat kesempurnaan adalah tuntutan, namun mencapainya justru berbuah hinaan."
Semesta terbahak. Keras sekali. Hari itu ia tidak sedikitpun menangkap makna utuh dari kalimat getir milik Kejora.

Namun, setelah Kejora bahkan menemukan langit abadinya, bercahaya layak dan menyinari redup dalam hati temaram meski harus terkubur di dasar tanah, Semesta baru menyadari; sekeras dan sehebat apapun ia berusaha memenuhi keinginan semua orang, itu bahkan tidak akan mendekati cukup untuk memuaskan mereka.

Semesta harusnya mengerti lebih awal. Perempuan itu lebih baik menelan pahit dari kalimat milik Kejora sebelum teman baiknya pergi dibawa lari takdir atas sebuah insiden konyol persis ucapannya; "Aku sudah tidak ingin menerima permintaan yang bahkan tidak mampu kuwujudkan."

Atas alasan itu, Semesta barangkali memang tak berminat jadikan Galaksi sebagai rekan. Tidak, dia tidak siap kehilangan lagi. Tidak akan pernah. Namun, sosok itu, sekeras apapun Semesta mendorong bersama tatap dan ucap paling keji, Galaksi tak pernah sekalipun berniat angkat kaki.

"Hei, katanya kamu ahli dalam Antropologi, ya? Aku suka sih pelajaran itu, tapi sulit. Mau mengajarkanku, tidak?"

"Tidak."

Semesta melengos. Habiskan cepat-cepat sepotong terakhir martabaknya demi enyah dari hadapan pemuda itu.

"Buset, gitu amat."

Andai Kejora ada di sini, Semesta mungkin tak perlu repot meladeni presensi orang-orang yang sama sekali tak hendak ia temui. Kejora, sesuai namanya; bersinar, menyilaukan, dan tak ragu bagikan cahaya kepada redup milik sekitar, termasuk Semesta tentu saja.

"Tahu tidak kalau semesta dan galaksi selalu punya hubungan?"

Dahi Semesta mengernyit. Galaksi tersenyum lebar, menyaksikan setitik binar tanya dari sepasang netra milik teman barunya.

"Mau tahu jawabannya? Kamu harus bersedia mengajariku Antropologi dulu. Nanti, kita bisa bahas soal tata surya bila perlu."

Semesta tertawa dalam benak. Pola klise yang sudah dapat ia duga seharusnya. Jadi di sana, menatap tanpa ekspresi, menghabiskan sisa lelahnya pada segelas es teh, Semesta gesit melarikan diri. Buat renggang spasi, sengaja ciptakan jarak.

Semata agar dongeng tentang satu kesatuan konstelasi hingga kumpulan awan tidak berhasil mampir, hancurkan jiwanya, lagi dan lagi.

Palembang, 8 April 2020
Siti Sonia Aseka

Trilogi Bagian 1: Kejora

 
"Jangan khawatir." Bisikan itu bergema dalam rungu ketika Kejora nyaris meninggalkan ceruk mimpi dan injak lantai dingin di sisi tempat tidur. Di luar, angin berhembus kacau, petir beberapa kali terdengar berdentum, sampai hujan lebat serbu atap meski redam sebelum mendarat di seluruh bagian rumah.

"Katakan pada mereka, kau pun membenci tiap inchi tanpa tapi. Manusiawi kehilangan daya tarik terhadap seseorang yang buatmu temukan suaka lain di ujung horizon sana, sedang ia duduk manis menanti entah tepat di sebelah. Kau berhak membenci apapun yang udarakan kebencian serupa terhadapmu."

Kejora tertawa kecil, mengangguk setuju. Ia usap air matanya tanpa pikir dua kali. Tantang dingin dengan raih remote air conditioner demi turunkan sampai ambang minimum suhu ruangan.

Dadanya sesak, kepalanya panas, tangannya gemetar dan hampir tak sanggup tekan tombol untuk kabulkan ingin; membeku merupakan kebiasaan yang mulai ia sukai.

Kejora sekali lagi menguarkan tawa. Beberapa detik sembur serapah di bawah napasnya. Terbatuk, bersin-bersin sejenak, pening menghantam disusul berkunang-kunang. Ia ingat, Rumpun-rumpun melati di halaman barangkali telah ramai patah sebab lakukan reuni panjang bersama hujan.

Ah, menyebalkan.

"Jangan khawatir." Suara itu terdengar lagi. Kejora tersenyum simpul. Bara dalam matanya berkobar riuh.

"Mereka hanya kehabisan bahan bakar untuk menjadi terbaik, lantas gagal temukan cara pintar, selain jadikanmu arang. Berharap kau terpanggang bagai abu. Melayang-layang sampai awan, lebur, lenyap. Bukankah demikian memang kinerja dengki dalam hapuskan eksistensi manusia menjijikan di atas muka bumi?"

Perempuan itu selalu setuju. Ia selalu mengerti. Suara-suara tersebut benar. Manusia-manusia busuk, memang pantas mendapat balasan berupa refleksi kejahatannya sendiri, bukan?

Bagaimanapun, mereka harus merasakan, bagaimana rasa sakit atas neraka kecil yang mereka buat sepenuh hati untuk orang lain. Dengan demikian, memang tak disangkal; cendala jelas bukan milik satu entitas saja.


Palembang, 8 April 2020
Siti Sonia Aseka

Selasa, 07 April 2020

Senja Sepasang Netra

Baginya, diri dipenuhi cabang paradoks lebih baik ketimbang refleksi jiwa berlawanan arah; hipokrit.


Sudah banyak ia jumpai janji-janji, bosan pula kapita rawat sabar atas kepastian yang malah pulang-pergi. Lelah kepalanya memilah mana yang pantas masuk dalam hati, atau sekedar berkelebat sejenak di ambang benak. Karena itu, si pandai bicara tidak pernah jadi favoritnya.

Namun, sepasang netra sempat ia jadikan asilum atas rasian. Hanya sepasang. Dulu sekali.
Sorot sehangat senja yang tak dapat ditemukan ganti, meski kini tak jua sedia jadi selamanya rumah.

Ia memang tak pernah menawari. Tak kemukakan ingin meski nyaris mati, ditelan sepi. Baginya, diam lebih baik ketimbang jadi egois. Sebab dengan melepaskan genggaman, barangkali yang ia cinta mampu capai destinasi demi bahagia sampai ujung horizon; meski ia tidak.

Beberapa orang pernah rasialkan dot sebagai akhir, sempat percaya pada rupa silih dan jatuh pada pivot kecewa. Muara yang mereka cari ternyata tidak cukup resistan lawan redup.

Bahana gaduh di persimpangan serupa opsi maju tanpa mundur. Menelan yang hening ke dalam lubang riuh penuh buncah; lampias sepi reda. Lantas, dari sekian reminisensi, ia biarkan kepergian berlalu asal tak tersesat pada pulang.

Sampai jumpa untuknya selalu berarti banyak. Luka bercampur lega, sakit juga getir walau sebabkan tawa. Ia selalu jadi yang menatap tanpa kuasa mencoba; raih, dekap, jaga. Tidak. Ia tidak ingin bermimpi, walau malam-malam di atas katil selalu cendala. Karena meski ia bicara, yang membalas justru hanya kans, bukan sepasang yad yang sering ia damba.


Palembang, 7 April 2020
Siti Sonia Aseka

Senin, 06 April 2020

Seribu Bangau Koyak

Origami yang dilipat menjadi bagian-bagian baru, tidak bermaksud merusak bentuk atau menghilangkan esensi layak. Keputusan tentang apa yang beda atau sama berada pada satu tingkat meski bercabang dua; sudut pandang dan hierarki. Harapan yang terkandung, permohonan tentang kemustahilan, mimpi bercampur emosi, menyeret jiwa ke arah rel kereta api, menyaksikan pulang-pergi, tawa tangis hingga rupa selamat tinggal; tanpa kedatangan.


Suatu ketika, kubawa rindu dan rasa sakit pada sebuah karcis. Tersusun apik di dalam koper, menutupnya rapat, lantas kulemparkan cuma-cuma pada salah satu gerbong sepi penumpang. Biar ia enyah, dibawa lari, barangkali tercecer; tak apa. Asal tak menetap dan ingatkan luka. Asal tak lagi jadi alasan seseorang menjanjikan pertemuan di atas hati yang dibanjiri kecewa.

Kuncup-kuncup retorika dan kelopak nada-nada adalah pagi bersama kenangan seribu bangau. Saat pohon-pohon menggugurkan daun, ketika sungai mengalirkan warna-warni dari jemari anak-anak. Pada angka tiga nol, angin berhembus lebih kencang, penuh minat. Dari sekian tulisan tangan, hanya satu yang akan direngkuh semesta demi bertiup dalam rupa kenyataan.

Menunjuk arah awan, digiring kompas, meneriaki layang-layang bahkan menaruh perhatian pada petak-petak kincir air. Sudah lama kita melupakan dongeng dan buatkan kisah-kisah baru berisi romansa. Satu dua berhasil, sisanya lenyap. Tiga empat diingat, selebihnya samar. Namun, tetap; kuledakkan khawatir kala presensimu makin jelas hadir. Sayangnya, yang tersisa tinggal angkara. Sedang afeksi terkubur di bawah pohon akasia, entah pada julang yang mana.

Dahulu, kita bermain-main di tepi tebing curam. Mengesampingkan rasa takut demi buang sekelumit simpul kusut, uraikan kontras, terjun bebas dari ketinggian entah demi kembalikan susunan otak mendekati waras. Meski riuh kota tak dapat terangi kita yang redup ibarat nyala terakhir dari percik kembang api.

"Kereta api!"

Suatu hari sorak bahagia anak-anak muncul lagi setelah berhari-hari. Susuri sepasang rel dengan anjing kecil berlari-lari. Letakkan telapak pada gerbong-gerbong padat penghuni. Tawa menari-nari, kaki tak mengalah pada letih, capai stasiun setelah cahaya mentari disadari.

Seorang bocah laki-laki menyeret langkah mendekati, peluk erat botol berisi bangau kertas pada nominal empat angka. Harapannya mekar, semerbak, meski citanya layu sampai kering kerontang. Tak bisa, ucap kepalanya kala petir menyambar-nyambar, ramaikan langit malam yang biasanya terlihat hambar.

"Bukankah kita berhak bumikan intensi hingga ujung bentala?"

Origami yang dilipat menjadi bagian-bagian baru, tidak bermaksud merusak bentuk apalagi menghilangkan esensi layak.

Namun, bagaimana, bila ternyata kita hanya telah lama rusak, sebab pasrah dikoyak?

Palembang, 6 April 2020
Siti Sonia Aseka

Picture by Namjoon Kim on Weverse

Urgensi Kemahiran Berbahasa Inggris di Era Modernisasi dan Globalisasi

Urgensi Kemahiran Berbahasa Inggris di Era Modernisasi dan Globalisasi Sejak abad ke-18, bahasa Inggris ditetapkan sebagai bahasa Internasio...