Blogger Perempuan

Blogger Perempuan
Kunjungi laman Blogger Perempuan dan baca tulisan saya melalui link berikut

Selasa, 19 Oktober 2021

Diam Tak Selalu Jadi Jawaban

 

"Kita harus selalu siap bukan, dengan atau tanpa jawaban untuk setiap pertanyaan?"

Anggia tersenyum tipis sembari membiarkan dua gelas berisi minuman diletakkan ke atas meja mereka oleh seorang pelayan.

Jumat sore setelah adzan Ashar berkumandang satu jam lalu. Mereka duduk mengakrabi kedamaian Canala Collective lantai dua, sesekali memandang keramaian jalan raya di bawah sana, lantas hanyut oleh obrolan seputar remeh temeh dunia.

"Seringnya, kubiarkan semua mengambang di udara dan dilupakan saja, ketimbang memberi jawaban menyakiti. Kadang yang demikian secara ajaib lebih bisa diampuni."

Syakala menghela napas, menerawang kejadian sepekan kemarin, ketika seseorang mengganggu tenang dalam hari-harinya.

"Maka ketika dia izin pergi, kamu hanya diam?" Anggia mengerutkan dahi, sementara Syakala mengangkat bahu.

"Dia akan tatap mengambil keputusan itu dengan atau tanpa persetujuanku. Tidak ada bedanya."

"Tapi bagaimana jika ternyata dia menunggumu lugas dalam menginginkannya, Kala?"

Syakala diam, Anggia mendengus. "See? Lain kali, bilang. Sesuatu yang kamu inginkan, juga harus diusahakan."

Penganut paham diam, dan pemilik prinsip 'katakan'. Pada sisa hari kerja, menyambut akhir pekan esok serta lusa, meluruskan benang kusut pada kepala carut marut sudah jadi kebiasaan. Mereka selalu sibuk memikirkan segala jenis deadline Senin sampai Jumat, hingga abai untuk sekadar memvalidasi 'rasa'.

"Ya, kalau memang ada yang namanya lain kali."

Anggia menggeleng, tak habis pikir. Jemarinya meraih kopi susu hangat untuk diseruput pelan-pelan.

"Toh, undangan sudah sampai di tanganku. Kamu akan datang bersamaku, bukan?"

Syakala dan segala keputusannya yang absurd dan membuat gemas, Anggia dengan ketidaksabarannya tentang rute takdir dan penyampaian-penyampaian lambat lagi membuat ngantuk.

Kalau boleh memilih, Anggia ingin sekali berhenti mendukung Syakala dan menyemangatinya dalam menjalani pilihan yang kerap keliru.

"La, apa kamu pernah mencintainya?"

Syakala terkekeh, ujung jilbab biru langitnya melambai terbawa angin.

"Pernah atau tidak, tak ada gunanya."

"Tapi pengakuan haruslah menjadikan semua berhenti sayup-sayup dan tampak kelabu. Biar jadi hitam atau putih saja."

Syakala diam, air mukanya keruh. Anggia tahu, bukankah penyesalan dan rasa khawatir menjadikan manusia semakin ragu? Konsistensi keputusan yang dibuat seolah berubah rapuh. Namun, jalan untuk kembali dan mengubah keadaan jelas tidak pernah ada dalam sejarah peradaban manapun.

Anggia mengerti, perempuan itu maklum. Bukan hal mudah bagi Syakala mengakui di mana hatinya masih labuh dan rebah. Mimpi temannya selalu indah di dermaga tersebut, menunggu kapal di hadapan mengajak berlayar. Tetapi, hari yang diimpikan ternyata tidak akan pernah tiba, tak mungkin menyambut. Sebab jangkarnya telah diangkat, dan satu-satunya penumpang telah bersedia naik menemani nahkoda. Sayangnya, penumpang itu bukan Syakala.

Tidak ada yang patut disalahkan. Toh, tawaran telah dilontarkan, dan Syakala terlampau terkejut untuk sekadar mengiyakan. Pun, semua sudah berlalu dan kesempatan yang sama pernah terulang, namun Syakala terlalu takut untuk menghadapi ombak dan bertemu laut lepas.

Dalam bayangan Anggia, Syakala masih di tempat yang sama, duduk menunggu, sampai kapal baru tandang dan ia siap menaklukkan gelombang.

Sampai saat itu tiba…



Palembang, 19 Oktober 2021
Siti Sonia Aseka

Yang Sama (ternyata) Berbeda

 

Shakila masih perempuan yang sama, yang payung biru pudarnya mekar di bawah langit kelabu dan hujan sesorean itu. Shakila yang selalu berada di sampingnya meski barangkali kalbu si perempuan memaki habis-habisan. Pertemanan adalah sebuah relasi paling aneh melibatkan dua orang bahkan lebih, tak tertulis, tak memerlukan materai atau perjanjian-perjanjian sejenis, hanya dijalani saja, sembari pintu terus dibuka, mengizinkan yang hendak tandang pun pergi keluar-masuk sebagaimana garis waktu dan kesempatan mempertemukan hingga memisahkan manusia.

Akbar mencopot kacamatanya, melirik kopi yang kehilangan uap, lalu meletakkan kepala di sandaran kursi, memejam sejenak. Ia pening bukan main.

"La, ada persediaan aspirin, nggak?"

Lelaki itu mengintip kubikel sebelah yang hening meski cahaya komputer menyala terang, serta suara tak tik terdengar tanpa henti.

"Pusing lagi?" Shakila mengerutkan dahi, namun tangannya segera bergerak membongkar isi tas demi menemukan wadah penyimpanan berisi obat-obatan pribadi yang kerap ia bawa ke sana ke mari.

"Iya, nih."

"Belum makan, kan? Kebetulan aku mau nyemil. Pop mie aja, mau?"

Shakila berdiri, tak peduli pekerjaannya yang setengah nanggung terabaikan beberapa waktu. Perempuan tersebut buru-buru berjalan ke pantry, mendidihkan air, menyeduh dua gelas pop mie untuk dirinya dan Akbar, sekalian membuka kulkas dan meraih sekantung besar roti yang ia bawa dari rumah tadi pagi. Masih tersegel, belum dibuka.

Akbar yang menjelma workaholic sejati membuat Shakila kadang lelah sendiri. Sebagai teman, ia merasa punya tanggung jawab mengawasi Akbar, apalagi menilik orangtua mereka punya hubungan tak kalah dekat. Akbar adalah tetangga masa kecilnya, teman sepermainan, selalu memasuki sekolah yang sama, bertemu di kampus yang sama pula meski berbeda fakultas, sampai hari ini, menjadi dosen di salah satu Universitas Negeri terkemuka di kota mereka.

"Aku bawa roti juga, karena satu cup pop mie doang nggak akan cukup. Kalau kebanyakan, justru nggak sehat."

Akbar terkekeh lemah, menganggukkan kepala sepakat. Shakila memang benar.

"Sebentar lagi Ashar, sebaiknya kita pulang. Kamu jangan lembur dulu hari ini." Shakila berkata setelah mendudukkan diri di sisi temannya, menarik satu kursi terdekat, memecah keheningan ruang dosen yang hanya menyisakan tiga orang, termasuk dirinya dan Akbar.

"Kerjaan masih banyak banget. Sampai jam delapan malam aja, sih. Nggak begitu larut."

Shakila menghela napas, mengalah. Akbar selalu sulit meninggalkan apapun berkaitan dengan pekerjaan. Padahal dulu, ia tak segila kerja ini.

"Okay, kabari kalau kamu sudah pulang. Jangan bohong!"

Akbar nyengir, mengangguk patuh seperti anak kecil terhadap perintah ibunya. Mereka menghabiskan makanan sembari mengobrol kecil, membahas media kelas atau mahasiswa yang membolos, memberi saran sekaligus bertanya.

Baru dua menit mereka kembali ke tempat masing-masing, Adzan berkumandang memenuhi ruangan dari speaker yang sengaja dipasang pada sebuah sudut. Shakila tersentak, ditertawakan oleh Akbar yang sudah siap dengan sandal jepit dan kopiah hitam.

"Aku salat sekalian pulang, deh."

Shakila memberi isyarat tunggu dengan jemari, tergesa menyimpan peralata  dan merapikan mejanya sembari menunggu komputer redup hingga menyisakan sedikit cahaya senja dari celah ventilasi di atas jendela.

Lorong-lorong fakultas terasa sepi. Beberapa mahasiswa masih sibuk dengan laptop di ruang-ruang kelas tanpa suara; fokus, serius. Tangga yang menghubungkan lantai satu dan dua terletak di ujung kanan dan kiri, mengizinkan penghuni gedung memilih untuk turun-naik melalui sisi yang mana.

"Ternyata Alfaro sudah di bawah."

Shakila menginformasikan, sementara Akbar memaksakan sebuah senyuman. Ia mengangguk formalitas, kemudian mengucap istighfar kencang-kencang dalam hati. Walau sudah bilangan bulan berlalu, perasaan yang bercokol kuat dalam dada tak jua begitu saja lenyap ditelan keterbiasaan.

"Udah lama?"

Shakila menyambut Alfaro dengan pandangan dan raut yang demikian cerah sekaligus teduh begitupula sebaliknya.

"Nggak, kok. Tadi kebetulan bertemu Niru, jadi ngobrol dulu di depan."

Shakila mengangguk, kemudian pamit untuk mengambil wudhu, meninggalkan Akbar dan Alfaro yang saling melempar tatap canggung.

Padahal semua sudah selesai dan lembaran baru telah dibuka. Tetapi mengapa rasanya masih seolah baru kemarin?

Akbar tahu, Shakila telah memilih. Alfaro, lelaki yang kini rambutnya basah sebab air wudhu, yang mengimami salat setelah sedikit saling 'menumbalkan' dengan Akbar, yang selalu menang sekian langkah di depannya terutama soal Shakila, yang namanya selalu disebut dengan ekspresi kasih tak terbendung oleh perempuan itu.

"Jangan pulang malam banget, ya!" Shakila sekali lagi mengingatkan setelah mereka semua selesai menunaikan salat. Akbar mengangguk, disusul tanya oleh Alfaro yang dibalas, "Biasalah, Akbar cinta banget sama kerjaan, jadi tepar."

Pasangan suami istri tersebut berlalu setelah pamit dengan salam, meninggalkan Akbar yang masing menatap kedua punggung mereka; nanar lagi getir. Sisa-sisa keberatan dan ketidakterimaan itu masih ada, masih jelas terasa. Tetapi keikhlasan, seperti yang kerap ia rapal tanpa sudah bak mantera, adalah keharusan dan niscaya.

"Bukankah manusia pasti diuji dengan dua hal?"

Akbar ingat, Ibunya menasihati pemuda itu dengan lembut dan hati-hati.

"Terhadap hal-hal yang disukai dan tidak disukainya, Akbar."

Ibu benar.
Lantas mengapa ia masih larut dengan tanya yang juga sudah jelas jawabannya? Mengapa ia masih tak dapat beralih meski Shakila telah memutuskan untuk lupa dan menganggap mereka tak lebih dan tak kurang seindah kala SMP tanpa bumbu-bumbu lainnya? Mengapa hanya Akbar yang tertinggal di belakang bersama segala kenangan?

Adalah kerinduan, membuat manusia menggila sekaligus sembuh. Pun realitas, menyadarkan manusia; tak mungkin ada dua dalam satu.



Palembang, 19 Oktober 2021
Siti Sonia Aseka

Urgensi Kemahiran Berbahasa Inggris di Era Modernisasi dan Globalisasi

Urgensi Kemahiran Berbahasa Inggris di Era Modernisasi dan Globalisasi Sejak abad ke-18, bahasa Inggris ditetapkan sebagai bahasa Internasio...