Blogger Perempuan

Blogger Perempuan
Kunjungi laman Blogger Perempuan dan baca tulisan saya melalui link berikut

Selasa, 31 Desember 2019

Orbit Takdir

Dari seluruh konklusi sesal dan bersalah, persediaan paling besar sudah tentu disimpan apik dalam kotak bernama masa lalu. Sayang, mesin waktu dan semacamnya jelas tidak pernah ada alih-alih membantu.



Barangkali bagi saksi keping yang sempat tercecer di serangkaian jalan, ada beberapa hal mengganggu dan minta tuntas tanpa tahu kesulitan apalagi hambatan. Padahal bayar lunas demi terang benderang yang mereka mau bukan sekedar dengan membalas dendam dan pembuktian tentang secercah intensi masa depan saja. Lebih dari itu, fragmen yang berserakan, serpih tersembunyi, fosil dalam tanah atas bukti telah adanya aksi demi mencapai kehendak dan usaha tak main-main, seharusnya bisa paling tidak menyatakan sesuatu. Well, bukan masalah. Sebab sudah lama sekali kepedulian itu diangkut pergi, tak menjejak meski seinchi. Barangkali memang masih ada secuil asa, sampai semua sakit hati membuatnya menguar tanpa cela ke udara.

Tentang rindu, barangkali hati yang telah membatu ini bahkan tak mampu menerima sedemikian afeksi atas alasan dilukai. Bahkan bila kukatakan akulah korban, semesta bisa saja menertawai sampai gempa bumi dan tsunami melanda lagi dan lagi. Sebab ternyata, orbit yang telah kulalui menciptakan sebait puisi baru, tentang apa dan siapa, lantas mendorongku hingga terdesak demi menggapai fakta; aku bukan satu-satunya yang berdarah.

Barangkali memang cinta yang telah kuupayakan sebesar cara matahari menyinari bulan tak pernah dapat mencapai kenyataan paling baik. Paket kebahagiaannya mungkin tersesat di suatu tempat dan aku hanya harus menuntaskan tanpa alasan paling kuat. Toh, tak semua hal harus kita cintai. Hal yang paling kita benci sekalipun harus tetap dilakukan apabila memang dibutuhkan. Namun, sama dengan fenomena siang dan malam, kerinduan juga niscaya. Ada beberapa waktu dan bagian-bagian kisah terbentuk di ruang baru, tak dianggap sebenar utuh, namun tentu akan mengakibatkan kekosongan kala hilang dan seolah dilepaskan tanpa ancang-ancang apapun. Juga bila ternyata rasa tak pantas itu berlanjut dari waktu ke waktu, menggerogoti dinding yang perlahan rapuh. Entah sampai kapan, entah apakah memang cara mengobatinya hanya dengan mendoakan dari jauh. Karena jarak yang terbentang, spasi yang meluas ini tak memiliki alasan barang setitik untuk menyambung benangnya lagi. Rasa tertekan, terbebani, diusir dan dibuang ternyata juga membuat hati mudah sekali termakan sebaris ego untuk tak menjadi semaksimal diri. Dengan alasan melupakan, seseorang mampu menyayat kulit yang lain. Dengan dalih terpaksa, seseorang bisa menorehkan tinta acak yang tanpa disadari membawa kelam bagi halaman yang lain.

Harusnya, rasa berhak itu tetap tinggal agar masih ada paling tidak keinginan yang bangkit demi mengetahui setidaknya kabar. Harusnya ada pertanyaan tentang kenangan dan tuntutan atas jawaban paling benar dari segala kejadian. Ah, aku barangkali sudah terlalu banyak berharap, padahal tak ada satupun rela yang kutitipkan kala beranjak.

Terlihat sederhana.
Segalanya tampak tanpa noda.
Aku pun baru menyadari bisa jadi segala 'baik-baik saja' itu hanya cara dari Tuhan agar aku merasa nyaman dan tak hendak menyerah.
Tantangannya ternyata tersimpan dalam secarik jiwa, bukan pada apa dan siapa di luar sana.
Aku hanya butuh banyak berkaca.

Akhirnya, pengakuan kecil yang kupikir mampu mengobati sekian sesak setelah belasan bulan melompati sisa luka meski tak sempurna reda, tiba juga.

"Rindu. Rindu sekali. Andai kesempatan itu datang lagi, barangkali, aku akan lebih memberikan segalanya ketimbang meminta alasan untuk tetap tinggal pada serangkaian rumput bergoyang."

Penerimaan ternyata tak selamanya tentang merelakan dan melepas apa yang memang tak pantas berada dalam genggaman. Seolah barang dagangan murah yang hanya dijejalkan begitu saja, minta dijaga, minta dimiliki, meski hati barangkali tak menginginkan, mau bagaimana lagi? Sudah terjadi.
Harusnya aku mengerti dengan rinai mendewasa paling bijaksana.
Harusnya kepalaku dilubangi dengan logika paling benar, agar pikiran cacat tentang ketidakmampuan orang lain dalam memahami diri, berubah menjadi usaha lebih keras untuk masuk lebih dalam pada muara bernama kebenaran.

Balasannya sudah tiba, tenang saja.
Lebih cepat dari yang semula kukira.
Belasan bulan ini jadi ajang luar biasa dalam masuk ke dalam peran yang memaksa, mendorong dan mendesak untuk menyaksikan drama baru sebagai pemain sekaligus kru belakang layar.
Ternyata, ruangnya dipasangi dinding kaca hingga aku bisa melihat dari segala sisi yang ada.
Bahkan ajaib, kesalahan, penyesalan, langkah, keburukan dan potongan lain terpampang nyata, begitu magis, meski perlahan aku memang membunuh diri sendiri dan masih tak kuasa menjadi satu-satunya yang terluka. Tapi, aku tak boleh mundur ke belakang, bukan? Bila balasan semesta kembali kulewatkan dengan alasan ketidaksiapan, barangkali di masa depan sakitnya akan semakin tak terkendali dan rusakku tak mampu dibenahi lagi.






Palembang, 31 Desember 2019
Siti Sonia Aseka

Kamis, 14 November 2019

When It Ends

"When It Ends"
Imaginary Future

On Wednesday morning,
Palembang.

Ketika Kisah ini berakhir
Siti Sonia Aseka



Kelebat ingatan, bayang-bayang
Afeksi yang muncul bersama upaya
Saya ingat segalanya bermula dari satu kesadaran, tentang induk-induk manfaat, tentang wadah tempat segala curahan bermuara.
Air mata, debar dada, bertanya-tanya; mengapa saya?

Kesabaran adalah letupan ikhlas, keluasan syukur, serta kepercayaan bahwa tak pernah sekalipun, Allah meninggalkan hamba-Nya.

Menghadirkan hati bersama cinta.
Menumbuhkan proteksi kepemilikan.
Memupuk rindu untuk labuh dan rebah.

Asal tidak meyakini bahwa rumah itu adalah ruang kala memikirkan pulang.
Sebab, jalan menuju rumah, bukan jalan yang sama dengan simpangan menuju Sekretariat kecil di gedung kemahasiswaan kita.
Bukan.

Masih belum.

Nanti, akan tiba saatnya langkah kaki menyepi.
Teredam.
Tersimpan.
Tak lagi menuju tempat yang sama.
Tak lagi bertatap muka dalam sekali salam dan sapa.

Tak ada lagi urusan remeh temeh seperti barang tertinggal, piring yang belum dicuci, lantai yang kotor, serta pertukaran hal-hal kecil, berbagi; milikku-milikmu.

Hei, saya akan merindukan semuanya.
Tentu, tentu saja.
Mengejutkan, bukan?

Yang datang dan pergi, yang pernah dan masih, yang bertahan pun yang memutuskan untuk usai sebelum kapal berhenti pada destinasi terakhir.

Saya akan merindukan segalanya.
Bahkan rasa sakit, kekecewaan, luka dan amarah.
Inilah tempat saya menjejak lautan tanpa pernah takut tenggelam.

Tempat yang menjadi saksi bisu atas air mata dan sekian putus asa.
Tempat saya belajar bagaimana menjadi, sebelum mati-matian menuntut dan menghadirkan justifikasi sepihak.

Jelas ada yang hilang dan gantinya tentu hanyalah kerinduan.

Harap saya awalnya remeh luar biasa; mencintai dengan sederhana.
Namun, mengapa, dan lagi-lagi mengapa, segalanya selalu rumit untuk kita?

Inderalaya, 14 November 2019
Siti Sonia Aseka

9 November



Barangkali bila kita mampu mendinginkan kepala sedikit saja, menurunkan tensi lebih banyak, meredam amarah yang menggelora dalam dada, mendera ego, menggulung jiwa dalam gelombang emosi, mungkin perdebatan bahkan pertikaian hari itu, tak perlu terjadi, dan kita, tak harus terluka sampai merasa terhina begini.

Barangkali, dengan kata-kata yang terlontar, kalimat-kalimat tajam, menyakiti setiap jengkal rasa dan raga, idealisme kita perlahan terkikis, lantas habis, menyisakan kegelapan dalam pikir, membuat kita perlahan memaksa takdir untuk selalu dimenangkan atas segala situasi.

Maka ketika kalah, kala dihadapkan pada kenyataan yang tidak berpihak meski sedikit, kita merasa sakit, dikhianati, terpapar kekecewaan luar biasa dalam, meski harusnya diri menyadari, bukan lagi idealisme mendekati sempurna itu yang sungguh kita berpihak padanya, namun ego pribadi yang terluka.

Aku ingin berdiri di tengah-tengah, antara kemarahan dan kesedihan, di antara kekecewaan dan kehampaan, di antara kalian yang bertikai sebab selalu merasa benar. Tapi, hei, barangkali suatu waktu aku pun akan terjebak pada situasi demikian, tak mampu mengendalikan diri, dibenturkan pada tuntutan dan harapan orang-orang, kehilangan suara untuk bicara sebab terlalu sering terkungkung bisikan. Sampai mungkin aku bingung, mana dan apa suaraku yang sesungguhnya?

Masihkah aku memiliki keinginan?

Palembang, 11 November 2019
Siti Sonia Aseka

Jumat, 20 September 2019

(Jangan) Pedulikan Kami!

Lingkungan sosial memiliki dinamika serta hukum rimbanya sendiri. Katakanlah demikian; bila kau ingin hidup aman, tenteram, ikuti saja arus yang ada. Bila tak ingin dimangsa "spesies" lain, maka jadilah predatornya. Jika telah melakukan kedua hal di atas, selamat. Hidupmu pasti ada dalam level lurus dan sepi tikungan. Namun, percaya tidak? Terkadang meski sudah berbuat semaksimal mungkin demi tidak beririsan dengan jenis manusia super menyebalkan, kau masih saja harus menghadapi mereka dalam taraf yang mungkin tidak sampai membuat ingin membunuh seisi dunia. Minimal merasa harus sembunyi dalam kerak bumi saja. Iya, barangkali. Mencair dan menguap karena panasnya lalu berhasil kabur dari dunia yang melelahkan. Itu opsi paling lumayan sekaligus mustahil, sebenarnya.



Pernah mendengar kalimat semacam, "Duh, perempuan lho. Mbok ya lembut sedikit dong, kalem. Jangan lincah bener. Ngomongnya halus, senyum dipasang, jangan suka marah-marah macam singa gitu. Perempuan harus manis, ndak boleh dominan bener. Malu."

W.H.A.T
T.H.E
H.E.L.L?

Okay, wait.
Hold on.

Jadi, kalau bukan perempuan, lantas boleh berkata dan berbuat kasar? Boleh bermuka masam? Boleh tidak senyum? Boleh marah-marah? Boleh mendominasi dan boleh tidak punya malu?

Seriously?

Pada beberapa titik krusial, saya merasa saya berhak bicara. Sebagai seorang perempuan dan manusia biasa yang punya pikiran apalagi hati, saya merasa lingkungan sosial kita tengah terjangkit wabah serius, siaga. Butuh penanganan segera.

Perempuan punya hak untuk menampakkan perasaannya, isi hatinya. Mengungkapkan isi kepalanya, termasuk marah, mengamuk dan memaki bahkan.
Perempuan berhak mengatakan apa yang ingin ia katakan. Perempuan tidak butuh izin siapa-siapa untuk melampiaskan emosinya. Perempuan punya hak untuk memasang senyum atau berwajah masam. Perempuan diperbolehkan memilih dan menentukan pendapat, berhak mengkritik dan memberi masukan bahkan menghadirkan arahan. Perempuan bisa melakukan apa yang ia suka. Perempuan tidak bergerak atas perintah yang mematikan saja, perempuan bisa menentukan di mana ia harus berada dan menjadi seperti atau sebagai apa.

Sampai pada keadaan di mana seorang perempuan memaki dan mengutuk, tak berarti ia bukan perempuan baik. Itu sama sekali bukan kesimpulan yang cerdas dari kepala yang sehat.

Dari satu kekejaman lidahnya, barangkali telah banyak kesabaran yang ia hadirkan, sudah jutaan pahit ia telan, telah sering penerimaan atas maaf yang ia pilih untuk melanjutkan kehidupan.

Namun, tak ada yang peduli.

Apa ada yang bertanya tentang kabarnya? Bagaimana hari ini ia lalui terseok-seok, bagaimana belasan hingga puluhan tuntutan dari banyak kepala yang harus ia masukkan dan pertimbangkan dengan logika paling baik? Bagaimana ia mengakhiri segalanya dengan berdamai?

Tidak ada yang mau tahu.
Semua orang sibuk menuntut.

Lucu, bukan?

Lantas, masih ada saja kesalahan yang harus ia tanggung setelah semuanya?
Masih ada tuduhan yang harus ia terima dengan alasan memuntahkan beban jiwa?

Sebenarnya dia yang salah, atau kau yang tak pernah mau peduli barang seinchi?



Inderalaya, 20 September 2019
Siti Sonia Aseka

Senin, 16 September 2019

Sepotong Maaf dan Penyesalan

Kutulis ini dengan penyesalan dan ketakutan menghujam.
Kutulis ini bersama memori yang berputar, tak tergerus oleh zaman, menikam, mengingatkan tanpa lelah bahwa aku pernah, aku sempat menjadi pribadi bersalah dan bermain sulit hanya demi memenuhi ego lantas berpikir akulah yang paling terluka.

Meski sejujurnya, aku memang terluka.



Bodohnya, saat itu, aku mengabaikan rasa sakit orang lain. Aku menganggap remeh perjuangan orang-orang. Aku merasa sudah paling dan lebih dari mereka.
Aku jelas tak termaafkan, tak terampuni.

Aku … mungkin akan hidup dengan bayang-bayang mimpi buruk selamanya.

Maka, pada hari ini, ketika impian dan tuntutan masa lalu dariku terhadap orang lain malah menjadi bom waktu pada diri sendiri, aku tampak semakin ahli dalam mengendalikan titik api dan membawanya ke masa kini hanya untuk menyalahkan diriku lagi dan lagi.

Aku dalam mode siaga.

Pesan tak berbalas.
Saran tak diterima.
Peringatan yang diabaikan.
Permintaan tak diwujudkan.
Keinginan tak diberi.
Nasihat yang dijauhi.
Pertemuan dihindari.
Presensi yang tak lagi berarti.
Ucapan-ucapan kosong.
Perintah tanpa makna.

Ya, semua itu memaksaku menghitung hari hanya untuk bersiap pergi.
Sesuatu yang hanya akan kukenang tanpa ingin mengulangi.
Sesuatu yang barangkali hanya akan masuk dalam daftar pengalaman di selembar kertas demi mendapat pengakuan, apresiasi, bukan agar nilai-nilai kekeluargaan atau omong kosong macam solidaritas itu tumbuh dan hadir seperti seharusnya.

Aku hanya ingin mengatakan, bahwa aku sudah selesai.

Koper sudah tersedia di pojok ruang, pintu pun telah terbuka lebar.
Lemari yang dikosongkan, barang-barang yang diangkut serta, ranjang hampa, jendela yang dibiarkan berkarat kesepian.

Aku benar-benar siap untuk meninggalkan segala kisah patah dan berdarah.
Aku siap untuk tumbuh dengan rona yang baru.
Dan yang paling penting, aku siap untuk bebas.

Ada yang bilang, kunci dari sebuah penerimaan adalah berdamai.

Ya, itu benar.

Namun, lebih dari sekedar damai yang mungkin hanya diartikan sebagai diam, aku memilih untuk membuka lembar lain, menuliskan kisah baru, bersama orang-orang baru, meledakkan suka cita baru dan merayakan kehidupan lebih hebat dan istimewa ketimbang apa yang telah kulalui dahulu.

Aku ingin mengatakan padamu bahwa jauh dari kata terima kasih, aku jelas memiliki segudang maaf yang perlu dilontarkan agar semuanya sembuh dan memahami, tidak ada satu hari pun kulewati tanpa harapan agar kau menjadi lebih baik dan lebih menawan ketimbang detik ini. Tidak ada satu doa pun lolos tanpa menyebutkan rindu terbaik yang mungkin mampu mengubahmu. Tidak ada satu perilaku pun yang kubuat tanpa memikirkan apa yang mungkin kau lakukan dan harus dengan apa aku memperbaikinya apabila menjelma kesalahan. Kesalahan fatal.

Maaf kepada diri sendiri.
Maaf, yang tidak akan kau beri padaku meski kesalahanmu selalu mampu mendorongku masuk dalam pusara tanggung jawab.
Maaf untuk diriku yang menanggung rasa sakit hanya demi menutupi sekian caci maki yang ditujukan padamu.
Maaf untuk aku yang tidak dapat memaafkan diri sendiri.

Maaf.

Iya, hanya sepotong maaf.

Seperti katamu, segelas kopi pahit menandakan tuan rumah meminta tamunya pergi dengan kelewat halus.
Segelas kopi pahit berarti tuan rumah yang tidak ingin diganggu.

Hei, aku mengerti sekarang.
Segala perlakuan pahitmu, jelas sekali memintaku tak ikut campur barang setitik, kan?

Tapi, masalahnya, ikut campur pada urusanmu adalah pekerjaanku.
Ikut campur terhadap dosa yang kau buat ternyata adalah tugas yang harus kuselesaikan.
Ikut campur terhadap segala perilakumu itu bukan lagi pilihan di antara kata ya dan tidak.

Ikut campur bagiku adalah kewajiban.

Dan harusnya, kau adalah orang pertama yang mengerti.
Kau harusnya menjadi orang yang paling memahami.
Sebab, seperti kesepakatan kita di awal pertemuan akhir tahun kemarin; aku ini alarm dan kau nahkoda.

Meski pada akhirnya, kita harus bertemu tujuan dengan awak yang lelah dan berpencar jadi entah apa saja.
Tak meninggalkan bekas.
Tak dianggap pernah ada.

Ah, itu yang kau mau?
Benar hanya begitu?

Padahal, aku telah berharap banyak.
Mengabaikan kecewa yang kata orang bisa saja kuterima sewaktu-waktu.
Melupakan segenap getir yang harus kulalui demi sampai padamu.

Lampunya akan kupadamkan segera.
Sebab, aku sudah harus pergi sebelum terang menyambut.
Aku harus segera meninggalkan tempat ini sebelum kepalaku berdenyar lebih nyeri.

Karena bagiku cukup.
Cukup.

Siti Sonia Aseka
Palembang, 16 September 2019

Minggu, 25 Agustus 2019

Cinta: Ayah dan Ibu

Cinta: Ayah & Ibu
Keluarga



"Cinta memintamu tumbuh, cinta memberimu ruang untuk menjadi dirimu. Cinta adalah penyembuh atas sakit dan obat pada yang luka. Bila yang katanya cinta justru membunuh sampai menghancurkan mimpimu, itu bukan cinta. Itu BUKAN cinta, sayang.
Itu obsesi yang muncul dari nafsu.

Cinta tidak membuat jalan menuju Allah menjadi sulit. Cinta tidak melarangmu melakukan hal-hal baik. Cinta tidak menutup pintu saat kau ingin melangkah maju. Cinta tidak membuatmu lebih banyak menangis ketimbang tertawa. Cinta tidak menekanmu dan memaksa engkau menjadi seseorang yang lain.
Cinta. Itu cinta.

Cinta pun tidak menutup mulutmu, tak pula membatasi gerakmu. Cinta tidak menutup matamu dan menjadikanmu batu. Cinta selalu menginginkanmu menjadi versi terbaik dari dirimu."

Saya melihat ayah dan ibu.
Mereka saling mencintai dan membagi kasih setiap hari.
Ibu mengoceh, ayah mendengar.
Ayah menasihati, ibu ganti memasang telinga.

Ayah akan mendengarkan segala cerita ibu.
Tentang rumah, tentang anak-anak, tentang masalah di kantor, tentang teman-temannya.
Ayah akan memberi ibu saran, meminta ibu bersabar, mengajaknya berjalan-jalan berdua untuk menikmati waktu dan bertukar cerita.

Saat ayah lelah, ibu selalu di sana.
Mengajaknya menonton video komedi, menceritakan tentang kelucuan adik di sekolah, mengenang kembali masa muda lewat potret dan kenangan yang terpatri kuat dalam benak. Atau hanya sekedar duduk diam, mendukung dan berdoa tanpa suara.

Ibu akan membeli galon air dan memasang gas bila diperlukan, ayah akan memasak dan membersihkan rumah jika ibu tak sempat melakukannya.

Ayah dan ibu menciptakan tim yang baik. Keluarga kecil harmonis, menghidupkan diskusi, membuat setiap anggota keluarga menjadi pemeran dalam drama harian tanpa merusak satu momentum pun, lantas menjadi yang pertama tahu tentang segala sesuatu.

Ayah dan ibu selalu menjadi favorit atas satu dengan yang lain. Ayah dan ibu juga role model terbaik anak-anak sebelum orang lain di luar rumah mereka.

Harusnya memang demikian.

Ayah memberi ibu ruang untuk menjadi dirinya.
Ibu memberi ayah waktu untuk menjadi sebaik-baik dirinya juga.
Lantas, mereka akan menjadi yang terbaik bagi satu dengan yang lain.

Ayah tak pernah memaksakan kehendak.
Ibu tak pula banyak membantah.
Ayah tegas tanpa berusaha terlihat superior.
Ibu patuh tanpa tampak lemah.

Mereka beradu argumen seperlunya.
Tapi, di meja makan, di ruang keluarga, suasana akan tetap terasa hangat, menenangkan, membuat betah.

Ayah dan ibu bilang, mereka nol tanpa dua.

Ibu tetap bekerja.
Ayah juga berangkat ke kantor untuk menunaikan tugasnya.
Di rumah, mereka menjadi orangtua, guru, teladan.
Di luar, mereka pekerja profesional.

Tidak merasa tersaingi antara satu dengan yang lain.
Selain monoton cinta, mereka bilang, mereka lebih tampak seperti sahabat yang melakukan segalanya untuk satu sama lain.

Saya belajar banyak dari mereka.
Saya menyaksikan segala manis dan pahit itu selama nyaris dua puluh dua tahun, dan semuanya masih tampak tak beda.

Mereka hapal polanya.
Bersama mereka, saya melihat kolase hampir sempurna dari sebuah keluarga.

Palembang, 25 Agustus 2019
Siti Sonia Aseka

Jumat, 07 Juni 2019

Jadi Begini....

Terlalu banyak hal-hal kecil yang mengganjal di kepala saya belakangan ini. Tahu kerikil kan? Nah, itu barang kalau nyangkut satu saja di dalam sepatu yang kita pakai terus dibawa jalan, rasanya menyebalkan setengah mampus, betul? Baru satu. Bagaimana kalau banyak? Coba pikir, mungkin rasanya seperti bertahan dalam kondisi diserang nyamuk habis-habisan sampai kita memutuskan untuk memakai salah satu merk lotion anti nyamuk. Cukup terang?



So, sekarang, pertama mari kita bicara soal adab dulu, lah. Ini sebenarnya hal sepele banget-banget. Saking sepelenya mungkin sampai kita lupa bahwa ini juga salah satu toxic yang perlu dienyahkan dalam kehidupan sosial masyarakat. Apakah itu? Hilangnya rasa saling menghargai. Terlalu general, ya?

Oke, kita detail saja. Langsung masuk ke contoh. Ketika menjelang hari raya Idul Fitri kemarin misalnya. Ramai sekali pesan yang datang, berisi permintaan maaf dan mengajak untuk bersilaturahmi ke rumah, mengundang. Sederhana, tapi menyentuh luar biasa. Ada yang kalimatnya puitis nan manis, ada pula yang singkat, padat, tepat sasaran, langsung ke inti. Dari keduanya ini, sungguh saya menghargai semua tanpa pandang sisi negatif dan kemungkinan-kemungkinan lain. Apa coba?

"Ini pesan pasti broadcast message, nih. Tidak perlu dibalas, lah. Toh, dia juga tidak akan sadar kalau kita baca pesannya atau tidak. Kan dikirim serentak ke semua kontak."

Terus itu pesan dibaca saja. Dibiarkan menjadi centang biru dua. Padahal, belum tentu pesan yang dikirim memang berbentuk BC. Siapa tahu memang pesan tersebut dibuat formal karena rasa hormat si pengirim kepada sang penerima. Tapi, malah yang begitu disalah artikan. Sedih, ya?

Dan kalaupun BC, apa masalahnya?
Toh, ketika membuat pesan siaran, si pengirim pesan sudah pasti memilih nama-nama di kontak itu sekaligus membaca. Tidak mungkin asal saja. Jadi sudah jelas bahwa si pengirim tahu siapa saja penerima yang mendapatkan pesan darinya. Ya, BC juga tidak serendah itu, kawan-kawan.

Semuanya tergantung niat.
Walau ada yang bilang niat tidak selalu berawal bulat. Ya intinya itulah. Mulai sekarang, jangan suka mengabaikan perihal pesan yang sampai pada kita. Tinggikan penghargaan, rasa hormat, kepedulian. Coba kita yang dibegitukan orang. Emang enak? Yang jawab enak, semoga keras hatinya dilembutkan.



"Singkat amat ini pesan doi. Gak ikhlas apa yak?"

Duh, panjang-panjang juga tidak akan dibaca dengan khidmat, kan? Toh, tidak semua ketulusan dilihat dari panjang atau pendeknya pesan. Yang penting dia sudah menyampaikan. Tugas kita menerima, membaca, merespon dengan segala kerendahan hati.

"Pesan yang masuk terlalu banyak, tenggelam, tidak sempat diperiksa."

Ah, basi sekali alasan semacam itu.

Tidak mungkin manusia tidak memiliki waktu senggang sama sekali dalam hidupnya. Ketika luang itulah, coba sempatkan untuk mengscroll pesan sampai ke bawah, diperiksa, dibaca dan dibalas satu per satu. Tidak masalah terlambat, asal dibalas. Siapa tahu pengirim memang menunggu balasan kita. Respect semacam ini tidak akan membunuh kita, tidak akan menyakiti siapa-siapa, tidak akan tetiba membuat meriang, mual atau muntah. Malah justru membuat kita aman sebab memudahkan urusan orang lain. Inshaa Allah, di masa depan, urusan kita juga dimudahkan oleh Allah.

Jangan sampai kita dinilai buruk oleh orang lalu kita tidak siap dengan penilaian itu. Jangan sampai kita minta dihargai tapi kita sendiri juga tidak bisa menghargai orang lain. Jangan egois. Malu sama umur.

Perkara tidak ingin membalas, biar kita sendiri dan Allah yang tahu. Bermacam alasan. Bisa jadi karena benci, bisa jadi pula sebab gengsi. Banyak. Dan saya sungguh, menyimpan rasa salut dan cinta yang sama pada mereka yang di tengah waktu sibuknya malah sempat membalas pesan saya, mengirimkan balasan, bahkan memberikan penguatan saat saya tidak berharap banyak. Terkadang memang keajaiban semacam itu hadir di dunia ini, dalam bentuk orang-orang baik.

Ada lagi nih yang menyakitkan.
Kejadian membalas pesan personal yang dikirim seseorang melalui grup umum. Tetottt… di manakah letak korelasinya? Sebegitu tidak berarti ya pesan orang tersebut, sebegitu tidak sudi ya kita sekedar membalas dengan, "Waalaikumsalam Warahmatullah Wabarakatuh" yang mana adalah doa bagi kita dan si pengirim?

Ah, saya terlalu banyak bicara sepertinya.
Entah akan mengena atau tidak.
Tapi, saya serius, sudah lama sekali kehilangan sense bercanda. Mengenai adab seperti ini, terkadang yang kelihatan paham dan mengerti pun kesulitan bahkan keberatan menerapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Saya sih masa bodoh ya dengan pesan berbalas dan tidak. Saya juga tidak peduli apakah pesan tersebut dibaca atau malah dilewatkan saja. Tidak berpengaruh. Cuma kasian dengan orangtua yang sudah mengajarkan tata krama, sopan santun sejak kita kecil tapi malah anaknya tidak membawa ajaran tersebut pada saat dewasa. Terkesan masuk telinga kiri, keluar telinga kanan. Nanti, kalau yang mengirim pesannya adalah orang yang lebih tua, bisa habis itu ayah dan ibumu dibawa-bawa orang. Dituduh tidak mengajari anak dengan benar, padahal memang anaknya sendiri yang bebal.

So, ayolah.
Coba sebelum berkoar-koar mengajarkan sopan santun ke adik tingkat, ke siapa sajalah. Coba berkaca dulu. Ajari diri kita sendiri sopan santun. Bercermin. Apakah sudah kita terapkan tata krama tersebut pada diri kita sendiri? Sudah?

Nah, kalau belum, ya mulailah. Tidak ada kata terlambat atas segala sesuatu. Menghargai sesama manusia adalah kunci baiknya hubungan kita dengan Allah. Tidak peduli ibadah kita baik, kalau hubungan kita dengan manusia rusak, maka haruslah kita perbaiki dengan usaha, bukan dengan doa saja. Apalagi kalau penyebab rusak tersebut adalah diri kita sendiri.

Semoga tulisan ini sampai ke hati, karena Inshaa Allah ditulis dari hati.

Palembang, 7 Juni 2019
3 Syawal 1440 Hijriah
Siti Sonia Aseka

Sabtu, 01 Juni 2019

Perihal Marah

Benarlah kata orang, "Semakin dewasa kamu, maka akan semakin cerdas dalam mengelola amarah."
Lantas, saya jumpai banyak sekali perubahan dalam diri setelah usia mencapai angka dua puluh.



Tentang kemarahan, dulu, saya adalah satu dari sekian orang yang gampang sekali tersulut. Tidak segan untuk mengekspresikan amarah tersebut dalam bentuk omelan, gebrak meja, menaikkan nada suara, sampai dengan tingkat paling ekstrim; menyalahkan orang lain atas alasan A - Z yang saya buat-buat sendiri, mengait-ngaitkan masalah satu dengan masalah lain. Pokoknya menggebu-gebu sekali, deh. Tidak peduli orang akan sakit hati atau tidak, tidak ingin tahu apakah ucapan atau bahkan tindakan yang saya katakan dan lakukan saat marah tersebut mampu menggores bahkan mematahkan orang lain. Yang penting saya lega, yang penting saya telah menyampaikan kemarahan saya demi membuat diri sendiri tampak lebih baik. Egois benar, bukan?

Lalu, tibalah saya di usia ini. Setelah melewati banyak sekali kejadian, mendapat sekian pengalaman, bertemu lebih banyak orang, memperluas lingkaran sosial, menemukan cara yang benar dalam berteman dan berusaha untuk berdamai dengan sikap berapi-api tadi, saya sadar bahwa akhirnya saya perlahan mampu meredam luar biasa banyak kebiasaan lama.

Saya tidak lagi segampang itu terpancing atas sesuatu yang bagi saya salah dan tidak semestinya. Setiap manusia, sekian kepala, banyak hati, berjuta kacamata, tidak dapat kita paksa untuk menatap pada sudut pandang serupa. Tahu mengapa? Ya karena walaupun diciptakan dari satu unsur yang sama, namun manusia tidak dilengkapi dengan takdir yang sama pula. Semua orang punya pikiran dan jalan hidupnya masing-masing.

Saya mulai berhenti menghakimi sesuatu sesuai dengan apa yang saya percayai saja. Saya mulai berhenti mengambil kesimpulan atas apa yang terjadi dalam satu kali lihat atau alami. Saya berhenti pula membenarkan apa yang saya anggap sebagai sesuatu yang harusnya memang dilakukan semua orang. Dalam kata lain, dengan berbuat begitu, saya akhirnya dapat menahan kemarahan, walaupun masih seolah akan meluncur keluar dari ujung lidah bila tak dikendalikan sedemikian rupa.

Saya lebih banyak menghela napas, tersenyum, dan diam. Lebih sering menampilkan kemarahan lewat raut wajah saja dan bagi saya hal semacam itu benar-benar banyak membantu.

Meski tentu, ada-ada saja individu baru yang akan memprotes sikap diam dan ekspresi dingin yang saya perlihatkan. Masih ada pula individu lama yang akan kembali mempermasalahkan diamnya saya dan ekspresi tidak bersahabat yang saya tunjukkan. Masih dan akan terus ada orang-orang yang akan selalu menjadikan eksistensimu sebagai objek tepat untuk disalah-salahkan. That's really not a problem.

Dalam hati, saya berkata, "Hah, baru didiamkan saja sudah protes, baru dikasih tampang dingin sekali langsung mundur. Belum pernah liat saya lempar barang dan mematahkan kaki meja, sih."

Tetapi, jelas, ungkapan tersebut adalah satu dari sekian cuap-cuap kering nurani yang berontak tak terima ketika kritik sejenis itu datang saja. Tidak sampai benar-benar terlontar. Bisa kacau dunia persilatan kalau sampai itu terjadi.

Hei, jangan salah sangka.
Saya bukan orang yang setertutup itu, sebenarnya. Hanya ada orang-orang tertentu yang masih terus mendengar kemarahan saya hingga hari ini, lebih serupa keluhan barangkali. Mereka yang tidak akan menjauh sebab saya diam, mereka yang tidak akan berlari takut saat saya menampilkan raut wajah dingin. Justru mereka yang akan membuat saya kembali bicara, mereka yang akan mencairkan kutub utara saya.

Sebagai balasan, mereka jugalah yang tidak akan saya diamkan apapun yang terjadi. Mereka yang akan terus saya pertemukan dengan sisi cerewet dan menyebalkan yang saya punya secara alami. Mereka yang akan menemukan saya bersikap jauh berbeda di lingkaran satu dengan lingkaran lain, tanpa menghakimi tentang topeng apa yang saya pakai, dan bagaimana saya bertahan untuk terus mengenakannya sampai entah kapan.

Sebab, mereka tahu ketika saya kembali, ketika saya memutuskan pulang, saya telah berubah menjadi saya yang mereka kenal. Menjadi seseorang yang tidak hanya akan membicarakan banyak hal, namun orang yang juga akan melakukan segalanya tanpa segan.

Selain itu, dalam rangka melenyapkan kebiasaan marah yang bisa dibilang kacau balau, saya menemukan satu cara paling ampuh dan telah berjalan nyaris bilangan tahun ke belakang. Saya menulis, saya menampilkan segala yang tidak sempat dilihat orang lain secara langsung dalam bentuk sesuatu yang dapat mereka baca.

Tentu sejak lama saya memang telah tersesat dalam rangkaian kata. Namun, baru beberapa tahun ke belakang saya sadar bahwa selain untuk menghibur pembaca dengan fiksi yang saya ciptakan, saya juga mampu menjadi penyelamat bagi diri saya sendiri dengan cara menulis apa yang saya pikir harus saya tulis. Tidak harus memaksa orang lain membaca, tidak perlu menunggu sampai banyak orang menyadari apa yang terjadi melalui tulisan yang saya buat. Yang penting, tulis saja, sampaikan apa yang tidak bisa diutarakan rungu dan didengar oleh telinga.

Saya tidak perlu repot menjelaskan hingga mulut berbuih, saya tidak harus bertemu mereka satu per satu dan menjelaskan bagaimana saya dari awal sampai akhir. Percuma, buang-buang waktu. Tidak semua orang juga akan mengerti, salah-salah mereka hanya akan membicarakan sikap semacam itu dan membuat seolah saya hanya mencari pembenaran saja.

Manusia terkadang sekejam itu, asal kau tahu.

Dengan menulis, saya menemukan diri saya lebih sehat secara mental, lebih tenang dan lebih mampu menguraikan masalah. Saya menemukan sisi lain yang tidak dapat saya perlihatkan dalam perwakilan raga. Tak jarang saya merasa bahwa sisi lembut dan 'wanita banget' yang memang harusnya saya miliki justru ditransfer dalam bentuk tulisan. Jadi, jangan heran ketika membaca tulisan saya, orang-orang malah menemukan banyak hal berbeda dan seolah tidak ditulis oleh seseorang seperti saya.

Saya hanya sedang menyembuhkan diri dan menulis adalah obatnya.

Saya bisa menyelam tanpa takut tenggelam.
Saya bisa memanas tanpa khawatir terbakar.
Dan saya dapat bicara tanpa mengeluarkan suara.

Sebab, saya sadar, tidak semua orang berbakat dalam menerima. Tidak semua orang diberikan berkat untuk mencoba melihat dari sudut pandang orang lain. Tidak semua orang mau mengerti dan coba berdamai.


Pada akhirnya, setelah banyak hal sejenis terjadi lagi dan lagi, saya hanya mampu untuk terus berdiri walau berusaha dijatuhkan. Saya berdoa untuk tetap dijaga walau banyak sekali yang ingin menghancurkan. Saya ingin terus tertawa meski banyak alasan untuk menangis dan kalah atas masalah.

Saya hanya ingin menyampaikan bahwa tidak apa-apa bila bersikap berbeda. Tidak usah takut dijauhi sebab tidak memiliki pemikiran yang sama dengan orang lain. Jangan pula merendahkan diri sendiri ketika tidak dapat menjadi seperti apa yang orang lain inginkan.

Marahlah.

Bila kemarahan tersebut mampu meredam ledakan lebih besar terjadi di kemudian hari. Marah saja, keluarkan semua.

Namun tentu, menahan kemarahan dan mengalihkannya akan jauh terdengar sebagai pilihan bijak walau tidak akan berefek langsung dan memberi ketenangan di saat itu juga.

Dari sekian ekspresi kemarahan, dari banyak kisah tidak menyenangkan tentangnya, jangan sampai kita kembali mengulang kesalahan yang sama dengan pilihan keliru. Temukan cara untuk terus menjaga suhu diri. Dapatkan alasan untuk tidak memarahi sesuatu atau seseorang yang bagi kita menyebalkan setengah mati.

Karena ketika kita mampu menyelamatkan diri atas kemarahan, itu artinya kita menang.

Siti Sonia Aseka
Palembang, 1 Juni 2019

Selasa, 16 April 2019

Rekam Jejak Harapan (Untuk Indonesia)

Menuju pesta demokrasi Republik Indonesia demi lahirnya pemimpin ideal, 17 April 2019.

Berdasarkan jajak pendapat yang saya lakukan di akun Instagram pribadi saya @sitisoniaaseka, maka terkumpul lebih dari dua puluh harapan masyarakat terhadap sosok pemimpin yang mereka inginkan menjadi role model serta nahkoda baru negeri ini.

Terima kasih kepada seluruh partisipan.
Semoga dengan demikian, kita mampu mengawal lebih jauh dan berkontribusi dalam program-program kebaikan dalam rangka kebermanfaatan.

Bangsa ini punya suara, dan kita berhak menyatakan pilihan!
Gunakan hak pilihmu, satu suara menentukan masa depan Indonesia.




























Palembang, 16 April 2019
Siti Sonia Aseka 

Mahasiswa: Diantara Independensi dan Hak Menyatakan Pilihan

Mahasiswa: Di Antara Independensi Dan Hak Menyatakan Pilihan



Dikutip dari brainly.co.id, independensi adalah suatu keadaan atau posisi dimana kita tidak terikat dengan pihak manapun. Artinya, keberadaan kita adalah mandiri, tidak mengusung kepentingan pihak atau organisasi tertentu.

2019 adalah tahun politik, di mana tampuk kekuasaan atau pemerintahan tertinggi republik ini akan dilelang kembali melalui ajang Pemilihan Umum serentak yang akan diselenggarakan pada 17 April mendatang di seluruh pelosok negeri.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyatakan bahwa daftar jumlah pemilih tetap di Indonesia pada tahun 2019 adalah sebanyak lebih dari 192 juta jiwa. Angka tersebut meningkat pesat dibandingkan dengan empat tahun lalu. Hal ini diakibatkan oleh banyaknya pemilih pemula atau pemilih muda (mencapai angka 5 juta pemilih) yang akan ikut berpartisipasi memberikan hak suara mereka pada pesta demokrasi sebentar lagi.

Lantas, di mana peran mahasiswa saat Indonesia tengah riuh oleh narasi serta janji yang dilontarkan oleh para calon pemimpin negeri?

5 juta adalah angka yang tidak main-main. Cukup besar untuk membawa pengaruh terhadap masa depan dan keberlangsungan bangsa Indonesia. Ditambah dengan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya ikut serta dalam menggunakan hak pilih yang membawa dampak baik, melepaskan rantai ketidakpedulian, acuh tak acuh, serta meminimalisir anggapan bahwa golput bukan masalah berarti, bahkan bisa dijadikan solusi atas ketidakpuasan dan kekecewaan ketika ekspektasi terhadap pemimpin tidak memenuhi standar pribadi, secara bertahap dan pasti meningkat tinggi.

Melalui databoks.katadata.co.id, jumlah pemilih yang tidak menggunakan suaranya atau disebut golongan putih (golput) pada 2014, secara nasional rata-rata mencapai 30,8 persen. Provinsi dengan angka golput tertinggi adalah Kepulauan Riau mencapai 40 persen dari total pemilih terdaftar sebanyak 1,39 juta.

See, kita ingin kecolongan lagi?

Mahasiswa sudah seharusnya ambil bagian, menjadi garda terdepan, tidak menyingkir ke tepi, lalu menghilang di balik ketakutan yang menumpuk tak terkendali. Hei, dengar! Menyatakan pilihan adalah hak, begitupula ketika menentukan sikap. Sebagai individu yang bebas dari tekanan serta penuh dengan kesadaran, kita tidak bisa terus bertahan dalam penjara kebisuan, bukan?

Ada apa dengan Mahasiswa sesungguhnya?

Mahasiswa hari ini dibenturkan pada opini bahwa bersuara berarti cerminan, serta menyatakan pendapat dianggap mutlak sebagai sikap meminta bahkan menagih keberpihakan yang sama terhadap barisannya. Padahal, di sisi lain, tugas mahasiswa selain mengkritisi adalah memberi solusi konkret, realistis, cenderung membawa ke arah yang progresif, relevan juga tidak berbatas dinding-dinding pemisah.

Mahasiswa hari ini, diharuskan untuk membuat keputusan, meskipun dalam banyak segi justru harus tetap menegakkan sikap merdeka, netral, tidak seolah berdiri di satu pihak apalagi memperlihatkan karakter memusuhi, menjatuhkan bahkan memberi ultimatum pada pihak lain. Memunculkan narasi-narasi kokoh yang kemudian mampu menggiring seseorang atau kelompok untuk berkaca dan memiliki sikap serupa.

Namun, terlepas dari itu semua, tentang suara mahasiswa yang seakan hilang di tengah kontestasi menuju pesta demokrasi bahkan cenderung sembunyi dan bermain kucing-kucingan, ke mana mahasiswa yang biasanya lantang memberikan ketegasan serta kepastian ketika suaranya dinantikan untuk dijadikan patokan, atau setidaknya rambu-rambu bagi masyarakat untuk menentukan pilihan?

Otomatis publik kehilangan arah secara percuma. Bukan ini yang diharapkan seluruh pihak, tentu saja. Lantas, peran mahasiswa dalam mencerdaskan kehidupan bangsa juga harusnya tidak ditabukan apalagi dianggap pelanggaran kala menjalankan tugas sebagai agen perubahan, benar?

Masihkah mahasiswa harus membuat blokade terhadap geraknya, ketika bangsa ini bahkan harus mendapatkan hak melangkah maju dan hak menyatakan cinta dengan turut mengusahakan yang terbaik, salah satunya dengan memilihkan pemimpin dengan latar belakang yang mampu diterima dan dapat membawa Indonesia berjuta langkah lebih maju dan tidak lagi dianggap tertinggal bahkan oleh rakyatnya sendiri?

Sudah seharusnya mahasiswa bergabung, padu. Tidak terpecah dan memecah, apalagi tidak merasa perlu untuk menjadi prajurit yang setia terhadap Indonesia. Barisan perjuangan ini terlalu longgar apabila mahasiswa memutuskan untuk mundur. Kontribusi kita terlalu minim apabila hanya berkutat pada remeh-temeh anggapan orang. Mahasiswa tidak perlu takut lagi dicap memihak, karena sesungguhnya keberpihakan adalah sense natural seluruh manusia.

Bukan sebab kita mahasiswa lantas tidak diperbolehkan mengumumkan pilihan. Bukan pula karena kita takut dicap memihak dan dikuasai oleh suatu kelompok lantas kita harus berlepas diri dari segala persiapan Pemilihan Umum ini dan terlena tanpa mengawal apapun serta merasa cukup dengan menjadi penonton.

Mahasiswa tidak lemah begitu, bung!
Mahasiswa punya ciri khas mengamankan dan mengontrol.

Jadi, dengan segala kerendahan hati, mari kita turunkan kadar ego, untuk melambungkan cita-cita bangsa, sekaligus menyuburkan bibit-bibit harapan. Karena kita masih sangat muda di antara jalan panjang, juga amat belia dihadapan bumi yang begitu tua.

Lantas, sudahkah kita menentukan kekhasan apa yang harus pemimpin ideal miliki untuk bersama membangun negeri ini tanpa eleminisasi dan bertengger pada eksklusifitas?

Jajak pendapat yang saya lakukan pada Senin, 15 April 2019 berhasil menjaring lebih dari 20 suara mengenai impian masyarakat terhadap calon pemimpin Indonesia. Banyak di antaranya mengharapkan kehadiran pemimpin yang memiliki aksi, reaksi, pikiran, didasari gagasan yang mumpuni, lantas kemudian saya simpulkan secara sederhana, bahwa masyarakat membutuhkan sosok yang tidak hanya sekedar hebat dalam bingkai, namun memang luar biasa dalam menghasilkan, berkarya serta menciptakan sesuatu yang mampu dinikmati bersama.

Masih ada waktu untuk berpikir matang, masih belum terlambat untuk mengoreksi kembali, dan jelas masih tersedia kesempatan seluas-luasnya kepada siapa saja untuk memilih berdasarkan hati nurani dan didasari oleh ilmu dan pemahaman yang jelas, atas nama Indonesia, negeri dengan kekayaan alam, budaya, tradisi serta kehidupan murni pribumi yang harus terus dijaga, dilestarikan, diperlakukan sedemikian istimewa agar tidak terkikis habis lalu punah.

Akan sangat besar tanggung jawab yang mesti dipikul oleh pemimpin bangsa ini, terlepas dari bagaimana keberlangsungan itu berjalan, kita sebagai bagian dari masyarakat beradab dan bertanggung jawab atas pilihan, harus terus berdiri tegak demi mengoreksi dan menjadi pengingat, tidak berlepas tangan atas pemerintahan dan terus berada di jalur yang benar demi membawa dengan tekad bulat keinginan serta mimpi-mimpi terdalam bangsa Indonesia.

267 juta jiwa yang bernaung di bawah langit negeri ini harus diberi makan, mendapat perlindungan dan diperlakukan dengan sebagaimana mestinya, adil, bijaksana.

9.66 persen angka kemiskinan harus terus diturunkan, meminimalisir tingkat kriminalitas yang disusul oleh angka 6.87 juta jiwa masyarakat tanpa pekerjaan (pengangguran).

Utang luar negeri Indonesia berdasarkan catatan Bank Indonesia pada akhir Februari 2019 adalah sebesar 388,7 miliar dolar AS, naik 4,8 miliar dolar AS, harus dibayarkan! Tidak boleh terus ditumpuk dan membiarkan negeri ini diagadaikan begitu saja, serta dicap kembali sebagai negara gagal!

Ada banyak sekali PR yang harus diselesaikan, bukan? Ada banyak tanggung jawab serta tuntutan kepada siapapun nantinya pemimpin yang akan membawa negeri ini ke arah yang diharapkan lebih baik dan lebih menjanjikan.

Lapangan pekerjaan, pembangunan dan infrastruktur, pertumbuhan ekonomi, sarana dan prasarana pendidikan, kesehatan, peningkatan kesejahteraan rakyat dan pengawasan serta penjagaan atas kekayaan alam, peningkatan dan pendistribusian sumber daya manusia (SDM) berkualitas, juga pesatnya teknologi yang harus terus dikawal sedemikian intensif.

Sudahkah pemimpin pilihanmu memiliki target mewujudkan segala penyelesaian masalah di atas? Atau hanya sekedar akan diam ketika negerinya dihabisi hingga ke tulang dan lumpuh lalu hancur berantakan?

Menuju PEMILU cerdas, berkualitas dan berdampak. Mari gunakan hak pilih Anda di TPS terdekat pada 17 April 2019 mendatang!

Satu suaramu, lima menit waktunya, mampu mengubah Indonesia.


Siti Sonia Aseka
Palembang, 16 April 2019

Dari Mahasiswa untuk Bangsa.

Jumat, 05 April 2019

Friends

Sebab, kepercayaan bukan sesuatu yang dapat dibeli di toko kelontong, bukan pula hal yang dijajakan murah meriah di gerai kaki lima. Malah, lebih jauh, kepercayaan tidak pernah ditawarkan cuma-cuma, tidak ditemukan tanpa sengaja di tengah jalan, pun dapat dipetik suka-suka berapapun kebutuhannya.



Atas alasan tersebut, Kina tidak pernah bisa seutuhnya yakin tentang percaya. Baginya, hal-hal semacam itu bukan satu dari sekian rasionalitas manusia sehingga amat mudah dibodohi lantas hidup dalam kepura-puraan, memanjangkan harapan. Menghapus sekian sisi paling realistis demi membangun angan-angan. Kina selalu berpegang pada logika bahwa asa tidak patut diberi tempat, karena betapapun ia ingin, berapa banyak ia berusaha, pengkhianatan, kecewa, rasa sakit dan luka yang menganga selalu tiba di akhir kisahnya.

Dan perempuan itu sungguh merasa cukup.

Larut dalam sibuk, keras terhadap diri, menikmati sekian tekanan, menjadikan pekerjaan sebagai cinta sejati. Sebab hanya dengan begitu, segala jejak yang tertinggal, sekian darah yang mengering, serta amarah yang meningkat tinggi mampu ia paksa sembunyi, dapat ia takut-takuti.

Barangkali.

"Usiamu sudah dua puluh enam, loh. Tidak berminat menyusul teman-teman yang telah naik pelaminan?"

Kina tersenyum ganjil.

Ah, dari mana ia harus membalas tanya terkesan penghakiman macam ini? Sebanyak apa lagi alasan yang harus ia kuak, agar tak seorangpun berani menghampiri hanya demi melontarkan caci maki?

"Proposalmu?"

Kina tertawa kering, terdengar muak dan tercekik. Fakta bahwa orang lain seolah memahami segalanya, kenyataan bahwa semua hal ini tak semudah kelihatannya.

Menikah bukan soal perlombaan siapa yang cepat, siapa yang lebih dahulu atau siapa yang mampu bersaing demi mendapatkan siapa. Lebih dari itu, menikah adalah tentang menyeimbangkan yang oleng, berbagi sekian kekurangan selain untuk memperindah kelebihan.

Jadi, masih dengan senyum yang berusaha ia ukir sedemikian rupa, Kina menarik diri dari gerombolan, menyepi. Melenyapkan keinginan untuk pulang, mengusir jauh luka lama yang dipaksa menganga. Bila bukan karena ini adalah hari bahagia sahabat baiknya, jika tidak memikirkan betapa buruk pikiran lari yang sempat mampir ke dalam kepala, perempuan tersebut pasti telah memutuskan untuk memesan jasa transportasi kekinian melalui salah satu layanan taksi online dan pulang menuju rumah.

Untuk hari ini, saat ini saja, ia harus menumbuhkan ketinggian sabar.

"Hei, tumben masih jadi satu dari sekian personil yang bertahan?"

Kina menoleh demi mendapati presensi pemuda dengan senyum paling menyebalkan dan selalu tampak seolah menganggapnya sebagai boneka kaca yang mudah pecah dalam waktu bersamaan.

"Kurang ajar!" Kina mengepalkan tinju, siap menggertak dan memaksa sang lawan mundur. Perempuan itu sejenak menarik napas keras, merasa sesak. Kenapa pula ia harus bertemu salah satu makhluk Tuhan paling tidak paham situasi disaat kondisi genting begini?

"Eits... anarkis banget. Butuh aqua? Sini-sini, papa belikan, nak."

Kina mendecih, sejenak kehilangan alasan untuk marah dan memilih mengabaikan sosok yang perlahan mengambil tempat duduk di sampingnya. Menghadap pelaminan, menyoroti lalu lalang serta hiruk pikuk.

"Kenapa rasanya seolah balik ke masa kuliah, ya?"

Kina menoleh, mendapati seraut wajah yang sarat akan rindu tengah coba mencari celah demi mengenang masa lalu.

"Hebohnya, lebaynya, alay mereka. Well, walau gue bukan tipe dari semua yang baru disebutkan, ya. Tapi, merasa gitu gak sih?"

Kina tersenyum kecil, lantas ikut mengingat-ingat. Dulu sekali, kala mereka masih total melajang dan menghadiri undangan pernikahan para kakak tingkat, tingkah konyol khas anak kost selalu mewarnai setiap acara yang harusnya sakral macam itu. Prinsip mahasiswa; asal gratis, apapun hantam!

"Lo lupa siapa yang dulu bolak-balik dari meja hidangan ke tempat duduk demi dapat makan gratis sampai puas? Plis, jangan sok polos."

Kina mencerca, terkesan mengejek. Pemuda satu ini memang butuh dihajSebab, kepercayaan bukan sesuatu yang dapat dibeli di toko kelontong, bukan pula hal yang dijajakan murah meriah di gerai kaki lima. Malah, lebih jauh, kepercayaan tidak pernah ditawarkan cuma-cuma, tidak ditemukan tanpa sengaja di tengah jalan, pun dapat dipetik suka-suka berapapun kebutuhannya.

Atas alasan tersebut, Kina tidak pernah bisa seutuhnya yakin tentang percaya. Baginya, hal-hal semacam itu bukan satu dari sekian rasionalitas manusia sehingga amat mudah dibodohi lantas hidup dalam kepura-puraan, memanjangkan harapan. Menghapus sekian sisi paling realistis demi membangun angan-angan. Kina selalu berpegang pada logika bahwa asa tidak patut diberi tempat, karena betapapun ia ingin, berapa banyak ia berusaha, pengkhianatan, kecewa, rasa sakit dan luka yang menganga selalu tiba di akhir kisahnya.

Dan perempuan itu sungguh merasa cukup.

Larut dalam sibuk, keras terhadap diri, menikmati sekian tekanan, menjadikan pekerjaan sebagai cinta sejati. Sebab hanya dengan begitu, segala jejak yang tertinggal, sekian darah yang mengering, serta amarah yang meningkat tinggi mampu ia paksa sembunyi, dapat ia takut-takuti.

Barangkali.

"Usiamu sudah dua puluh enam, loh. Tidak berminat menyusul teman-teman yang telah naik pelaminan?"

Kina tersenyum ganjil.

Ah, dari mana ia harus membalas tanya terkesan penghakiman macam ini? Sebanyak apa lagi alasan yang harus ia kuak, agar tak seorangpun berani menghampiri hanya demi melontarkan caci maki?

"Proposalmu?"

Kina tertawa kering, terdengar muak dan tercekik. Fakta bahwa orang lain seolah memahami segalanya, kenyataan bahwa semua hal ini tak semudah kelihatannya.

Menikah bukan soal perlombaan siapa yang cepat, siapa yang lebih dahulu atau siapa yang mampu bersaing demi mendapatkan siapa. Lebih dari itu, menikah adalah tentang menyeimbangkan yang oleng, berbagi sekian kekurangan selain untuk memperindah kelebihan.

Jadi, masih dengan senyum yang berusaha ia ukir sedemikian rupa, Kina menarik diri dari gerombolan, menyepi. Melenyapkan keinginan untuk pulang, mengusir jauh luka lama yang dipaksa menganga. Bila bukan karena ini adalah hari bahagia sahabat baiknya, jika tidak memikirkan betapa buruk pikiran lari yang sempat mampir ke dalam kepala, perempuan tersebut pasti telah memutuskan untuk memesan jasa transportasi kekinian melalui salah satu layanan taksi online dan pulang menuju rumah.

Untuk hari ini, saat ini saja, ia harus menumbuhkan ketinggian sabar.

"Hei, tumben masih jadi satu dari sekian personil yang bertahan?"

Kina menoleh demi mendapati presensi pemuda dengan senyum paling menyebalkan dan selalu tampak seolah menganggapnya sebagai boneka kaca yang mudah pecah dalam waktu bersamaan.

"Kurang ajar!" Kina mengepalkan tinju, siap menggertak dan memaksa sang lawan mundur. Perempuan itu sejenak menarik napas keras, merasa sesak. Kenapa pula ia harus bertemu salah satu makhluk Tuhan paling tidak paham situasi disaat kondisi genting begini?

"Eits... anarkis banget. Butuh aqua? Sini-sini, papa belikan, nak."

Kina mendecih, sejenak kehilangan alasan untuk marah dan memilih mengabaikan sosok yang perlahan mengambil tempat duduk di sampingnya. Menghadap pelaminan, menyoroti lalu lalang serta hiruk pikuk.

"Kenapa rasanya seolah balik ke masa kuliah, ya?"

Kina menoleh, mendapati seraut wajah yang sarat akan rindu tengah coba mencari celah demi mengenang masa lalu.

"Hebohnya, lebaynya, alay mereka. Well, walau gue bukan tipe dari semua yang baru disebutkan, ya. Tapi, merasa gitu gak sih?"

Kina tersenyum kecil, lantas ikut mengingat-ingat. Dulu sekali, kala mereka masih total melajang dan menghadiri undangan pernikahan para kakak tingkat, tingkah konyol khas anak kost selalu mewarnai setiap acara yang harusnya sakral macam itu. Prinsip mahasiswa; asal gratis, apapun hantam!

"Lo lupa siapa yang dulu bolak-balik dari meja hidangan ke tempat duduk demi dapat makan gratis sampai puas? Plis, jangan sok polos."

Kina mencerca, terkesan mengejek. Pemuda satu ini memang butuh dihajar sampai babak belur oleh kenyataan, biar sadar.

"Yaaaa... kan ngambil banyak buat lu juga. Jangan pura-pura lupa!"

Kina tertawa, mengangguk-angguk kemudian. Benar. Ia tidak akan lupa hal satu itu. Mereka bahkan sibuk menyantap makanan ketika yang lain getol ingin berfoto dengan mempelai.

Ah, masalah foto doang mah, gampang.

Itu alibi, sebenarnya. Sebab di akhir acara, ketika semua orang telah mendapatkan apa yang mereka inginkan demi mengunggah apa saja di sosial media, Kina dan Kano terpaksa berfoto berdua dengan mempelai sebab diancam dengan bobot, "Kalau nggak foto, tak sumpahin lama nyusul, loh."

Padahal ukuran lama itu berbeda-beda setiap orang.

Jadilah dengan senyum yang terpatri dibuat-buat, perpaduan antara kekenyangan dan malas karena dijodoh-jodohkan oleh kawan-kawan lain yang mendadak jadi penonton bayaran, mereka menyelesaikan satu sesi yang dibuat sesingkat mungkin. Sialnya, justru foto penyebab doa-doa tanpa sengaja itu yang dipublikasikan dan jadi bahan perbincangan.

Itu dulu, dulu sekali.

Sekarang? Kina tidak yakin. Namun, beberapa kali, setelah mereka dihadapkan pada jarak, perbedaan profesi, pertemuan yang berlangsung dalam sekian waktu setahun, beberapa pertanyaan itu masih seringkali mampir.

"Kenapa tidak dengan Kano saja, sih? Kan sama-sama masih melajang, tuh. Dia juga sepertinya nungguin kamu."

Sepertinya.

Kina tertawa keras, menampik cepat.

"Nantilah, menikah bukan prioritas untuk sekarang."

"Ya jadi kapan? Prioritasmu itu selalu kantor, kantor dan kantor."

"Selagi aku baik-baik saja, sepanjang aku masih bisa bahagia dengan upaya yang kubuat sendiri, menikah bukan hal yang harus dipusingkan. Lagipula, tidak semerta dengan menikah segala permasalahan dunia ini luntur tanpa sisa. Malah akan bertambah lebih banyak, lebih pelik. Memikirkan masalahku sendiri saja sudah pusing setengah mati, ini mau ditambah mengurusi orang lain beserta masalah-masalah hidupnya? Haduh, tidak deh. Terima kasih."

"Ya minimal kalian saling membantu dalam memecahkan masalah, punya teman berdiskusi, bisa saling mendukung dan memotivasi."

Kina menggeleng, menatap sepiring sosis dan nugget di hadapannya tanpa minat. Masih dengan perasaan yang sama; terluka, lelah, ingin menghilang sejenak dari tanya soal, "Kapan?"

"Malah melamun." Kano melayangkan satu tangan di depan wajah Kina. Membuat yang tengah diajak bicara kembali ke saat di mana dunianya berputar dalam fase "menonton pertunjukan."

"Sudah sepi, ayo foto dulu. Karina pasti ingin sahabatnya terabadikan dalam bidikan kamera juga."

Kina menatap Kano sejenak, melemparkan anggukan pelan sebelum berjalan bersama demi menyapa dan mengucapkan selamat pada mempelai.

Karina cantik sekali.
Sejujurnya, dia memang selalu cantik. Namun hari ini, kecantikan itu bahkan paripurna sebab ada seseorang yang berdiri tegak di sampingnya, memamerkan senyum bahagia yang sama, menyambut Kina dan Kano dengan keramahan tak beda.

Sempurna.

Kina berdiri kikuk.

Tepat saat kamera siap dibidik, sedetik setelah blitz itu menerpa matanya, Kina yakin bila ia mendengar Kano berujar sungguh-sungguh, "Jadi, kapan kita bisa mulai memikirkan tanggal, Kina?"

Ah, kenapa begitu tiba-tiba?
Itu tadi pasti hanya bercanda. Benar, kan?

Namun, mengapa ia malah dengan bodohnya percaya?


Indralaya, 5 April 2019
Siti Sonia Aseka

Dulu dan Sekarang

Dahulu, aku tak tahu, mengapa manusia mampu membenci sedemikian rupa. Mengapa mereka bisa menebar ketidaksukaan, lantas tertawa cekikikan di balik tindak seseorang.



Dahulu, aku tak mengerti bagaimana mungkin cinta dan percaya dapat berganti jadi benci dan curiga. Aku tak paham mengapa orang yang dahulu begitu indah dengan caranya mampu dilimpahi kesalahan dan dosa dari sesama manusia hanya karena ia melempar senyum setiap hari, menebar bahagia sepanjang waktu dan selalu diakui sebagai si nomor satu.

Mengapa mereka bisa membentuk koloni baru demi membantu membangun pendapat mengenai orang lain, menanamkan keburukan pada sosok tersebut, lalu merasa baik setelah mendapatkan apa yang mereka mau; kekecewaan dan sakit hati baru.

Aku benar-benar tak mengerti, sekaligus kebingungan setengah mati.

Padahal, ketimbang membenci, ketimbang menjatuhi  penghakiman atas laku seseorang, akan lebih bagus jika energi tersebut diinvestasikan pada corong-corong manfaat. Melakukan kegiatan-kegiatan yang menghasilkan sesuatu, atau sekedar menjaga berbagai sudut jiwa agar tak mudah membusuk sebab terlalu sering bersinggungan dengan kriminalitas tak kasat mata macam itu.

Sebab, bagaimanapun juga, aku melihat bahwa membenci membutuhkan tenaga dan alokasi massa yang tidak main-main.

Namun, sekarang, hari ini, setelah bertemu bahkan merasakan begitu banyak kebencian, penghakiman, seruan menjatuhkan pun makian membabi buta, aku jadi bisa menyimpulkan banyak sekali hal yang dahulu hanya berupa tanda tanya juga gelembung kebingungan.

Sesungguhnya, para pembenci hanya tak menemukan alasan lain untuk menyukai seseorang. Mereka menjumpai sesuatu atau seseorang, memberi waktu untuk menentukan apakah akan menyukai atau malah membenci, dan meletakkan berbagai penilaian paling tidak masuk akal sekalipun hanya agar pendapat mereka dari sisi paling tidak logis tersebut mampu terbangun dan tegak di atas pondasi yang bukan kaleng-kaleng.

Jujur saja, beberapa waktu belakangan, setelah mendapatkan tatapan kebencian lebih banyak ketimbang sebelumnya, aku mendadak mengerti, terkadang untuk membenci seseorang, di balik sekian alasan yang tercetus atau terlontar, selalu ada sisi kosong di mana sesungguhnya sang pembenci juga tak menemukan alasan pasti mengapa ia meletakkan kebencian.

Tidak semata iri, bukan karena kehabisan persediaan kemampuan menyukai, juga tak melulu soal kekecewaannya terhadap diri sendiri yang tak mampu menjadi sebaik orang lain.

Terkadang, membenci seseorang, perasaan tidak suka, muncul hanya karena tidak ada alasan apapun untuk merangkum cinta. Kerepotan dalam berpikir bahwa semua orang tentu memiliki peluang untuk sama-sama menatap galak dan penuh permusuhan juga.

Sederhana, kan?

Kenyataan bahwa tidak semua orang dikaruniai hati yang seluas dan selapang samudera, menjadi alasan kuat mengapa hal-hal semacam ini masih terus terjadi.

Yang jelas, membenci hanya menghabiskan waktu, tenaga, pikiran. Ia tidak akan berbuah manis sekeras apapun kau bermimpi mampu memetik kebaikan dari keburukan yang kau pertahankan itu.

Orang-orang jelas butuh sesuatu untuk menyadarkan mereka bahwa ketimbang jatuh bersama sosok yang mereka benci, akan lebih bagus jika perasaan menggebu tentang menjatuhkan orang lain itu diredam sedemikian rupa dan dibuat hangus dalam kobaran kenyataan.

Coba pikir, saat semua orang telah memilih mengabaikan rasa benci, tak memberi muka pada ketidaksukaan, bahkan terang-terangan menampik dengki, bukankah perdamaian dunia yang kita idamkan itu akan terjadi?

Well, walau terdengar berlebihan, tapi aku tidak main-main saat berkata bahwa bertahun waktu yang kau habiskan untuk membenci, bila dikumpulkan dan disatukan justru mampu menciptakan rentang untuk meraih Nobel Perdamaian dan menyelamatkan dunia seisinya.

Jadi, duduk diam dan ambil waktu menepimu. Pikirkan ulang, hentikan perpanjangan angan. Kembali ke fakta saja, bahwa jauh di dalam, menjadi lebih baik dari orang lain adalah hal paling mudah ketimbang menjadi versi terbaik dari diri sendiri.

Kita bisa menyelesaikan tulisan ini sampai di titik pada kalimat di atas.

Tapi, omong-omong, apa kebencian terbesar yang pernah kau lakukan, atau mungkin kau rasakan?
Bagaimana caramu berdamai lalu berjalan berdampingan dengannya?


Siti Sonia Aseka
Indralaya, 5 April 2019

Minggu, 17 Maret 2019

Toxic Person

Malam semakin naik, rembulan entah bagaimana terlihat begitu bulat berlomba dengan pekat, menemani gemintang yang tampak berkelip ribuan bahkan jutaan kali. Angin berhembus tak main-main,  menghantar dingin, membekukan nyaris sampai ke tulang. Perempuan dengan sweater sewarna daun tua yang nyaris gugur itu menghela napas, mengeluarkan uap tebal di detik berikutnya sebab intensitas suhu udara yang kian turun. Langkahnya pelan, tubuhnya kelelahan setengah mati, tapi sepasang mata yang seringkali menatap tanpa banyak berkata tersebut masih tetap bersinar, penuh energi umpama bunga-bunga sakura musim semi, ratusan kali mampu mengangkat berton-ton beban setidaknya bagi seseorang.



"Ramai kota, sepi kita." Perempuan tersebut menggumam, lantas tersenyum kecil, menyambung, "Kau ingat puisi Kota Kita itu? Puisi yang pernah kau bacakan di depan kelas dulu."

Pemuda di sampingnya tampak mengangkat kedua alis sebelum tertawa lucu. Ah, puisi, ya? Dia ingat. Ingat sekali.

"Tentu. Kau mau aku bacakan lagi puisinya sekarang?"

"Jangan konyol." Perempuan tersebut tampak kelabakan, hampir melotot besar-besar. "Hal-hal manis macam itu mungkin romantis bagi sebagian orang, tapi untukku… ew. Jangan coba-coba."

Si pemuda dengan tawa bahagia itu menghentikan langkah, memegangi perut, jelas sekali tidak mampu mengendalikan perasaan entah apa yang membuat mulas sampai merinding tak tahu malu.

"Well, tidak terdengar buruk juga. Mengingat kita bahkan pernah bermain-main dengan setangkai mawar dan sekotak cokelat."

Mereka berdua berpandangan sejenak sebelum berbagi tawa lagi. Kenapa ya, kenangan selalu luar biasa mengundang rasa tak habis pikir dan keindahan tanpa tanding dalam satu waktu? Barangkali, bila diminta mengulang masa lalu, mereka tegas menggelengkan kepala, berkata tidak keras-keras. Namun, bila diajak mengingatnya bersama… yeah, bersyukur dan gemas pernah mengalami hal-hal semacam itu adalah hal pertama yang mencuat dalam benak.

"So, how was your day?"

Laki-laki dengan topi hitam dan mata yang sama pekat dengan malam tersebut memandang beberapa detik, sebelum mengarahkan seorang di sampingnya untuk merapat pada pagar pembatas. Mereka tengah memandangi sungai paling terkenal di kota dalam sudut pandang dan kemiringan tepat, menurut perhitungan mereka, setidaknya.

"Menurutmu, bolak-balik sampai tiga kali dalam jarak rumah-kantor itu bagaimana rasanya?"

"Buruk sekali. Pasti melelahkan."

"Tepat. Aku nyaris pura-pura pingsan bila tidak ingat pekerjaanku bisa bertambah dua kali lipat jika meliburkan diri."

Mereka terkekeh, menyaksikan riak air dan samar bunyi kendaraan merambat masuk ke telinga.

"Tenang, beberapa bulan lagi dan semuanya akan selesai dalam sekali kedipan mata. Yang perlu kau lakukan hanya bersabar."

"Ah, ya. Benar. Berdoa saja aku masih hidup hingga saat membahagiakan itu tiba."

"Hey, tidak biasanya kalimatmu pesimis begitu? Seperti pohon tua yang nyaris mati, tak disiram berminggu-minggu, layu."

"Benarkah?" Perempuan dengan mata yang selalu tampak hidup tersebut mendekap tubuhnya sendiri lebih erat, menghalau dingin yang makin menggigit. "Aku hanya lelah saja menghadapi jenis manusia yang tidak ingin kuhadapi." Cicitnya, sarat akan keputusasaan.

"Begitu, ya?"

"Coba pikir, melempar senyum, menyapa, menghadapi mereka berjam-jam, sampai kelu lidah, sampai lelah isi kepala, dan hal-hal macam itu hanya demi profesionalitas. Agar tidak ada sesuatu yang dibatalkan dan mengakibatkan kerugian, agar nama baik perusahaan tetap terjaga. Perlakuan normatif semacam itu saja. Selebihnya, tidak ada."

Perempuan tersebut membalik badan, bersandar pada pagar pembatas. Mendongak demi memandang luasnya langit malam.

"Orang-orang semakin mudah melompat-lompat, seperti kelinci. Mendekat pada yang dianggap tinggi, menyisihkan yang mereka anggap tidak punya kedudukan, tidak penting. Padahal, orang yang terlihat tidak tahu apa-apa, mereka yang banyak berdiam ketimbang bicara barangkali malah lebih tahu segalanya. Manusia jenis demikian sungguh membuat muak. Bagaimana mungkin mereka hidup dengan sebuah topeng demi diterima dan pengakuan sesama saja?"

Pemuda itu tertawa pelan. Mereka membiarkan hening menguasai untuk beberapa menit yang habis dimakan tanya.

"Kau tahu, bahkan ada yang terang-terangan mendeklarasikan diri sebagai bagian dari satu kelompok lalu merendahkan kelompok berbeda. Berpikir kelompoknya yang paling hebat. Bagi mereka, sesuatu seperti itu bukanlah dosa besar yang akan membawa ke neraka. Padahal justru sikap demikian mampu menghancurkan manusia lain tanpa sisa, minimal membuat retak sebelum berubah jadi serpih dan terbang ke udara. Belum lagi berhadapan dengan orang bermental sok kuasa. Sungguh, lebih dari dipaksa memakan seafood atau bertemu toxic person begitu, aku malah lebih memilih opsi pertama. Setidaknya seafood yang tidak akrab dengan lidah dan membuat mual lebih bisa diterima ketimbang mati terkapar kehabisan stok kesabaran menghadapi pongahnya mereka."

Lelaki yang tadinya menatap hamparan sungai itu tertawa kecil. Menghela napas sama lelah dengan perempuan di sampingnya.

"Benar. Setidaknya Bima Sakti ini terasa lebih baik ketika kita menemukan seseorang yang bisa diajak memaki dan membenahi bersamaan."

Mendengus, seorang yang tadi baru saja mengeluarkan setiap penat itu berkata nyaris terbawa angin, "Seperti kita?"

"Ya, seperti kita."

Pemuda tersebut melepas topinya, memandang benda tersebut sebentar lalu berkata lagi, "Tahu tidak, orang-orang semacam itu sebenarnya hanya menyembunyikan ketidakmampuannya saja? Meninggikan diri sendiri, menganggap rendah orang lain, semata agar dirinya mampu sedikit saja merasa berharga. Mencari-cari kebahagiaan di atas pengakuan manusia di sekitarnya. Padahal, jauh dalam benak, ia benar-benar dibalut kecewa dan ditenggelamkan oleh kebencian atas kekurangan yang bahkan tak pernah dapat mereka bagi atau ucapkan."

Lelaki tersebut menatap arloji cokelat di tangannya sekilas. Mengerjap sebelum melontar tanya, meminta kepastian.

"Sudah larut. Ingin pulang sekarang?"

"Aku kehilangan rasa kantuk." Perempuan di sampingnya menatap sepasang mata pekat itu beberapa waktu sebelum tersenyum, memulai penawaran.

"Bagaimana kalau mencari camilan? Ada mini market dua puluh empat jam tak jauh dari sini."

"Dasar tukang makan."

Mereka berdua melanjutkan langkah. Mencoba menghalau lelah yang menumpuk sepanjang minggu, berusaha menghadirkan pikiran positif sebab akhirnya akhir pekan yang kelewat singkat telah datang menunggu.


Siti Sonia Aseka
Palembang, 17 Maret 2019

*Puisi "Kota Kita" merupakan penggalan caption seorang teman di Instagram 

Sabtu, 16 Maret 2019

Sang Bulan

Siti Sonia Aseka
Palembang, 16 Maret 2019

"Perempuan adalah bulan; senantiasa menemani kala mentari yang bersinar terang itu lelah menyinari."



Matahari dengan Bulan.
Saling berbagi, saling memberi, sinergi.
Saat yang satu pergi, maka yang lain rela menjadi pengganti, tak membanding siapa lebih besar dari siapa, atau siapa paling terang dari siapa, juga menuding soal, "Ini cahaya milikku bukan kau."

Mereka seolah menulis ulang semesta untuk satu sama lain. Agar tak ada hukum apapun yang mampu memisahkan, biar tak ada penjara yang harus mereka rasakan.

Barangkali.

Tapi, semua rekayasa dalam bahasa paling indah itu hanya sekedar picisan yang disukai banyak orang, bahkan dijadikan pilihan untuk memperhalus istilah pembagian peran antara laki-laki dengan perempuan.

Padahal, tanpa banyak menyinggung kesetaraan yang jadi keributan serta memicu ricuh perdebatan, kita semua mampu menakar sendiri, apa sih tugas kita dan sesuatu macam apa yang mampu kita jadikan tolok ukur keberhasilan atas aksi, lantas menyulut reaksi?

Maka, mari kita uraikan satu per satu, sebagai perempuan, sebagai manusia yang punya hak untuk memenuhi kewajiban sebelum menuntut dan memaksakan kehendak.

1. Jadilah perempuan merdeka sebelum segala sesuatu. Tidak dijajah oleh paham bahkan doktrin tertentu. Punya hati nurani, gunakan! Sudah menetapkan pilihan? Bersetialah. Jangan gamang, lurus dan jalankan saja.

2. Mandiri! Jangan terbiasa menunggu bantuan dan berlindung atas dasar kelemahan. Kita punya kekuatan, kita bisa bila mau. Jangan jadikan sedikit hambatan sebagai besaran pemberhentian.

3. Jangan manja! Lakukan apa yang dapat dilakukan, tidak terantuk kemalasan apalagi ketergantungan. Malu sama kucing.

4. Please, stop menye-menye. Kita tangguh, tidak perlu memerdukan suara apalagi sengaja dilembut-lembutkan untuk menarik perhatian.

5. Jangan selalu pakai hati! Tolonglah, kemerdekaan bangsa ini tidak lahir dari rasa tidak enak dan takut menyinggung lawan. Selagi benar, hantam saja.

6. Kenali kapasitas diri, agar tidak terkesan menahan dan berlebihan. Semaksimalnya, terus ditingkatkan, TIDAK berusaha sampai mati-matian, berdarah-darah.

7. Love, face and speak yourself!

8. STOP jadi perempuan ribet dan menyusahkan! Framing semacam ini nih, yang membuat perempuan sulit mendapat tempat. Mari perlahan kita hapuskan anggapan demikian. Mau kelihatan cantik itu manusiawi sekali, tapi kalau jadi tampak ribet dan malah menyusahkan diri sendiri, mending pikir-pikir lagi.

9. Learning by doing, jangan banyak tanya, bikin pusing! Ketika akan melakukan sesuatu, plisss... Perhatikan dulu, baru tanyakan. Jangan mulut berkicau, tapi gerak nol besar.

10. Kalau suka lakukan, kalau tidak tinggalkan. Jangan jadi beban orang-orang. Jangan menyita ruang pikir sesama, cukup dirasakan oleh diri sendiri saja.

11. Jangan pernah jadi sok kuat. Lagi sakit, ngaku sajalah! Jaga diri, minum obat, istirahat. Jangan mengharap sembuh tanpa berbuat apa-apa dan malah makin menyiksa diri sendiri.

12. Banyak mendengar, lalu tulis dan ciptakan panggung untuk bicara

13. Wibawa itu segalanya. Pencitraan apa lagi. Tapi yang terpenting adalah jadi diri sendiri

14. Don't ever try to copying anyone! Ini menyebalkan sekali, serius.

15. Temukan cahayamu sendiri, jangan coba-coba mencuri cahaya milik orang lain.

16. Jangan puas dengan sekedar menjadi bayangan. Tunjukkan pesonamu, pada tempat dan waktunya

17. Role model? Boleh saja. Asal tidak mengikis habis dirimu yang sesungguhnya

18. Jadi sukses, kaya, pintar dan diidamkan itu bagus. Tapi lebih penting ketika menjadi orang baik. Attitude beats tallent!

19. Di rumah, jadilah seorang anak, saudara, kakak, adik, bahkan istri. Di kampus, jadilah pelajar, aktivis dan penggiat perubahan. Di lingkungan masyarakat jadilah berguna dan berharga.

20. Punya prinsip itu wajib! Harus memiliki pendirian, jangan gampang digoyang!

21. Jangan sering jaim-jaim, bisa bikin mati!

22. Setiap pergaulan punya batas, setiap jauh pasti punya dekat. Intinya, jangan berlebihan terhadap beberapa orang dan kekurangan pada beberapa yang lain. Anggap semua orang sama rata. Cukup.

23. Pilih-pilih teman itu sesuatu yang harus mulai dijadikan kebiasaan

24. Yuk, mulai temukan tempat terbaik lalu berhenti mencari-cari dengan melanglang kesana kemari. Tidak capek, apa?

25. Baca, baca, baca! Hari gini malas baca? Omonganmu sekedar karbondioksida saja, dong?

26. Eh, cuek ternyata dibutuhkan juga, loh.... Karena keseringan meletakkan hati memiliki kemungkinan besar untuk disakiti.

27. Sesekali, cobalah bercermin, cari kesalahan dan kekeliruan diri, niatkan untuk berubah lalu mulai berbenah. Sebelum kritik orang lain menghampiri dan melukai hati. Tidak ada yang siap disalahkan, tidak ada yang bersedia dihakimi.

28. "I'm sorry I'm bad. I'm just the way I am." Dianggap buruk? Dikritik? Ah, biasa! Jalan terussss....

29. Singkirkan kebaperan, bangun kesehatan logika!

30. Melindungi dan mendukung sesama perempuan itu wajib! Asal jangan melanggar rambu-rambu saja, ya....

31. Mahalkan perhatian, tunjukkan kepedulian, tingkatkan kepekaan, demi kemajuan bersama.


Fiuh....
Banyak, ya?
Iya.
Harus dipatuhi semua?
Harus.

Sebab, menjadi perempuan seutuhnya dengan segala tanggung jawab tertunaikan tuntas adalah tujuan dari setiap langkah dan kebaikan pilihan.

"A good road leads to the beautiful destination."

Ini jalan kita.
Tujuannya? Ya surga.

Selagi diberi ruang, berkaryalah. Selagi memiliki tempat, manfaatkan sebaik dan sebisanya.
Awas, jangan terlena.
Segala sesuatu tidak akan bertahan dan berlangsung selamanya.

Mari jadi perempuan hebat.
Buat mereka mendekat tanpa pandang pangkat.
Berwawasan sehat, berjiwa kuat, tidak bikin orang-orang muak.

Let me ask you, "how are you? How was your day?"
I hope you will always be fine, as always.

A long day, isn't it?

Urgensi Kemahiran Berbahasa Inggris di Era Modernisasi dan Globalisasi

Urgensi Kemahiran Berbahasa Inggris di Era Modernisasi dan Globalisasi Sejak abad ke-18, bahasa Inggris ditetapkan sebagai bahasa Internasio...