Blogger Perempuan

Blogger Perempuan
Kunjungi laman Blogger Perempuan dan baca tulisan saya melalui link berikut

Rabu, 17 November 2021

A Goodbye to Forever

 


Daren tidak pernah sudi berada di situasi sulit. Duduk berdua dengan sahabat baiknya sembari membicarakan soal perasaan, di meja dengan hidangan junk food kesukaan mereka pula, misalnya.


"Wow, berita sebesar ini dan aku baru diberitahu sekarang?" Daren terang-terangan protes, sementara di seberang sana, perempuan bermata cokelat terang menatap separuh bersalah.


"Sorry. Kamu kelihatan sibuk banget. Kita bahkan sudah lama nggak lunch bareng atau lari pagi sejak… you know, works." Kinara mengangkat kedua bahu, seolah itu semua perkara sepele.


"Ya, dan tiba-tiba kamu membajak Sabtu pagiku, mengajak brunch, dan mengabarkan soal tanggal pernikahan?"


"Ren, come on. Maaf, oke? Kupikir masalah ini nggak seharusnya disampaikan melalui pesan singkat atau telepon, that's why aku mencari waktu yang tepat. Mana kutahu kalau waktu yang tepat itu ternyata sebulan sebelum pernikahan diselenggarakan."


Daren mendengus. Burger yang biasanya terlihat menggoda, hari ini berubah memuakkan. Entah karena kondisi hatinya yang buruk, atau sesederhana ia masih tidak terima dengan sikap Kinara.


"Sembilan tahun dan kayaknya nggak berarti apa-apa." Daren menyindir, tangannya mendorong piring berisi burger ke tengah meja, enggan. "Well, apa lagi kejutan yang kamu bawa hari ini?"


Kini, Kinara tidak bisa menahan rasa penasarannya. Perempuan tersebut mengerutkan dahi, mencoba menganalisis perubahan Daren sejak menjemputnya di rumah tadi hingga duduk di kafe ini dan mendengar kabar membahagiakan yang Kinara bawa.


"Kamu masih nggak jago poker face, tahu?" Kinara menghembuskan napas, bersabar. "Seperti katamu tadi, sembilan tahun. Aku nyaris hapal semua kebiasaanmu tanpa perlu kamu jelaskan lebih dulu. Dan kupikir, kamu juga begitu. Sedih, kecewa, marah, bahagia, kamu punya sinyalmu sendiri. Kali ini, reaksimu bukan bagian dari empat jenis perasaan itu. Aku benar?"


Daren masib menatap Kinara dalam-dalam, mencoba meminta perempuan itu berhenti dan tidak melanjutkan kalimat.


"Aku ingat awal mulanya. Tiga tahun lalu, orang-orang mulai menjodoh-jodohkan kita. Sekadar candaan, memang. Tapi beberapa justru serius seolah membukakan jalan buat kita. Kita, Ren. Yang bahkan mengenal satu sama lain lebih jauh ketimbang kulit luar saja."


"Ra, kamu ngelantur."


"Mungkin." Kinara terkekeh, getir. "Tapi aku belum selesai."


Kinara melanjutkan, suaranya bergetar. "Aku menemukan kamu terbebani, sesuatu yang kubenci. Padahal kita hanya harus tutup telinga atau tidak memasukkan bulat-bulat dalam hati. Toh, kita cuma harus hidup seperti sebelumnya, dan gosip-gosip itu akan hilang ditelan angin. Tapi sebaliknya, kita malah berjarak, sangat jauh sampai kupikir aku telah kehilangan sahabat hanya karena this fuck up society."


Di luar, cuaca cerah dengan matahari naik lebih tinggi. Pengunjung kafe mondar mandir, antrean menguar nyaris sampai pintu masuk.


"Ren, ini pertama kalinya aku mau meminta maaf. Barangkali satu dua sikapku dan perlakuan orang-orang menyita ruang pikirmu."


"You don't need to."


"Akhirnya semua drama ini selesai. Aku akan menikah dengan lelaki pilihanku dan kamu akan bebas dari sekian anggapan orang tentang kita yang barangkali memenjarakanmu. Kamu tidak lagi seolah ditekan untuk hanya bersama denganku. Kamu bisa bernapas lega sekarang."


Satu sudut bibir Daren naik, menampilkan senyum sinis. Ia menyeruput kopinya, berusaha keras menyembunyikan kecewa.


"Yeah, Ra, seperti biasa, kamu selalu sok tahu."


Dahi Kinara mengerut, alisnya hampir bertemu. Tetapi Daren justru melempar pandang pada keramaian jalan raya, mengabaikan tatap bertanya dari sahabatnya.


"Lupakan. Jadi, siapa? Siapa laki-laki kurang beruntung itu?"


Kinara mengerang, kesal karena seolah direndahkan namun juga senang karena sepertinya Daren yang ia tahu sudah kembali.


"Mas Akbar, kamu pasti kenal."


Ah, ya. Akbar. Daren membatin. Siapa yang tidak kenal? Lelaki lurus dan pendiam itu, kakak tingkat berbeda fakultas dengan mereka di kampus, ternyata berhasil menaklukkan Kinara dengan segala keanehannya.


"Dia… orang yang baik."


"See?" Kinara berseru, girang. "Aku tahu kamu pasti bakal sependapat denganku."


Kinara lalu berceloteh. Tentang pertemuannya dengan Akbar, tentang insiden di Lombok, tentang Akbar yang menyelamatkannya dari situasi sulit, soal kesalahpahaman yang sempat terjadi, hingga lamaran Akbar yang sangat tidak romantis.


"Kamu bahagia, Ra?"


"Sangat!"


Daren tersenyum, memukul mundur penyesalan, menghibur duka yang tumpah ruah dalam benak. Ia mengaduk kopi tanpa henti dan meneguk cairan pekat tersebut sampai ampas-ampasnya. Masih kalah pahit dengan kenyataan yang harus ia telan.


"I'm happy for you. You should know that." Daren menggumam. "Tapi, boleh aku jujur hari ini saja, Ra?"


Kinara memiringkan kepala, jemari lentiknya berhenti memainkan sedotan pada minuman bergelas tinggi, menyimak sungguh-sungguh, kemudian membulatkan mata, terkejut, sekaligus… terluka.



***



"Kalau waktu bisa diputar, akan tetap ada dua kemungkinan; aku jujur dengan perasaanku, atau lagi-lagi membiarkanmu berlalu dan siap menerima kenyataan bahwa tidak selalu semesta memberi kita kesempatan kedua. Dan aku menghargainya."



Daren datang terlambat, sengaja tidak menghadiri akad nikah dan hanya berpenampilan terbaik dengan setelan batik lengan panjang untuk mengambil barang sebuah moment foto bersama. Ada segudang alasan yang sudah ia siapkan, untuk berjaga-jaga. Agar ia tidak gagap ditanya soal keterlambatan, atau mengapa lingkaran di bawah matanya jauh menghitam.


Syukurlah, atau malah sialnya, tidak ada yang bertanya. Barangkali semua orang maklum, mungkin memang tidak ada yang harus diperjelas.


"Lo tahu kan, pengakuan lo ke Kinara nggak bakal mengubah apa-apa? Dia dan Mas Akbar akan tetap menikah, dan kalian akan selamanya jadi sahabat. That's it. Ren, lo harusnya ngerti pilihan itu nggak berlaku abadi. Lepaskan atau ikhlaskan, betul?"


Daren ingat percakapannya dengan Radit, dan tanggapan apa yang ia lontarkan.


"Gue paham." 
"Lo pemberani, bro. Gue akui. Cuma memang selalu ada istilah pahlawan kesiangan dan polisi India di dunia ini, kan?"


Daren tersenyum, miris. 
Terlambat. Ia memaknai ucapan Radit. Ya, ia memang luar biasa terlambat.


"Tapi kalaupun lo nyolong start duluan, Kinara juga belum tentu nerima lo, kan? Karena esensi takdir memang begitu; apa yang ditakdirkan buat lo, akan jadi milik lo. Kalau nggak, ya sudah. Byebye."


Maka Daren memasang satu senyum template, naik ke atas panggung, masuk dalam barisan teman-temannya untuk berfoto, mengobrol dengan beberapa orang, dan meladeni satu dua gurauan. Ia tertawa secukupnya, lalu izin pamit bahkan sebelum makan siang.


Tak mengapa, ia bisa mampir di salah satu kedai favoritnya dan Kinara, menikmati menu yang jadi andalan mereka, sembari bernostalgia tentang masa lampau yang kini hanya akan jadi kenangan. Merapal ulang tawa, membongkar ingatan sekali lagi, lalu pulang dan melupakan.


Hidup memang demikian, bukan?



***



Palembang, 17 November 2021 
Siti Sonia Aseka


Sabtu, 13 November 2021

Bunga Milik Tuhan (1)



2014, Yogyakarta

Nara


"Mo, aku dipecat."
"Hm?"
"Aku lelah."
"Hm…"
"Aku mau mati saja."
"Oh…"

Aku tahu Bimo benar-benar terdengar seperti habis-habisan tidak peduli. Tetapi, aku mengenalnya lebih lama dari separuh umurku untuk sadar bahwa sebenarnya ia cuma sedang menyusun kalimat telak demi membuatku berhenti.

"Aku merasa… nggak berguna."

Bimo masih membalik lembar diktat tebalnya ketika aku memutuskan rebah di atas sofa, memandang langit-langit, memutar ulang memori saat aku harus keluar dari ruang Pak Dar, (mantan) atasanku, dengan status pengangguran pagi tadi. Setelah dua tahun, ceritaku di kantor itu ternyata harus berakhir cukup tragis.

"Mo, kamu sibuk?"
"Like you see…"

Aku menghela napas. Tertatih bangkit, berpikir untuk mengungsi ke kedai kopi kekinian di seberang apartement Bimo saja sampai pemilik kamar cukup menyenangkan dalam menerima tamu yang tengah patah hati.

"Mau ke mana?"
"Canala Collective, as usual."
"Ngapain?"
Aku mendengus, "Ngopi, I guess?"

Bimo berdecak, menyimpan lembar word buru-buru setelah memastikan segalanya cukup. Ia bangkit, meraih jaket yang tergantung di belakang pintu, kemudian menoleh ke arahku. Ia mengangkat sebelah alis, memberi isyarat dengan kepala.

"Ayo, katanya mau ngopi?"


***


"Kamu nggak usah pulang. Malam ini mau makan apa?"

Aku meminum Chocolate Signature dengan pandangan hampa. Kepalaku yang panas seperti terserang pembekuan otak mendadak. Di depan sana, Bimo mengunyah cake melon santai. Ada krim di sudut bibirnya dan aku menghela napas kasar. Orang ini selalu makan dengan cara berantakan.

"Martabak."
Bimo menggeleng, "Nasi. Bukan yang lain."

Kuletakkan kepala di antara kedua lengan yang terbuka. Dahiku terantuk permukaan meja pelan, merasa menemukan jalan buntu. Bahkan sesederhana ingin makan apa saja aku tak mampu memutuskan. Semuanya lumpuh.

"Ayam bakar limau? Ada resto baru dua blok dari sini, sih. Reviewnya bagus."
"Okay."

Bimo terkekeh. Ia secara sembarangan menarik gelasku, lalu menyeruput minuman di dalam sana seolah ia memilikinya sejak awal. Terlalu lelah untuk berdebat pun marah-marah, kubiarkan Bimo melalukan apa yang ia inginkan. Hanya sampai segalanya kembali tenang, setidaknya badai dalam kepalaku.

"Semua akan berlalu, La. Sedihmu, dukamu. Suatu saat kamu akan melihat segala kegagalan ini dari puncak kesuksesan, dan itu membahagiakan."

Aku menyahut lemah. Merasa segala motivasi tidak akan berguna sebab aku jelas-jelas kehabisan ide untuk melakukan apa demi mendapatkan pundi-pundi uang. Aku bukan Bimo yang hanya harus belajar dan memantaskan diri, menanti waktu sampai dianggap layak mewarisi usaha keluarga. Aku hanya anak seorang pensiunan pegawai negeri yang harus berusaha memenuhi kebutuhan hidup bahkan sebelum studiku selesai.

Kepalaku kembali berdenyut. Dan aku mengerang, putus asa.


***


2020, Palembang

Aku menatap pojok fiksi dengan pandangan kosong. Buku yang kucari ternyata belum tiba di sini. Rasanya menyebalkan. Pandemi menyebabkan segala pembatasan dilakukan, tak terkecuali agenda hunting buku di bookstore langganan. Tetapi adalah percuma kembali dengan tangan hampa, bukan? Maka kutelusuri rak-rak tersebut, membongkar wishlist di ponsel dan menemukan satu dua judul buku yang harusnya telah kubeli sejak awal tahun apabila kekacauan dunia tidak terjadi.

"Nara?"

Aku menoleh. Menemukan lelaki dengan setelan slimfit biru langit dan rambut klimis, rapi. Kacamatanya menggantung di antara hidung ramping dan tajam. Seketika, aku melebarkan mata.

"Bimo?'

Kami tertawa. Rona pada wajah lawan bicaraku semakin jelas. Matanya yang kelam berseri-seri, begitupula lesung pada pipinya yang bersih saat ia menarik masker hingga dagu sekejap. Kuakui ingatannya cukup peka, masih dapat mengenaliku walau penampilan sudah jauh berbeda. Sekarang, sebuah jilbab melekat menutupi rambut, keputusan yang kuambil sekitar setahun lalu.

"Ketemu di sini? Been years!"

Bimo mendekat. Aku menangkap tiga buku metropop yang ia genggam erat. Sejak kapan selera baca orang ini berubah sekian derajat?

"Metropop? Kupikir kamu benci fiksi."
Bimo terkekeh. "Bukan buatku."
"Lalu?" Aku memicing. Menemukan sorot malu-malu yang amat langka Bimo tunjukkan.
"Calon istri."

Aku bertepuk tangan tiga kali. Sementara Bimo mengusap belakang kepalanya, salah tingkah.

"Wow, jadi kapan? Ah, aku harus marah karena tidak dikabari lebih awal."

Bimo meringis, sebelah tangannya yang bebas ia selipkan ke dalam saku.

"Kamu menghilang dari radar sekian lama. Maaf. Harusnya aku mencarimu lebih keras, Ra."

"Eh, nggak masalah!" Aku nyengir. Kembali berbelok, memindai buku apa lagi yang harus kumasukkan dalam tas hitam yang disediakan toko ini.

"Kamu ke mana saja, sih? Nomormu langsung nggak aktif setelah lulus dan pulang kampung." cercanya, gencar.

"Menenangkan diri dong, Mo. Nomor lamaku itu milik sejuta umat, sebarannya sudah ke mana-mana. Mengerikan juga. Jadi lebih baik diganti."

Ia mengangguk setuju. "Tapi setidaknya kasih kabar, dong."

"Sorry, my bad. Padahal kita satu kota, ya. Memang dasar mainnya kurang jauh saja."

"Setelah ini langsung pulang?"

Aku melirik Bimo sebentar, lalu beralih memeriksa waktu pada jam tangan. Nyaris pukul empat.

"Iya. Tapi sepertinya mau salat dulu di bawah."

Bimo tersenyum, matanya menyipit berbentuk sabit. "Ayo deh, aku juga belum salat ashar, nih."


***


Senja dari lantai lima pusat perbelanjaan ini cukup aneh. Selain karena pemandangan kota yang terlalu jujur dengan kabut polusi, aku juga dapat menemukan puncak gedung-gedung pencakar langit terputus ditelan awan, tampak kusam, sekaligus dingin. Padahal dari titik dan ketinggian lain, semua terlihat lebih normal dan manusiawi.

"Jangan melamun!" Bimo mendorong sebuah galas berisi jus mangga mendekat padaku dan tersenyum jahil. "Apa yang kamu pikirin, sih?"

"Nggak ada, aku kan nggak suka mikir."

Bimo tertawa lagi. Sepertinya ia memang jadi lebih sering tertawa. Kerut pada sisi matanya menjelaskan semua.

"Bulan depan, sekarang masih sibuk bertemu WO, mencari A sampai Z yang perlu dibeli." katanya saat kutanya kapan hari bahagia itu tiba.

"Siapa?"

Bimo mencicit, "Kamu kenal orangnya."

"Ya siapaaa?"

"Zalina Atmajaya, teman sebangkumu di kelas sebelas."

Aku terkesiap, namun tak ayal memberi satu acungan jempol, terkesima. "Dia terlalu baik buat kamu!"

"Heh, aku nggak sehina itu ya!"

Aku terbahak, lalu mendengarkan Bimo berceloteh tentang pertemuannya dengan Zalina sepulang ia dari Yogya, mengenal lagi setelah bertahun tak bertemu, menghadap orangtua masing-masing, lalu merencanakan pernikahan. Terdengar sederhana, indah tanpa hambatan, seperti dongeng.

"Kamu akan datang, kan? Kamu nggak ke mana-mana?"

Aku mengangkat bahu, nyengir. "Memangnya harus ke mana? Aku nggak akan beranjak ke manapun lagi. Kota ini sudah memberikan segalanya, kok."


***


Aku melambaikan tangan, tersenyum lebar pada Zalina yang baru tiba. Teman SMA-ku itu tertawa singkat, lalu bergegas menyongsongku pada sebuah meja dan kursi besi. Kami membuat janji bertemu setelah Bimo bercerita pada Zalina tentang pertemuan tidak sengaja di toko buku, lalu beralih menghubungiku dengan dalih minta ditemani ke IKEA untuk mencari perkakas rumah tangga.

Perempuan ini masih secantik dahulu dan seanggun biasanya. Aku ingat, Zalina selalu jadi pusat perhatian di sekolah karena nilai-nilainya yang menakjubkan dan keaktifannya di Rohis serta OSIS. Permata yang bernilai, memang. Bimo selalu tahu mana yang terbaik.

"Nara! Ya ampun, Bimo uring-uringan karena nggak bisa menemukan kamu saat undangan kami selesai dicetak." ia meringis, "Finally, kamu ada di hadapanku sekarang!"

Kukedipkan mata dua kali, pura-pura sebal. "Bimo mencari pakai mata kaki, kali?"

Zalina tertawa. Bahkan melodi tawanya saja terdengar demikian merdu.

"Wanna be my bridesmaid, Ra? Please, I beg you."

Aku menghela napas, mengambil jeda dengan pura-pura menelan cookies yang disediakan kafetaria ini. Sengaja membuat Zalina menunggu.

"Ra!" tegurnya, melotot.

"Fine." Terkekeh kecil, kuanggukkan kepala, sepakat. Aku tentu tidak berniat menolak sejak awal.

Kami terlibat obrolan seru seputar kehidupan sembari menanti Bimo yang baru bisa keluar kantor pada pukul dua. Ia memang sempat berkata sedang dikejar deadline akhir bulan ini sebelum masa cuti disetujui.

"Gimana rasanya? Lega?" Aku berusaha menggoda Zalina. Menemukan wajahnya sedikit memerah dengan senyum yang tak dapat disembunyikan. Namun, alih-alih menjawab, ia justru menatap ke luar jendela kaca, menerawang jauh.

"Waktuku hampir tiba." katanya, lembut. Aku berseru senang.

"Iyalah, sebulan lagi! Betapa singkatnya."

Tetapi, Zalina hanya diam.


***


Aku benci pemakaman.
Tetapi kini, aku justru tengah berdiri di tengah-tengahnya, menatap langit kelabu, serta melirik sayu pada bunga-bunga kamboja berguguran. Aroma duka menguar, isak tangis masih terdengar jelas, sementara jasad itu diturunkan ke liang lahat bersama keikhlasan yang dipaksa merekah. Jelas berat, tentu penerimaan terasa sulit digapai dengan hati yang masih terluka.

Namun, sejak dulu manusia tidak pernah punya banyak pilihan, bukan?

Seseorang di sisiku berdiri kaku, dingin, dan sendu. Ia tidak banyak bicara, tak pula terlihat meneteskan air mata. Hening, barangkali tak sudah merapal doa dalam benak, melucuti sekian kecewa, angkara, dan lelah.

Aku tidak ingin mengganggu damai yang susah payah ia terbitkan.

Maka, perhatianku terpusat pada seorang perempuan, duduk berjongkok di sisi makam yang tanahnya basah, gundukan penuh oleh beragam bunga dalam sekejap. Tangisnya tumpah ruah, membuatku ikut berjongkok, memeluk singkat, untuk kemudian mengambil alih tugas menabur bunga-bunga lebih banyak.

Lantunan doa kembali terdengar, sesak lagi-lagi menghujam, meraja, menebal dan memberatkan pundak. Semakin sering mataku menangkap nisan bertuliskan nama cantik itu, semakin netraku memanas dengan bulu kuduk meremang.

Kupejamkan mata, mengaamiinkan, berusaha menghentikan laju sesal dan bersalah.

Kembali, kutatap nisan paling baru, di bawah rimbun pohon kamboja, diukir dengan kayu cokelat tua, frustrasi sekaligus tak berdaya.

Zalina Atmajaya
lahir
1 Desember 1993 
wafat
27 Agustus 2020

Semoga lapang, semoga tenang.


***


(Bersambung ke bagian dua)

Urgensi Kemahiran Berbahasa Inggris di Era Modernisasi dan Globalisasi

Urgensi Kemahiran Berbahasa Inggris di Era Modernisasi dan Globalisasi Sejak abad ke-18, bahasa Inggris ditetapkan sebagai bahasa Internasio...