Blogger Perempuan

Blogger Perempuan
Kunjungi laman Blogger Perempuan dan baca tulisan saya melalui link berikut

Selasa, 06 Oktober 2020

[PUISI] Me and You

    
    Langit kelabu saat payungmu mekar, cegah gerimis yang mulai turun satu-satu menyentuh kulitku. Senyummu masih sama, leluconmu juga.
 
    Kita berjalan di bawah rinai hujan sembari mengumandangkan betapa menyebalkan hari bersama fungsi integral, cairan kimia yang tumpah di laboratorium, bunyi hukum Newton, sampai isi diktat berjilid rapuh yang harus tuntas sebelum tengah semester menyapa. Rambutmu yang mulai panjang dikuncir asal, separuh jatuh menutupi dahi. Warnanya sekelam malam dan aku nyaris kehabisan daya demi menyeretmu menuju pangkas rambut langganan, merapikan bagian yang perlu agar tak merepotkan kemudian.

    Hari ini, kita mengenakan jaket berwarna senada. Cokelat tua tebal yang kamu dapat secara tak sengaja melalui situs jual-beli online dengan separuh harga, katamu. Jaket itu mampir di mejaku pagi tadi. Diberikan begitu saja, tanpa sampul kado menarik berpita cantik, atau sekadar surat bertulis tangan pendek tentang alasan-alasan romantis yang barangkali kamu pikirkan tentangku.

    Aku memang terlalu banyak berharap, sementara kamu tak pernah cukup berusaha menjadikan kita melampaui batas bernama pertemanan. Selalu sampai aku pada anggapan, "Barangkali, memang bukan saatnya. Kamu jelas bukan orangnya."

    Aku lantas ingat mawar kuning yang kamu berikan dua pekan lalu. Masih bertengger apik di atas meja belajarku, di dalam botol kaca berisi seperempat air yang kuganti tiap miliki waktu. Cantik, walau sudah agak layu. Tiap melihatnya, aku jadi membayangkan raut sendumu kala berkata, "Hei, aku punya sesuatu untuk Semestaku."

    Kita memang mengerikan. Memberi afeksi dan limpahan peduli saat tak genggam barang sepercik angan-angan tentang jadi sepasang. Lucunya, tak ada gundah, apalagi gelisah. Kamu selalu di sana saat duri menancap pada epidermis, menariknya keluar demi legakan pori-pori meski munculkan darah.

Kita jelas jatuh cinta. Aku jelas mencintaimu. Tetapi, mungkin kadarnya tak sama; mungkin… kita memang belum peroleh titik temu dari berserah terhadap yang masih dan akan.

    Menggambarkan dirimu dalam kepala sebelum mata didera kantuk, menanti teleponmu setelah segala hiruk pikuk dunia kita hadapi hingga buat muak, atau janji-janji kita demi lalui akhir pekan tanpa bayang tugas membuat kusut cabang pikiran.

    Musim berganti, keadaan berubah. Tetapi, kamu masih orang yang sama. Lelaki bermata gelap, pemilik lesung pipi elok, teman bersepeda sesorean, juga penjaga pintu kemana saja. Kerap, kamu seolah siap membawakan baling-baling bambu jika aku meminta.
 
Kamu menjadikan segala yang mustahil jadi mungkin. Tetapi, masih; kita tetap dua orang asing setelah panjang spasi terbentang diisi pemahaman dan usaha demi gapai konklusi mengerti.
 
"Yang kamu ketahui, senyumku selalu sama buatmu. Yang aku ketahui, kamu selalu di sana tak peduli badai atau kerikil jenis apapun siap menggempur. Yang tidak kita coba telaah; mengapa setelah semuanya, kita tetap di sini, tak hendak beranjak meski seinchi?"
 
***
 
Palembang, 5 Oktober 2020
Siti Sonia Aseka

Kamis, 01 Oktober 2020

the time will come

Pada satu hari peringatan atas tak gentarnya perjuangan.
Mengheningkan cipta~
 
***
    Akan tiba saat di mana kita mengganti nomor ponsel yang telah digunakan bertahun-tahun. Membagikannya kepada keluarga dan kerabat paling dekat saja, meminta dengan sangat kepada siapapun untuk tidak menyebarkan nomor tersebut tanpa izin, lalu berhenti menggunakan aplikasi pengantar pesan yang ditransfer melalui paket data.
 
    Kembali mengandalkan layanan SMS seperlunya dan telepon dalam keadaan benar-benar darurat. Menonaktifkan bahkan menghapus akun-akun sosial media, membiarkan kenangan tersimpan dalam kepala saja, bukan lagi berupa bingkai maya yang biasanya jadi ajang perlombaan tentang jumlah penyuka dan komentar terbanyak.
 
    Akan sampai masa di mana kita memilih untuk tinggal jauh dari hiruk pikuk kota. Melupakan pemandangan gedung pencakar langit, macet jalan raya, atau asap kendaraan. Membiasakan diri dengan hijau kebun teh, udara sejuk pegunungan, serta suara debur ombak sayup-sayup, tak ketinggalan aroma laut merebak membuat pedih pelupuk. Menghuni sebuah rumah sederhana, namun ajaibnya terasa demikian hangat.
 
    Akan ada masanya segala sesuatu terasa selalu cukup. Sepasang tangan untuk digenggam, bahu untuk bersandar, mata untuk melimpahkan begitu tak terurai juta rasa; afeksi, cinta, benang merah bernama relasi.
 
    Akan datang waktu di mana malam yang sunyi meski tak dijajah kesepian dihadapi berdua, ditemani hanya dengan obrolan ringan mengenai bagaimana hari berjalan, anak-anak yang mulai bisa membaca, menulis, menunjukkan gambar-gambar abstrak hasil karya mereka, berlarian di pekarangan, memanjat pohon jambu di halaman belakang. Seorang teman yang akan membalas tawa, tanya, menunggu kita selesai dengan keluhan yang membuat basah pada mata. Akan tiba saatnya rindu-rindu kita tumbuh subur, walau tak timbulkan rapuh.
 
    Kepada masa lalu, orang-orang yang dahulu sempat jadi kawan menghabiskan sekian detik, langkah terburu, ruang-ruang berisi wajah-wajah lama, kesibukan, kepala dipenuhi benang kusut, adu argumen, sampai saling tuding dan menjatuhkan. Segalanya semerta asing, namun tetap familiar. Saat-saat itu, semua mendadak berubah jadi cerita-cerita menyentuh, cenderung tidak pernah kehabisan bahan bakar untuk direka ulang, padat sekaligus ruah dalam memori.
 
    Akan tiba waktu ketika kita berhenti mengkhawatirkan sesuatu melebihi kapasitas diri. Berhenti merengek terhadap takdir, berhenti menuntut, berhenti mendikte Tuhan tentang ragam carut marut. Akan tiba masa kala sebuah lingkaran kecil menjadi satu-satunya pusat atas rotasi. Senyum-senyum mungil, harapan-harapan yang senantiasa tumbuh setiap hari, kasih yang mendesak rimbun, ledakan intensi pada netra.
 
    Pada suatu masa, kita akan tiba di titik mensyukuri setiap hal dalam genggaman. Terasa manis, tak mustahil timbulkan secercah getir. Tetapi, obatnya selalu tersedia, penawar atas sakitnya tak lebih jauh dari dua jengkal langkah. Tanpa angkara, tanpa luka hingga berdarah-darah. Sebuah ungkapan, "Aku lelah." yang akan kalah tak lebih sedetik dengan sebuah dekap erat dan ajakan, "Mari perbaiki bersama."
 
Sebuah rumah, tempat pulang. Menyediakan setapak lurus demi mengantarkan kita kembali. Tanpa sesal, tanpa lara. Kita menyebutnya; keluarga.
 
***
 
Palembang,
ditulis bertepatan dengan peringatan G30S dan dipublikasikan pada 1 Oktober, sebagai hadiah kepada jiwa-jiwa yang pulang ke rumah Tuhan setelah tragedi berdarah.
 
Siti Sonia Aseka

Urgensi Kemahiran Berbahasa Inggris di Era Modernisasi dan Globalisasi

Urgensi Kemahiran Berbahasa Inggris di Era Modernisasi dan Globalisasi Sejak abad ke-18, bahasa Inggris ditetapkan sebagai bahasa Internasio...