Blogger Perempuan

Blogger Perempuan
Kunjungi laman Blogger Perempuan dan baca tulisan saya melalui link berikut

Rabu, 24 Februari 2021

Perempuan yang Membenci

 

Benci adalah gersang, ujar si perempuan, suatu hari. Kalau-kalau waktu mengizinkan yang pernah luka-melukai bertemu lagi, barangkali… ada sepotong caci maki harus mengudara, membumi, di antara bilah kering bibir milik hati yang tersakiti.


Maaf adalah mitos, si perempuan tertawa hambar, "Pengampunan tidak lahir dari perasaan pasrah seolah tak miliki pilihan lain. Karena itu, aku memilih tak memberi maklum lalu bertingkah seolah memang tak pernah dengar nama-nama mereka; penuh duri. Sedang lukaku belum jua sembuh, masih basah dan pedih."


Biasanya, pada Ahad pagi, ia langkahkan kaki berlari sejauh dua kilometer. Mengitari jalan-jalan sepi, cenderung gelap. Menemukan pemilik bengkel-bengkel kecil mendorong alat berat sebagai pengisi angin ban kendaraan. Tak lupa, pohon-pohon yang sisa sedikit menggugurkan daun. Petugas kebersihan yang baru tiba akan menyapu sampai tandas, meski tak sampai satu jam setelah mereka merasa usai, daun-daun baru akan gugur dan menyapa aspal lagi. Mampir sejenak, sebelum terbawa angin, tergilas laju sepeda motor, atau malah tersangkut pada atap-atap rumah.

Pada Ahad sore, selepas bangun tidur dan melewatkan makan siang yang kerap buru-buru, ia menghabiskan waktu menonton film-film lama. Bukan romansa, sebab genre tersebut adalah jenis yang paling ia hindari. Membiarkan dirinya digulung selimut kelabu, sengaja tak menyalakan lampu, menutup gorden, kemudian menemukan ketakutan tentang zombie dan kisah-kisah menyeramkan menghantui kepalanya hingga Senin pagi.


Ia akan bangun dengan mata bengkak, agak sayu sebab tak cukup lelap semalaman. Lantas pergi bekerja. Menghabiskan lusinan kesempatan entah apa di balik kubikel kecil dan layar maya yang telah menjadi kawan sejak bertahun silam.


Netraku selalu dipenuhi badai, ungkap si perempuan, "untungnya, kepala dan hatiku cukup pintar untuk tetap sehat."


Belakangan, ia mencintai teh citrus ketimbang kamomil, juga sempat mencoba teh hijau meski memutuskan mundur pada gelas kedua. Katanya, harum dan pahit citrus lebih terasa menyenangkan, meski kelembutan kamomil masih terus membayang. Ia tidak keberatan mengakrabi teh hijau pada hujan lebat Sabtu malam, walau lebih suka kopi susu pekat yang membuat matanya segar lebih lama.


Ia masih kerap bertemu teman-teman sekolah, duduk di kafe berjam-jam, mengobrol dengan mereka seolah takkan ada kesempatan selepas hari berganti. Hanya sesekali berpapasan dengan teman-teman kuliah di mall, atau saat ia duduk merenung di restoran dua puluh empat jam, memesan junk food, walau setia memusuhi cola. Tersenyum, menyapa pendek, lalu sibuk sendiri-sendiri.


Kadang, ia juga menyempatkan berjalan-jalan menyaksikan galeri seni, berdiri di hadapan bingkai-bingkai lukisan, meneteskan air mata tanpa tahu sebabnya, menyusuri setapak untuk pulang ke rumah setelah mendapat kesempatan membeli makan malam. Atau ketika bookfair singgah di kotanya, mengizinkan ia kalap dengan membeli lebih banyak buku sebagai persediaan menemani waktu-waktu sepi. Untuk buku, ia tak pernah membenci. Karena manusia adalah entitas paling cerdas dalam membangun karakter sempurna tokoh fiksi.


Benci adalah gugur daun pada dahan-dahan kurus pohon jati, ujar si perempuan, suatu hari. Kalau-kalau waktu mengizinkan yang sempat luka-melukai bertemu lagi, barangkali… ada sepotong ragu harus melebur dengan bumi, di antara celah resah milik hati yang tersakiti.


Palembang, 24 Februari 2021

Siti Sonia Aseka


Note:

-Sedang malas membuka Canva

-Tengah tak mampu menahan diri untuk memposting esok hari

Selasa, 16 Februari 2021

Bergamot Essence

 

BERGAMOT ESSENCE

 

"Kapan terakhir kali kamu menangis?"

 

Seseorang di depanku memulai sesi 'diskusi' kami dengan satu pertanyaan sederhana, "Kapan terakhir kali kamu menangis?"

 

Well, tidak sulit.

 

"Bulan lalu."

 

"Kenapa?"

 

"Karena sebuah fiksi menyedihkan di Wattpad dan karakternya menyebalkan setengah mati."

 

Dia terlihat tersenyum geli, sementara aku mempersiapkan diri. Pertanyaan yang dilontarkan biasanya akan semakin rumit. Meski demikian, 'temanku' ini selalu tahu, jawabannya tersedia; hanya mulutku seringkali kelu hingga diam jadi niscaya.

 

"Selain itu?"

 

Aku memiringkan kepala. Menatap langit-langit ruangannya yang berwarna putih gading, mengolah sebuah pola cepat untuk menjemput ingatan. Pandangan kami lalu bertemu dalam satu garis lurus.

 

"Tidak ada."

 

"Yakin?"

 

Aku mengangguk pasti. Membenahi posisi duduk yang mulai tak nyaman, menyesap secangkir teh hangat yang uapnya mengangkasa pelan-pelan.

 

"Kalau begitu, kapan terakhir kali kamu menangis karena seseorang… yang nyata?"

 

Aku menghentikan ketukan tanganku pada permukaan meja kaca, mengerutkan dahi.

 

'Karena seseorang…'

'Kapan?'

 

"Tidak tahu."

 

"Kamu tahu."

 

"Lupa."

 

Satu detik, dua detik…

 

Jemariku saling meremat di pangkuan. Keringat dingin mulai muncul di pelipis. 'Temanku' lagi-lagi tersenyum, ganjil. Aroma bergamot dalam ruangan ini kian pekat ketika jemari kakiku yang terlepas dari sepasang sandal menyentuh dinginnya lantai.

 

"Kamu tahu aturannya, bukan?" iya berdiri tanpa suara, beranjak menuju sebuah dispenser di sudut ruangan dan memulai ritual; membuat kopi hitam tanpa gula yang anehnya tak pernah muak ia telan.

 

"Kita tidak akan bergerak ke mana pun jika tidak lagi memedulikan kejujuran. Kita sudah sepakat, bukan?" Ia berbalik tiba-tiba, menatapku lembut meski nada suaranya berkebalikan.

 

Aku masih bungkam. Tetapi sesaat setelah benang kusut kembali menghantam dan dadaku seolah diremat kuat, sesak, kutemui sekotak tissue didorong mendekat.

 

"Air matamu." katanya, pendek.

 

Buru-buru kutarik sepasang, lantas menghela napas cukup keras meski tak terisak.

 

"Ada seseorang," aku mulai bicara. "dia mengungkit kapabilitasku, main-main dengan prinsipku, menertawakan keberadaanku, dan menciptakan lelucon tentang… diriku."

 

"Temanmu?"

 

"Ya."

 

"Berapa lama kalian saling mengenal?"

 

"Dua tahun? Entahlah, aku tidak yakin."

 

"Apa kalimat terakhir yang dia katakan padamu?"

 

"Kami tidak seharusnya saling mengenal. Dia… dia bilang, itu bagian dari salah satu kesialan hidup. Bagian yang sayangnya besar."

 

"Lalu?"

 

"He thinks that… I'm a difficult person."

 

Suara ketikan pada keyboard laptop di depan sana masih terdengar. Aku menyeruput tehku lagi. Sudah tak sehangat pertama kali cangkir mampir di hadapan, namun aku masih tetap memerlukan sesuatu untuk melegakan kerongkongan.

 

"Lalu, apa yang kamu pikirkan tentangnya?"

 

"Orang baik namun jauh dari kata bijaksana."

 

"Begitu?"

 

Aku mengangguk. 'Temanku' menghembuskan napas, jemarinya tetap menari dan pandangan itu makin serius seolah tengah membabat habis segala kemungkinan buruk.

 

"Orang baik tidak akan menggores hati siapa pun dengan sengaja."

 

Aku menunduk, sedikit mengangguk sebab sepakat.

 

"Tetapi dia memang orang baik."

 

"Beri aku satu alasan."

 

"Dia pendengar yang sabar."

 

"Then, why he kicked you out?"

 

"Mungkin… mungkin karena aku berbeda. Aku tidak pantas, tidak layak atas perlakuan manusiawinya. Dia berbuat menyenangkan pada semua orang, kecuali aku. Dia membantu banyak orang tanpa pamrih kecuali denganku. Dia… dia melalukan segala hal dengan sempurna dan tepat sasaran."

 

"He kicked you out."

 

"He did."

 

"Dan menurutmu, dia tetap orang baik?"

 

"Ya, aneh bukan?"

 

Kami saling pandang. Aku yakin sepasang netraku yang redup telah kembali diisi badai, sementara miliknya seperti biasa, kelabu, dihantui mendung. Ada pahit yang perlahan merangkak dan kusesap.

Sesi hari ini berakhir begitu saja dengan PR kecil, "Bisa bantu aku mengidentifikasi kembali makna baik dalam kepalamu? Kita bertemu lagi besok. Jaga kesehatanmu."

 

Mendadak, aku dihajar pening.

 

***

 

Bara masih duduk tegap sembari mengamati layar maya di hadapan, menampilkan data dan coretan-coretan kecil yang sengaja ia buat demi mempermudah peta pertanyaan, sampai konklusi setiap sesi terapi yang harus ia selesaikan setiap hari. Daftar nama, rincian masalah, hingga analisis terbaru yang kini tengah ia susun dan sebentar lagi rampung.

‘Teman ngobrol’ terakhirnya sore ini adalah Calla Lily, atau Bara sendiri kerap memanggilnya Calla, alih-alih Lily seperti yang si perempuan minta sejak awal pertemuan. Sesuai namanya, setangkai bunga musim panas; terlihat tanpa cacat, meski pada waktu-waktu tertentu, ia akan jatuh dan nyaris patah. Bara menghela napas, walau tak sampai dua detik kemudian gegas merapikan peralatan dan meja kerjanya, buru-buru pulang. Perkara Calla akan ia pikirkan lagi nanti. Sebab besok, mereka akan bertemu kembali, dan Bara butuh persiapan matang apabila ingin mendapat jawaban. Calla selalu tandang pada sesi konsultasi paling buruk sekali pun. Mata sembab, wajah pucat, atau saat ia berkata belum tidur berhari-hari dan lupa kapan menelan sesuatu. Perempuan tersebut tidak pernah ingkar, dan Bara bersyukur.

 

***

 

Bergamot, atau Citrus Bergamia merupakan antidepresan paling kuat karena memiliki sifat stimulan; merangsang lepasnya hormon serotonin dan endorfin yang memicu perasaan bahagia. Bergamot bisa menciptakan perasaan sukacita, meningkatkan kesegaran, dan energi. Secara tidak langsung juga mampu meningkatkan sirkulasi darah dalam tubuh. Spesifiknya, bergamot mampu menjadi obat alami untuk kegelisahan dan meredakan gelombang kecemasan.

Calla mendorong knop pintu berwarna putih bersih yang pelan-pelan akrab dengannya sejak tujuh bulan terakhir. Mengakrabi kembali aroma campuran kopi, kamomil, dan bergamot yang mau tak mau menghantam indera penciumannya tanpa tedeng aling.

Ia meletakkan ranselnya di atas sofa navy untuk kemudian mendudukkan diri di hadapan sebuah meja kayu tak seberapa panjang.

 

“Aku tidak ingin teh.” alis Calla menukik saat Bara meletakkan secangkir teh hangat seperti yang sudah-sudah. “Aku ingin kopi.”

 

Tak terlihat terkejut sama sekali, Bara menarik kembali teh hangat yang belum tersentuh tersebut dan mengganti dengan gelas kopi miliknya sendiri.

 

“Menikmati makan siangmu?” Bara tersenyum. Rautnya selalu ramah sekaligus sopan.

 

“Sedikit. Hari ini menunya seafood, aku tidak suka.”

 

Bara terkekeh, menemukan Calla menatapnya kesal, lalu mulai menyalakan kembali laptop. Membuka file yang ia perlukan, lalu menyesap teh untuk meredakan kering di kerongkongan.

 

“Jadi, sudah menemukan jawabannya?”

 

“Tentu.”

 

Kali ini, Calla melipat kedua tangan di atas meja, persis murid yang siap menerima pelajaran dari gurunya. Mata bulat yang agak cekung itu beberapa kali melempar tatap pada jendela kaca ditutupi gorden berwarna biru langit.

 

“Jadi?”

 

“Baik adalah saat sesuatu tidak pecah meski digenggam erat-erat.”

 

Bara kembali menatap Calla yang masih tenang di kursi. Ia mengangguk dua kali meski tak merasa jawaban tersebut memuaskannya.

 

“Maka seseorang yang baik adalah?”

 

“Orang baik itu tidak ada.” perempuan di hadapan Bara kini berkaca-kaca, menarik sekotak tissue yang hari ini sengaja diletakkan tepat beberapa jengkal dari tangannya. Bara memang pengertian.

 

Bara tertegun, ia masih belum mengetikkan apa pun. Layar maya di hadapannya masih kosong melompong. Mungkin, ia akan pilih mengesampingkan benda tersebut dan tetek bengek peralatan terapi lainnya hanya demi menyelami lekat-lekat isi kepala Calla, dan pertanyaan atau carut marut apa yang mungkin kerap perempuan tersebut simpan sebab tak juga menemukan jawaban.

Tetapi Bara tahu, akal sehatnya selalu berlawanan dengan kehendak hati yang terkadang lepas kendali. Ia di sini untuk membantu Calla dengan cara yang benar, dengan metode yang tepat, bukan malah menambah masalah. Calla juga bukannya butuh kepedulian menye-menye tanpa landasan. Perempuan itu perlu sembuh.

 

“Calla,” Bara mengedip beberapa kali. Bergerak lamban mematikan laptopnya dan menghabiskan secangkir teh hangat yang barangkali bisa membakar lidahnya. “Bisa kita cari tempat lain untuk bicara?” si lelaki tersenyum, meredakan detak tak beraturan sepanjang napasnya.

 

Alih-alih menjawab, Calla malah menatap tak mengerti.

 

“Kamu pernah bertanya aromaterapi apa yang kupakai di ruangan ini, kan?”

 

Calla mengangguk, kepalanya dimiringkan sejenak.

 

“Bergamot. Pernah dengar?”

“Tidak.”

 

“Nah, akan kujelaskan tentang hal satu itu.” Bara berdiri, menggulung lengan kemejanya hingga siku, lalu tersenyum. “Sekarang, kita perlu turun dan makan sesuatu.”

 

“Aku sudah-”

 

“Bukan seafood.” Bara meyakinkan, ia tidak boleh patah semangat dalam memaksa Calla mengembalikan akal sehatnya.

 

Lagipula, siapa yang bisa berpikir saat perut kosong, benar kan? Bara paham, ia harusnya tak melupakan fakta bahwa Calla kerap menghukum dirinya bila tak berhasil melakukan sesuatu sesuai target yang ia buat sendiri. Contohnya, mengabaikan rasa lapar, sengaja kelaparan, lalu sakit.

Bara harusnya ingat, pekerjaan rumah yang ia berikan, tidak boleh melampaui kemampuan pasien, sebab jika tidak, yang kembali padanya jelas bukan kabar baik.

 

“Ayo, Calla.”

 

***

Palembang, 16 Februari 2021

Siti Sonia Aseka

Urgensi Kemahiran Berbahasa Inggris di Era Modernisasi dan Globalisasi

Urgensi Kemahiran Berbahasa Inggris di Era Modernisasi dan Globalisasi Sejak abad ke-18, bahasa Inggris ditetapkan sebagai bahasa Internasio...