Blogger Perempuan

Blogger Perempuan
Kunjungi laman Blogger Perempuan dan baca tulisan saya melalui link berikut

Jumat, 25 Januari 2019

HARI INI

Satu lagi hari buruk dengan lipat ganda suasana hati super tidak kooperatif.



Kemarin, semuanya berjalan lancar.
Kelewat lancar, malah.
Penuh tawa, canda, tersenyum sepanjang waktu, bahagia tanpa cela, lingkungan yang bersahabat dan instruksi lebih ramah serta tenggat manusiawi tak menyebalkan sama sekali.

Memang. Harusnya, diluar segala kenyamanan itu, aku mampu lebih cerdas mengantisipasi tiap senti luka yang bisa saja terjadi akibat gesekan dan saling singgung. Well, terlambat, sih. Sebab malamnya, ketika aku haruslah menyelesaikan apa yang terjadi dengan senyum dan perasaan lega karena segala hal perlahan usai terlewati, aku malah harus dihadapkan dengan jenis manusia yang mesti kuhindari setengah mati. Dan coba tebak? Aku gagal mengatasi yang satu ini, lalu berakhir dengan pura-pura tampak baik walau di dalam penuh lebam dan hancur sekali lagi.

Ah, benci.

Mengapa harus hari ini?
Padahal, terlepas dari segala kegaduhannya, yang mana memang merupakan kebiasaan selama nyaris bertahun, aku memiliki tanggung jawab untuk wajib dijalankan walau hati terasa ingin pergi, lari, sembunyi.

Faktanya, aku kembali menjadi sosok menyebalkan. Tak ingin bertemu siapa-siapa, tak mau mendengar apa-apa, tak hendak membuka suara. Hanya berdiam saja. Nyaris menenggelamkan diri hingga tanpa sisa, sukses mematahkan hati menjadi dua saking sekaratnya.

Psikosomatis yang terulang entah ke berapa kali dalam satu bulan ini.

Pusing dan pening yang jelas bukan hal biasa dan tanpa sebab. Fisik kelelahan, hati yang seolah diremas kuat, pikiran yang tak lagi menemukan akal sehat. Huh, terdengar nyaris redup dan membeku, bukan?

Jadi, mengawali pagi dengan harap-harap cemas, jadwal agenda yang dirombak ulang, mengirim pesan terburu pada beberapa orang, perizinan terlampau alot, permintaan kelewat sulit, juga argumen yang bertarung sengit melayang di atas kepala, aku seperti nyaris tercekik dan kehilangan kadar udara untuk beberapa detik. Hasilnya? Tenagaku terkuras habis walau jarum jam belum mencapai angka sepuluh.

Nah, jadi lebih rumit, kan?

Kesimpulannya, hari ini, aku menyerah lagi. Kalah.

Mengendalikan apa yang tak bisa menyenangkan hati memang bukan perkara enteng. Bahkan mengantri arena bermain pada pasar malam tahunan atau stand makanan di festival kembang api mungkin jauh lebih mudah ketimbang harus berperang melawan diri sendiri.

Hei, segalanya akan baik-baik saja, bukan?

Walau aku sendiri tak mengerti mengapa memerlukan jawaban atas tanya paling klise sepanjang zaman macam itu, sepertinya jauh di dalam, setelah segala pelarian yang membuat perut lebih mudah lapar, aku memang hanya butuh seseorang berkata, "Tenanglah. Tak mengapa. Ambil saja istirahat sebanyak yang kau mau, sisihkan saja kesendirian sepanjang kau ingin. Aku akan mengambil alih. Aku akan menyelamatkannya untukmu. Jadi, tetap di sini dan jangan membahayakan diri sendiri, oke?"

Mimpi.

Ha, memangnya ada jenis pahlawan kemaghriban begitu? Kalau ada, simpankan satu untukku, tolong. Dengan karet dua, ya. Agar tak tertukar dengan yang lain.

Di sudut kamar, di bawah temaram lampu, bersama sebuah buku dan dua porsi mie goreng lezat, aku meringkuk mengobati luka perlahan. Menyambungkan sekali lagi hati yang patah, menempelkan remah-remah berserakan, memeluk harapan serta doa agar besok segalanya membaik seperti sedia kala.

Karena sungguh, seharian berbicara pada diri sendiri, mengoreksi apa yang salah dan mendapat jawaban dari rotasi akal menari-nari, aku memang tidak bisa menemukan objek malang apapun untuk dimaki atau disumpahi.

Sebab jauh di dasar, nyaris ke inti, aku menyadari bahwa dari sekian amarah dan perasaan kesal, setengah atau kurang bahkan lebih, andil ikut serta diri kita sendirilah yang meletakkan tangannya, mengacaukan, membuat patah.

Tahan amarah.
Jangan meledak.
Padamkan letupan.

Tidak mudah, jelas. Namun, tetap harus dicoba, kan?



Indralaya, 25 Januari 2019
Siti Sonia Aseka

Kamis, 03 Januari 2019

Antagonis


Beberapa orang menyalahkan ledakanmu.
Menganggap keputusan untuk menciptakan adalah ketergesaan yang tak pantas apalagi patut.

Beberapa orang bahkan menganggapmu jahat.
Hanya karena engkau terlalu jujur pada dirimu, tentang hati, tentang kemauan dan penolakan bahkan.

Beberapa orang berpikir engkau tak ubahnya kerikil kecil yang memberikan efek ganda; tak berarti sekaligus mengganggu pandangan mata.

Beberapa orang hanya ingin engkau sama seperti mereka. Tak membuat sesuatu yang beda, berjalan lurus saja, tak memandang kemana atau berpikir untuk mengubah apa-apa.

Beberapa orang jelas hanya mau engkau tak melampaui mereka. Sebab, mereka percaya keberadaanmu dapat menghasilkan gelombang besar yang selama ini hanya nawacawa saja.

Kau harus sadar, semua gravitasi kebencian dari "beberapa orang" tak akan serta merta menjadi anggapan "semua orang."
Karena, hanya kemustahilan untuk menyenangkan seluruh hati, di setiap sisi dan segala pribadi.

Kun Anta.
Just be the best version of yourself.

Siti Sonia Aseka
Indralaya, 12 April 2018

*Tulisan ini pernah saya posting di Instagram

Urgensi Kemahiran Berbahasa Inggris di Era Modernisasi dan Globalisasi

Urgensi Kemahiran Berbahasa Inggris di Era Modernisasi dan Globalisasi Sejak abad ke-18, bahasa Inggris ditetapkan sebagai bahasa Internasio...