Blogger Perempuan

Blogger Perempuan
Kunjungi laman Blogger Perempuan dan baca tulisan saya melalui link berikut

Kamis, 30 Agustus 2018

Sirius Menjelma Venus

Dalam kotak kacaku,
di sisa rintik setelah hujan hari itu,
kursi kayu yang biasa kau duduki,
Latte hangat yang rutin kau reguk,
kacamata yang tak lekang dari hidungmu,
lalu...
aku yang setia menunggu.

Suatu ketika,
kau bercerita.
Tentang dongeng sebuah bintang,
yang begitu terang tak terhalang.

Ia meminta pada Tuhan;
cahaya tanpa lawan,
api tanpa banding,
juga teman bukan lawan.

Tuhan mengabulkan.
Memberi bintang itu sebanyak yang ia minta.

Tetapi, sang bintang melupakan satu,
permintaan sederhana
namun menjadi sesal selamanya...

Ia lupa meminta umur panjang.

Lantas, ketika ia menjadi yang paling terang,
menghasilkan api tak habis dalam sekejap mata,
dikagumi oleh sesama kawan...

Ia tau bahwa sempurnanya takkan bertahan selama yang ia suka.

Sama sepertimu.

Seandainya, aku di sana saat kau membutuhkanku...
harusnya aku masih mendengarmu memohon tunggu...
mestinya aku di sisimu kala tamat segala cahaya itu.

Ya, harusnya aku tak meninggalkanmu.

Hanya karena aku lelah dengan sinar yang kau punya,
hanya tentang ironi bayang-bayang,
hanya sebab aku ingin berhenti menjadi sekedar satelit penghantar...
hanya biar aku memenuhi keegoisan tentang pembuktian...

Padahal, aku tak bisa berhenti mencintai Siriusku yang pergi, Sabtu malam itu.

Kini, bersama sisa bayangmu
aku sadar...

Syukuri segala cukup,
maksimalkan tenggat waktu,
jaga segala beri,
lalu, berhenti menuntut lebih

Melihatmu pada eksistensi Venus senja hari,
singkat namun berarti, bahwa ketika bumi mengitari porosnya, kita selalu bertemu.

Walau tak tampak wujudmu,
walau begitu lemah presensi hadir yang ku tunggu,
Tetap...
aku membutuhkan itu.

Cukup Namaku

Bertahun mengarungi hamparan bunga,
tidakkah bagimu aku satu dari sekian tangkai di sana?

Seperti dia, begitu terang mengakui aku sang mawar anti layu....
Bukankah terdengar drama?

Jangan pinta aku menunggu,
atau memohon uluran tangan padaku,
sebab, harusnya kamu tau...
melangkah mendekat,
tersenyum menawan,
atau menatap dalam sama sekali bukan caraku.

Aku terbiasa merentang,
tak takut lekang,
berani menerjang,
tak kenal pantang

Ironi adalah,
Kamu mengenalku
namun, tak bisa memahami segala resiko dari ungkapan, "inilah aku."

Aku tak memintamu datang,
tak memaksamu menetap, tinggal,
tak ingin menjadi pengekang.

Bahwa dalam langkahmu,
di setiap jalan yang kau pilih itu,
tanpa aku harus repot berlaku,
harusnya kamu sisipkan satu harap.
Tak harus panjang,
apalagi lebar...
cukup namaku.

Sederhana, kan?

Rabu, 15 Agustus 2018

IMBANG

IMBANG


Bagi saya, salah satu unsur penting atas tercapainya taraf bernama bahagia adalah imbang.

Imbang yang bagaimana?

Sudah pasti, keseimbangan itu di raih dengan terlebih dahulu memenuhi hak-hak hidup.

Seperti apa?

Banyak orang mengatakan bahwa dengan membantu orang lain, dengan bermanfaat untuk sesama, berguna di mata masyarakat dan memberi dampak positif untuk sekitar, maka otomatis kita dapat dikatakan bahagia.

Tapi, apakah benar itu satu-satunya definisi kebahagiaan?

Dimulai dengan banyaknya kejadian beberapa tahun ke belakang, saya mampu mendefinisikan hal kecil tentang bahagia.

Adalah memahami segala kekurangan dan kelebihan diri, lalu memenuhi segala kewajiban hidup. Lantas, apabila segala kewajiban itu telah tunai, jangan pernah lupa untuk memberikan penghargaan kepada diri sendiri atas pencapaian yang telah kita raih.

Opini tentang mencintai diri sendiri itu sungguh benar. Apabila kita ingin dicintai orang lain, bukankah kita harus lebih dulu mencintai diri kita sendiri? Memberikan penghargaan atas pencapaian adalah salah satu solusinya.

Saya seringkali menjumpai fakta bahwa banyak sekali manusia yang mengorbankan hobi, bakat, minat maupun keterampilannya hanya demi memenuhi harapan-harapan orang lain. Mereka memangkas waktu-waktu penting yang harusnya khusus diberikan untuk merenungi segala pencapaian dan prestasi diri.

Pada akhirnya, ia merasa kehilangan dirinya, tidak menjadi diri sendiri dan hidup dalam kepura-puraan.

Mengapa saya berkata demikian? Sebab, saya pernah berada di posisi itu. Saya mati-matian mengejar kesempurnaan untuk orang lain, tetapi saya lalai terhadap diri sendiri. Saya ingat betul, ada tahun di mana saya sama sekali tidak pernah meluangkan waktu untuk menulis (kecuali caption-caption panjang di Instagram), padahal menulis adalah bakat dan minat saya. Saya tidak pernah memberikan hak-hak tubuh dengan cukup dan sesuai porsi, salah satunya tidur nyenyak dan makan teratur. Saya bahkan jarang sekali merenungi pencapaian saya dan hanya berfokus pada perbuatan apa selanjutnya tanpa istirahat. Di titik itu, saya merasa hebat dan hampa di saat yang sama.

Bayangkan, ketika teman-teman lain mampu berbuat bebas, saya terjebak dalam bingkai aktivitas yang dulu saya pikir adalah yang paling baik. Padahal, apalah artinya keterbaikan itu bila saya melupakan siapa diri saya sesungguhnya?

Hari ini, ketika saya diberi kesempatan untuk menjadi pengamat dalam diam, saya sadar bahwa kejadian serupa terjadi pada orang lain.

Mereka tak mengenal tahap diam untuk melompat, sebaliknya hanya tau kerja, kerja, paksa. Ya, ketika jatuh, mereka tak mengambil jeda untuk mengobati, melainkan semakin kencang berlari demi mengejar entah apa yang bahkan jauh dari jangkauan mata.

Sama dengan siklus siang dan malam, fenomena ini menurut kacamata saya, akan terus berlanjut hingga titik di mana semua kesibukan itu membunuh karakter kita perlahan.

Saya mengerti bahwa masa muda haruslah diisi dengan kebaikan-kebaikan dan kebermanfaatan. Saya pun paham bahwa banyak sekali hal yang harus kita raih sebelum usia merenggut habis kesempatan. Saya tau, dan saya sadar kita semua tengah berusaha untuk sampai di tingkat itu.

Tapi, alangkah lebih baik bila kita menemukan titik keseimbangan itu, kan?
Karena yang berlebihan tak pernah berakhir indah, maka prioritaskan kesesuaian porsi dalam gerak.

Kepada entah siapa, yang mungkin membaca tulisan saya, saya harap kamu merenungi apa saja yang telah terjadi sepanjang perjalanan ini, lalu segeralah mengukur pencapaian kemudian membuat jeda waktu.

Karena kita hanya hidup sekali, dan kesempatan untuk menjadi yang terbaik juga tak mungkin dua kali, maka jadilah pribadi yang adil dan takkan lagi mengorbankan salah satu demi sisi yang lain.

Siti Sonia Aseka
Palembang, 15 Agustus 2018

Sabtu, 11 Agustus 2018

Percaya

PERCAYA


Orang bilang, temukanlah seseorang yang kamu percaya lalu jatuh saja sedalam mungkin bersamanya. Karena walau sesulit apapun, ia akan membuat segala sesuatu terasa mudah dan indah.

Tapi, aku punya teori lain. Bagaimana jika ternyata aku tak ingin jatuh bersamanya? Apakah pilihan itu akan membulat pada simpul bahwa aku tak cukup percaya?

Sebab, dengan yang paling ku percaya, sekuat tenaga akan ku pastikan bahwa terbang dan angkasaku berarti juga segala tinggi dan hebatnya. Tak pernah ada kata jatuh, sebab kami mampu untuk saling menyusun petak tangga sedemikian rupa.

Apa yang lebih melegakan ketimbang sesuatu yang dicari akhirnya ditemukan, sesuatu yang pergi ternyata kembali, atau saat sadar bahwa sesuatu yang kamu perjuangkan juga ikut berkorban untukmu demi kebaikan-kebaikan kalian?

Dalam diam panjang dan perenungan dalam, sesuatu itu, mungkin juga... seseorang, selalu mendahulukanmu untuk memastikan kamu baik-baik saja, sebelum ia juga mengusahakan kebaikan untuk dirinya.

Suatu ketika, aku pernah yakin tentang kepercayaan adalah kebebasan yang menyiksa. Kebebasan yang dibungkus kepura-puraan. Padahal, jauh di dalam sana, ada kekhawatiran dan keresahan, rasa penasaran yang tertahan dan tanya yang tak pernah bisa diungkap. Semata demi sesuatu bernama tahan lama.

Ah, untuk apa? Membiarkan diri kita seolah tak peduli padahal cemas? Mengapa?

Sebab itu, aku lalu sadar bahwa suatu ketika, bertemu seseorang dengan segala sikap yang mampu kamu maklumi lalu bisa memberikan pemakluman padamu adalah harus.

Karena dengan begitu, bagaimanapun sekitar menangkap ketidakbaikan, engkau tetap mampu menarik benang merah untuk senantiasa berada disisinya lalu percaya.

Cukup percaya saja.

Dengan begitu, kemanapun dia pergi, bersama siapapun, apapun yang ia lakukan bersama atau tanpamu, takkan membuat takut, apalagi resah, atau bahkan curiga.

Sehebat itu eksistensi percaya.

Jadi, kamu percaya padaku, kan?

Siti Sonia Aseka
Palembang, 11 Agustus 2018

Minggu, 05 Agustus 2018

Patah Hati Sesederhana Ini

Minggu, 5 Agustus 2018
Waktu menunjukkan pukul 3 sore, tepat.

Beberapa menit yang lalu, saya masih asik streaming YouTube sambil makan mie. Kala itu, kondisi laptop tersambung dengan charger. Tapi, ternyata setelah sekian lama saya baru sadar bahwa cahaya merah yang biasanya menandakan pengisian daya laptop sedang berjalan tidak menyala. Jadilah, saya sok cool memeriksa keadaan charger, apakah sudah terpasang dengan baik atau belum. Sudah kok, malah indah sekali kelihatannya. Saya masih berusaha. Pasang lepas charger, pindahkan posisi charger, hingga akhirnya saya mulai lebay. Padahal sebenarnya kelebayan itu tidak usah terjadi. Karena faktanya, ini adalah kali ketiga charger Laptop mengalami hal serupa. Kemudian, masih dengan harapan yang belum purna, saya pindah dari kamar ke ruang tengah. Entah untuk apa, intinya saya merasa mungkin laptop itu bosan melihat keadaan kamar.

Ternyata...

Sama saja. Bedanya kali ini saya mulai menguatkan diri. Tapi, hubungan charger dengan laptop belum saya putuskan, sebab saya tak setega itu. Biarlah, mereka butuh waktu. Mungkin siang ini mereka hanya habis marahan, disusul saling mendiamkan dan memutus kontak.

Saya yakin, bila habis segala drama ini, mereka akan kembali seperti sedia kala.

Maklum, beberapa hari mereka tidak digunakan oleh saya. Ditinggalkan begitu saja dalam keadaan buru-buru. Mungkin mereka kaget, mungkin pula ternyata melakukan settingan untuk menghukum saya. Biarlah, saya ikhlas.


Urgensi Kemahiran Berbahasa Inggris di Era Modernisasi dan Globalisasi

Urgensi Kemahiran Berbahasa Inggris di Era Modernisasi dan Globalisasi Sejak abad ke-18, bahasa Inggris ditetapkan sebagai bahasa Internasio...