Blogger Perempuan

Blogger Perempuan
Kunjungi laman Blogger Perempuan dan baca tulisan saya melalui link berikut

Minggu, 17 Maret 2019

Toxic Person

Malam semakin naik, rembulan entah bagaimana terlihat begitu bulat berlomba dengan pekat, menemani gemintang yang tampak berkelip ribuan bahkan jutaan kali. Angin berhembus tak main-main,  menghantar dingin, membekukan nyaris sampai ke tulang. Perempuan dengan sweater sewarna daun tua yang nyaris gugur itu menghela napas, mengeluarkan uap tebal di detik berikutnya sebab intensitas suhu udara yang kian turun. Langkahnya pelan, tubuhnya kelelahan setengah mati, tapi sepasang mata yang seringkali menatap tanpa banyak berkata tersebut masih tetap bersinar, penuh energi umpama bunga-bunga sakura musim semi, ratusan kali mampu mengangkat berton-ton beban setidaknya bagi seseorang.



"Ramai kota, sepi kita." Perempuan tersebut menggumam, lantas tersenyum kecil, menyambung, "Kau ingat puisi Kota Kita itu? Puisi yang pernah kau bacakan di depan kelas dulu."

Pemuda di sampingnya tampak mengangkat kedua alis sebelum tertawa lucu. Ah, puisi, ya? Dia ingat. Ingat sekali.

"Tentu. Kau mau aku bacakan lagi puisinya sekarang?"

"Jangan konyol." Perempuan tersebut tampak kelabakan, hampir melotot besar-besar. "Hal-hal manis macam itu mungkin romantis bagi sebagian orang, tapi untukku… ew. Jangan coba-coba."

Si pemuda dengan tawa bahagia itu menghentikan langkah, memegangi perut, jelas sekali tidak mampu mengendalikan perasaan entah apa yang membuat mulas sampai merinding tak tahu malu.

"Well, tidak terdengar buruk juga. Mengingat kita bahkan pernah bermain-main dengan setangkai mawar dan sekotak cokelat."

Mereka berdua berpandangan sejenak sebelum berbagi tawa lagi. Kenapa ya, kenangan selalu luar biasa mengundang rasa tak habis pikir dan keindahan tanpa tanding dalam satu waktu? Barangkali, bila diminta mengulang masa lalu, mereka tegas menggelengkan kepala, berkata tidak keras-keras. Namun, bila diajak mengingatnya bersama… yeah, bersyukur dan gemas pernah mengalami hal-hal semacam itu adalah hal pertama yang mencuat dalam benak.

"So, how was your day?"

Laki-laki dengan topi hitam dan mata yang sama pekat dengan malam tersebut memandang beberapa detik, sebelum mengarahkan seorang di sampingnya untuk merapat pada pagar pembatas. Mereka tengah memandangi sungai paling terkenal di kota dalam sudut pandang dan kemiringan tepat, menurut perhitungan mereka, setidaknya.

"Menurutmu, bolak-balik sampai tiga kali dalam jarak rumah-kantor itu bagaimana rasanya?"

"Buruk sekali. Pasti melelahkan."

"Tepat. Aku nyaris pura-pura pingsan bila tidak ingat pekerjaanku bisa bertambah dua kali lipat jika meliburkan diri."

Mereka terkekeh, menyaksikan riak air dan samar bunyi kendaraan merambat masuk ke telinga.

"Tenang, beberapa bulan lagi dan semuanya akan selesai dalam sekali kedipan mata. Yang perlu kau lakukan hanya bersabar."

"Ah, ya. Benar. Berdoa saja aku masih hidup hingga saat membahagiakan itu tiba."

"Hey, tidak biasanya kalimatmu pesimis begitu? Seperti pohon tua yang nyaris mati, tak disiram berminggu-minggu, layu."

"Benarkah?" Perempuan dengan mata yang selalu tampak hidup tersebut mendekap tubuhnya sendiri lebih erat, menghalau dingin yang makin menggigit. "Aku hanya lelah saja menghadapi jenis manusia yang tidak ingin kuhadapi." Cicitnya, sarat akan keputusasaan.

"Begitu, ya?"

"Coba pikir, melempar senyum, menyapa, menghadapi mereka berjam-jam, sampai kelu lidah, sampai lelah isi kepala, dan hal-hal macam itu hanya demi profesionalitas. Agar tidak ada sesuatu yang dibatalkan dan mengakibatkan kerugian, agar nama baik perusahaan tetap terjaga. Perlakuan normatif semacam itu saja. Selebihnya, tidak ada."

Perempuan tersebut membalik badan, bersandar pada pagar pembatas. Mendongak demi memandang luasnya langit malam.

"Orang-orang semakin mudah melompat-lompat, seperti kelinci. Mendekat pada yang dianggap tinggi, menyisihkan yang mereka anggap tidak punya kedudukan, tidak penting. Padahal, orang yang terlihat tidak tahu apa-apa, mereka yang banyak berdiam ketimbang bicara barangkali malah lebih tahu segalanya. Manusia jenis demikian sungguh membuat muak. Bagaimana mungkin mereka hidup dengan sebuah topeng demi diterima dan pengakuan sesama saja?"

Pemuda itu tertawa pelan. Mereka membiarkan hening menguasai untuk beberapa menit yang habis dimakan tanya.

"Kau tahu, bahkan ada yang terang-terangan mendeklarasikan diri sebagai bagian dari satu kelompok lalu merendahkan kelompok berbeda. Berpikir kelompoknya yang paling hebat. Bagi mereka, sesuatu seperti itu bukanlah dosa besar yang akan membawa ke neraka. Padahal justru sikap demikian mampu menghancurkan manusia lain tanpa sisa, minimal membuat retak sebelum berubah jadi serpih dan terbang ke udara. Belum lagi berhadapan dengan orang bermental sok kuasa. Sungguh, lebih dari dipaksa memakan seafood atau bertemu toxic person begitu, aku malah lebih memilih opsi pertama. Setidaknya seafood yang tidak akrab dengan lidah dan membuat mual lebih bisa diterima ketimbang mati terkapar kehabisan stok kesabaran menghadapi pongahnya mereka."

Lelaki yang tadinya menatap hamparan sungai itu tertawa kecil. Menghela napas sama lelah dengan perempuan di sampingnya.

"Benar. Setidaknya Bima Sakti ini terasa lebih baik ketika kita menemukan seseorang yang bisa diajak memaki dan membenahi bersamaan."

Mendengus, seorang yang tadi baru saja mengeluarkan setiap penat itu berkata nyaris terbawa angin, "Seperti kita?"

"Ya, seperti kita."

Pemuda tersebut melepas topinya, memandang benda tersebut sebentar lalu berkata lagi, "Tahu tidak, orang-orang semacam itu sebenarnya hanya menyembunyikan ketidakmampuannya saja? Meninggikan diri sendiri, menganggap rendah orang lain, semata agar dirinya mampu sedikit saja merasa berharga. Mencari-cari kebahagiaan di atas pengakuan manusia di sekitarnya. Padahal, jauh dalam benak, ia benar-benar dibalut kecewa dan ditenggelamkan oleh kebencian atas kekurangan yang bahkan tak pernah dapat mereka bagi atau ucapkan."

Lelaki tersebut menatap arloji cokelat di tangannya sekilas. Mengerjap sebelum melontar tanya, meminta kepastian.

"Sudah larut. Ingin pulang sekarang?"

"Aku kehilangan rasa kantuk." Perempuan di sampingnya menatap sepasang mata pekat itu beberapa waktu sebelum tersenyum, memulai penawaran.

"Bagaimana kalau mencari camilan? Ada mini market dua puluh empat jam tak jauh dari sini."

"Dasar tukang makan."

Mereka berdua melanjutkan langkah. Mencoba menghalau lelah yang menumpuk sepanjang minggu, berusaha menghadirkan pikiran positif sebab akhirnya akhir pekan yang kelewat singkat telah datang menunggu.


Siti Sonia Aseka
Palembang, 17 Maret 2019

*Puisi "Kota Kita" merupakan penggalan caption seorang teman di Instagram 

Sabtu, 16 Maret 2019

Sang Bulan

Siti Sonia Aseka
Palembang, 16 Maret 2019

"Perempuan adalah bulan; senantiasa menemani kala mentari yang bersinar terang itu lelah menyinari."



Matahari dengan Bulan.
Saling berbagi, saling memberi, sinergi.
Saat yang satu pergi, maka yang lain rela menjadi pengganti, tak membanding siapa lebih besar dari siapa, atau siapa paling terang dari siapa, juga menuding soal, "Ini cahaya milikku bukan kau."

Mereka seolah menulis ulang semesta untuk satu sama lain. Agar tak ada hukum apapun yang mampu memisahkan, biar tak ada penjara yang harus mereka rasakan.

Barangkali.

Tapi, semua rekayasa dalam bahasa paling indah itu hanya sekedar picisan yang disukai banyak orang, bahkan dijadikan pilihan untuk memperhalus istilah pembagian peran antara laki-laki dengan perempuan.

Padahal, tanpa banyak menyinggung kesetaraan yang jadi keributan serta memicu ricuh perdebatan, kita semua mampu menakar sendiri, apa sih tugas kita dan sesuatu macam apa yang mampu kita jadikan tolok ukur keberhasilan atas aksi, lantas menyulut reaksi?

Maka, mari kita uraikan satu per satu, sebagai perempuan, sebagai manusia yang punya hak untuk memenuhi kewajiban sebelum menuntut dan memaksakan kehendak.

1. Jadilah perempuan merdeka sebelum segala sesuatu. Tidak dijajah oleh paham bahkan doktrin tertentu. Punya hati nurani, gunakan! Sudah menetapkan pilihan? Bersetialah. Jangan gamang, lurus dan jalankan saja.

2. Mandiri! Jangan terbiasa menunggu bantuan dan berlindung atas dasar kelemahan. Kita punya kekuatan, kita bisa bila mau. Jangan jadikan sedikit hambatan sebagai besaran pemberhentian.

3. Jangan manja! Lakukan apa yang dapat dilakukan, tidak terantuk kemalasan apalagi ketergantungan. Malu sama kucing.

4. Please, stop menye-menye. Kita tangguh, tidak perlu memerdukan suara apalagi sengaja dilembut-lembutkan untuk menarik perhatian.

5. Jangan selalu pakai hati! Tolonglah, kemerdekaan bangsa ini tidak lahir dari rasa tidak enak dan takut menyinggung lawan. Selagi benar, hantam saja.

6. Kenali kapasitas diri, agar tidak terkesan menahan dan berlebihan. Semaksimalnya, terus ditingkatkan, TIDAK berusaha sampai mati-matian, berdarah-darah.

7. Love, face and speak yourself!

8. STOP jadi perempuan ribet dan menyusahkan! Framing semacam ini nih, yang membuat perempuan sulit mendapat tempat. Mari perlahan kita hapuskan anggapan demikian. Mau kelihatan cantik itu manusiawi sekali, tapi kalau jadi tampak ribet dan malah menyusahkan diri sendiri, mending pikir-pikir lagi.

9. Learning by doing, jangan banyak tanya, bikin pusing! Ketika akan melakukan sesuatu, plisss... Perhatikan dulu, baru tanyakan. Jangan mulut berkicau, tapi gerak nol besar.

10. Kalau suka lakukan, kalau tidak tinggalkan. Jangan jadi beban orang-orang. Jangan menyita ruang pikir sesama, cukup dirasakan oleh diri sendiri saja.

11. Jangan pernah jadi sok kuat. Lagi sakit, ngaku sajalah! Jaga diri, minum obat, istirahat. Jangan mengharap sembuh tanpa berbuat apa-apa dan malah makin menyiksa diri sendiri.

12. Banyak mendengar, lalu tulis dan ciptakan panggung untuk bicara

13. Wibawa itu segalanya. Pencitraan apa lagi. Tapi yang terpenting adalah jadi diri sendiri

14. Don't ever try to copying anyone! Ini menyebalkan sekali, serius.

15. Temukan cahayamu sendiri, jangan coba-coba mencuri cahaya milik orang lain.

16. Jangan puas dengan sekedar menjadi bayangan. Tunjukkan pesonamu, pada tempat dan waktunya

17. Role model? Boleh saja. Asal tidak mengikis habis dirimu yang sesungguhnya

18. Jadi sukses, kaya, pintar dan diidamkan itu bagus. Tapi lebih penting ketika menjadi orang baik. Attitude beats tallent!

19. Di rumah, jadilah seorang anak, saudara, kakak, adik, bahkan istri. Di kampus, jadilah pelajar, aktivis dan penggiat perubahan. Di lingkungan masyarakat jadilah berguna dan berharga.

20. Punya prinsip itu wajib! Harus memiliki pendirian, jangan gampang digoyang!

21. Jangan sering jaim-jaim, bisa bikin mati!

22. Setiap pergaulan punya batas, setiap jauh pasti punya dekat. Intinya, jangan berlebihan terhadap beberapa orang dan kekurangan pada beberapa yang lain. Anggap semua orang sama rata. Cukup.

23. Pilih-pilih teman itu sesuatu yang harus mulai dijadikan kebiasaan

24. Yuk, mulai temukan tempat terbaik lalu berhenti mencari-cari dengan melanglang kesana kemari. Tidak capek, apa?

25. Baca, baca, baca! Hari gini malas baca? Omonganmu sekedar karbondioksida saja, dong?

26. Eh, cuek ternyata dibutuhkan juga, loh.... Karena keseringan meletakkan hati memiliki kemungkinan besar untuk disakiti.

27. Sesekali, cobalah bercermin, cari kesalahan dan kekeliruan diri, niatkan untuk berubah lalu mulai berbenah. Sebelum kritik orang lain menghampiri dan melukai hati. Tidak ada yang siap disalahkan, tidak ada yang bersedia dihakimi.

28. "I'm sorry I'm bad. I'm just the way I am." Dianggap buruk? Dikritik? Ah, biasa! Jalan terussss....

29. Singkirkan kebaperan, bangun kesehatan logika!

30. Melindungi dan mendukung sesama perempuan itu wajib! Asal jangan melanggar rambu-rambu saja, ya....

31. Mahalkan perhatian, tunjukkan kepedulian, tingkatkan kepekaan, demi kemajuan bersama.


Fiuh....
Banyak, ya?
Iya.
Harus dipatuhi semua?
Harus.

Sebab, menjadi perempuan seutuhnya dengan segala tanggung jawab tertunaikan tuntas adalah tujuan dari setiap langkah dan kebaikan pilihan.

"A good road leads to the beautiful destination."

Ini jalan kita.
Tujuannya? Ya surga.

Selagi diberi ruang, berkaryalah. Selagi memiliki tempat, manfaatkan sebaik dan sebisanya.
Awas, jangan terlena.
Segala sesuatu tidak akan bertahan dan berlangsung selamanya.

Mari jadi perempuan hebat.
Buat mereka mendekat tanpa pandang pangkat.
Berwawasan sehat, berjiwa kuat, tidak bikin orang-orang muak.

Let me ask you, "how are you? How was your day?"
I hope you will always be fine, as always.

A long day, isn't it?

Urgensi Kemahiran Berbahasa Inggris di Era Modernisasi dan Globalisasi

Urgensi Kemahiran Berbahasa Inggris di Era Modernisasi dan Globalisasi Sejak abad ke-18, bahasa Inggris ditetapkan sebagai bahasa Internasio...