Blogger Perempuan

Blogger Perempuan
Kunjungi laman Blogger Perempuan dan baca tulisan saya melalui link berikut

Minggu, 27 Desember 2020

(Cerpen-Puisi) Patah & Pisah

Patah & Pisah


Gegap gempita diisi cita, meski gelegar petir dan hujan menerbangkan segala harapan dalam semalam, buat patah rumpun-rumpun jasmine di halaman, menumbangkan pula pohon-pohon hingga tutupi jalan; akibatkan macet, memaksa putar arah.

Tetapi seorang lelaki menyusuri trotoar pada pagi yang ceria, menggenggam payung biru pudar di tangan. Matanya nyalang disesaki janji, tubuhnya tegap dinaungi yakin. Mengetuk pintu rumah nomor tiga, menanti.

Ragu sudah lama lesap dalam kamusnya. Dapati bingkai yang ia tatap terbuka, perlahan. Menampilkan satu sosok yang telah lama ia damba.

Senyumnya terulas, manis, kelewat menyenangkan. Menerima sebuah izin masuk, meski ia tolak dalam dua kedip mata. Ia jelas tidak akan menerobos seperti kali terakhir kesempatan rebah di telapak; ia tidak datang dengan maksud yang sama.

Burung-burung berkicau, bersahutan. Beberapa daun kecokelatan gugur, hiasi setapak, diterbangkan angin tak lebih jauh dari dua blok kompleks perumahan. Atap-atap warga berwarna sama, kemerahan, agak gelap. Dengan undak tangga pendek di pekarangan, mengantarkan banyak pasang kaki menginjak teras, mengakrabi denting lonceng tua bergantung, terayun.

Pagi jelang siang ditemani gerimis.

Lelaki itu mengangguk setelah mengulurkan selembar undangan manis, bernuansa lilac, beraroma umpama kayu bakar. Sepasang nama terukir, indah. Mereka beradu pandang. Si lelaki menampilkan satu sorot sampai jumpa, sebuah salam perpisahan, dibalas tak hingga permohonan maaf, dan satu pesan sarat semoga yang diaamiini segenap jiwa.

Mereka melambai dalam beberapa detik singkat. Ada yang tertinggal, sekaligus usai. Ada yang dilangitkan sekaligus membumi. Ada yang ditutup sekaligus terbuka. Ada yang pergi kemudian terganti. Ada yang harus mundur demi mengizinkan lainnya melesat maju.

Dan ada yang harus jadi prioritas ketimbang larut dalam kenangan.

Ia… bernama masa depan.

 

Palembang, 27 Desember 2020
Siti Sonia Aseka

Minggu, 22 November 2020

[Cerpen-Puisi] Tanpa Gula

Tanpa Gula
Pagi ini, kopiku lebih pahit dari sekian mil jarak, atau pesan-pesan berisi sekelumit emosi yang tak pernah mampu kutangkap sempurna maknanya.
 

    Hati rasanya separuh; separuh kecewa, separuh kesal, dibubuhi riak angkara sampai tanya. Berpelukan mereka di bawah naungan luka, utuh menyakitkan. Penuh, sesak oleh andai-andai pada bilangan bulan, pada keping-keping keyakinan. Lalu jatuh… meski jelas bukan lagi jatuh cinta, atau bagaimana detak terasa lebih syahdu hingga mampu kalahkan buruk pada hari yang kelabu; sebut saja patah, nyaris hancur, menuju lebur.

    Hari ini cerah. Langit biru, bersih tanpa awan. Denting akibat sendok dan pinggiran gelas beradu, aku yang duduk di sisi jendela berdebu menatap jalan raya dengan kepala carut-marut.

    Rasanya tidak adil, bagaimana waktu terus berjalan, terus merangkak mencapai bulat dua puluh empat, sementara seorang manusia tersudut oleh fakta, dihancurkan realita, harapannya menguap, membaur dengan udara. Bagaimana setelah semuanya, porak poranda jadi niscaya, muat dalam satu wadah berisi doa-doa yang kini takkan pernah lagi ingin ia langitkan.

    Sebelum hari ini, aku ingin berjabat tangan dengan jarak. Berterima kasih sebanyak embun sepagian buta pada kelopak-kelopak bunga pun dedaunan dan ilalang, tentang bagaimana pengampunan berhasil menjahit kembali sekian sapa dan senyum yang sempat diputuskan masa muda. Padahal, ada rindu menggebu yang kuasuh sekian lama hanya agar mampu meledakkan cita kala yang pulang mengetuk pintu setelah sekian lama. Tetapi, kecepatan informasi mengakibatkan hantaman keras mengalahkan laju kereta api. Dari mulut ke mulut, telinga ke telinga, sambung menyambung asumsi menghasilkan stigma, kesimpulan atas kesalahan dan aku tak mampu menghindarinya.

    Harusnya kita tak usah dihubungkan saja. Harusnya kita tetap jadi sekadar teman tanpa sisa perasaan yang genap meminta tempat. Harusnya kita tidak memandang satu sama lain berbeda dan menyusun konklusi lebih merah muda hanya demi mengobati sakit yang masih ada.

    Harusnya, aku tidak mudah berpikir bahwa barangkali kamulah orangnya, sehingga memimpikan waktu yang tepat bahkan sebelum mata terbuka lebih lebar dan lebih jauh.Harusnya, kuanggap saja kedatanganmu adalah pintu baru demi menyambung kembali tali yang sempat putus, tidak lebih dari itu. Tidak bermain-main dengan kemungkinan dan mengabaikan sekian peringatan.

    Memaafkan dan rindu, pengampunan dan angkara. Akar-akar relasi, pion-pion tegaknya keluasan hati, kelapangan sanubari.
 

Aku rindu, sekaligus tak mampu memaafkan. Aku marah dan kehilangan pengampunan.


    Di sebuah meja makan, sekian hidangan disajikan. Berpiring-piring, gelas-gelas, sendok, garpu, serbet bunga-bunga yang kontras dengan dekorasi gelap, kebanyakan hitam, sisanya abu-abu. Tidak ada yang selaras di sini, tidak ada satu pun unsur terasa benar.

    Aku muak, tapi tak berniat berdiri. Kita tidak diciptakan untuk menolak segala hal meski benci setengah mati. Maka, sosokmu bukan lagi seluar biasa bintang yang mampu menarik perhatianku. Sorotmu tak lagi jadi dambaanku. Serta kata-katamu telah lenyap dari daftar inginku.

Terhadap masa lalu, kita berdosa. Di masa kini, kita dihajar rasa bersalah.


Selasa, 17 November 2020

[CERPEN] Interview

 

INTERVIEW

 


    Ada tiga alasan yang mendasari seseorang bisa lolos interview kerja. Pertama, well-mannered, sikap. Kata lainnya, sopan santun, tata krama, adab, tindak tanduk. Kedua, well-prepared, persiapan matang, Dan ketiga, well-mind. Nah, yang terakhir ini bukan sekadar pintar tidak pintar, atau seberapa besar indeks prestasi kumulatif dalam transkrip nilai. Lebih kepada cara berpikir, akal sehat. Kan lucu kalau posisi yang diinginkan setinggi langit, tapi ketika diajak ngobrol malah nggak nyambung?

    Kalau kata trainnerku beberapa bulan lalu sih, "Okay, semua tahu lo smart to the moon and back, tapi kalau nggak punya persiapan matang, apalagi manner yang demi apapun kayak nggak makan bangku sekolahan (which means supeeer bad, kuadrat), omongan non-sense, ya nama tetap bakal dicoret. Dilupakan begitu aja. The end."

    Jadi, ketika mbak Nanda bertanya, "How are you? Pucat amat, La. Sakit, lo?" 

    Aku seketika melemparnya dengan tutup bolpoin tanpa tedeng aling. Dia pikir setelah terjebak dua jam dalam ruang interview yang demi apapun sebeku es tapi mampu membuatku keringatan, aku bisa membalas dengan, "Baik, BANGET kok, mbak. Sampai rasanya mau meninggal." 

    Aku jelas bukan food reviewer merangkap pencari kerja level satu. Tapi kalau berkenaan dengan basa-basi-busuk andalan mbak Nanda, sepertinya cocok kalau kukatakan bahwa aku bisa menyabet juara 'Tukang Nyablak (bukan seblak) PALING Lihai' cuma karena mampu membuat dia tertawa dan berhenti membuat gondok. 

    Ya, tolonglah. Aku baru saja pulang dari kegiatan komunitas, kusam, dekil, dan capek setengah mampu. Ketika menyalakan ponsel yang tadi kehabisan daya malah harus mendapati pesan berisi, "Sore, mbak. Interviewnya kita lakukan online malam ini pukul delapan, ya." Dan sekarang jam dinding di kamar menunjukkan tepat pukul tujuh.

    Apa nggak kelewatan? 

    Meski setelah ditawar, aku akhirnya bisa mengatur ulang jadwal interview besok paginya meski harus datang langsung ke kantor pusat sana. 

    Akhir pekanku biasanya dan memang sudah seharusnya dipenuhi dengan hanya tawa-tawa-tidur. Bukannya tekanan, rasa jengkel, dan angkara. Aku biasa berdiam seharian di kamar, menonton drama Korea belasan episode, atau jalan ke toko buku kalau sedang mood. Atau yang lebih simple; berburu makanan online diskonan untuk mengisi perut.

    Nggak muluk-muluk.

    "Interviewer-nya kayak dosen penguji skripsi lo, ya?" cetus mbak Nanda lagi, kali ini terbatuk kecil di ujung kalimat. "Judes, jutek."

    Ha! Aku berdecih saat itu juga. Bukan cuma judes atau jutek, mbak! Nggak ada empati, malah.

    "Itu mah masih mending, mbak." aku menggeleng kecil. "Tahu Hulk, nggak? Nah, bar-barnya sama, tuh. Sejenis."

    Mbak Nanda ngakak, sementara aku misuh-misuh. Meletakkan kepala ke atas meja belajar lagi, bersiap meratapi nasib. Sudah empat bulan aku terhitung sebagai alumni sebuah universitas negeri di kota ini. Sejak saat itu, aku belum juga berkesempatan mencicipi dunia kerja seperti yang teman-temanķu kerap ceritakan. 

    Bukannya sombong, tapi aku jelas bisa menjamin bahwa diriku nggak bodoh-bodoh amat. Nggak kuper juga. Sertifikat, piagam penghargaan kemenangan lomba, olimpiade, sampai surat tanda aktif organisasi, aku punya semua. Bukan pula berarti empat bulan ini aku sama sekali tidak mendapat kesempatan lolos seleksi berkas untuk maju interview. Seperti kemarin. Namun sayangnya, proses terjauhku memang cuma sampai di sana. Selebihnya, keberuntungan ibarat lenyap dari genggaman. 

    "Ya santailah." mbak Nanda berceloteh, merebahkan tubuhnya di atas ranjang kamarku bahkan tanpa repot melepaskan sandal rumahan kelinci berwarna pink-nya. "Lo bukannya totally nganggur. Lo kerja, La. Content writer itu pekerjaan yang harus disyukuri juga." 

    Aku tertawa putus asa. Iya, memang. Aku jelas bukan hanya makan angin dan seperti baru bangun setelah tidur selama seribu tahun. Aku punya penghasilan, walau nggak sebanyak pegawai kantoran, atau pemilik start up sukses di luar sana. Tapi, tahu kan, kadang jenjang karier jadi sesuatu yang dibanggakan dalam lingkungan sosial? Dan bagiku, aku jelas tidak mau berada dalam keadaan yang demikian seumur hidup. Bukan berarti content writer pekerjaan yang tidak menyenangkan. Lain soal.

    "Lo cukup tenang karena uang datang setiap bulan. Cukup diam di rumah, menulis, lalu gaji diturunkan dalam sekejap." mbak Nanda nyengir. "Atau lo terima saja tawaran ayah dan ibu. Sekolah lagi sana. Dapat magister, siapa tahu ditawari jadi dosen, kan?"

    Aku memicing, "Nggak semudah itu, mbak." kulipat kaki, bersila di atas kursi putar. "Kating gue ada yang mikirnya begitu juga, dan ternyata sekarang malah struggle cari kerja. Sama saja."

    "Lho? Nasib kan nggak ada yang tahu. Coba saja dulu."

    Aku mencibir, tapi sedikit membenarkan. Lagi-lagi soal takdir. Perkara yang tidak satu pun manusia bisa jabarkan.

    "Atau…" mbak Nanda tiba-tiba duduk, menggoyangkan kakinya, menatapku sembari menaik-turunkan alis, lantas terkikik sebentar. "Lo cari jodoh. Nikah. Nanti yang lain-lain menyusul." katanya, seolah menikah sama dengan keputusan untuk pergi ke warung Hajah Romlah di ujung blok sana.

    "Ya kali, mbak." seruku, sebal. "Nikah bukannya opsi terakhir, seolah hidup berakhir di situ saja." sungutku.

    Agak gedek juga mendengar orang-orang menganggap pernikahan sebagai solusi memecah dinding bernama masalah. Menyerah dengan skripsi, kalimat yang keluar adalah, "Duh, capek. Dosen susah ditemui, proposal revisi melulu. Mau nikah saja, deh." seolah dengan menikah, skripsi secara ajaib tercetak, atau ketika bangun tidur sudah disuguhi toga demi mengikuti selebrasi di auditorium kampus. Tentu tidak segampang itu.

    Mbak Nanda mengangkat bahu. Ia sekarang berdiri, melambai seolah menang kontes ratu kecantikan, lantas tersenyum jahil. "Sekadar saran." katanya enteng.

    "Diterima alhamdulillah, kalau nggak juga ya bukan masalah."

    "Nanti, deh. Sekarang lagi kusut ini kepala."

    "Oh, bisa pusing juga lo?"

    "Iyalah!" aku cemberut sementara mbak Nanda berjalan keluar tanpa dosa.

    Melihat mbak Nanda, aku jadi iri. Dia tidak pernah sekali pun mengeluh tentang pekerjaan. Dulu saat baru lulus, aku ingat dia ditawari pekerjaan sana sini sebagai ini itu, tapi malah lebih memilih untuk jadi guru taman kanak-kanak dekat rumah, hanya 5 menit bila ditempuh dengan berjalan kaki. Gajinya jelas tidak besar, bahkan kalau dirunut, mbak Nanda bisa bekerja di perusahaan besar mengingat gelar Lulusan Tercepat dan Cumlaude yang ia sandang.

    "Apa sih yang kita cari di dunia ini?" katanya suatu hari, pada sesi quality time kami. "Dunia semua. Asal kebutuhan tercukupi saja, alhamdulillah. Gaji besar banget juga nanti bingung mau diapakan. Tanggung jawab di akhirat nggak kalah besar."

    Aku ingat masih sempat mengeluarkan satu-dua protes dan mendebat keputusan saudara tertuaku tersebut.

    "Lo nggak iri lihat teman-teman seangkatan dulu sekarang sampai merantau ke luar kota, menyeberang pulau, bahkan ada yang kerja di luar negeri? Nggak merasa left behind, mbak?" aku mencecar, sementara mbak Nanda tersenyum lebar.

    "Perkara iri mah, manusia banget. Pernah sih sekali dua kali merasa begitu. Siapa yang nggak, coba? Tapi balik lagi, kalau kita merasa cukup dan bahagia dengan apapun yang kita pilih, mau hidup orang lain kelihatan seratus kali lipat lebih menarik, kita tidak akan tergoda atau malah menyesal dengan jalan kita sendiri."

    Mbak Nanda barangkali bukan saudara paling pengertian dan paling segalanya. Tapi, aku sendiri selalu benci mengakui bahwa dia terlalu sering benar dalam hal apapun ketimbang diriku. A true decision maker.

    But, back to the reality, mengingat sesi wawancaraku juga tidak bisa diandalkan walau nggak parah-parah amat, aku tetap berharap setidaknya kesempatan bekerja di salah satu perusahaan makanan instan tersebut bisa kudapatkan. Memang tidak sesuai dengan jurusan kuliahku, sih. Tapi, who knows? Lolos ke tahap interview artinya ada potensi yang mereka lihat dari diriku, kan?

    "La,"

    Aku nyaris terjengkang dari kursi ketika mbak Nanda tiba-tiba masuk kamarku lagi dengan wajah berseri.

    "Kenapa mbak?" tanyaku ketus. Jengkel setengah mati.

    "Galak amat." mbak Nanda tampak menahan tawa, sementara aku kini fokus menghadapnya. Menantikan kalimat selanjutnya yang akan ia keluarkan.

    "Besok kita fitting baju, ya."

    Dahiku mengernyit, bingung. Sembari mengingat-ingat acara apa yang barangkali akan berlangsung dan memaksa kami berdandan sampai harus fitting baju segala.

    "Buat kondangan ke mana? Pakai fitting baju." cuek, kunyalakan laptop demi menyelesaikan deadline artikel.

    "Ahad depan gue lamaran."

    Aku terbelalak. Kali ini benar-benar meninggalkan laptop yang sudah menampilkan tulisan enter the password dan berdiri tegak menatap mbak Nanda, sangsi. 

    "Serius lo?" aku memicing, curiga. "Jangan halu deh, mbak. Jangan bilang ini bercanda, ya! Gue musuhin lo." tuduhku tanpa hati. Sementara mbak Nanda tidak bisa mengendalikan rasa geli. Dia tertawa terbahak-bahak sampai berguling heboh di kasur.

    "Beneran ini mah. Seribu persen serius. Lo kok kaget begitu amat."

    "Siapa?" todongku, kepengin tahu banget!

   "Ada, deh." mbak Nanda mencoba berahasia. Ia berdeham, siap-siap memacu langkah kabur. "Pokoknya besok pagi-pagi. Jangan molor terus lo!" katanya, menyindir.

    Aku menganga, masih tidak menyangka. Mbakku dekat dengan siapa, sih? Aku sampai kecolongan begini! Ya Allah, aku beristighfar dalam hati. Kenapa banyak sekali kejutan datang silih berganti? Untung aku tidak punya riwayat penyakit jantung.

Nasib, nasib ….

 

 

Palembang, 17 November 2020

Siti Sonia Aseka

Selasa, 06 Oktober 2020

[PUISI] Me and You

    
    Langit kelabu saat payungmu mekar, cegah gerimis yang mulai turun satu-satu menyentuh kulitku. Senyummu masih sama, leluconmu juga.
 
    Kita berjalan di bawah rinai hujan sembari mengumandangkan betapa menyebalkan hari bersama fungsi integral, cairan kimia yang tumpah di laboratorium, bunyi hukum Newton, sampai isi diktat berjilid rapuh yang harus tuntas sebelum tengah semester menyapa. Rambutmu yang mulai panjang dikuncir asal, separuh jatuh menutupi dahi. Warnanya sekelam malam dan aku nyaris kehabisan daya demi menyeretmu menuju pangkas rambut langganan, merapikan bagian yang perlu agar tak merepotkan kemudian.

    Hari ini, kita mengenakan jaket berwarna senada. Cokelat tua tebal yang kamu dapat secara tak sengaja melalui situs jual-beli online dengan separuh harga, katamu. Jaket itu mampir di mejaku pagi tadi. Diberikan begitu saja, tanpa sampul kado menarik berpita cantik, atau sekadar surat bertulis tangan pendek tentang alasan-alasan romantis yang barangkali kamu pikirkan tentangku.

    Aku memang terlalu banyak berharap, sementara kamu tak pernah cukup berusaha menjadikan kita melampaui batas bernama pertemanan. Selalu sampai aku pada anggapan, "Barangkali, memang bukan saatnya. Kamu jelas bukan orangnya."

    Aku lantas ingat mawar kuning yang kamu berikan dua pekan lalu. Masih bertengger apik di atas meja belajarku, di dalam botol kaca berisi seperempat air yang kuganti tiap miliki waktu. Cantik, walau sudah agak layu. Tiap melihatnya, aku jadi membayangkan raut sendumu kala berkata, "Hei, aku punya sesuatu untuk Semestaku."

    Kita memang mengerikan. Memberi afeksi dan limpahan peduli saat tak genggam barang sepercik angan-angan tentang jadi sepasang. Lucunya, tak ada gundah, apalagi gelisah. Kamu selalu di sana saat duri menancap pada epidermis, menariknya keluar demi legakan pori-pori meski munculkan darah.

Kita jelas jatuh cinta. Aku jelas mencintaimu. Tetapi, mungkin kadarnya tak sama; mungkin… kita memang belum peroleh titik temu dari berserah terhadap yang masih dan akan.

    Menggambarkan dirimu dalam kepala sebelum mata didera kantuk, menanti teleponmu setelah segala hiruk pikuk dunia kita hadapi hingga buat muak, atau janji-janji kita demi lalui akhir pekan tanpa bayang tugas membuat kusut cabang pikiran.

    Musim berganti, keadaan berubah. Tetapi, kamu masih orang yang sama. Lelaki bermata gelap, pemilik lesung pipi elok, teman bersepeda sesorean, juga penjaga pintu kemana saja. Kerap, kamu seolah siap membawakan baling-baling bambu jika aku meminta.
 
Kamu menjadikan segala yang mustahil jadi mungkin. Tetapi, masih; kita tetap dua orang asing setelah panjang spasi terbentang diisi pemahaman dan usaha demi gapai konklusi mengerti.
 
"Yang kamu ketahui, senyumku selalu sama buatmu. Yang aku ketahui, kamu selalu di sana tak peduli badai atau kerikil jenis apapun siap menggempur. Yang tidak kita coba telaah; mengapa setelah semuanya, kita tetap di sini, tak hendak beranjak meski seinchi?"
 
***
 
Palembang, 5 Oktober 2020
Siti Sonia Aseka

Kamis, 01 Oktober 2020

the time will come

Pada satu hari peringatan atas tak gentarnya perjuangan.
Mengheningkan cipta~
 
***
    Akan tiba saat di mana kita mengganti nomor ponsel yang telah digunakan bertahun-tahun. Membagikannya kepada keluarga dan kerabat paling dekat saja, meminta dengan sangat kepada siapapun untuk tidak menyebarkan nomor tersebut tanpa izin, lalu berhenti menggunakan aplikasi pengantar pesan yang ditransfer melalui paket data.
 
    Kembali mengandalkan layanan SMS seperlunya dan telepon dalam keadaan benar-benar darurat. Menonaktifkan bahkan menghapus akun-akun sosial media, membiarkan kenangan tersimpan dalam kepala saja, bukan lagi berupa bingkai maya yang biasanya jadi ajang perlombaan tentang jumlah penyuka dan komentar terbanyak.
 
    Akan sampai masa di mana kita memilih untuk tinggal jauh dari hiruk pikuk kota. Melupakan pemandangan gedung pencakar langit, macet jalan raya, atau asap kendaraan. Membiasakan diri dengan hijau kebun teh, udara sejuk pegunungan, serta suara debur ombak sayup-sayup, tak ketinggalan aroma laut merebak membuat pedih pelupuk. Menghuni sebuah rumah sederhana, namun ajaibnya terasa demikian hangat.
 
    Akan ada masanya segala sesuatu terasa selalu cukup. Sepasang tangan untuk digenggam, bahu untuk bersandar, mata untuk melimpahkan begitu tak terurai juta rasa; afeksi, cinta, benang merah bernama relasi.
 
    Akan datang waktu di mana malam yang sunyi meski tak dijajah kesepian dihadapi berdua, ditemani hanya dengan obrolan ringan mengenai bagaimana hari berjalan, anak-anak yang mulai bisa membaca, menulis, menunjukkan gambar-gambar abstrak hasil karya mereka, berlarian di pekarangan, memanjat pohon jambu di halaman belakang. Seorang teman yang akan membalas tawa, tanya, menunggu kita selesai dengan keluhan yang membuat basah pada mata. Akan tiba saatnya rindu-rindu kita tumbuh subur, walau tak timbulkan rapuh.
 
    Kepada masa lalu, orang-orang yang dahulu sempat jadi kawan menghabiskan sekian detik, langkah terburu, ruang-ruang berisi wajah-wajah lama, kesibukan, kepala dipenuhi benang kusut, adu argumen, sampai saling tuding dan menjatuhkan. Segalanya semerta asing, namun tetap familiar. Saat-saat itu, semua mendadak berubah jadi cerita-cerita menyentuh, cenderung tidak pernah kehabisan bahan bakar untuk direka ulang, padat sekaligus ruah dalam memori.
 
    Akan tiba waktu ketika kita berhenti mengkhawatirkan sesuatu melebihi kapasitas diri. Berhenti merengek terhadap takdir, berhenti menuntut, berhenti mendikte Tuhan tentang ragam carut marut. Akan tiba masa kala sebuah lingkaran kecil menjadi satu-satunya pusat atas rotasi. Senyum-senyum mungil, harapan-harapan yang senantiasa tumbuh setiap hari, kasih yang mendesak rimbun, ledakan intensi pada netra.
 
    Pada suatu masa, kita akan tiba di titik mensyukuri setiap hal dalam genggaman. Terasa manis, tak mustahil timbulkan secercah getir. Tetapi, obatnya selalu tersedia, penawar atas sakitnya tak lebih jauh dari dua jengkal langkah. Tanpa angkara, tanpa luka hingga berdarah-darah. Sebuah ungkapan, "Aku lelah." yang akan kalah tak lebih sedetik dengan sebuah dekap erat dan ajakan, "Mari perbaiki bersama."
 
Sebuah rumah, tempat pulang. Menyediakan setapak lurus demi mengantarkan kita kembali. Tanpa sesal, tanpa lara. Kita menyebutnya; keluarga.
 
***
 
Palembang,
ditulis bertepatan dengan peringatan G30S dan dipublikasikan pada 1 Oktober, sebagai hadiah kepada jiwa-jiwa yang pulang ke rumah Tuhan setelah tragedi berdarah.
 
Siti Sonia Aseka

Selasa, 22 September 2020

[CERPEN] Lilith & Adam

Lilith & Adam

 

"Pernah dengar kisah tentang Lilith dan Adam?" Monalisa memandang lurus pada sepasang netra kelam yang belakangan mencoba akrab dengan miliknya.

"Kamu membaca apa lagi?" temannya di hadapan menghela napas putus asa. "Sudah kubilang, berhenti menggali mitologi yang persentase benarnya nyaris mendekati nol. Itu semua omong kosong, Sa."

"Legenda." ralat Monalisa, kalem. Ia membalik lembar buku Antropologi yang masih ia dalami meski benci setengah mati. Matanya terpaku pada barisan kalimat, melontarkan muak, muak, dan hanya muak dalam benak.

"Lilith sama seperti Adam; diciptakan dari tanah. Itulah mengapa Lilith menganggap ia dengan Adam setara, tak peduli perbedaan perempuan-lelaki yang kerap membuatnya seolah dijadikan nomor dua." Monalisa tersenyum tanpa makna, menyambung, "Lilith lari, dalam rangka membebaskan dirinya dari dinding yang membelenggu. Walau surga katanya adalah sebaik-baik rumah, bagi Lilith, tempat tersebut tidak lebih dari penjara."

Monalisa menggeleng kecil, "Laut merah. Lilith berdiam di sana. Meski sekian utusan telah diperintahkan Tuhan untuk membujuknya, Lilith tetap tak bergeming. Ia membenci anggapan atas-bawah, ia tidak suka segala sesuatu yang dibentuk hanya vertikal."

"Cerita tersebut dibuat untuk menakut-nakuti manusia saja, Sa."

"Masa?" Monalisa mengangkat satu alisnya, sangsi. "Aku hanya ingin memberitahu perihal kesetiaan dan kesalahan dalam bertindak sok kuasa, sebenarnya."

"Ketika Lilith melarikan diri, Adam tak sekalipun mengejarnya. Justru memohon pada Tuhan untuk memberikan pengganti. Dari sanalah Hawwa diciptakan. Tidak lagi tanah, namun berasal dari tulang rusuk Adam sendiri. Tetapi, pernahkah Adam berpikir, bila keegoisannya bisa diredam setitik saja, barangkali ia tidak akan diturunkan ke bumi sebab ulah Hawwa yang terhasut oleh iblis?"

Lawan bicaranya menggeleng pelan beberapa kali, tampak tidak sepakat.

"Kamu percaya takdir?"

Monalisa diam. Kepalanya dimiringkan. Dahinya mengerut tipis, lantas mengangguk agak ragu.

"Kalau begitu, kamu harusnya tahu, bagaimanapun jalannya, dengan atau tanpa tragedi di antara Lilith dengan Adam, mereka tetap akan diturunkan ke bumi."

"Bagaimana dengan Hawwa?" tanya Monalisa skeptis. "Bila Adam cukup sabar menanti Lilith kembali, ia tidak akan merengek meminta perempuan lain kepada Tuhan, kan?"

"Pola takdir mengatakan Hawwa akan tetap ada meski Adam meminta ataupun tidak. Ada ragam cara agar semua hal yang belum dan akan terjadi dinyatakan oleh Tuhan, Sa. Barangkali di luar nalar manusia."

"Menurutmu keputusan Tuhan benar?" Monalisa menangkap raut setenang lautan milik temannya, jemari dari kedua tangan bertaut, berpikir.

"Tuhan tidak pernah salah." ada hembusan napas berat terdengar. "Tetapi, manusialah yang kerap kali mengingkari kekuatan percaya."

Mereka berdua diam. Monalisa menyelam jauh ke dalam samudera pikiran. Tangannya memainkan sebatang pena dan mengetuk meja berirama.

"Sedikit banyak, aku sepakat dengan Lilith." Monalisa mencoba menekan laju suaranya. "Terkadang, kita harus melepaskan sesuatu untuk sesuatu yang lain. Dalam hal ini, Lilith melepaskan Adam demi kebebasan."

"Menurutmu ia bahagia dengan apa yang ia pilih?" tanya temannya, menegapkan punggung. Aroma pengharum ruangan lemon mulai membuat perut bergolak mual.

"Aku tidak mendapatkan informasi penyesalan apapun yang mungkin Lilith rasakan. Jadi, ya. Bagiku, ia sepenuhnya bahagia."

"Menurutku, ia separuh menyesal."

Monalisa terkekeh kecil, "Dan mengapa kamu berpikir demikian?"

"Belum dengar bagian romantis antara Adam dan Lilith, ya?"

Monalisa menggeleng, "Aku bersyukur tidak membaca lembaran tersebut." perempuan itu mengerang geli. "Kupikir aku tidak cocok dengan romansa jenis apapun."

Mereka tertawa pendek. Ada sejemang lega yang mampu ditangkap Monalisa dari binar mata temannya.

"Kamu percaya lelaki dan perempuan setara, kalau begitu?" Monalisa mendongak, mengibaskan tangan saat pertanyaan tersebut dilontarkan.

"Pernah dengar istilah setara tidak selamanya adil?" Monalisa mengetuk permukaan buku yang sedari tadi dibiarkan menganggur. Irisnya mempertemukan sorot tanya dari lawan bicaranya.

"Aku percaya pada jenis-jenis keadilan, dan sedikit ragu dengan anggapan setara. Aku perempuan, tetapi menyatakan diriku sama dengan lelaki dalam segala hal dan memaksakan ihwal tersebut tanpa melihat kembali perkara hak dan kewajiban, rasanya agak… konyol."

"Aku sepakat dalam hal bermasyarakat, lelaki dan perempuan memiliki hak yang sama. Tidak bisa dibatasi A sampai Z. Pekerjaan, pendidikan, pemeliharaan atas hidup, label sebagai entitas dan mendapat porsi sama dalam kemanusiaan. Tidak ada yang bisa melarang seseorang bekerja dan belajar, atau kehilangan kesempatan untuk diperlakukan sama dengan manusia lain hanya karena dia perempuan."

"Lalu?" menyelidik, menguji. Monalisa tahu lawan bicaranya tengah melakukan dua metode tersebut dengan pertanyaan sesingkat gerak awan. Ia terlampau mengerti.

"Di rumah, peran perempuan seringkali disalahartikan. Kodrat perempuan hanya tiga; mengandung, melahirkan, dan menyusui. Pekerjaan rumah tangga seperti memasak, mencuci, bahkan mengurus anak dan sebagainya bukan hanya dilimpahkan pada perempuan, tetapi juga lelaki sebagai penghuni atap yang sama. Sayangnya, masalah justru datang dari kesalahan berpikir berkenaan dengan apa yang harus dan tidak."

Ada anggukan dari seseorang di seberang. Monalisa menghela napas. Matanya sebentar melirik jam dinding yang menempel angkuh pada sekat perpustakaan.

"Jadi itulah yang membuatmu tidak bergerak ke manapun?"

"Tentu saja aku bergerak." Monalisa mendengus terang-terangan. "Kamu bicara soal orang yang datang beberapa waktu lalu?"

Mengangkat bahu, bertindak naif, temannya itu membuat Monalisa mengumpat dalam hati sebab tak ingin terlihat sedemikian bar-bar.

"Aku tidak bisa menerima siapapun yang datang begitu saja seolah tidak diberikan pilihan." putus perempuan tersebut, pelan. "Aku tidak ingin berakhir seperti Lilith; melarikan diri, dilepaskan, menghadapi pengkhianatan, terganti. Aku tidak siap."

"Kamu ingin menjadi seperti Hawwa, kalau begitu?"

"Tidak juga. Aku tentu tidak ingin menjadi nomor dua. Tidak ingin dianggap ada karena kepergian orang lain." Monalisa membiarkan semilir angin dari air conditioner berhembus menerbangkan untaian jilbabnya.

"Aku tidak yakin ingin memiliki kisah seperti siapa. Namun, yang jelas, semesta tidak bisa memaksaku menjadi bagian cabang setelah lama menunggal. Bagiku, tidak ada ganjil atau genap, tidak ada utuh atau separuh. Kita semua bukan bagian dari apa dan siapapun. Kita adalah diri kita sendiri, secara penuh."

Lilith adalah bagian dari perlawanan, pikir Monalisa. Kisah yang memiliki terang meski lebih banyak dianggap getir dan kacau.

"Membaca sesuatu bukan berarti mengimaninya, bukan?" Monalisa tertawa, suaranya jatuh. Padangannya mengambang di udara, berkelana jauh.

"Kamu pikir aku akan menghakimi seseorang hanya karena ia bersedia menghabiskan waktu demi membaca mitologi kuno?" temannya terbahak, sementara Monalisa mengulum senyuman lega. "Aku tidak sekolot itu, Sa. Aku tidak suka kamu membacanya, bukan berarti aku menganggap keyakinanmu terhadap agama ini terkikis kemudian habis."

"Sayangnya beberapa orang, bahkan banyak, berpikir demikian." Monalisa melempar tatap ke luar jendela. Suara adzan ashar sayup terdengar.

"Kita harus berhenti bertindak seolah hakim bagi hidup orang lain, benar kan?"

Monalisa meringis, mengangguk. Perlahan mulai membereskan meja dan barangnya yang berantakan.

"Mempelajari agama dalam rangka semakin dekat dengan Tuhan tidak semerta menjadikan kita justru menjauh dari manusia lain. Beragama bukan untuk marah-marah, apalagi mengkafir-kafirkan. Kasih sayang adalah sesuatu yang dijadikan pedoman. Keindahan hati tidak bisa terlihat apabila benak menyimpan sekelumit benci dan angkara."

Monalisa tertawa, membenarkan.
Tangannya memberikan isyarat untuk bangkit. Mengajak temannya menuju masjid kampus tak seberapa jauh dari sana.

Ada kewajiban yang harus diutamakan ketimbang segala hal duniawi. Ada waktu yang menunggu ditemui setelah panjang rentang digunakan untuk berinteraksi dengan manusia lain, mengurusi pernak-pernik tentang hidup; tersungkur di hadapan Tuhan, merapal sekian doa-doa dalam lima kali sehari.

Kedekatan manusia dengan Tuhan barangkali bisa terlihat dari seberapa lapang dada dan rendah hati seseorang menghadapi macam kusut serta carut marut.

Bagian tersebut, yang harusnya tertanam dalam benak, bukan perlombaan dan argumen tentang siapa yang paling benar.

***

Palembang, 22 September 2020
Siti Sonia Aseka

Urgensi Kemahiran Berbahasa Inggris di Era Modernisasi dan Globalisasi

Urgensi Kemahiran Berbahasa Inggris di Era Modernisasi dan Globalisasi Sejak abad ke-18, bahasa Inggris ditetapkan sebagai bahasa Internasio...