Blogger Perempuan

Blogger Perempuan
Kunjungi laman Blogger Perempuan dan baca tulisan saya melalui link berikut

Selasa, 09 Januari 2018

Puisi (Masa Lalu)

Masa Lalu
Siti Sonia Aseka


Pada sebuah jejak yang sengaja kutinggal, cukup jauh dari garis pantai hingga tak sanggup bagi alun tuk menghapusnya. Angin serasi ombak, berlarian disekitar, melempar angan pada sekian waktu berlalu. Katakanlah, bahwa aku sang perindu.
            Tahun-tahun berjalan secepat yang ia bisa, memaksa gegas agar tak lepas, terburu pada kesiapan, entah apa benar aku tertinggal atau malah melaju secepat kilat. Hari ini, berbeda dengan debar di masa lalu, menikung rasa, terdampar pada logika yang sempurna. Bahwa sesuatu pernah coba kumulai. Tentang rumah di suatu tempat bernama hati, terbangun nyaris siap ditempati bersama sepasang paket bernama menyerah pada ketepatan.
            Namun, aku perlu tau dan engkau perlu menjelaskan; mengapa kita begitu saja terjebak disini dan mendahului takdir. Sebab terkadang, pikiranku kembali pada titik terbaiknya. Meminta ungkapan yang benar.
            Maka, malu itu tampak pada tiap-tiap sujud yang sengaja kupanjangkan. Memohon ampun sebesar yang kubisa, sebab Dia adalah Maha atas segala pinta. Semoga tak terjadi kesalahan yang sama, mengharap pada selain Dia. Cinta melebihi Cinta kepada-Nya. Karena aku percaya, takkan terberkahi rasa selain mendahulukan Dia, Karena-Nya.
            Dan disebuah bulan yang rutin kita cinta melebihi bulan-bulan lainnya, niatku mampir sejenak, mengusir rindu tentang masa-masa lupa. Ah betapa masih kecilnya akal yang kupunya, betapa sempit hati tuk menerima, padahal ketetapan-Mu jelas, seterang mentari namun masih coba kuingkari.

            Apa kabar Anda?

            Setelah uji kelulusan, setelah masa-masa perjuangan disini mendekati usai, akankah engkau berpaling pada tempat selain Kabupaten kecil kita? Atau baktimu pada tempat ini, rumah yang entah kapan terbangun pada memori membuatmu bertahan walau sungguh tak ada yang menahan? Sebab, pintaku hanya semoga kebaikan menyertai langkah kakimu. Tentu jauh dari andai-andai bahwa kelak engkau kembali membawa janji pasti.

            Siapalah aku ini?

            Hanya rinduku saja yang menyisa, sungguh telah kubuang segala rasa. Kita hanya pernah jumpa disuatu petang diawal maghrib hari itu, sebagai rekan seperjuangan. Cukup pantas? Walau nyatanya perjuanganmu bahkan lebih lama dan lebih berat ketimbang aku, kisahmu jelas lebih indah dan terkenang dibanding diriku yang hanya butiran debu.
            Temu kita, suatu masa, entah karena apa, ku harap sebagai terbukanya pintu maaf. Walau tak pasti siapa yang berhak dimaafkan atau memaafkan pihak yang lain. Kembalimu atau pergiku, suatu saat mungkin menjelma rindu yang lebih dari ini. Lantas, temu kita ku harap mampu mengobati prasangka, menuntun kepada apapun asal bermuara pada-Nya.

Sabtu, 27 Mei 2017
Di awal Ramadhan.

SYAWAL


SYAWAL
(Siti Sonia Aseka)


Bulan Syawal berlalu banyak. Jelang sepuluh hari terakhir, terhitung telah masuk sekitar lima belas undangan Walimatul Ursy. Belum lagi semua adalah kawan dekat, mbak-mbak seorganisasi bahkan, juga pembicara-pembicara kece di Daurah-Daurah kampus. Yang lebih parah, rata-rata Akhwat yang menikah adalah Akhwat satu fakultas, yang karena itu pertanyaan kapan nyusul serta merta usil dilontarkan rekan satu lingkaran. Pusing. Padahal, menurutku menikah bukan soal musim-musiman atau ajang siapa yang laku tercepat. Bukan itu tentu saja. Menikah bahkan punya makna luas yang aku sendiri belum bisa mendeteksi apa dan bagaimana. Hanya seringkali membaca beberapa cerita seputar pernikahan di blog atau situs menulis online.
            Berita terupdate hari ini masih seputar pernikahan Muzammil Hasballah dengan Sonia Ristanti. Semua Akhwat serta merta tersandung virus baper. Bahkan hastag Hari Patah Hati Dunia Akhirat pun memenuhi sosial media. Lepas dari kabar mengguncang dunia perakhwatan itu, muncul lagi kabar yang dijamin bikin seisi kost banjir air mata dan ingus membahana. Fatih Sefaragic yang diidam-idamkan oleh Akhwat seantero bumi pun kedapatan mengunggah foto cincin pernikahan. Apa nggak mati baper?

“Ya itulah kenapa kita kudu rajin memantaskan diri. Liat ikhwan-ikhwan zaman begini. Nyarinya ya akhwat total bukan gadungan, setengah taat setengah nanti-nantilah.”

            Itu kalimat Rini di suatu sesi sahur shaum syawal, ketika seluruh penghuni kost mengitari meja makan. Ike di sudut lain angguk-angguk pertanda ngantuk, sementara yang lain keliatan sibuk memilah menu mana yang mau diambil sebelum keduluan yang lain.

            “Heh, udah tahajud belum ente? Maen duduk aje.” Rini nyaris menggetok kepalaku dengan gagang centong.

            “Ye udah kali, mak.” Aku buru-buru melarikan paha ayam yang bila lengah sebentar saja, bakal ditarik tanpa ragu oleh Rasti yang keliatan sekali lapar pakai banget.

            “Ya Allah, iki opo?” suara Ana terdengar setengah memekik di seberang meja. Aku meringis.

            “Apa sih, Na? paling jadwal kuliahmu diundur lagi, kan?” Ike melirik kesal. Padahal kalau saja Ana nggak usil berteriak, dia sudah tertidur nyaman sambil ngunyah ayam.

            “Mbak Sari sama Bang Doni nikah wey Minggu depan!”

            Bunyi gradak gruduk terdengar riuh. Bahkan Rini yang sejak tadi paling bijak ikut-ikutan melompat ke arah Ana, merebut hp-nya yang entah sejak kapan sudah retak-retak tanpa dosa. Entahlah, mungkin penghuni kost kanan kiri yang juga tengah bangun sahur punya niat melempar kami dengan piring pecah belah atau sendok makan atau apa saja yang sekiranya bisa menimbulkan lebam.

            “Syawal oh Syawal, cobaan mu kok ya gini amat?” dalam gaduh masih sempat terdengar rintih hati Rini yang membuat kami cekikikan.

***

Urgensi Kemahiran Berbahasa Inggris di Era Modernisasi dan Globalisasi

Urgensi Kemahiran Berbahasa Inggris di Era Modernisasi dan Globalisasi Sejak abad ke-18, bahasa Inggris ditetapkan sebagai bahasa Internasio...