Blogger Perempuan

Blogger Perempuan
Kunjungi laman Blogger Perempuan dan baca tulisan saya melalui link berikut

Selasa, 31 Desember 2019

Orbit Takdir

Dari seluruh konklusi sesal dan bersalah, persediaan paling besar sudah tentu disimpan apik dalam kotak bernama masa lalu. Sayang, mesin waktu dan semacamnya jelas tidak pernah ada alih-alih membantu.



Barangkali bagi saksi keping yang sempat tercecer di serangkaian jalan, ada beberapa hal mengganggu dan minta tuntas tanpa tahu kesulitan apalagi hambatan. Padahal bayar lunas demi terang benderang yang mereka mau bukan sekedar dengan membalas dendam dan pembuktian tentang secercah intensi masa depan saja. Lebih dari itu, fragmen yang berserakan, serpih tersembunyi, fosil dalam tanah atas bukti telah adanya aksi demi mencapai kehendak dan usaha tak main-main, seharusnya bisa paling tidak menyatakan sesuatu. Well, bukan masalah. Sebab sudah lama sekali kepedulian itu diangkut pergi, tak menjejak meski seinchi. Barangkali memang masih ada secuil asa, sampai semua sakit hati membuatnya menguar tanpa cela ke udara.

Tentang rindu, barangkali hati yang telah membatu ini bahkan tak mampu menerima sedemikian afeksi atas alasan dilukai. Bahkan bila kukatakan akulah korban, semesta bisa saja menertawai sampai gempa bumi dan tsunami melanda lagi dan lagi. Sebab ternyata, orbit yang telah kulalui menciptakan sebait puisi baru, tentang apa dan siapa, lantas mendorongku hingga terdesak demi menggapai fakta; aku bukan satu-satunya yang berdarah.

Barangkali memang cinta yang telah kuupayakan sebesar cara matahari menyinari bulan tak pernah dapat mencapai kenyataan paling baik. Paket kebahagiaannya mungkin tersesat di suatu tempat dan aku hanya harus menuntaskan tanpa alasan paling kuat. Toh, tak semua hal harus kita cintai. Hal yang paling kita benci sekalipun harus tetap dilakukan apabila memang dibutuhkan. Namun, sama dengan fenomena siang dan malam, kerinduan juga niscaya. Ada beberapa waktu dan bagian-bagian kisah terbentuk di ruang baru, tak dianggap sebenar utuh, namun tentu akan mengakibatkan kekosongan kala hilang dan seolah dilepaskan tanpa ancang-ancang apapun. Juga bila ternyata rasa tak pantas itu berlanjut dari waktu ke waktu, menggerogoti dinding yang perlahan rapuh. Entah sampai kapan, entah apakah memang cara mengobatinya hanya dengan mendoakan dari jauh. Karena jarak yang terbentang, spasi yang meluas ini tak memiliki alasan barang setitik untuk menyambung benangnya lagi. Rasa tertekan, terbebani, diusir dan dibuang ternyata juga membuat hati mudah sekali termakan sebaris ego untuk tak menjadi semaksimal diri. Dengan alasan melupakan, seseorang mampu menyayat kulit yang lain. Dengan dalih terpaksa, seseorang bisa menorehkan tinta acak yang tanpa disadari membawa kelam bagi halaman yang lain.

Harusnya, rasa berhak itu tetap tinggal agar masih ada paling tidak keinginan yang bangkit demi mengetahui setidaknya kabar. Harusnya ada pertanyaan tentang kenangan dan tuntutan atas jawaban paling benar dari segala kejadian. Ah, aku barangkali sudah terlalu banyak berharap, padahal tak ada satupun rela yang kutitipkan kala beranjak.

Terlihat sederhana.
Segalanya tampak tanpa noda.
Aku pun baru menyadari bisa jadi segala 'baik-baik saja' itu hanya cara dari Tuhan agar aku merasa nyaman dan tak hendak menyerah.
Tantangannya ternyata tersimpan dalam secarik jiwa, bukan pada apa dan siapa di luar sana.
Aku hanya butuh banyak berkaca.

Akhirnya, pengakuan kecil yang kupikir mampu mengobati sekian sesak setelah belasan bulan melompati sisa luka meski tak sempurna reda, tiba juga.

"Rindu. Rindu sekali. Andai kesempatan itu datang lagi, barangkali, aku akan lebih memberikan segalanya ketimbang meminta alasan untuk tetap tinggal pada serangkaian rumput bergoyang."

Penerimaan ternyata tak selamanya tentang merelakan dan melepas apa yang memang tak pantas berada dalam genggaman. Seolah barang dagangan murah yang hanya dijejalkan begitu saja, minta dijaga, minta dimiliki, meski hati barangkali tak menginginkan, mau bagaimana lagi? Sudah terjadi.
Harusnya aku mengerti dengan rinai mendewasa paling bijaksana.
Harusnya kepalaku dilubangi dengan logika paling benar, agar pikiran cacat tentang ketidakmampuan orang lain dalam memahami diri, berubah menjadi usaha lebih keras untuk masuk lebih dalam pada muara bernama kebenaran.

Balasannya sudah tiba, tenang saja.
Lebih cepat dari yang semula kukira.
Belasan bulan ini jadi ajang luar biasa dalam masuk ke dalam peran yang memaksa, mendorong dan mendesak untuk menyaksikan drama baru sebagai pemain sekaligus kru belakang layar.
Ternyata, ruangnya dipasangi dinding kaca hingga aku bisa melihat dari segala sisi yang ada.
Bahkan ajaib, kesalahan, penyesalan, langkah, keburukan dan potongan lain terpampang nyata, begitu magis, meski perlahan aku memang membunuh diri sendiri dan masih tak kuasa menjadi satu-satunya yang terluka. Tapi, aku tak boleh mundur ke belakang, bukan? Bila balasan semesta kembali kulewatkan dengan alasan ketidaksiapan, barangkali di masa depan sakitnya akan semakin tak terkendali dan rusakku tak mampu dibenahi lagi.






Palembang, 31 Desember 2019
Siti Sonia Aseka

Urgensi Kemahiran Berbahasa Inggris di Era Modernisasi dan Globalisasi

Urgensi Kemahiran Berbahasa Inggris di Era Modernisasi dan Globalisasi Sejak abad ke-18, bahasa Inggris ditetapkan sebagai bahasa Internasio...