Blogger Perempuan

Blogger Perempuan
Kunjungi laman Blogger Perempuan dan baca tulisan saya melalui link berikut

Kamis, 30 Desember 2021

Simpul II: Kaca yang Retak



Saya menulis ini pada jelang akhir November, sembari berbaring dan sesak sebab ingin menangis.

Pada akhir tahun lalu hingga paruh pertama tahun ini, saya banyak merenung sembari bermain-main. Bekerja dengan limit cukup, bosan, berganti pekerjaan beberapa kali, memulai dari awal lagi, beradaptasi dan bertemu orang-orang baru lagi, larut dalam deadline membunuh, berjalan-jalan, bertemu teman-teman lama, dan menertawakan meme-meme lucu di internet.

Kemudian, selepas Hari Raya Idul Fitri, barangkali sepekan atau dua pekan setelahnya, saya menemani seorang teman menghadiri akad nikah teman kami yang lain. Kehujanan dalam perjalanan, berteduh di pom bensin, bedak luntur, wajah pucat, dan bau apek. Tetapi kami tetap mendapatkan banyak foto dan moment terbaik.

Saya ingat, sembari duduk di halaman rumah mempelai perempuan kala menanti waktu ijab qabul. Suasananya syahdu walau agak mendung, beberapa orang tak terkecuali kami mengobrol dalam intonasi tipis dan bisik-bisik.

Kata orang, permintaan dan harapan yang didoakan beberapa saat sebelum dan sesudah ijab qabul berlangsung akan lebih cepat dikembalikan dalam rupa kenyataan. Karena sebuah persaksian, perpindahan bakti, peralihan tanggung jawab dari seorang bapak kepada putrinya menuju sepasang pundak milik suami, dihadiri oleh malaikat berbaris rapi.

Doa-doa apapun, akan lebih cepat diangkut ke langit karena dibawa oleh lebih banyak perantara.

Saya ingat tidak pernah berdoa luar biasa serius sebelumnya. Atau mungkin pernah, satu dua kali dalam hidup, saat masih begitu muda. Tetapi, hari itu saya berdoa, menundukkan kepala dalam-dalam, hampir menitikkan air mata saat kata SAH membahana. Di kursi sebelah, kawan yang saya temani melakukan hal yang sama. Ya, kami berdoa, berdoa tanpa suara meski barangkali benak berteriak seperti orang gila.

Lalu melompati bulan-bulan setelahnya, saya lagi-lagi terjebak dalam rutinitas yang sama, dalam lingkaran 'hampir' beberapa kali, menatap laptop, menulis ini-itu, menyiapkan presentasi, rapat, menyusun notulensi, menyampaikan ide, lalu kembali menghibur diri dengan internet, menonton dan membaca banyak hal, berkirim pesan dengan beberapa orang, lalu larut lagi dalam pikiran yang itu-itu saja.

Lalu akhirnya, saya menyampaikan kabar baik melalui media sosial dan aplikasi pengantar pesan, sesuatu yang sudah saya rencanakan sekian lama; pernikahan. Ya, saya akan menikah. Akan. Setelah proses panjang yang tidak mudah, melibatkan begitu banyak orang, emosi campur aduk, lalu membulatkan konklusi dengan logika terbaik, bahwa saya siap, bahwa saya mampu, dan bahwa saya akan memenuhi satu sunnah, sebuah anjuran. Bahwa saya, kami, sepakat akan melantunkan sebuah janji yang disaksikan langit dan bumi.

Sebisa mungkin tidak membawa terlalu banyak perasaan. Mengesampingkan semuanya. Cukup dengan sujud-sujud panjang tak berkesudahan, mencari penguatan untuk menjawab cabang-cabang tanya dalam kepala.

Namun, entah, saya selalu punya dua sudut pandang saat berhadapan dengan sebuah situasi. Saya merasa senang, sekaligus terluka. Saya merasa bahagia, sekaligus merana.

Saya mendapatkan sekian doa dari orang-orang baik, ucapan selamat, dan dukungan. Saya menerima sekian nasihat dengan hati terbuka dan tangan merentang. Tetapi, sayang sekali, beberapa orang yang saya harap berada di garis terdepan dalam kebahagiaan itu, ternyata tidak ada di sana untuk menggenggam syukur yang sama.

Dengan satu undangan dan kabar baik, ternyata saya bisa kehilangan beberapa teman, kehilangan sahabat bahkan, kehilangan orang-orang yang bertahun menyusuri jalan yang sama dengan saya.

Rasanya aneh dan getir. Bahwa kemudian hidup memang bergerak menjauhkan dan mendekatkan manusia, memberi pelajaran sekaligus pengajaran, mengantarkan ke satu tempat menuju tempat-tempat lainnya. Tanpa menunggu, tanpa meminta izin lebih dulu. Manusia dipertemukan dan dipisahkan karena takdir yang mengikat, bahkan sebelum bumi diciptakan dan Adam ditiupkan ruh di surga sana.

Barangkali memang sudah masanya manusia berhenti bertemu dan terlibat dengan manusia lain. Sudah saatnya saya berhenti menjadi rimbun yang meneduhkan, atau angin sepoi-sepoi yang menaklukkan dahan pohon. Saya harus berhenti membuka pintu dan perlu menutupnya rapat-rapat.

Karena sudah waktunya membiarkan yang sekadar singgah pergi dan yang menjanjikan sebuah tetap untuk tinggal selamanya. Meski menyakitkan, walau kesiapan itu belum tampak bentuknya, dan tanda-tanda keikhlasan masih jauh panggang dari api. Namun, relasi bukanlah hal sembarangan yang bisa disepelekan hanya karena ketakutan untuk memulai dari nol lagi.

Tepat dan tetap; bagaimana ketentuan-Nya tidak akan berubah hanya karena desakan manusia. Pengaturan-Nya selalu menyelamatkan berbagai situasi, jawaban-Nya tak pernah melenceng jauh dari permintaan dan kehendak hati. Manusialah yang kerap memaksakan kehendak. Manusialah yang selalu merasa berhak menyusun rencana dan berpenghidupan. Manusialah yang seringkali menyulitkan diri sendiri.

Saya paham, bagaimana barangkali duka mendera sanubari orang-orang. Saya mengerti dan coba memahami. Saya peduli dan tak hendak menutup mata atas rasa sakit yang telah manusia alami. Namun rasanya tak adil ketika pada sepetak halaman bernama hidup, beberapa sosok hanya sibuk merayakan luka-lukanya. Memaksa orang-orang menyalakan kembang api atas pesta pora yang mereka sebut merana.



Dengan keengganan itu, saya terluka. Dengan penolakan-penolakan, saya berduka. Dan dengan pilihan menjauh sampai tak hingga hanya demi menyelamatkan perasaan sendiri, buahnya kecewa.

Tetapi kata-kata saja, jelas tidak akan menyelamatkan apa-apa. Saya tahu, saya tidak bisa merekatkan kembali pecahan kaca dan mengembalikannya seperti sedia kala. Kerusakan yang ada, mustahil mampu saya ubah jadi sempurna. Maka, saya berdoa, bagaimanapun dan ke manapun masa depan membawa kita, semoga, tak ada lagi luka-luka yang sama menyerang kalbu sampai hancur nan nelangsa.

Aamiin.

Dipublikasi di:

Palembang, 30 Desember 2021

Siti Sonia Aseka

Minggu, 26 Desember 2021

Simpul I: Menjawab Tanya Soal 'Mengapa?'


Setidaknya beberapa tahun lalu, sebelum usia menyentuh angka 20, pernikahan selalu jadi kata paling mengerikan. Jauh sebelum itu, justru wacana menikah menjadi sesuatu yang jauh, amat jauh. Spesifikasi usia 'sebelum dua puluh lima' yang dibangun oleh masyarakat, membuat ketakutan dan rasa canggung melompat-lompat meriah dalam benak. Kenapa harus? Mengapa menikah seolah dijadikan taraf pencapaian tertinggi dalam hidup? Dan mengapa saya perlu terjebak dalam gelembung cara berpikir yang salah ini lantas suka tidak suka menerimanya dengan tangan terbuka? Sampai pada kesimpulan bahwa barangkali sepanjang usia, saya siap bila hanya sendiri; tidak memercayakan jiwa dan raga pada seseorang dalam sebuah naungan bernama pernikahan.

Waktu kembali berlalu, saya mendewasa, pikiran tersebut hilang-timbul, tersendat sebab restu. Orangtua mengerutkan dahi sembari napas memburu, bertanya sekaligus menahan emosi, barangkali. "Kenapa harus sendiri bila bisa berdua?"

Pertanyaan yang sungguh sebenarnya bisa saya balikkan menjadi, "Mengapa harus berdua bila bisa sendiri?"

Tetapi tentu, tidak akan habis perkara bila bertarung argumen sementara kita tahu, landasan dalam diri pun belum seberapa kokoh. Kemudian saya diam dan percakapan tersebut menguar, seolah tak pernah terjadi. 

Sampai di usia dua puluh tiga, saat undangan kian banyak, menggunung, terutama jelang akhir tahun. Saat pola pikir saya sepenuhnya berubah dan saya merasa bahwa menutup diri selamanya untuk sebuah gagasan kepemilikan secara utuh bukan lagi prioritas. Saya masih bisa menjadi berbagai bentuk dengan status seorang istri, bahkan ibu. Sudah waktunya saya berdamai dengan krisis kepercayaan yang menghantui bertahun-tahun. Sudah masanya pula saya belajar berbagi secara konstan dan tanpa sudah dengan seseorang, yang dengannya saya kelak menghabiskan sisa usia. Sudah saatnya saya menyempurnakan yang telah genap (sebab saya bukanlah ganjil dan saya percaya, semua orang demikian. Kita tidak timpang).

Saya akhirnya berlapang dada, mendoakan masa depan, dengan siapapun, bagaimanapun, dan kapanpun kedatangan seseorang untuk memberi warna baru dalam hidup; saya pastikan, saya siap.

Waktu berputar lagi, saya berjalan di atas setapak bernama rencana. Sekian gagasan muncul, beberapa kali bertanya pada diri, tak jemu, tak semu, "Betulkah ini yang kau cari, Son?"

Bulan berlalu, kegiatan masih itu-itu saja, orang-orang yang sama, tempat-tempat tak berbeda. Doa-doa saya, belum tampak tanda pengabulannya.

Pada suatu senja mendung, seorang teman bertandang dalam rupa pesan singkat, membawa setumpuk niat baik yang masih saya ingat isinya lekat-lekat, berusaha menjadi jembatan penghubung yang menyongsong dua orang.

Kita adalah rimbun-rimbun akal sehat, tak lupa dilengkapi kebesaran hati seluas dan selapang samudera. Maka dengan pertimbangan yang tak sebentar, melibatkan sekian argumen dan pergulatan dalam diri, melampaui segala egoisme dan harapan-harapan tak perlu, saya membulatkan tekad untuk mencoba.

Manusia sejatinya berada di ruang tunggu. Keniscayaan dalam menanti menjadikan kita tumbuh, lalu segala keindahan perpaduan antara khawatir hingga lega, membuat yang hampa jadi penuh.

Menghitung daun gugur, mereka seberapa banyak hujan turun, lantas mengekor takdir. Langkah seorang lelaki tiba di depan rumah, setelah barangkali sekian tidur tak pulas dan kepala bak pesawat ulang alik. Setelah debat-debat internal di kepala, lelaki itu sampai dengan senyum mekar dan rona wajah ibarat mawar masak.

Dari sekian opsi yang mungkin tersedia, dari beberapa nama yang bisa jadi lebih pantas diseleksi dan dimajukan atas dasar logika, kecondongan ternyata membawa ia bertandang pada siang hari itu, gugup dan kaku.

Mengeja hari demi hari, tiba pada Desember penuh badai, awal bulan tersebut dipenuhi kesibukan dan bayangan soal masa depan. Akad berlangsung, khidmat, haru, dan membahagiakan. Bahwa setelah panjang perjalanan diiringi drama, kesaksian di hadapan langit dan bumi menjadikan tanggung jawab berpindah pada sepasang pundak baru. Peralihan bakti dari ayah kepada suami.

Kami adalah dua orang dengan luka-luka yang bersepakat berdampingan, berdamai, dengan remah-remah masa lalu. Tetapi pernikahan bukan hanya soal hari ini. Pernikahan selalu disesaki oleh visi dan misi, keharusan memegang kompas agar tak kehilangan arah, tentang komunikasi yang baik antara nahkoda dan awak, soal merawat bahtera agar tak rusak dan karam. Pernikahan adalah kemegahan yang bahagianya selalu manusia upayakan.

Dengan proses yang benar, ia berkah. Dengan niat karena Allah, ia berkah. Dengan kerendahan hati dan sebenar-benar penerimaan, ia berkah.

Sebab, tidak ada harapan terbaik selain hanya berharap kepada Allah.

Karena menikah adalah soal memilih, dan kelengkapan kriteria tak semerta dapat kita temukan hanya dalam satu sosok. Maka pilihlah dengan melibatkan Allah, pilihlah ia yang hatimu tenang saat memikirkan masa depan pun membicarakan ragam rencana bersamanya. Pilihlah ia yang tidak akan membuatmu merasa kalah atau payah. Dan bagaimana cara mengetahuinya? You just know. You JUST know.

Sebab manusia lahir dari ekspektasi, berkembang dalam medium tak sederhana, amat wajar apabila kepala menyusun begitu banyak andai-andai. Menerka, cenderung mendikte soal keindahan-keindahan. Namun, apabila boleh memberi saran, pernikahan bukan sarana yang tepat untuk mencari dan memburu macam-macam Utopia. Pernikahan adalah ruang penuh sesak oleh kepentingan sekaligus peristirahatan. Maka sungguh, konflik sampai perbedaan adalah mutlak dan niscaya.

"Berlapang dadalah sebanyak-banyaknya saja."

Palembang, 26 Desember 2021

Siti Sonia Aseka

Jumat, 10 Desember 2021

sepetak ruang hampa




Pada sepetak ruang hampa, kita percaya bahwa sendiri tak pernah lebih baik ketimbang harus membagi segala jenis rasa sebelum sempat memiliki dan menggenapi timpang dalam lekuk suka cita.

Pada langit yang kadang kemilau, kadang membiru pucat, manusia bernaung, membenahi sekian rusak dan malfungsi, menapak setapak atau sekadar menyaksikan ramai jalan raya yang kerap melenakan nan menguji.
Dan kita masih sering, melarikan diri dari setumpuk kenyataan, bahwa berakhir terkadang membiarkan salah satu bahkan keduanya luka. Bahwa mungkin juga, dengan berbagi segala macam rahasia, manusia bisa saling menutupi lubang bernama merana.
Hari masih berjalan setelah pertemuan sarat akan ketidaksiapan; katanya, manusia memang akan dihadapkan pada keinginan pun kebencian, keramahan sampai angkara, dan berdamai. Entah dengan mundur atau maju terus jalan
Bahwa barangkali, kesetengahhatian itulah yang mengantarkan kita sampai gerbang untuk benar-benar melepaskan dan tak hendak menoleh lagi ke belakang
Sebab apapun akan menjadi senyap, digiring oleh takdir, dibawa dengan menari diiringi lagu-lagu sedih tetapi kosong dan tak meninggalkan arti.
Yang kita pikir adalah tujuan, ternyata cuma persinggahan, sebentar saja, untuk mengobati yang sakit, atau menghadirkan senyum sarat akan maklum, belajar memberi dan menerima, untuk berkorban dan berjuang, sampai entah, tak hingga
Anehnya, kita terkadang masih sulit menerima, lalu meratap, menyalahkan takdir hingga orang lain. Bertanya dan terus bertanya, menjadi menyebalkan bagi semesta yang mulanya riang gembira
Kebetulan memang ada, tetapi kesia-siaan tidaklah mutlak merugikan. Kepala kita, harusnya diisi oleh rumpun dorongan, bukan cuma harapan dengan mati sebagai kepasrahan

Hari paling buruk telah berlalu
Dan namamu, masih jadi puisi yang kerap kurindu
Tetapi kita tidak boleh kehilangan arah, meski rumah yang kita pikir selamanya, justru hanya sementara.

Urgensi Kemahiran Berbahasa Inggris di Era Modernisasi dan Globalisasi

Urgensi Kemahiran Berbahasa Inggris di Era Modernisasi dan Globalisasi Sejak abad ke-18, bahasa Inggris ditetapkan sebagai bahasa Internasio...