Blogger Perempuan

Blogger Perempuan
Kunjungi laman Blogger Perempuan dan baca tulisan saya melalui link berikut

Kamis, 10 Juni 2021

tidak sama.

Nenekku sudah pergi, tetapi jejaknya tidak pernah hilang. Masih bisa kutemukan pada dinding-dinding rumah yang perlahan kusam, pada bingkai-bingkai foto yang mulai usang.

Rumah di atas bukit dengan setapak sempit dikelilingi rumpun-rumpun bunga telang itu masih ada, masih berdiri tegak walau tak lagi sekokoh dahulu. Masih tetap menyambut tiap kali kami tandang meski penghuninya sudah lama berpulang. Teras yang luas setia menjadi tempat nenek mengayak beras, atau sekadar duduk-duduk menungguku kembali dari taman kanak-kanak.

"Kenapa cemberut muka kau?"

"Itu nah, si Anom ndak mau bagi roti tadi di kelas, padahal kemarin aku sudah bagi dia cicip nasi goreng."

Nenek berhenti mengayak beras, lalu bibirnya berkedut, lantas ia sekejap tertawa.

"Kenapa pula kau mesti kesal?"

"Iya kan harusnya dia kasih aku balik. Jahat kali." aku bersungut-sungut, sembari berjalan menghampiri nenek setelah melepas sepatu, memainkan butir beras yang sudah bersih.

"Itu hak dialah. Kan barang memang punya dia. Cuma karena kau sudah bagi Anom makanan kemarin, bukan berarti dia harus bagi kau makanan pula hari ini. Berbuat baik sama orang mana boleh maksa dapat balasan."

Wajahku masih tertekuk, tapi aku diam saja.

"Besok kau nak bawa bekal apa?" lanjut nenek, tangannya menyerahkan kacamata padaku, pertanda meminta tolong agar benda itu diletakkan pada lemari di dekat pintu.

"Roti."

"Roti cokelat?"

Aku mengangguk, lalu beranjak masuk sembari berpikir; sebenarnya, hakikat kebaikan… adalah apa?

Delapan belas tahun berlalu, dan nenek tak lagi ada di sampingku. Melompati sekian memori, mengenang lewat kilas balik, lalu menemukan jawaban atas pertanyaan yang sempat bertamu.

Kebaikan tidak pernah menyakiti, sesungguhnya. Bila ia justru membuat manusia terluka, maka jelas ada yang salah dari niat bahkan prosesnya. Jelas ada yang keliru dalam kalbu manusia.

Maka, nenek seutuhnya benar. Kebaikan dan balasan tidak selalu berada dalam pola hukum timbal balik. Apalagi jika individu yang jadi perantara, hanya makhluk penuh khilaf dan salah.

"Nek, bagaimana jika orang yang telah kita berikan bantuan justru berbuat jahat pada kita, alih-alih membalas dengan kebaikan pula?"

Pertanyaan tersebut jelas bukan dilontarkan oleh bocah umur lima tahun yang sekadar memaknai perasaan kecewa hanya dengan penolakan atas sebuah isi kotak makan.

Pada usia dua puluh tiga, aku kembali merasa kehilangan.

Andai nenek masih di sini, kalimat apa yang kira-kira akan ia lecutkan semata demi membawaku tetap merendahkan hati?

***

Palembang, 9 Juni 2021
Siti Sonia Aseka

Urgensi Kemahiran Berbahasa Inggris di Era Modernisasi dan Globalisasi

Urgensi Kemahiran Berbahasa Inggris di Era Modernisasi dan Globalisasi Sejak abad ke-18, bahasa Inggris ditetapkan sebagai bahasa Internasio...