Blogger Perempuan

Blogger Perempuan
Kunjungi laman Blogger Perempuan dan baca tulisan saya melalui link berikut

Jumat, 15 Januari 2021

Angkutan Kota

Petak kecil berwarna kuning pucat yang kita tumpangi bergerak lambat. Pada beberapa kesempatan, justru berhenti total. Menanti nyala hijau pada rambu lalu lintas, mengakrabi macet, menyambut riuh klakson, bahkan berjumpa genangan sebab hujan turun seharian tanpa jeda. Aspal basah yang digilas roda-roda kendaraan tampak pasrah, langit kelabu seolah betah, matahari tak ketinggalan mengintip malu-malu di balik ketebalan awan.

Angkutan umum cukup sesak. Asap rokok beberapa kali menyapa, dibarengi ragam aroma tubuh dan tembang lawas penuh nostalgia. Seorang ibu di sisimu menelepon dengan suara kelewat keras. Sepasang muda-mudi di sampingku menertawakan entah apa dari layar sempit gawai seolah dunia hanya milik mereka.

Kita menepi sekali lagi. Seorang nenek naik. Di tangannya terdapat dua kantung belanja berisi entah apa. Kamu bergeser sedikit, memberi tempat.

"Kiri, bang!" pekik perempuan usia barangkali akhir dua puluhan. Angkutan umum mengerem mendadak. Aku nyaris terjerembab. Umpatan mengudara dan sedikit marah-marah kecil dari mulut penumpang lainnya.

"Woi, kalau nyeberang pakai mata!" sembur pengendara motor tanpa helm di kepala, tepat di sisi kanan angkutan umum tempat kita tak saling bicara.

Tangis bayi, percakapan basa-basi penumpang tentang banjir dan pandemi, humor receh supir angkot dengan rekan sejawat kala tak sengaja berpapasan, suara dengkuran berbagai desibel dari bapak-bapak berseragam maupun tidak, raut suntuk, pakaian lusuh, badan pegal dan perut bergemuruh.

Angkutan umum membawa kita, satu per satu, mendekat pada tujuan terakhir hari ini. Dengan kecepatan berbeda, dengan suasana tak selalu sama, berisik, muram, bahkan tak jarang diselubungi khawatir.

Seorang remaja berpakaian putih-biru naik tergesa sembari sesenggukan. Matanya bengkak, wajah memerah. Keadaan mendadak canggung. Ada yang pura-pura memandang jendela meski kening mengerut ingin tahu, ada yang menahan senyum geli seolah mampu menerka perkara yang telah terjadi. Sementara aku, menerima sorot terima kasih setelah mengulurkan tissue yang tak sengaja kubeli saat angkot berhenti di lampu merah, dari seorang bocah bermata bulat tak pakai sepatu.

"Hitam putih fotomu dalam album kenangan. Kusimpan selalu, kukenang kembali kala rindu…" supir angkot di depan sana bersenandung, suaranya sumbang.

"Harga cabai naik lagi…"

"Jemput ibu, sebentar lagi sampai."

"Jangan keluarkan tangan awak, bahaya!"

"Kita pernah bertemu walau hanya sewindu. Tapi memang nasib membawa kau pergi dariku..."


Palembang, 14 Januari 2021
Siti Sonia Aseka

Jumat, 01 Januari 2021

KALENDER


 

    Ini Jumat dan aku terbangun pukul setengah tiga pagi ketika dentum kembang api masih riuh dinyalakan orang-orang dari segala penjuru negeri.

    Penanggalan baru yang ibuku gantungkan sore tadi membuat sadar, bahwa kini, tidak hanya bulan berganti, tetapi nominal tahun. Artinya, aktifitas setiap satu Januari bukan sekadar membalik kalender, namun menurunkan parade waktu masa lalu menuju saat ini; sebuah peralihan, mengganti petak-petak penunjuk hari dan membuang yang lama, atau menyimpannya untuk dijadikan sampul kado pada keadaan mendesak saja.

    Di rumah kami, tidak ada perayaan apapun. Pukul sembilan, aku sudah lelap sebab lelah berpikir seharian. Tayangan YouTube mulai membosankan sebab diakrabi sejak Maret meski konten baru senantiasa datang. Lini masa Instagram juga sama. Mempublikasi berita-berita jauh dari kata penting, yang dipenuhi komentar-komentar berpolusi bagi mata dan hati.

    Memang, tidak ada yang benar-benar ditunggu. Barangkali, orang-orang sudah kepalang kecewa menghabiskan nyaris sepanjang tahun 'di rumah saja' dan membatasi kegiatan melibatkan banyak orang, mengenakan masker sepanjang waktu, mendeteksi suhu tubuh setiap keluar-masuk ruangan atau gedung, mencuci tangan seolah terkena phobia tentang kebersihan yang kadang memuakkan.

    Semuanya perlahan dibungkus rapi. Dimasukkan ke dalam kotak dan ditutup rapat. Diberi pita cantik, ditinggalkan di sebuah sudut. Tak ingin dibuka atau diingat lagi. Kemudian beranjak menyongsong harapan-harapan tentang keadaan yang barangkali mulai membaik.

    Produktif. Semua orang berharap istirahat panjang dan hibernasi segera berakhir. Resolusi dibuat optimistis dan ditempelkan di dinding kamar masing-masing, dihiasi bahkan dibingkai estetik. Dijadikan pemicu, pendorong semangat. Mengantisipasi sebuah awal dengan degub jantung menggila. Berjuta pertanyaan barangkali singgah, "Bila ternyata kabar buruk kembali mampir, akankah kita bertindak setabah ini lagi?" 

    Masih ada 364 hari yang harus dilewati. Masih ada puluhan pekan menyimpan ragam kejutan, bahkan jawaban-jawaban yang mungkin akan kita syukuri pun sesalkan sebab pernah masuk dalam untaian semoga.

    Desember menuju Januari selalu istimewa. Dekorasinya diisi kolaborasi antara libur semester, hari raya, dan bonus-bonus selain gaji dari kantor disertai ragam diskon di segala toko meliputi berbagai benda. Atmosfer menyenangkan, sarat akan bahagia.

    Angka satu di setiap kalender seringnya diisi lebih banyak awal baru, relasi sehat antara kesadaran dan pengampunan, lalu diselingi tekad; gegap gempita kemungkinan dan peluang. Padahal, 365 hari selalu terasa sama dan memang selamanya tak jauh berbeda bila hanya mengandalkan kemurahan hati semesta. Seringnya, kita pun melupakan kemampuan berdiri di atas kaki sendiri. Sebab, pada sepuluh bulan kemarin, semesta dengan riang gembira malah mengajak penghuninya bercanda alih-alih pesta pora. Bedanya, tidak ada yang tertawa terbahak-bahak. Lelucon semesta dipastikan gagal total!

    Tampak agresif, sekaligus mengajak manusia berbondong-bondong melalui sebuah pintu dengan terlebih dahulu melewati pernak-pernik ujian. Tentu, ada yang lolos, dan ada pula yang harus mundur; kalah. Semua hanya soal keberpihakan dan lagi-lagi; takdir. Tetapi, kuakui, eleminasi semacam ini menjadikan manusia mengetahui limit diri, untuk kemudian berhenti jadi entitas bar-bar yang kerap kehilangan kendali.

    Pembatasan sosial, harusnya juga menjadikan kita membatasi tingkah laku agar tidak menerima ganjaran sosial, bukan?


1/365
Januari, 2021
Siti Sonia Aseka

Urgensi Kemahiran Berbahasa Inggris di Era Modernisasi dan Globalisasi

Urgensi Kemahiran Berbahasa Inggris di Era Modernisasi dan Globalisasi Sejak abad ke-18, bahasa Inggris ditetapkan sebagai bahasa Internasio...