Blogger Perempuan

Blogger Perempuan
Kunjungi laman Blogger Perempuan dan baca tulisan saya melalui link berikut

Sabtu, 22 Agustus 2020

[CERPEN] SENJANG

Sebuah Cerpen

Oleh: Siti Sonia Aseka



Seumur hidup, Calla tidak pernah merasakan yang namanya jatuh cinta pada pandangan pertama. Tak pula ingin repot-repot percaya. Baginya, hal tersebut omong kosong, membual. Pertama kali bertemu seseorang, tidak ada satupun score yang mungkin terpop-up kecuali tampilan mulai dari pangkal rambut hingga ujung kaki. Terlalu sepele bila mengatakan seseorang baik atau buruk hanya dari sorot mata, atau bagaimana cara ia berpakaian. Calla pernah bertemu perempuan penuh tatoo, tetapi tak ayal mengulurkan uang sampai berlipat-lipat warna merah muda pada peminta-minta di pinggiran jalan saat lampu merah. Calla juga pernah berjumpa lelaki dengan kitab suci di tangan yang mengabaikan presensi ibu hamil berdiri di sisinya dalam petak-petak bus kota.


Menurut Calla, tampan atau cantik bukan poin penting apalagi landasan yang kuat untuk mengemukakan rasa suka. Ada waktu yang akan membuat seseorang berhasil menyelami isi kepala orang lain, menimbang-nimbang, merasa pantas dan tidak tumpang tindih, lantas secara sadar maupun tidak, perlahan menumbuhkan benih-benih afeksi.


Jarum jam berdetak pada pukul tiga saat ponselnya berdering. Calla yang tengah memasukkan laptop serta beberapa peralatan menulis ke dalam tas semerta menggeser tombol hijau, mengantarkan suara temannya untuk masuk ke gendang telinga.


"Belum pulang kan?"


Pertanyaan tersebut mampir saat Calla menatap sebentar pada jendela kaca di ketinggian lantai enam ruang kerjanya.


"Baru selesai beres-beres. Kenapa?"


"Bareng saja. Kutunggu di bawah."


Sambungan dimatikan sepihak. Calla menghela napas, tak habis pikir. Senyum kecil terukir apik di sudut bibir. Tak membuang waktu, perempuan tersebut gegas menggapai lift, membagi salam pada beberapa pegawai yang tak sengaja berpapasan.


Sebuah mobil hitam menyambut Calla dengan cahaya lampu kekuningan. Disambut lambaian tangan seseorang yang menyembul dari balik jendela. Calla berjalan lebih cepat demi mendudukkan diri segera di sisi pengemudi; seseorang yang beberapa menit lalu terlibat dalam konversasi singkat kelewat sederhana bersamanya.


Basement mulai sepi. Pegawai kantor mereka barangkali tak menunggu detik terbuang percuma untuk sampai ke rumah masing-masing.


Adzan ashar menggema beberapa saat setelah mobil yang Calla tumpangi bergabung dengan keramaian jalan raya. Memandang separuh melamun pada rambu lalu lintas menyala merah, Calla menoleh saat sosok di sisi kanan buka suara.


"Mampir ke masjid depan sebentar, ya."


Calla tersenyum tipis, mengangguk sepakat. Siaran radio yang mereka dengarkan masih mengantar desibel penyiar yang kadang meninggi kadang stabil, tengah memberikan tips memasak makanan sehat murah meriah.


"Bim," Calla terdengar menggumam. Namun sang lawan bicara tetap menangkap sempurna. Sepasang alis tersebut terangkat, bertanya melalui isyarat mata.


"titip doa, ya." gurau Calla, tersenyum jenaka. Bima ikut menguarkan tawa ringan. Seolah candaan tersebut memang absolut komedi buat mereka.


"Selalu, Cal."


***


Calla dan Bima saling menemukan di bangku sekolah menengah pertama. Mama bilang, satu keluarga dengan seorang bocah laki-laki seumurannya menempati rumah yang telah lama kosong di samping kediaman Calla. Orang-orang baik, kata mama. Sejak hari itu, tiap-tiap sore, Calla kerap mendapati Tante Nana, begitu mama menyebutnya, bersama anak laki-laki menggemaskan duduk di beranda rumah mereka sembari menikmati sepiring camilan yang mama atau Tante Nana buat.


"Bima mana tante?" Calla ingat pernah melontarkan pertanyaan tersebut ketika Bima absen mengunjungi rumahnya. Tante Nana yang baru tiba pada sore jelang gelap tersebut tersenyum manis sekali, menjawab ringan.


"Bima berangkat mengaji ke masjid dengan teman-teman yang lain, La."


Awalnya, Calla tak bisa menahan diri untuk tidak menanyakan perihal 'apa itu mengaji' kepada mama atau papa. Orangtuanya akan secara terang-terangan berkata, "Kegiatan membaca kitab suci." yang berakhir dengan Calla menatap tak mengerti.


Ia hanya mengenal satu kitab suci di dunia ini. Kitab yang ia bawa saat pergi beribadah pada hari Minggu bersama mama dan papa menuju rumah Tuhan sekali sampai dua kali sepekan.


Pernah suatu waktu ia bersikeras membuntuti Bima ketika jadwal mengaji pemuda itu tiba. Mengendap-endap, ingin tahu. Berakhir dengan pemahaman kecil tentang perbedaan.


Bima tidak berkunjung ke rumah Tuhan yang sama dengannya. Bima juga tidak membaca kitab suci yang selama ini Calla genggam di kedua tangan. Bima tidak menghias pohon natal tiap tanggal dua puluh lima Desember atau merayakan tahun baru dengan kembang api dan puji-pujian. Bima tidak pula menghias telur paskah maupun tergabung dalam kelompok paduan suara.


Kini usianya dua puluh enam dan Calla cukup dewasa untuk menganggap batas tersebut seolah tiada. Berteman dengan Bima selalu membawa pemahaman baru yang tak akan ia dapatkan di luar sana bersama orang lain, di tempat yang lain pula.


Pada dua digit angka pertemanan itu, Calla tak pernah menemukan cacat pada Bima. Tak juga berani bertanya, apakah ia cukup menyenangkan untuk diajak bertukar pikiran. Bima yang Calla kenal memang berubah. Seperti idealnya manusia, lelaki tersebut telah jauh melangkah menjadi pria yang juga senantiasa membuatnya bangga. Tetapi satu yang konstan dan takkan terkikis hingga habis; Bima sebagai teman kecilnya, Bima yang akan menjawab pertanyaan Calla mengenai apa saja.


Dulu, Calla pernah kelepasan bertanya, "Kenapa kamu tidak pernah mencoba untuk ikut kami ke Gereja, Bim? Di sana kita bisa bertemu anak-anak lain dan bermain sampai bosan. Akan kukenalkan kamu pada teman-temanku. Mereka tidak kalah menyenangkan."


Alih-alih terkejut, Bima justru tersenyum teduh. Menggaruk kepalanya yang tak gatal, lalu tertawa pelan, "Dinding antara yang boleh dan tidak barangkali berbeda menilik sudut pandang kamu dan aku. Kupikir, karena aku tahu petak tersebut bukan tempatku, maka tidak ada alasan bagiku untuk mampir tanpa kepentingan yang jelas. Nanti, suatu hari, kalau keadaan tidak sesempit perspektif dua remaja biasa seperti kita saat ini, aku akan dengan senang hati menemani kamu bertemu Tuhan-mu. Bukan untuk ikut bertemu dan berdoa seperti caramu agar semakin dekat dengan Dia, tetapi hanya demi membuktikan betapa aku menghormati apapun pilihan dan jalan yang kamu yakini. Karena kita adalah teman."


Calla pikir, waktu sudah berjalan cepat sekali. Namun esensi atas pertemuan dan skala masa yang ia habiskan dengan Bima tak terhingga menciptakan memori, takkan lekang begitu saja. Sangat lama sampai mereka tak lagi sibuk mempertanyakan keyakinan masing-masingnya. Sangat lama sampai yang mereka tahu adalah berdiri di sana demi sosok yang dianggap teman, tanpa batas, tanpa tepian.


Pemikiran Bima begitu rumit, namun Calla telah secara alami menyelam hingga nyaris ke dasar. Bagaimana Bima menjelma rekan diskusi dan debat yang tangguh setelah bertahun mereka menghabiskan banyak tawa dan air mata. Isi kepala Bima adalah tempat Calla berlindung dari stigma dan sekian asumsi mengenai ragam dunia.


***


Calla duduk menatap pagar masjid tak begitu tinggi dari pekarangan depan yang menyatu dengan lahan parkir. Mobil Bima dapat ia saksikan cukup jelas dari tempatnya berada. Calla juga sesekali menoleh ke dalam, mendapati satu-dua perempuan dengan mukena membaca beberapa lembar quran dan duduk diam, memutar-mutar tasbih di celah-celah jemari.


Alunan murattal telah mengalun sejak beberapa saat lalu. Tak lama sejak Bima selesai berwudhu dan bergabung dengan barisan jamaah salat ashar lain. Sinar matahari sore menyirami tanah dan rumput-rumput. Warnanya keemasan, membuat betah dipandang.


"Yuk, La."


Calla terkesiap ketika panggilan Bima memutus lamunannya. Sekilas dapat Calla lihat rambut Bima separuh basah oleh air wudhu, juga wajahnya yang sedikit mendung telah kembali diisi cahaya. Muramnya hilang, kelabunya meringis. Ini magis.


Menegakkan punggung, perempuan tersebut tersenyum lalu mengangguk. Patuh, berjalan di belakang Bima yang memimpin menuju mobil di bagian selatan masjid.


"Ada jajanan baru lho, La. Micin, sih. Tapi enak. Cheating dikit nggak masalah kali, ya."


Bima tersenyum konyol. Membuat dahi Calla mengernyit. Ia selalu tidak setuju dengan pola hidup Bima yang terlalu santai. Kadang sampai terlalu sering membeli jajanan pinggir jalan yang entah terjaga atau tidak kebersihannya.


"Mau beli?" tanya Calla, memastikan.


"Iya. Dikit doang."


Calla menghela napas. Sedikit selalu jadi alasan Bima untuk menghalalkan ide-ide gilanya. Namun, karena juga penasaran, Calla akhirnya mengangguk. Membuat mobil Bima kini menepi di sisi jalan tak jauh dari masjid. Memesan dua porsi ayam goreng tepung, terpotong dadu yang ditaburi MSG.


"Bismillah~" cetus Bima sebelum memasukkan potongan ayam ke dalam mulut. Mengunyah rapi. Matanya berbinar.


Calla ikut mengunyah. Selera Bima terkadang luar biasa dan Calla sudah lama kehilangan rasa terkejut. Perempuan tersebut menghabiskan makanan dalam hening sembari menanggapi satu-dua ocehan Bima. Selalu demikian.


Jalanan ramai. Kemacetan tak bisa dihindari. Mereka berdua duduk di pinggir trotoar, masing-masing fokus pada gelas es teh berembun. Masih pukul setengah lima. Sore yang terhitung cukup terik. Debu tak jarang tampak berputar, ditemani asap kendaraan, juga nyanyian riuh para pengamen.


"Ingat nggak, La. Dulu, kalau sore begini, kita seringnya ricuh kalau ibuku dan mamamu lagi pada sibuk di dapur atau di taman belakang rumah. Berebut remote TV-lah, adu mulut soal koleksi post-cardmu yang kadang kuambil tanpa bilang, juga saat kita berbagi ratusan episode Naruto. Rasanya aneh ya, sekarang kita sudah segede ini dan kegiatan menyenangkan dahulu kala malah seolah berubah jadi aktivitas monoton yang itu-itu saja."


Calla terbahak, mengiyakan. Waktu adalah ruang dinamis di mana manusia bergerak dan berpindah secepat kilat, namun juga secara bersamaan memaksa stagnan ditemani kenangan.


"Dulu, kamu juga tukang ngadu kalau aku bandel menyetop tukang es krim tiga rasa yang lewat di sekitaran kompleks perumahan. Mamaku bakal mengomel seharian, dan kamu kabur begitu saja setelah menonton drama keluarga."


Bima bertepuk tangan sembari tertawa. Calla menggeleng-geleng kecil, gemas sekaligus merasa kesal mengingat potongan cerita mereka yang kadang kekanakan.


"We've been walking so far." celetuk Bima. "Kangen jadi bocah ingusan yang nggak perlu mikir tentang biaya listrik, tagihan air, atau gaji yang terlambat dibayarkan."


Mereka berpandangan, lantas meledakkan tawa lagi, memungut sekian remah memori yang melompat dari kotak masa lalu. Yang tersisa dari semua itu jelas hanya mereka dan rindu.


***


Perkara perasaan. Calla yakin seratus persen, bahwa ada beberapa jenis isi hati yang tidak dapat dikemukakan, tak peduli bagaimana keadaan memaksa, atau ketika mulutnya gatal ingin bicara, apalagi ditemani air mata tumpah ruah. Calla tahu, sesuatu yang tidak diungkapkan kerap bukan sebab tak ada, namun hanya karena tidak akan pernah sedia waktu yang tepat, baik sekarang maupun nanti, barangkali selamanya.


Calla tidak tahu sejak kapan caranya memandang Bima jadi berbeda. Ia tak pula paham mengapa eksistensi seseorang bisa menjelma tak mampu diabaikan setelah bertahun mereka habiskan bersama. Calla sudah melihat berbagai sisi yang bahkan tak bisa begitu saja Bima tampilkan di hadapan orang lain. Ia pun serupa; eksklusif dalam kamusnya identik dengan presensi pemuda itu, suka tidak suka.


Tetapi, bukan Calla namanya bila semerta menampilkan sorot malu-malu, maupun rona merah pada wajah. Jatuh cinta tidak seharusnya membuat manusia menjadi bodoh dan mudah dibodohi.


Cara pikir Bima yang kadang membuatnya mendelik tidak mengaburkan landasan awal bahwa lelaki tersebut selalu jadi tempat bertukar argumen paling seimbang. Calla tidak mudah membuka suara, apalagi mengeluarkan keluh kesah serta kritik kecil yang tampil di depan mata. Tetapi bersama Bima, entah karena lapang dada lelaki itu yang kelewat luas, atau hanya sebab mereka memang tercipta untuk saling mendengar; Calla tak pula banyak berharap pada kemungkinan kedua.


Cara Bima berdoa, bagaimana lelaki tersebut menggelar sajadah, atau lambaian tangan heboh di bawah jendela kamar Calla di lantai dua rumah selepas salat Jumat merupakan getir lain yang sudah entah kapan tak Calla ambil pusing.


Puing-puing intensinya telah roboh sejak lama. Mungkin saat tahu bahwa cinta pemuda tersebut terhadap Tuhannya luar biasa besar, atau sesederhana istighfar yang terlantun sampai rungu ketika ia terkejut bahkan dikuasai amarah. Tidak, Calla sudah lama sekali tak menyoal hubungan satu entitas dengan Sang Pencipta. Toh, itu bukan urusannya, bukan urusan siapapun. Namun, mengetahui seberapa besar keberadaan Bima mampu mempengaruhi harinya, membuat Calla mendadak cemas sendiri.


"La, sibuk?"


Sabtu siang itu, pesan Bima muncul di layar ponsel Calla selepas menikmati masakan mama di meja makan. Sembari mendudukkan diri di kursi menghadap meja belajar, Calla mengetik balasan singkat, "Nggak, tuh." yang tak menunggu lima detik segera mendapat centang dua biru.


"Aku ke sana, ya."


"Ngapain?"


"Mau kasih lihat sesuatu."


"Oke."


Lalu selepas Calla merebahkan tubuh sejenak di kasur yang telah lama tak ia jadikan teman baik, pintu rumah terdengar diketuk, disusul panggilan mama yang meminta Calla segera turun. Tak salah lagi, itu Bima.


"Tadaaaa!" Bima berseru bahagia, mengabaikan penampilan Calla yang apa adanya, lalu tertawa riang.


"Menurutmu, mana yang lebih bagus?"


Calla meringis singkat. Bahkan tak perlu menunggu lama bagi Bima untuk menunjukkan benda yang ia bawa. Membuat Calla membeku sekaligus terbakar dalam satu waktu.


"Siapa-"


"Doain ya, La. Inshaa Allah."


Ah, pada akhirnya saat-saat menyesakkan ini tiba juga?


Namun, mengabaikan emosi yang berlomba mencapai finish, atas nama relasi, Calla meraih satu contoh undangan pernikahan paling sesuai seleranya yang terhampar di atas meja. Perempuan tersebut nyaris tersedak saat mengatakan, "Yang ini oke, Bim."


"Wah, taste kita masih sama ternyata. Nggak diragukan lagi."


Memang kapan kita pernah berbeda? Batin Calla, skeptis.


'Kecuali mengenai Tuhan, kita selalu sama.'


***


Tiga belas tahun adalah angka yang lebih dari cukup untuk menggenggam tangan seseorang. Pun tak menampik, kategori rentang begitu luas demi mempertahankan seseorang agar tak pergi apalagi beranjak.


Calla punya cukup padat riuh angkara dan pengampunan yang belum sempat tersampaikan pada Bima. Ada banyak sekali ungkapan, entah dalam kepala bahkan hatinya, mengenai apa-apa di belakang, menjelma genangan bersama turunnya hujan.


Memang, bibit harapnya sudah lama mati. Takkan bertunas apalagi siap dipanen. Namun, dinding yang perlahan ia coba gapai, ternyata bersifat sama; tanpa kasihan, menjatuhkannya terpental dan kumal, menghamba di dasar.


Yang tak pernah usang adalah kasih sayang. Yang takkan bebas dari peduli adalah penilaian tentang yang pantas dan tidak. Calla memberikan letup afeksi kepada siapa saja. Buatnya, cinta yang telah Tuhan anugerahkan harus ditebarkan di muka bumi.


Namun, untuk Bima, tak jarang Calla bertanya-tanya, apakah Bapa sudi kasih tersebut ia berikan sampai lesap kepada si lelaki? Apakah mungkin ini hukuman atas detak tak wajar yang telah hadir menemani Calla menjalani hari-hari?


Tetapi, menghela napas, menghabiskan segelas caramel machiato dingin dalam dua kali sesap, Calla lantas tersenyum miris, 'memang kapan ia pernah benar-benar mengizinkan Bima memperhatikan perasaannya?'


Pada akhirnya, perempuan tersebut sadar, entah di masa lalu bahkan masa depan, kini atau nanti, kalimat-kalimat melankolis demi menyadarkan Bima bahwa ia ada, takkan pernah berarti. Tidak mengubah apa-apa. Hanya nol besar yang digelindingkan dari puncak gunung pada musim dingin; menghasilkan gumpalan salju dan siap menghantamnya kuat saat sedang menunggu.


Calla ingat, Bima pernah berkata, "Takdir yang membuat kita hidup adalah kesempatan menjadi sebenar manusia sekaligus bagian dari hamba yang bertakwa setiap hari."


Ia ingat membalas, "Maksudnya?"


"Kurang tahu juga, ya." canda Bima, terbahak. "Maknai sendiri dong, La."


"Gimana caranya kita tahu bahwa kita sudah menjadi sebenar manusia?"


Bima tampak berpikir. Kemudian, lelaki tersebut menjentikkan jari.


"Saat kita punya empati yang sama besar dengan kapasitas simpati. Ketika kita tidak hanya berusaha mengetahui perasaan orang lain, tetapi juga secara alami dapat berdiri di atas sepasang sepatu yang orang tersebut kenakan demi mengerti, luka miliknya juga menyakiti kita. Polanya sama dengan bahagia lho, La."


Bahagia.


Calla me-replay kata tersebut dalam benak. Ia menatap sepasang pigura yang telah lama ia abaikan, berisi potret dirinya dengan Bima mengenakan jubah dan toga masing-masing di hari kelulusan keduanya.


Ada yang lagi-lagi mendobrak kepala. Sebuah perintah untuk menjadi egois sekali saja. Namun, saat telinganya perlahan menemukan kebisingan dari lantai bawah, disusul ketukan pada pintu kamarnya, Calla perlahan sadar, waktunya memang sudah lindap sejak entah kapan.


"La, ayo. Rombongan sudah mau berangkat ke rumah mempelai perempuan."


"Iya, ma. Sebentar."


***


Palembang, 21 Agustus 2020

Siti Sonia Aseka

Kamis, 13 Agustus 2020

[OPINI] Pelecehan dan Kekerasan Seksual: Di Mata Publik, Korban adalah Pelaku! #whatashame

Pelecehan dan Kekerasan Seksual: Di Mata Publik, Korban adalah Pelaku! #whatashame

Ada banyak akun yang saya hilangkan dari daftar following dalam beberapa pekan ke belakang. Alasannya, karena entah mengapa dan bagaimana, statement pemilik akun dengan label influencer (katanya) ini, malah seolah menunjukkan sikap ignorant dan kehilangan respect apalagi dukungan terhadap korban pelecehan dan kekerasan seksual.


Menyoroti cara berpakaianlah, consent, pun seolah asal bicara tanpa tahu berapa banyak jumlah korban (dan terus bertambah setiap hari), serta alasan mereka mendapat perlakuan tidak menyenangkan.


Apakah semua korban pelecehan seksual berpakaian kurang pantas? Tidak. Anak-anak yang belum mengenal cara berpakaian A-Z, atau remaja dengan seragam sekolah pun justru kerap mengalami pelecehan.

Masih ingat kasus Yuyun yang menggemparkan pada tahun 2016 lalu? Siswi SMP yang diperkosa oleh 14 orang pria hingga tewas dan jasadnya dibuang ke jurang begitu saja?

A 14 years old girl, just walked, wanna came back home after the classes were over, met 14 'trashes' called themselves human and got raped to death.


Masih ngotot menyalahkan korban bila demikian?


Kemudian perihal consent atau consensus, diartikan juga sebagai persetujuan atau izin. Sementara Sexual Consent dapat disimpulkan sebagai persetujuan yang jelas untuk melakukan kegiatan seksual. Karena, segala bentuk aktivitas seks membutuhkan persetujuan antara kedua belah pihak, bahkan jika itu bersama pasangan kita sendiri.


Persetujuan seseorang yang mengakibatkan dirinya dilecehkan, tidak bisa dibulatkan semerta hanya dari sekali kata 'iya'. Kita mengenal istilah manipulasi. Hingga tidak menutup kemungkinan, korban dirayu, dipaksa, diimingi janji-janji agar melakukan apa yang pelaku minta. Apakah hal demikian masih 'hanya' salah korban?


Berkaitan dengan consensus, sebagaimana melihat begitu banyak pemahaman yang keliru mengenai landasan satu ini, maka dilansir dari sisternet, ada 4 hal yang perlu diperhatikan, yaitu:

1. Persetujuan adalah sesuatu yang harus dilakukan dalam kondisi sadar sepenuhnya.

2. Berdasarkan poin di atas, maka pemberi persetujuan sedang dalam kondisi tidak di bawah pengaruh alkohol atau obat-obatan ketika aktivitas seksual berlangsung.

3. Saat memberikan persetujuan, seseorang tidak sedang dalam kondisi diintimidasi, baik secara fisik maupun mental. Ia harus berada dalam kondisi tidak cemas atau terancam untuk menyampaikan keberatan atau ketidaknyamanannya.

4. Terakhir, yang paling penting adalah usia pemberi persetujuan harus legal secara hukum. Ini penting, karena anak di bawah umur dianggap belum matang dan belum mampu untuk memberikan persetujuan dengan sadar.


Point ketiga menunjukkan bahwa pelaku kejahatan seksual kerap menampilkan sikap manipulatif, sehingga menyebabkan korban tidak memiliki pilihan lain, dan tidak mampu melawan.


Dalam aturan agama yang saya anut, menjauhi zina adalah wajib. Menjaga diri dengan turut memerhatikan cara berpakaian, menutup aurat, adalah juga sesuatu yang tidak patut diperdebatkan lagi. Saya sepakat. Islam sudah mengatur hubungan antar manusia dengan amat baik lagi elok; hal yang saya syukuri sebab saya beragama dan tahu apa yang boleh dan tidak saya lakukan. Saya pun bersyukur sebab aturan tersebut membuat saya merasakan tanggung jawab besar untuk menjaga dan melindungi diri saya sendiri.


Tetapi, apakah adil apabila saya memaksakan ajaran agama saya kepada orang lain yang notabene memeluk keyakinan berbeda? Apakah saya bisa menghakimi mereka karena memilih cara berpakaian yang tidak sama dengan saya? Tentu saja tidak dan saya menghargai hal tersebut.


Sebagai contoh kasus, baru-baru ini dilaporkan kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh seorang guru ngaji terhadap murid-muridnya. Saya tekankan kata 'murid-murid' di sini karena ternyata, korban berjumlah lebih dari satu orang.

Lalu beberapa waktu sebelumnya, seorang qori' sekaligus imam di banyak masjid di United States dikabarkan menjadi predator seksual dan memanipulasi banyak perempuan untuk berhubungan intim dengan iming-iming relasi bernama pernikahan.


Melompat menilik kejadian tentang seorang penulis yang mengaku ditangkap melalui media sosial, akibat memperjuangkan keamanan sebuah sekolah (di mana adiknya juga menimba ilmu) yang kedatangan seorang guru bermasalah dengan track record kejahatan seksual di sekolah lama tempatnya mengajar.

Pun hampir bersamaan dengan keluarnya kasus tersebut, pengakuan penyintas korban pelecehan dan kekeraaan seksual di dalam lingkungan gereja oleh seorang pastor juga mencuat dan menjadi skandal meski tak pula jelas kabarnya hingga kini, apakah pelaku telah ditindak sesuai hukum yang berlaku, atau dilepaskan begitu saja.


See? Ternyata pemahaman agama yang dimiliki manusia tidak lantas utuh membuat dirinya tahu siapa ia dan apa yang benar-benar menjadi tugasnya. Menjaga nafsu agar tak lepas dari kandang ternyata lebih sulit dari mengembala ribuan domba. Atau apakah agama hanya dijadikan alat untuk memperlancar kejahatan? Who know's?


Having religion and being religious are indeed different things.


Pun mengenai zina.

Tentu tidak ada satupun agama yang membenarkan. Tidak ada satupun keyakinan menyebut bahwa pemeluknya diizinkan untuk berbuat demikian. Agama manapun menghadirkan kesucian dan rasa cinta yang besar terhadap Tuhan dengan tidak menyaingi Sang Maha dengan sesama hamba. Sesuatu yang tentu disepakati oleh semua pihak.


Tetapi implementasi dan batas dari 'zina' yang dimaksud tidak selalu sama, bahkan cenderung terlihat berbeda. Maka di sini, dapat disimpulkan bahwa menghakimi dan menyalahkan korban hanya karena sikapnya yang dianggap membuka pintu bagi predator seksual untuk menangkap mangsa, sama sekali bukan solusi dan jelas membuat korban-korban lain semakin takut buka suara karena society yang cenderung berat sebelah.


Hal yang juga membuat miris adalah adanya tuduhan kepada korban yang dianggap hanya 'mengaku-ngaku' diperlakukan dengan tidak pantas saat sudah ditinggalkan oleh pelaku.


I was like… oh, dude! Here we go again~


Hanya karena korban butuh waktu lebih lama dari yang semua orang harapkan untuk mengungkap pengalaman buruknya, bukan berarti ia tidak merasa dilecehkan. Seringkali ragam faktor seolah menimbulkan tekanan kepada korban untuk harus begitu saja melupakan, bahkan menerima gashlighting mengenai limitasi perasaan dilecehkan sehingga membuat korban sendiri bertanya-tanya, "Apakah benar saya telah dilecehkan dan 'dia' melecehkan saya?" Lalu berakhir takut untuk bicara dan diam selamanya, hingga membuat pelaku semakin aman melancarkan aksi. Korban pun terus bertambah.


Hanya karena korban tidak melawan saat dirinya dilecehkan, bukan berarti saat itu ia menikmati apa yang diperbuat oleh pelaku.

Hanya karena manipulasi berhasil dan korban memberikan consent, bukan berarti korban bebas disalahkan dan pelaku tetap aman di balik ketiadaan ketegasan payung hukum yang menaungi.


Juga yang perlu digarisbawahi, korban pelecehan dan kekerasan seksual tidak hanya perempuan. Contoh kasus yang cukup populer adalah aktor kenamaan Amerika, Johnny Depp dengan mantan istrinya, Amber Heard. Dampak dari kasus ini adalah banyak pihak yang memboikot sang aktor yang berujung pada dirinya tidak terlibat lagi dalam franchise Pirates of the Carribbean yang telah membesarkan namanya. Tak hanya itu, kemunculan Depp pada Fantastic Beast: The Crimes of Grindelwald juga turut menuai kritikan tajam. Setelah beberapa tahun bolak-balik meja hijau dengan berbagai testimoni, publik perlahan menyadari setelah terungkap bukti berupa puluhan video bahwa Depp merupakan korban sebenarnya, dan telah menerima berbagai bentuk kekerasan dalam rumah tangga selama bertahun-tahun.


Hal ini membuktikan bahwa siapapun bisa menjadi korban. Tak peduli usia, jenis kelamin, cara berpakaian, ras, agama, bahkan lainnya. Maka dari itu, terus bersikap naif tidak akan membuat kita bergerak ke manapun.


I hate a kind of situation that only blame a group or a person without trying to understand and look even harder in the other's perspectives.


Kita sibuk menyalahkan korban, mengungkit-ungkit cara berpakaian atau sikapnya, mempertanyakan kenapa ia tidak begini atau begitu ketika menghadapi situasi tidak menguntungkan dan terdesak di tangan pelaku. Kita sibuk berandai-andai tanpa memberi solusi, alih-alih ikut serta dalam pengamanan lingkungan ke depan dari sentuhan predator seksual. Kita hidup dalam pola pikir terbelakang sebab tidak berusaha membuka mata lebar-lebar mengenai ragam kemungkinan.


I felt that the attitude of society in a case of sexual harassment and violence was still very unbalanced and tended to only blame the victim rather than take action against the sexual offender.


Meyakini keberadaan Tuhan harusnya membuat manusia sadar bahwa dunia ini tidak akan berjalan sebersih dan sesuci apa yang kita harapkan. The way to reach His love, the process of becoming closer to God should soften our hearts and make us truly human, not the other way around; closing our eyes, acting as if we were blind, and considering ourselves the most righteous by only relying on one source that is not necessarily the right one.


Mendalami agama adalah jalan menuju peningkatan keimanan demi menyadarkan kita mengenai hakikat kasih-Nya. Tuhan tidak mengajarkan kita berlaku kasar, lantas jauhi. Tuhan tidak mengajarkan kita menyakiti hati sesama, lalu upayakan. Tuhan menjadikan kita makhluk paling sempurna dengan kapasitas berpikir dan merasa, maka manfaatkan dan optimalkan.


Menjadi hamba yang bertakwa adalah juga merangkap sebagai manusia yang berguna bagi manusia lain.


Demikian.


Ditulis oleh: Siti Sonia Aseka

Palembang, 13 Agustus 2020

Photo by: Jung **Seok

Urgensi Kemahiran Berbahasa Inggris di Era Modernisasi dan Globalisasi

Urgensi Kemahiran Berbahasa Inggris di Era Modernisasi dan Globalisasi Sejak abad ke-18, bahasa Inggris ditetapkan sebagai bahasa Internasio...