Blogger Perempuan

Blogger Perempuan
Kunjungi laman Blogger Perempuan dan baca tulisan saya melalui link berikut

Senin, 16 Maret 2020

Yang Datang, Pulang

Dari sekelumit kecil keping puzzle dalam labirin isi hati, kau bahkan berhasil tempati lebih dari separuh.
Buat tawaku tumbuh, biarkan bahagia mekar, sirami ladang-ladang gersang bersama kasih tak kenal usang.



Ratusan kali memandang, ribuan kali menyita pikiran, jutaan harapan hingga miliar letup menuju secercah ledakan; tentang betapa kita begitu saling, singkirkan murni afeksi dengan logis tak egois.

Kemudian, pada suatu siang, kau bilang, kita sudah jauh tertidur panjang. Memimpikan masa depan hingga capai akar, cabut serabut dan singkirkan tunggal; kita tumbang.

Langit tak lagi kelabu, hujan enggan tandang, debu-debu paksa kita penuhi paru-paru sampai sesak, hingga lesap.
Matahari tak hasilkan persamaan dengan betapa ia berbinar walau manusia mendung sampai badai?

Kupikir akan ada drama saat kita putuskan bangun demi raih impian.
Kupikir, akan ada beberapa hari bahkan pekan, di mana kita menyendiri, sembunyi, tak tampakkan presensi demi lindungi hati satu sama lain.
Kupikir kita akan berakhir dengan air mata dan amarah meski kisah ajaib ini telah usai sejak lama sekali.

Tetapi, kita hanya melempar pandang, beri setipis senyum hambar, palingkan muka, tak berharap mampu lontar sapa paling wajar. Kita hanya sedang berusaha untuk jaga yang tersisa, meski tentu tak dapat saling menyembuhkan.

Yang retak, yang pecah, kita genggam erat meski telapak rasakan luka.
Tajamnya, pahit yang kuasai kerongkongan, lelah dan pedih namun suara tercekat tanpa niat membahana.

Tidak ada tanya mengapa.
Bahkan sejak kisah itu berlalu, kupikir, kita memang tak butuh alasan basi untuk obati ingin tahu.

Yang pergi, biar.
Yang tinggal… mari, kita pulang.

Selamat datang.


Palembang, 16 Maret 2020
Siti Sonia Aseka

Sabtu, 07 Maret 2020

"Hei, mari berteman selamanya."

"Kita tidak bisa memaksa bulan bersinar selayaknya matahari."


Di sisa petang yang nyaris habis ditelan gelap hari itu, katamu, resonansi atas memori dan gelegak mual selalu berdampingan dengan kenangan buruk.
Kau tidak lagi menyesap secangkir kopi seperti waktu lalu. (Masih) katamu, kafein yang senantiasa kau minum jadi semacam antitesa atas manis hidup yang kadang memancing candu.

Kau pikir, tidak pantas bagi mereka dengan kepala berisi sampah menebak-nebak kebaikan apa yang tengah semesta siapkan. Lancang sekali bila berharap-harap berkah apa yang sedang direncanakan jejaring kosmik kepada setitik debu, untuk membuat sebenar manusia merasa dicintai dan berharga.

Semuanya telah lama lenyap.
Entah binar matamu atau secercah intensi tentang akan ada sebentuk ruang baru demi memperbaiki segalanya.

Kesempatan. Kau menyebutnya demikian.
Pintu menuju sana telah kau cari sedemikian luar biasa.
Katamu, bila tak bergegas, barangkali memang kau akan ditemukan dalam keadaan terkapar tak terselamatkan.
Kau bilang akan lakukan apa saja agar semua kembali seperti sedia kala.

Aku harus percaya, bukan?
Meski terkadang, pada dini hari saat semua telah lelap, aku dapat melihatmu terbangun dengan kedua mata dipenuhi nestapa.

Ketakutanmu, kesepian itu, kekhawatiran yang membuatku tak bisa lari walau jalannya terbentang luas sekali.
Aku harus melakukan sesuatu.
Paling tidak memastikan bahwa nikotin dalam napasmu tak berubah jadi psikotropika yang memutus jalur udara, hingga membuat kita harus bertemu di kehidupan lain bersama masalah tak tuntas.

Kau sudah melakukan yang terbaik.
Barangkali kelewat baik sebab aku sampai harus menangis berhari-hari kala mendapatimu tergeletak kaku, nyaris mati.
Kau terlampau baik dalam membuatku tersentak lantas berlari-lari tak kenal jarak, menggapaimu, menarikmu dalam fakta bahwa aku tak pernah siap untuk ditinggalkan sendirian.

Tetapi, bagi kita, segalanya memang selalu semu.

Pada akhirnya, yang bersinar terang akan redup.
Yang paling hangat akan membeku.
Dan yang selalu ada akan terkalahkan oleh mereka dengan kapasitas istimewa.

Jadi, aku akan kau letakkan di mana?
Setelah semuanya, aku akan kau masukkan ke dalam kotak dan ditutup rapat, atau sekedar kau letakkan di atas meja untuk dipandang demi sekedar samarkan hampa?

Kadang-kadang, pilihan paling sulit adalah keputusan paling tepat.

Maka, bila diziinkan bertemu denganmu sekali lagi, bila kepergianku ternyata membawamu pada cahaya baru dan kita memang harus putus koneksi agar aman di segala sisi, mari menyimpan masing-masingnya bersama kenangan-kenangan baik. Mari menjadi entitas dengan sebenar-benar kita; manusia.

Bila kau lupa, kau seringnya menganggap dirimu dewa karena harus selalu melakukan dan menanggung semua sebab-akibat.

Namun, aku di sini, senantiasa berdiri demi menyadarkanmu; tidak ada yang sempurna meski turun dari langit sekalipun.

Hidup dengan layak dan lakukan banyak hal sebelum kesadaran bulat terkoyak.
Hingga nanti, pada saatnya teleponku berbunyi dan kau telurkan tanya soal kabar, aku dapat sekali lagi menyapa riang gembira lantas keluarkan tawaran sekali sepanjang usia, "Hei, mari berteman selamanya."


A letter by: Kinanthi Sandrina
Dalam "Nasihat Mbak Hana" Universe
Orific.
(The Dark Side)




Written by:
Siti Sonia Aseka
Palembang, 7 Maret 2020

Kamis, 05 Maret 2020

Nasihat Mbak Hana

Distro makanan cepat saji dekat kampus yang dilaunching dua hari lalu masih lumayan ramai. Maklum, potongan harganya sampai tujuh puluh persen. Worth it pula dengan cita rasa dan WiFi kencang, cocok mahasiswa ambis yang tiap hari kerjanya bikin tugas, atau buat mahasiswa semester santai yang doyan download drama Korea bercucuran air mata.


Itulah pula kenapa Kinan nyasar ke sini. Tentu tidak sendiri. Di hadapannya sudah duduk manis perempuan berjilbab pastel yang pekan lalu baru saja dipinang dengan bismillah seperti judul sinetron yang ngetop beberapa tahun lalu, bikin baper. Kinan dapat traktiran khusus yang buat dia bahagia setengah mampus. Katanya imbalan tutup mulut, sebab sukses tidak membocorkan proses menuju pernikahan salah satu asisten lab kesayangannya yang juga alumni Universitas mereka.

Sebagai mahasiswa semester akhir yang aktivitasnya sekedar bertemu dosen dan revisi, Kinan sih oke-oke saja diajak bertemu mendadak. Apalagi tawarannya gratisan, secepat kilat dia bersiap meski baru tidak sampai setengah jam menerima proposal dalam keadaan penuh coretan. Ya sudahlah, pikirnya. Mau rebahan dulu, siapa tahu bangun tidur langsung wisuda. Ngawur!

"Sehat kamu? Masih doyan oppa-oppa, nggak? Ini aku selamatkan nih dari Waktu Jomblo Bagian Bucin, daripada kamu teriak heboh di kost karena nonton si Jungkook-Jungkook itu. Makasihlah sini, jangan pelit."

Kinan terbahak, nyaris tersedak green tea latte yang baru diseruput masuk kerongkongan.

"Tahu aja mereka baru comeback dan MV barunya keluar tengah malam tadi. Capek streaming, proposalku habis dicoret pula, katanya banyak kesalahan penulisan. Bodo amat, deh. Jungkook membuat bening otakku yang lagi butek."

Kinan tertawa kecil, menyesali kebodohannya sok-sok siap bimbingan padahal revisi dua pekan lalu saja masih dibiarkan teronggok tanpa minat disentuh.

"Mbak Hana sendiri beneran nih? Nggak sama mas Faridz?"

Kinan celingak-celinguk. Kali-kali matanya siwer dan tidak sadar sedari tadi ada sosok tidak asing yang mojok sambil ngopi, nungguin istrinya nongki.

"Ya nggaklah, dia kerja. Yakali berdua mulu, lebay."

"Kan musimnya begitu. Baru nikah, foto mesra di sosmed bertebaran, profil akun berubah jadi foto cincin dan buku nikah, ke mana-mana pegangan tangan kayak truk gandeng."

Hana jelas-jelas tertawa lebar. Membenarkan dalam benak. Iya, dulu saat dirinya belum menikah, banyak sekali dia saksikan fenomena seperti itu. Jadi seperti kebiasaan. Segalanya dilakukan berdua, diposting, entah apa tujuannya. Sampai dia sendiri bertanya-tanya, apa nanti setelah menikah, dia akan tertular virus itu juga?

"Kamu bisa mengecualikan kami kok, Nan. Nggak ada deh itu posting-posting foto berdua mulu di akun personal pula. Capek, emang ngarep apa coba? Didoain netizen? Ya Alhamdulillah deh kalo memang benar. Tapi, kan, banyaknya malah orang-orang risih, termasuk kamu salah satunya, kan?"

Kinan mengangguk. Mau menyahut namun tertahan oleh nampan makanan yang melayang dihadapannya. Harum kentang goreng bikin selera makan meningkat pesat.

"Bagus deh kalau logika Mbak masih sehat. Akhirnya ada sepasang manusia yang nggak latah ngikutin trend macam itu."

"Lagian nih ya, kadang kita pikir membagikan kebahagiaan di sosial media atau di hadapan orang-orang adalah sesuatu yang bisa memotivasi dan membuat yang melihat turut merasakan bahagia. But, the fact is not. Kadang memang kebahagiaan itu cukup kita sendiri yang simpan, nggak perlulah seisi dunia ini ikut mengakui kebahagiaan kita, apa pentingnya coba?"

Kinan sepakat. Jemarinya mencomot kentang goreng dan mulai mengunyah.

"Yang berlebihan dan terlalu meledak-ledak memang nggak pernah baik sih, Mbak."

"Yup, seratus. Seperlunya aja, secukupnya. Suami-istri juga tidak berarti kita harus benar-benar selalu masuk ke kehidupan salah satunya. Aku punya kegiatanku sendiri, mas Faridz juga. Kami saling menyemangati, mensupport, tapi tidak akan terjun terlalu jauh sampai cenderung ikut campur. Ya simplenya, itu memang prinsip yang kami pegang; we own each other in heart not only hands."

"Ah, bijak banget sih istri orang satu iniii…."

"Alah, jijik, Nan. Hush, jauh-jauh sana."

Hana mengernyit, geleng-geleng kepala menyaksikan keajaiban adik tingkatnya yang suka tak terduga ini.

"Tapi ya, Mbak, salut banget aku sama orang-orang yang menahan euforianya tanpa kelepasan membagikan ke publik. Like, dude… di mana coba ada yang begitu di zaman begini?"

"Balik lagi ke prinsip tapi sebenarnya. Kamu menikah buat apa? Atau yang sederhana nih, foto kelulusanmu nanti. Kamu posting itu di medsos, dilihat semua followers, lalu kolom komentar penuh ucapan selamat. Kamu senang, jelas. Tapi, barangkali ada yang sesak hatinya melihat foto kamu, bertanya-tanya kapan gilirannya, kapan dia ada di posisi yang sama, mengenakan toga, tersenyum sempurna dengan berbagai hadiah dalam pelukan? Well, itu hak kamu sih untuk membagikan, hitung-hitung juga ucapan terima kasih ke orangtua yang sudah mengucurkan beasiswa mereka buat anak bandel kayak kamu gini. Tapi nggak perlu juga fotonya diposting berkali-kali atau nyaris setiap hari sampai bikin keki."

Kinan bertepuk tangan umpama badut ulang tahun sembari ngakak saking gelinya.

"Iya mbak, iyaaa.. nanti kuposting foto wisuda sekali ajaaa, nggak banyak-banyak. Tapi sekali posting sampai ngalahin slideshow sidang skripsi. Hahaha…."

Hana menggeplak lengan Kinan, gemas. Ini bocah satu kalau ngomong main-main sukanya diseriusin, soalnya.

"Aduh, sakit tahu, mbak. Canda ajaaa… serius amat, elah."

"Udahlah, jadi bahas beginian kita. Pulang dari sini langsung revisi kamu, jangan rebahan lagi. Kasian dianggurin begitu, mumpung anget. Biar besok bisa bimbingan lagi. Biar cepet itu toga dijemput, nggak masuk dalam mimpi doang."

Kinan meringis miris. Tahu aja ini Mbak Hana, pikirnya. Niat hibernasi mendadak lenyap kalau sudah ditampar dengan kata-kata begini.

"Iya mbak, iyaaa. Nanti kucicil revisinya. Pokoknya wisudaku Mbak harus datang, ya. Jangan sok sibuk."

"Halah, masih lama juga kalau kerjamu macet-macetan begini. Keburu nanti dibalap adik tingkat, tahu rasa."

Kinan nyengir tak enak hati. Diam-diam bertekad menyudahi segala drama skripsinya yang mengalahkan episode serial Bollywood favorit ibu di rumah.

"Tengah tahun ini fix lho, mbak. Makanya doain banyak-banyak, sampai semesta muak dan pilih mengabulkan."

Hana terkikik, "Sok puitis kamu."

Kinan manyun. Begini ini, nih kalau berhadapan dengan yang sudah sering makan gombalan. Nggak mempan lagi!

"Ashar di masjid kampus aja ya, Nan. Terus nanti kuanter kamu pulang ke kost. Masih nggak bawa motor, kan? Beraniinlah, dek. Kapan lagi. Ya kalau ojol selamanya ada. Kita kan nggak tahu, nanti bisa jadi segala macam yang online-online itu dihapuskan, bisa stress kamu susah keluar rumah. Mau minta antar-jemput siapa?"

"Ish, bawel beud dah mbak. Iya, iya. Ini lagi belajar. Sekarang jarak berkendara yang pendek-pendek aja, jauh-jauh belum punya nyali."

Hana mencibir.
Kinan inilah adik tingkatnya yang bandel sekali dan susah dibilangin. Dengar nasihat kayak makan kerupuk, lewat saja.

"Kuy, otw sekarang mbak."

Kinan menatap piring ayam gepreknya yang sudah kosong melompong. Menyeruput sampai tandas green tea latte yang sudah banyak kehilangan embun.

"Mbak jangan sombong-sombong, yaaa…. Jangan susah diajak ketemu pokoknya."

Hana menggerutu kecil, beralih menuju kasir untuk membayar pesanan dan membiarkan Kinan di belakang sana mengekori kayak anak sapi terhadap induknya.

"Dasar bocah."




Palembang, 5 Maret 2020
Siti Sonia Aseka

Selasa, 03 Maret 2020

The Truth Untold

Hai, kita tidak bertemu lagi, tetapi aku barangkali dirasuki sesuatu sampai memikirkanmu, meski harusnya tak perlu tumbuhkan nyali untuk sekedar ziarahi masa lalu.



Kau masih sama.

Bicaramu besar, ambisimu, ide gilamu, candaanmu yang terkesan tepat sasaran, apalagi ucapanmu tentang rindu. Nah, yang satu itu sama sekali tidak berubah sejak dulu.

Tetapi, aku tentu bukan seseorang yang bisa kau raih hanya kala butuh, atau saat mendadak kau ingin tahu apakah aku masih simpan cerita-cerita tentang betapa kita pernah saling berbagi sisi manis sebelum juga saling melupakan.

Kau pergi pada malam itu bersama ungkapan cinta dan aku tahu, berakhir sudah jadi takdir; aku harus anggap selesai saat kau mulai bangun kisah yang baru, bersama orang lain, tentu.

Hei, aku tidak katakan kau jahat.
Sama sekali tidak, dan barangkali memang tidak akan pernah.

Saat itu, aku hanya kesulitan sebab tak biasa sendiri, tak akrab dengan kekosongan dan memang tidak siap dengan hampa yang kau suguhkan tanpa tedeng aling.
Aku hanya kebingungan harus bagaimana dan kebetulan, satu pintu terbuka lantas kuputuskan masuk tanpa banyak berpikir.

Sesederhana itu.
Baiknya, waktu juga membawa kita berjalan jauh tanpa perlu repot menoleh.

Kala itu, aku sedikit ingin kau datang.
Sedikit saja.

Demi jelaskan mengapa dan selesaikan, sebab masih banyak yang tersisa di belakang.
Kau harusnya mengerti, aku tak bisa tinggalkan tempat itu sebelum kau angkut barang-barangmu, lalu biarkan aku putuskan untuk tetap tinggal atau turut pergi menyusulmu.
Kau mestinya paham, aku cukup punya tanggung jawab sebab ikut membangun harapan atas masa depan yang kau gadang-gadang diwariskan semesta kepada kita, walau nyatanya tidak dan memang mustahil kejadian.

Tetapi, kau memang tak berniat melakukan apa-apa.
Entah karena telah muak, atau memang pada dasarnya hanya aku yang berpikir kita belum utuh usai.

Aku agak marah, ingin membenci, dan jelas kecewa.
Aku pernah terluka, pernah disakiti, pernah berdarah-darah, ialah saat kau hadir di sana menyaksikan, lantas menawari sebuah atap tanpa dinding.
Katamu, nanti kita susun bersama, nanti berupaya bersama.
Tetapi lagi-lagi, semua memang tinggal kenang dan aku sedikit merasa; kita lebih baik tidak usah sok hebat lantas beralasan mampu saling menyembuhkan.

Butuh beberapa waktu bagiku untuk merasa baik-baik saja.
Butuh setidaknya semua hal baru jauh darimu, jauh dari keping yang buat kita kembali terhubung, jauh dan benar-benar jauh.

Aku sibuk dan itu membantu.
Aku lelah dan itu juga pertolongan menyenangkan.
Aku begitu banyak berpikir sampai sengaja tak sisakan ruang demi menangisi yang sudah lalu.
Aku berjanji untuk melepaskan dan melangkah ringan, seperti kala kau minggat dariku, seolah kita tidak pernah ada, seolah segalanya memang hanya mimpi yang hilang kala kau bangun lalu melebur bersama udara.
Semudah itu.

Akhir-akhir, aku masih hidup dengan baik.
Aku melakukan segala hal yang kusukai.
Aku mengejar apa yang pantas kuusahakan.
Aku menggenggam segala sesuatu dalam kepalan tangan.

Namun, kupikir barangkali kau tengah berada dalam kondisi paling buruk, sebab mampu membongkar kotak usang dalam memori berkarat hanya demi menyapaku.
Aku tidak keberatan, sungguh.
Tetapi, harusnya kita tahu batas dan paham di mana mesti berdiri, bukan?
Melangkahi garis yang tidak dibuat untuk dilalui bukankah namanya pelanggaran dan kau harus mendapat hukuman?

Aku tidak keberatan, lagi-lagi kukatakan demikian.
Sama sekali tidak merasa disakiti atas luka yang masih basah bahkan kembali berdarah.
Aku baik-baik saja.
Lukanya sudah hilang, tak berbekas, bahkan nyaris benar-benar kulupakan bersama kau yang menggoresnya.
Aku sungguh baik-baik saja.

Tetapi, mengetahui fakta bahwa kau masih mengungkit 'kita' lalu berujar seolah aku akan tetap berharap banyak, bukankah memang sudah sampai pada titik aku harus memperingatkanmu bahwa segala hal punya limit?

Kasarnya, 'kita' dalam kepalamu telah menjelma basi bagiku.

Segalanya pernah begitu magis sampai kau sendiri yang batalkan sihirnya.
Kau sendiri yang patahkan tongkat ajaib, lantas pilih menjadi pangeran atas istana kerajaan.
Kau tidak lagi tertarik pada dongeng ibu peri dan aku cukup mengerti meski harus dihancurkan berkeping-keping.

Kita sudah jauh meninggalkan halaman itu.
Kini, aku telah ciptakan lembar baru.
Amat banyak, sangat banyak, sampai menimbun yang lalu dan kau tak perlu sok kuat menggalinya sampai dasar untuk dipersembahkan padaku.
Aku tidak butuh.

Semuanya baik-baik saja saat kau kembali datang.
Tidak ada kekosongan yang perlu kau isi, tak ada kehampaan yang perlu kau tinggali, dan tentu tak ada rindu yang harus kau bayar tuntas.

Selesai, cukup.

Sekarang, aku harus tutup pintunya lagi.
Barangkali, tidak akan pernah kubuka meski kau menggedor dan memaksa masuk, walau kau berkata akan memperbaiki yang bagiku tak tampak kerusakan barang setitik.

Kau hanya penasaran tentang kabarku, kau hanya ingin mendapati fakta bahwa aku tak hidup lebih baik dari saat bersamamu dulu.
Sedikit lucu bahwa kau bahkan tak pernah ingin tahu apa salahmu, dan seberapa besar aku berharap semesta menguburmu dalam-dalam, untuk kemudian mampu kutenggelamkan tanpa banyak kasihan.

Aku yakin kita pernah berteman, barangkali masih, barangkali memang hanya sebatas sana aku mampu menganggapmu dekat meski kau berulang kali tanyakan perihal garis yang kubuat.

Kau tidak seistimewa itu untuk selalu kukenang.

Palembang, 3 Maret 2020
Siti Sonia Aseka

Urgensi Kemahiran Berbahasa Inggris di Era Modernisasi dan Globalisasi

Urgensi Kemahiran Berbahasa Inggris di Era Modernisasi dan Globalisasi Sejak abad ke-18, bahasa Inggris ditetapkan sebagai bahasa Internasio...