Blogger Perempuan

Blogger Perempuan
Kunjungi laman Blogger Perempuan dan baca tulisan saya melalui link berikut

Rabu, 31 Agustus 2022

[OPINI] Tentang Guyon yang Dianggap Serius



"Sekarang kan sedang viral di Bandung, ternyata ibu-ibu banyak yang kena HIV/AIDS. Kedua, anak-anak muda banyak juga yang kena. Maka pernikahan menjadi solusi untuk memelihara seseorang dari perbuatan zina," ujar Wakil Gubernur Jawa Barat, Uu Ruzhanul Ulum.

Lalu statement kedua:

"Daripada seolah-olah dia (suami) tidak suka begitu, tapi akhirnya kena (HIV/AIDS) ke istrinya sendiri, toh agama juga memberikan lampu hijau. Asalkan siap adil, kenapa tidak? Makanya daripada ibu kena (HIV/AIDS), sementara ketahuan suami seperti itu, mendingan diberi keleluasan untuk poligami." ucapnya.

Pernikahan dan poligami BUKAN solusi atas maraknya kasus HIV/AIDS apalagi bila dijadikan wacana untuk (katanya) melindungi generasi muda. Yang dibutuhkan oleh anak-anak kita saat ini adalah pencerdasan tentang bahaya seks bebas (seks berisiko tanpa pengaman), bahaya penggunaan jarum suntik untuk pemakaian obat-obatan terlarang (Narkotika), mengedukasi masyarakat terkait kontrasepsi sedini mungkin, serta pencerdasan mengenai risiko pernikahan dan persalinan dini.

Pertama-tama, mengenai pernikahan. Pernyataan Wakil Gubernur Jawa Barat di atas, bisa jadi disalahartikan menjadi narasi yang mendukung pernikahan dini. Sialnya, pernikahan dini dan nikah muda kerap disapahpahami seolah satu hal yang sama, walaupun sejatinya berbeda.

Berdasarkan aturan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 atas perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan di Indonesia, syarat nikah KUA adalah minimal berusia 19 tahun untuk perempuan dan laki-laki. Pasangan dengan usia di bawah 19 tahun yang hendak menikah diperbolehkan mengajukan dispensasi yang harus diurus oleh salah satu atau kedua pihak orangtua. Sayangnya, penambahan pemberkasan yang dianggap rumit ini membuat nikah di bawah tangan atau nikah siri menjamur terutama di daerah-daerah terpencil yang kesulitan menerima akses informasi.

Dari sisi kesehatan, dampak dari pernikahan dan persalinan dini secara fisiologis bagi ibu dan janin adalah tekanan darah tinggi, keguguran (abortus), persalinan premature, berat badan lahir rendah (BBLR) dan kelainan bawaan, mudah terjadi infeksi, anemia kehamilan, dan kematian ibu. Dampak jangka panjang perempuan yang menikah dini dan hamil usia muda sebelum 20 tahun ialah akan mengakibatkan pertumbuhan tulangnya terhenti. Pada kondisi paling parah, kepadatan tulang tidak tercapai optimal dan menyebabkan tulang keropos atau osteoporosis. Anak-anak yang lahir dari pernikahan dini juga berisiko tinggi terkena stunting (kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat dari kekurangan gizi kronis sehingga ukuran tubuh terlalu pendek untuk anak usianya).

Sedangkan secara psikologis, ibu dan anak-anak korban pernikahan dini berisiko tinggi menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), ditelantarkan, menerima pola asuh keliru, perceraian, berujung pada depresi atau gangguan kecemasan berat.

Maka, alangkah lebih baik apabila generasi muda diedukasi mengenai pernikahan yang sehat, melibatkan kedewasaan kedua belah pihak, kesiapan dalam aspek mental, psikis, fisik, dan finansial. Bukan sesuatu yang dilakukan hanya dengan berlandaskan nafsu atau alasan "demi menjauhi zina" yang mengakibatkan menurunnya kualitas generasi penerus berkat ketidaksiapan orangtuanya dalam pengasuhan.

Lalu, poligami yang menjadi buah bibir dalam beberapa hari ke belakang berkat opini kontroversial oleh Wakil Gubernur Jawa Barat yang menyatakan bahwa poligami dapat menjadi penawar atas meningkatnya kasus masyarakat yang terinfeksi HIV/AIDS. Hal ini sesungguhnya secara tidak langsung berpotensi mendukung (lagi-lagi) pernikahan di bawah tangan atau nikah siri, menurunnya keseimbangan antara ayah dan ibu dalam kontribusi pengasuhan anak, tidak stabil dan tidak idealnya kondisi rumah tangga, serta adanya potensi pengabaian kualitas pendidikan, layanan kesehatan, serta mutu hidup yang seharusnya menjadi tanggung jawab orangtua kepada anak.

Kementerian Kesehatan mencatat, jumlah kasus Human Immunodeficiency Virus (HIV) pada 2021 sebanyak 36.902 kasus. Adapun jumlah kasus HIV stadium lanjut atau Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) di Indonesia sebanyak 5.750 kasus. Sementara data yang dihimpun oleh Kementerian Kesehatan dari 2009 sampai 2019 menyatakan Pengidap HIV/AIDS terbanyak ialah dari kalangan karyawan dan ibu rumah tangga.

Kerentanan ibu rumah tangga rentan tertular HIV/AIDS ditengarai disebabkan oleh ketimpangan gender yang berdampak pada ketidakmampuan perempuan mengontrol perilaku seksual suami, seperti membeli jasa pekerja seks komersial dan memakai narkoba suntik. Jadi, hal ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan poligami. Praktik poligami sama sekali tidak membantu mengatasi angka pengidap HIV/AIDS. Sebab apabila seseorang terinfeksi HIV/AIDS lalu menikah dan menularkan virus kepada isteri dan anaknya, terus menerus, berkali-kali, maka jumlah kasus HIV/AIDS akan terus bertambah.

Pemerintah harus lebih terbuka kepada masyarakat terkait penanganan HIV/AIDS ketimbang terus membangun stigma tentang mitos-mitos penularan virus dan berhenti menyebarkan informasi yang salah tentang HIV/AIDS. Edukasi yang tepat terkait virus ini akan mampu menekan kenaikan angka kasus ODHA setiap tahun.

Sudah ada jenis obat yang dapat memperlambat laju perkembangan virus. Jenis obat ini disebut sebagai antiretroviral (ARV). ARV bekerja dengan menghilangkan unsur yang dibutuhkan oleh HIV untuk menggandakan diri dan mencegah HIV menghancurkan sel CD4. Dengan kata lain, ARV dapat mengendalikan jumlah virus HIV dalam tubuh sampai tidak terdeteksi dan tidak juga dapat menularkannya.

Pencerdasan terkait pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS jauh lebih substansial ketimbang terus menekankan pada fantasi dan andai-andai yang tidak juga terbukti secara ilmiah.


Tangerang Selatan, 31 Agustus 2022

Siti Sonia Aseka

Urgensi Kemahiran Berbahasa Inggris di Era Modernisasi dan Globalisasi

Urgensi Kemahiran Berbahasa Inggris di Era Modernisasi dan Globalisasi Sejak abad ke-18, bahasa Inggris ditetapkan sebagai bahasa Internasio...