Blogger Perempuan

Blogger Perempuan
Kunjungi laman Blogger Perempuan dan baca tulisan saya melalui link berikut

Minggu, 18 Juli 2021

Solitude

Pernah pada suatu sore gerimis, aku berjalan di atas trotoar sempit menuju rumah. Sekitar sepi, cahaya senja menyapa malu-malu dari balik awan kelabu, playlist dalam ponsel melantunkan No Judgement milik Niall Horan secara sembrono namun melegakan entah bagaimana. Aku sudah melangkah seharian, pagi dengan klakson kendaraan di kiri-kanan, sementara kini bersama hati membiru sekaligus sembilu.


"Hei, tetangga."


Aku menghentikan langkah, mengangkat wajah yang nyaris melepaskan topeng baik-baik saja. Seraut dengan senyum tipis menggerakkan kepala, muncul dari balik kaca gelap diturunkan cepat-cepat, memberi isyarat untuk naik ke sisi kanan pengemudi. Biasanya, aku takkan menunggu diperintah dua kali. Jarak menuju rumah masih cukup melelahkan bagi tungkai dan aku sedang kalang kabut setengah mampus didera entah apa atau disebabkan oleh siapa.


Tetapi, aku hanya membalas dengan gelengan, berkata singkat bahwa akan mampir ke suatu tempat lebih dulu, menolak ikut serta seperti waktu-waktu lalu.


Aku hanya sedang ingin sendirian. Kehadiran manusia jelas tidak membantu banyak. Mereka tidak bisa memperbaiki apa-apa, dan aku juga hanya mampu berteriak sampai merusak. Aku muak, kepalaku selalu seolah nyaris pecah. Belakangan kian parah.


Bila aku mengizinkan seseorang hadir di sampingku hanya agar merasa diawasi dan berharap diberi pertolongan, aku jelas tidak ubahnya si fakir yang mendamba peduli, bukan?


Lalu tak sampai lima detik, mobil kembali melaju. Aku mengamati nanar sampai benda tersebut pun pemiliknya hilang di persimpangan. Kuhela napas, lalu mendengar Honeymoon Avenue mengalun dari earphone yang sempat kulepas.


Tidak ada lampu merah, namun rem dalam benak seketika menggertak gelisah. Tidak ada bangku-bangku kosong yang jadi saksi percakapan, atau bumper melintang di belakang yang siap menahan benturan.


Hatiku terjebak macet dan masih tak bergerak ke mana-mana. Diburu waktu, dikejar-kejar, dan tertekan oleh harapan-harapan baru. Sayangnya aku tak pernah berani memutuskan untuk turun.


Seseorang mengajariku meniup pesawat kertas, menatap langit dengan kupu-kupu berlomba keluar dari perut sembari menari ceria, kemudian menjanjikan ruang baru berisi hanya suka cita, lantas hilang sesaat setelah kupikir kami sampai pada tujuan yang sama; mengisi kekosongan masing-masing dan siap bahagia.


Adalah ketakutanmu yang menghentikan kau melaju.

Ialah aku yang naif dalam hal menunggu.

Merupakan kita, yang tak pernah menyadari bahwa manusia tidak lahir dengan keberanian. Mereka tumbuh bersamanya.


Siti Sonia Aseka

Palembang, 18 Juli 2021

Urgensi Kemahiran Berbahasa Inggris di Era Modernisasi dan Globalisasi

Urgensi Kemahiran Berbahasa Inggris di Era Modernisasi dan Globalisasi Sejak abad ke-18, bahasa Inggris ditetapkan sebagai bahasa Internasio...