Blogger Perempuan

Blogger Perempuan
Kunjungi laman Blogger Perempuan dan baca tulisan saya melalui link berikut

Kamis, 30 Desember 2021

Simpul II: Kaca yang Retak



Saya menulis ini pada jelang akhir November, sembari berbaring dan sesak sebab ingin menangis.

Pada akhir tahun lalu hingga paruh pertama tahun ini, saya banyak merenung sembari bermain-main. Bekerja dengan limit cukup, bosan, berganti pekerjaan beberapa kali, memulai dari awal lagi, beradaptasi dan bertemu orang-orang baru lagi, larut dalam deadline membunuh, berjalan-jalan, bertemu teman-teman lama, dan menertawakan meme-meme lucu di internet.

Kemudian, selepas Hari Raya Idul Fitri, barangkali sepekan atau dua pekan setelahnya, saya menemani seorang teman menghadiri akad nikah teman kami yang lain. Kehujanan dalam perjalanan, berteduh di pom bensin, bedak luntur, wajah pucat, dan bau apek. Tetapi kami tetap mendapatkan banyak foto dan moment terbaik.

Saya ingat, sembari duduk di halaman rumah mempelai perempuan kala menanti waktu ijab qabul. Suasananya syahdu walau agak mendung, beberapa orang tak terkecuali kami mengobrol dalam intonasi tipis dan bisik-bisik.

Kata orang, permintaan dan harapan yang didoakan beberapa saat sebelum dan sesudah ijab qabul berlangsung akan lebih cepat dikembalikan dalam rupa kenyataan. Karena sebuah persaksian, perpindahan bakti, peralihan tanggung jawab dari seorang bapak kepada putrinya menuju sepasang pundak milik suami, dihadiri oleh malaikat berbaris rapi.

Doa-doa apapun, akan lebih cepat diangkut ke langit karena dibawa oleh lebih banyak perantara.

Saya ingat tidak pernah berdoa luar biasa serius sebelumnya. Atau mungkin pernah, satu dua kali dalam hidup, saat masih begitu muda. Tetapi, hari itu saya berdoa, menundukkan kepala dalam-dalam, hampir menitikkan air mata saat kata SAH membahana. Di kursi sebelah, kawan yang saya temani melakukan hal yang sama. Ya, kami berdoa, berdoa tanpa suara meski barangkali benak berteriak seperti orang gila.

Lalu melompati bulan-bulan setelahnya, saya lagi-lagi terjebak dalam rutinitas yang sama, dalam lingkaran 'hampir' beberapa kali, menatap laptop, menulis ini-itu, menyiapkan presentasi, rapat, menyusun notulensi, menyampaikan ide, lalu kembali menghibur diri dengan internet, menonton dan membaca banyak hal, berkirim pesan dengan beberapa orang, lalu larut lagi dalam pikiran yang itu-itu saja.

Lalu akhirnya, saya menyampaikan kabar baik melalui media sosial dan aplikasi pengantar pesan, sesuatu yang sudah saya rencanakan sekian lama; pernikahan. Ya, saya akan menikah. Akan. Setelah proses panjang yang tidak mudah, melibatkan begitu banyak orang, emosi campur aduk, lalu membulatkan konklusi dengan logika terbaik, bahwa saya siap, bahwa saya mampu, dan bahwa saya akan memenuhi satu sunnah, sebuah anjuran. Bahwa saya, kami, sepakat akan melantunkan sebuah janji yang disaksikan langit dan bumi.

Sebisa mungkin tidak membawa terlalu banyak perasaan. Mengesampingkan semuanya. Cukup dengan sujud-sujud panjang tak berkesudahan, mencari penguatan untuk menjawab cabang-cabang tanya dalam kepala.

Namun, entah, saya selalu punya dua sudut pandang saat berhadapan dengan sebuah situasi. Saya merasa senang, sekaligus terluka. Saya merasa bahagia, sekaligus merana.

Saya mendapatkan sekian doa dari orang-orang baik, ucapan selamat, dan dukungan. Saya menerima sekian nasihat dengan hati terbuka dan tangan merentang. Tetapi, sayang sekali, beberapa orang yang saya harap berada di garis terdepan dalam kebahagiaan itu, ternyata tidak ada di sana untuk menggenggam syukur yang sama.

Dengan satu undangan dan kabar baik, ternyata saya bisa kehilangan beberapa teman, kehilangan sahabat bahkan, kehilangan orang-orang yang bertahun menyusuri jalan yang sama dengan saya.

Rasanya aneh dan getir. Bahwa kemudian hidup memang bergerak menjauhkan dan mendekatkan manusia, memberi pelajaran sekaligus pengajaran, mengantarkan ke satu tempat menuju tempat-tempat lainnya. Tanpa menunggu, tanpa meminta izin lebih dulu. Manusia dipertemukan dan dipisahkan karena takdir yang mengikat, bahkan sebelum bumi diciptakan dan Adam ditiupkan ruh di surga sana.

Barangkali memang sudah masanya manusia berhenti bertemu dan terlibat dengan manusia lain. Sudah saatnya saya berhenti menjadi rimbun yang meneduhkan, atau angin sepoi-sepoi yang menaklukkan dahan pohon. Saya harus berhenti membuka pintu dan perlu menutupnya rapat-rapat.

Karena sudah waktunya membiarkan yang sekadar singgah pergi dan yang menjanjikan sebuah tetap untuk tinggal selamanya. Meski menyakitkan, walau kesiapan itu belum tampak bentuknya, dan tanda-tanda keikhlasan masih jauh panggang dari api. Namun, relasi bukanlah hal sembarangan yang bisa disepelekan hanya karena ketakutan untuk memulai dari nol lagi.

Tepat dan tetap; bagaimana ketentuan-Nya tidak akan berubah hanya karena desakan manusia. Pengaturan-Nya selalu menyelamatkan berbagai situasi, jawaban-Nya tak pernah melenceng jauh dari permintaan dan kehendak hati. Manusialah yang kerap memaksakan kehendak. Manusialah yang selalu merasa berhak menyusun rencana dan berpenghidupan. Manusialah yang seringkali menyulitkan diri sendiri.

Saya paham, bagaimana barangkali duka mendera sanubari orang-orang. Saya mengerti dan coba memahami. Saya peduli dan tak hendak menutup mata atas rasa sakit yang telah manusia alami. Namun rasanya tak adil ketika pada sepetak halaman bernama hidup, beberapa sosok hanya sibuk merayakan luka-lukanya. Memaksa orang-orang menyalakan kembang api atas pesta pora yang mereka sebut merana.



Dengan keengganan itu, saya terluka. Dengan penolakan-penolakan, saya berduka. Dan dengan pilihan menjauh sampai tak hingga hanya demi menyelamatkan perasaan sendiri, buahnya kecewa.

Tetapi kata-kata saja, jelas tidak akan menyelamatkan apa-apa. Saya tahu, saya tidak bisa merekatkan kembali pecahan kaca dan mengembalikannya seperti sedia kala. Kerusakan yang ada, mustahil mampu saya ubah jadi sempurna. Maka, saya berdoa, bagaimanapun dan ke manapun masa depan membawa kita, semoga, tak ada lagi luka-luka yang sama menyerang kalbu sampai hancur nan nelangsa.

Aamiin.

Dipublikasi di:

Palembang, 30 Desember 2021

Siti Sonia Aseka

Minggu, 26 Desember 2021

Simpul I: Menjawab Tanya Soal 'Mengapa?'


Setidaknya beberapa tahun lalu, sebelum usia menyentuh angka 20, pernikahan selalu jadi kata paling mengerikan. Jauh sebelum itu, justru wacana menikah menjadi sesuatu yang jauh, amat jauh. Spesifikasi usia 'sebelum dua puluh lima' yang dibangun oleh masyarakat, membuat ketakutan dan rasa canggung melompat-lompat meriah dalam benak. Kenapa harus? Mengapa menikah seolah dijadikan taraf pencapaian tertinggi dalam hidup? Dan mengapa saya perlu terjebak dalam gelembung cara berpikir yang salah ini lantas suka tidak suka menerimanya dengan tangan terbuka? Sampai pada kesimpulan bahwa barangkali sepanjang usia, saya siap bila hanya sendiri; tidak memercayakan jiwa dan raga pada seseorang dalam sebuah naungan bernama pernikahan.

Waktu kembali berlalu, saya mendewasa, pikiran tersebut hilang-timbul, tersendat sebab restu. Orangtua mengerutkan dahi sembari napas memburu, bertanya sekaligus menahan emosi, barangkali. "Kenapa harus sendiri bila bisa berdua?"

Pertanyaan yang sungguh sebenarnya bisa saya balikkan menjadi, "Mengapa harus berdua bila bisa sendiri?"

Tetapi tentu, tidak akan habis perkara bila bertarung argumen sementara kita tahu, landasan dalam diri pun belum seberapa kokoh. Kemudian saya diam dan percakapan tersebut menguar, seolah tak pernah terjadi. 

Sampai di usia dua puluh tiga, saat undangan kian banyak, menggunung, terutama jelang akhir tahun. Saat pola pikir saya sepenuhnya berubah dan saya merasa bahwa menutup diri selamanya untuk sebuah gagasan kepemilikan secara utuh bukan lagi prioritas. Saya masih bisa menjadi berbagai bentuk dengan status seorang istri, bahkan ibu. Sudah waktunya saya berdamai dengan krisis kepercayaan yang menghantui bertahun-tahun. Sudah masanya pula saya belajar berbagi secara konstan dan tanpa sudah dengan seseorang, yang dengannya saya kelak menghabiskan sisa usia. Sudah saatnya saya menyempurnakan yang telah genap (sebab saya bukanlah ganjil dan saya percaya, semua orang demikian. Kita tidak timpang).

Saya akhirnya berlapang dada, mendoakan masa depan, dengan siapapun, bagaimanapun, dan kapanpun kedatangan seseorang untuk memberi warna baru dalam hidup; saya pastikan, saya siap.

Waktu berputar lagi, saya berjalan di atas setapak bernama rencana. Sekian gagasan muncul, beberapa kali bertanya pada diri, tak jemu, tak semu, "Betulkah ini yang kau cari, Son?"

Bulan berlalu, kegiatan masih itu-itu saja, orang-orang yang sama, tempat-tempat tak berbeda. Doa-doa saya, belum tampak tanda pengabulannya.

Pada suatu senja mendung, seorang teman bertandang dalam rupa pesan singkat, membawa setumpuk niat baik yang masih saya ingat isinya lekat-lekat, berusaha menjadi jembatan penghubung yang menyongsong dua orang.

Kita adalah rimbun-rimbun akal sehat, tak lupa dilengkapi kebesaran hati seluas dan selapang samudera. Maka dengan pertimbangan yang tak sebentar, melibatkan sekian argumen dan pergulatan dalam diri, melampaui segala egoisme dan harapan-harapan tak perlu, saya membulatkan tekad untuk mencoba.

Manusia sejatinya berada di ruang tunggu. Keniscayaan dalam menanti menjadikan kita tumbuh, lalu segala keindahan perpaduan antara khawatir hingga lega, membuat yang hampa jadi penuh.

Menghitung daun gugur, mereka seberapa banyak hujan turun, lantas mengekor takdir. Langkah seorang lelaki tiba di depan rumah, setelah barangkali sekian tidur tak pulas dan kepala bak pesawat ulang alik. Setelah debat-debat internal di kepala, lelaki itu sampai dengan senyum mekar dan rona wajah ibarat mawar masak.

Dari sekian opsi yang mungkin tersedia, dari beberapa nama yang bisa jadi lebih pantas diseleksi dan dimajukan atas dasar logika, kecondongan ternyata membawa ia bertandang pada siang hari itu, gugup dan kaku.

Mengeja hari demi hari, tiba pada Desember penuh badai, awal bulan tersebut dipenuhi kesibukan dan bayangan soal masa depan. Akad berlangsung, khidmat, haru, dan membahagiakan. Bahwa setelah panjang perjalanan diiringi drama, kesaksian di hadapan langit dan bumi menjadikan tanggung jawab berpindah pada sepasang pundak baru. Peralihan bakti dari ayah kepada suami.

Kami adalah dua orang dengan luka-luka yang bersepakat berdampingan, berdamai, dengan remah-remah masa lalu. Tetapi pernikahan bukan hanya soal hari ini. Pernikahan selalu disesaki oleh visi dan misi, keharusan memegang kompas agar tak kehilangan arah, tentang komunikasi yang baik antara nahkoda dan awak, soal merawat bahtera agar tak rusak dan karam. Pernikahan adalah kemegahan yang bahagianya selalu manusia upayakan.

Dengan proses yang benar, ia berkah. Dengan niat karena Allah, ia berkah. Dengan kerendahan hati dan sebenar-benar penerimaan, ia berkah.

Sebab, tidak ada harapan terbaik selain hanya berharap kepada Allah.

Karena menikah adalah soal memilih, dan kelengkapan kriteria tak semerta dapat kita temukan hanya dalam satu sosok. Maka pilihlah dengan melibatkan Allah, pilihlah ia yang hatimu tenang saat memikirkan masa depan pun membicarakan ragam rencana bersamanya. Pilihlah ia yang tidak akan membuatmu merasa kalah atau payah. Dan bagaimana cara mengetahuinya? You just know. You JUST know.

Sebab manusia lahir dari ekspektasi, berkembang dalam medium tak sederhana, amat wajar apabila kepala menyusun begitu banyak andai-andai. Menerka, cenderung mendikte soal keindahan-keindahan. Namun, apabila boleh memberi saran, pernikahan bukan sarana yang tepat untuk mencari dan memburu macam-macam Utopia. Pernikahan adalah ruang penuh sesak oleh kepentingan sekaligus peristirahatan. Maka sungguh, konflik sampai perbedaan adalah mutlak dan niscaya.

"Berlapang dadalah sebanyak-banyaknya saja."

Palembang, 26 Desember 2021

Siti Sonia Aseka

Jumat, 10 Desember 2021

sepetak ruang hampa




Pada sepetak ruang hampa, kita percaya bahwa sendiri tak pernah lebih baik ketimbang harus membagi segala jenis rasa sebelum sempat memiliki dan menggenapi timpang dalam lekuk suka cita.

Pada langit yang kadang kemilau, kadang membiru pucat, manusia bernaung, membenahi sekian rusak dan malfungsi, menapak setapak atau sekadar menyaksikan ramai jalan raya yang kerap melenakan nan menguji.
Dan kita masih sering, melarikan diri dari setumpuk kenyataan, bahwa berakhir terkadang membiarkan salah satu bahkan keduanya luka. Bahwa mungkin juga, dengan berbagi segala macam rahasia, manusia bisa saling menutupi lubang bernama merana.
Hari masih berjalan setelah pertemuan sarat akan ketidaksiapan; katanya, manusia memang akan dihadapkan pada keinginan pun kebencian, keramahan sampai angkara, dan berdamai. Entah dengan mundur atau maju terus jalan
Bahwa barangkali, kesetengahhatian itulah yang mengantarkan kita sampai gerbang untuk benar-benar melepaskan dan tak hendak menoleh lagi ke belakang
Sebab apapun akan menjadi senyap, digiring oleh takdir, dibawa dengan menari diiringi lagu-lagu sedih tetapi kosong dan tak meninggalkan arti.
Yang kita pikir adalah tujuan, ternyata cuma persinggahan, sebentar saja, untuk mengobati yang sakit, atau menghadirkan senyum sarat akan maklum, belajar memberi dan menerima, untuk berkorban dan berjuang, sampai entah, tak hingga
Anehnya, kita terkadang masih sulit menerima, lalu meratap, menyalahkan takdir hingga orang lain. Bertanya dan terus bertanya, menjadi menyebalkan bagi semesta yang mulanya riang gembira
Kebetulan memang ada, tetapi kesia-siaan tidaklah mutlak merugikan. Kepala kita, harusnya diisi oleh rumpun dorongan, bukan cuma harapan dengan mati sebagai kepasrahan

Hari paling buruk telah berlalu
Dan namamu, masih jadi puisi yang kerap kurindu
Tetapi kita tidak boleh kehilangan arah, meski rumah yang kita pikir selamanya, justru hanya sementara.

Rabu, 17 November 2021

A Goodbye to Forever

 


Daren tidak pernah sudi berada di situasi sulit. Duduk berdua dengan sahabat baiknya sembari membicarakan soal perasaan, di meja dengan hidangan junk food kesukaan mereka pula, misalnya.


"Wow, berita sebesar ini dan aku baru diberitahu sekarang?" Daren terang-terangan protes, sementara di seberang sana, perempuan bermata cokelat terang menatap separuh bersalah.


"Sorry. Kamu kelihatan sibuk banget. Kita bahkan sudah lama nggak lunch bareng atau lari pagi sejak… you know, works." Kinara mengangkat kedua bahu, seolah itu semua perkara sepele.


"Ya, dan tiba-tiba kamu membajak Sabtu pagiku, mengajak brunch, dan mengabarkan soal tanggal pernikahan?"


"Ren, come on. Maaf, oke? Kupikir masalah ini nggak seharusnya disampaikan melalui pesan singkat atau telepon, that's why aku mencari waktu yang tepat. Mana kutahu kalau waktu yang tepat itu ternyata sebulan sebelum pernikahan diselenggarakan."


Daren mendengus. Burger yang biasanya terlihat menggoda, hari ini berubah memuakkan. Entah karena kondisi hatinya yang buruk, atau sesederhana ia masih tidak terima dengan sikap Kinara.


"Sembilan tahun dan kayaknya nggak berarti apa-apa." Daren menyindir, tangannya mendorong piring berisi burger ke tengah meja, enggan. "Well, apa lagi kejutan yang kamu bawa hari ini?"


Kini, Kinara tidak bisa menahan rasa penasarannya. Perempuan tersebut mengerutkan dahi, mencoba menganalisis perubahan Daren sejak menjemputnya di rumah tadi hingga duduk di kafe ini dan mendengar kabar membahagiakan yang Kinara bawa.


"Kamu masih nggak jago poker face, tahu?" Kinara menghembuskan napas, bersabar. "Seperti katamu tadi, sembilan tahun. Aku nyaris hapal semua kebiasaanmu tanpa perlu kamu jelaskan lebih dulu. Dan kupikir, kamu juga begitu. Sedih, kecewa, marah, bahagia, kamu punya sinyalmu sendiri. Kali ini, reaksimu bukan bagian dari empat jenis perasaan itu. Aku benar?"


Daren masib menatap Kinara dalam-dalam, mencoba meminta perempuan itu berhenti dan tidak melanjutkan kalimat.


"Aku ingat awal mulanya. Tiga tahun lalu, orang-orang mulai menjodoh-jodohkan kita. Sekadar candaan, memang. Tapi beberapa justru serius seolah membukakan jalan buat kita. Kita, Ren. Yang bahkan mengenal satu sama lain lebih jauh ketimbang kulit luar saja."


"Ra, kamu ngelantur."


"Mungkin." Kinara terkekeh, getir. "Tapi aku belum selesai."


Kinara melanjutkan, suaranya bergetar. "Aku menemukan kamu terbebani, sesuatu yang kubenci. Padahal kita hanya harus tutup telinga atau tidak memasukkan bulat-bulat dalam hati. Toh, kita cuma harus hidup seperti sebelumnya, dan gosip-gosip itu akan hilang ditelan angin. Tapi sebaliknya, kita malah berjarak, sangat jauh sampai kupikir aku telah kehilangan sahabat hanya karena this fuck up society."


Di luar, cuaca cerah dengan matahari naik lebih tinggi. Pengunjung kafe mondar mandir, antrean menguar nyaris sampai pintu masuk.


"Ren, ini pertama kalinya aku mau meminta maaf. Barangkali satu dua sikapku dan perlakuan orang-orang menyita ruang pikirmu."


"You don't need to."


"Akhirnya semua drama ini selesai. Aku akan menikah dengan lelaki pilihanku dan kamu akan bebas dari sekian anggapan orang tentang kita yang barangkali memenjarakanmu. Kamu tidak lagi seolah ditekan untuk hanya bersama denganku. Kamu bisa bernapas lega sekarang."


Satu sudut bibir Daren naik, menampilkan senyum sinis. Ia menyeruput kopinya, berusaha keras menyembunyikan kecewa.


"Yeah, Ra, seperti biasa, kamu selalu sok tahu."


Dahi Kinara mengerut, alisnya hampir bertemu. Tetapi Daren justru melempar pandang pada keramaian jalan raya, mengabaikan tatap bertanya dari sahabatnya.


"Lupakan. Jadi, siapa? Siapa laki-laki kurang beruntung itu?"


Kinara mengerang, kesal karena seolah direndahkan namun juga senang karena sepertinya Daren yang ia tahu sudah kembali.


"Mas Akbar, kamu pasti kenal."


Ah, ya. Akbar. Daren membatin. Siapa yang tidak kenal? Lelaki lurus dan pendiam itu, kakak tingkat berbeda fakultas dengan mereka di kampus, ternyata berhasil menaklukkan Kinara dengan segala keanehannya.


"Dia… orang yang baik."


"See?" Kinara berseru, girang. "Aku tahu kamu pasti bakal sependapat denganku."


Kinara lalu berceloteh. Tentang pertemuannya dengan Akbar, tentang insiden di Lombok, tentang Akbar yang menyelamatkannya dari situasi sulit, soal kesalahpahaman yang sempat terjadi, hingga lamaran Akbar yang sangat tidak romantis.


"Kamu bahagia, Ra?"


"Sangat!"


Daren tersenyum, memukul mundur penyesalan, menghibur duka yang tumpah ruah dalam benak. Ia mengaduk kopi tanpa henti dan meneguk cairan pekat tersebut sampai ampas-ampasnya. Masih kalah pahit dengan kenyataan yang harus ia telan.


"I'm happy for you. You should know that." Daren menggumam. "Tapi, boleh aku jujur hari ini saja, Ra?"


Kinara memiringkan kepala, jemari lentiknya berhenti memainkan sedotan pada minuman bergelas tinggi, menyimak sungguh-sungguh, kemudian membulatkan mata, terkejut, sekaligus… terluka.



***



"Kalau waktu bisa diputar, akan tetap ada dua kemungkinan; aku jujur dengan perasaanku, atau lagi-lagi membiarkanmu berlalu dan siap menerima kenyataan bahwa tidak selalu semesta memberi kita kesempatan kedua. Dan aku menghargainya."



Daren datang terlambat, sengaja tidak menghadiri akad nikah dan hanya berpenampilan terbaik dengan setelan batik lengan panjang untuk mengambil barang sebuah moment foto bersama. Ada segudang alasan yang sudah ia siapkan, untuk berjaga-jaga. Agar ia tidak gagap ditanya soal keterlambatan, atau mengapa lingkaran di bawah matanya jauh menghitam.


Syukurlah, atau malah sialnya, tidak ada yang bertanya. Barangkali semua orang maklum, mungkin memang tidak ada yang harus diperjelas.


"Lo tahu kan, pengakuan lo ke Kinara nggak bakal mengubah apa-apa? Dia dan Mas Akbar akan tetap menikah, dan kalian akan selamanya jadi sahabat. That's it. Ren, lo harusnya ngerti pilihan itu nggak berlaku abadi. Lepaskan atau ikhlaskan, betul?"


Daren ingat percakapannya dengan Radit, dan tanggapan apa yang ia lontarkan.


"Gue paham." 
"Lo pemberani, bro. Gue akui. Cuma memang selalu ada istilah pahlawan kesiangan dan polisi India di dunia ini, kan?"


Daren tersenyum, miris. 
Terlambat. Ia memaknai ucapan Radit. Ya, ia memang luar biasa terlambat.


"Tapi kalaupun lo nyolong start duluan, Kinara juga belum tentu nerima lo, kan? Karena esensi takdir memang begitu; apa yang ditakdirkan buat lo, akan jadi milik lo. Kalau nggak, ya sudah. Byebye."


Maka Daren memasang satu senyum template, naik ke atas panggung, masuk dalam barisan teman-temannya untuk berfoto, mengobrol dengan beberapa orang, dan meladeni satu dua gurauan. Ia tertawa secukupnya, lalu izin pamit bahkan sebelum makan siang.


Tak mengapa, ia bisa mampir di salah satu kedai favoritnya dan Kinara, menikmati menu yang jadi andalan mereka, sembari bernostalgia tentang masa lampau yang kini hanya akan jadi kenangan. Merapal ulang tawa, membongkar ingatan sekali lagi, lalu pulang dan melupakan.


Hidup memang demikian, bukan?



***



Palembang, 17 November 2021 
Siti Sonia Aseka


Sabtu, 13 November 2021

Bunga Milik Tuhan (1)



2014, Yogyakarta

Nara


"Mo, aku dipecat."
"Hm?"
"Aku lelah."
"Hm…"
"Aku mau mati saja."
"Oh…"

Aku tahu Bimo benar-benar terdengar seperti habis-habisan tidak peduli. Tetapi, aku mengenalnya lebih lama dari separuh umurku untuk sadar bahwa sebenarnya ia cuma sedang menyusun kalimat telak demi membuatku berhenti.

"Aku merasa… nggak berguna."

Bimo masih membalik lembar diktat tebalnya ketika aku memutuskan rebah di atas sofa, memandang langit-langit, memutar ulang memori saat aku harus keluar dari ruang Pak Dar, (mantan) atasanku, dengan status pengangguran pagi tadi. Setelah dua tahun, ceritaku di kantor itu ternyata harus berakhir cukup tragis.

"Mo, kamu sibuk?"
"Like you see…"

Aku menghela napas. Tertatih bangkit, berpikir untuk mengungsi ke kedai kopi kekinian di seberang apartement Bimo saja sampai pemilik kamar cukup menyenangkan dalam menerima tamu yang tengah patah hati.

"Mau ke mana?"
"Canala Collective, as usual."
"Ngapain?"
Aku mendengus, "Ngopi, I guess?"

Bimo berdecak, menyimpan lembar word buru-buru setelah memastikan segalanya cukup. Ia bangkit, meraih jaket yang tergantung di belakang pintu, kemudian menoleh ke arahku. Ia mengangkat sebelah alis, memberi isyarat dengan kepala.

"Ayo, katanya mau ngopi?"


***


"Kamu nggak usah pulang. Malam ini mau makan apa?"

Aku meminum Chocolate Signature dengan pandangan hampa. Kepalaku yang panas seperti terserang pembekuan otak mendadak. Di depan sana, Bimo mengunyah cake melon santai. Ada krim di sudut bibirnya dan aku menghela napas kasar. Orang ini selalu makan dengan cara berantakan.

"Martabak."
Bimo menggeleng, "Nasi. Bukan yang lain."

Kuletakkan kepala di antara kedua lengan yang terbuka. Dahiku terantuk permukaan meja pelan, merasa menemukan jalan buntu. Bahkan sesederhana ingin makan apa saja aku tak mampu memutuskan. Semuanya lumpuh.

"Ayam bakar limau? Ada resto baru dua blok dari sini, sih. Reviewnya bagus."
"Okay."

Bimo terkekeh. Ia secara sembarangan menarik gelasku, lalu menyeruput minuman di dalam sana seolah ia memilikinya sejak awal. Terlalu lelah untuk berdebat pun marah-marah, kubiarkan Bimo melalukan apa yang ia inginkan. Hanya sampai segalanya kembali tenang, setidaknya badai dalam kepalaku.

"Semua akan berlalu, La. Sedihmu, dukamu. Suatu saat kamu akan melihat segala kegagalan ini dari puncak kesuksesan, dan itu membahagiakan."

Aku menyahut lemah. Merasa segala motivasi tidak akan berguna sebab aku jelas-jelas kehabisan ide untuk melakukan apa demi mendapatkan pundi-pundi uang. Aku bukan Bimo yang hanya harus belajar dan memantaskan diri, menanti waktu sampai dianggap layak mewarisi usaha keluarga. Aku hanya anak seorang pensiunan pegawai negeri yang harus berusaha memenuhi kebutuhan hidup bahkan sebelum studiku selesai.

Kepalaku kembali berdenyut. Dan aku mengerang, putus asa.


***


2020, Palembang

Aku menatap pojok fiksi dengan pandangan kosong. Buku yang kucari ternyata belum tiba di sini. Rasanya menyebalkan. Pandemi menyebabkan segala pembatasan dilakukan, tak terkecuali agenda hunting buku di bookstore langganan. Tetapi adalah percuma kembali dengan tangan hampa, bukan? Maka kutelusuri rak-rak tersebut, membongkar wishlist di ponsel dan menemukan satu dua judul buku yang harusnya telah kubeli sejak awal tahun apabila kekacauan dunia tidak terjadi.

"Nara?"

Aku menoleh. Menemukan lelaki dengan setelan slimfit biru langit dan rambut klimis, rapi. Kacamatanya menggantung di antara hidung ramping dan tajam. Seketika, aku melebarkan mata.

"Bimo?'

Kami tertawa. Rona pada wajah lawan bicaraku semakin jelas. Matanya yang kelam berseri-seri, begitupula lesung pada pipinya yang bersih saat ia menarik masker hingga dagu sekejap. Kuakui ingatannya cukup peka, masih dapat mengenaliku walau penampilan sudah jauh berbeda. Sekarang, sebuah jilbab melekat menutupi rambut, keputusan yang kuambil sekitar setahun lalu.

"Ketemu di sini? Been years!"

Bimo mendekat. Aku menangkap tiga buku metropop yang ia genggam erat. Sejak kapan selera baca orang ini berubah sekian derajat?

"Metropop? Kupikir kamu benci fiksi."
Bimo terkekeh. "Bukan buatku."
"Lalu?" Aku memicing. Menemukan sorot malu-malu yang amat langka Bimo tunjukkan.
"Calon istri."

Aku bertepuk tangan tiga kali. Sementara Bimo mengusap belakang kepalanya, salah tingkah.

"Wow, jadi kapan? Ah, aku harus marah karena tidak dikabari lebih awal."

Bimo meringis, sebelah tangannya yang bebas ia selipkan ke dalam saku.

"Kamu menghilang dari radar sekian lama. Maaf. Harusnya aku mencarimu lebih keras, Ra."

"Eh, nggak masalah!" Aku nyengir. Kembali berbelok, memindai buku apa lagi yang harus kumasukkan dalam tas hitam yang disediakan toko ini.

"Kamu ke mana saja, sih? Nomormu langsung nggak aktif setelah lulus dan pulang kampung." cercanya, gencar.

"Menenangkan diri dong, Mo. Nomor lamaku itu milik sejuta umat, sebarannya sudah ke mana-mana. Mengerikan juga. Jadi lebih baik diganti."

Ia mengangguk setuju. "Tapi setidaknya kasih kabar, dong."

"Sorry, my bad. Padahal kita satu kota, ya. Memang dasar mainnya kurang jauh saja."

"Setelah ini langsung pulang?"

Aku melirik Bimo sebentar, lalu beralih memeriksa waktu pada jam tangan. Nyaris pukul empat.

"Iya. Tapi sepertinya mau salat dulu di bawah."

Bimo tersenyum, matanya menyipit berbentuk sabit. "Ayo deh, aku juga belum salat ashar, nih."


***


Senja dari lantai lima pusat perbelanjaan ini cukup aneh. Selain karena pemandangan kota yang terlalu jujur dengan kabut polusi, aku juga dapat menemukan puncak gedung-gedung pencakar langit terputus ditelan awan, tampak kusam, sekaligus dingin. Padahal dari titik dan ketinggian lain, semua terlihat lebih normal dan manusiawi.

"Jangan melamun!" Bimo mendorong sebuah galas berisi jus mangga mendekat padaku dan tersenyum jahil. "Apa yang kamu pikirin, sih?"

"Nggak ada, aku kan nggak suka mikir."

Bimo tertawa lagi. Sepertinya ia memang jadi lebih sering tertawa. Kerut pada sisi matanya menjelaskan semua.

"Bulan depan, sekarang masih sibuk bertemu WO, mencari A sampai Z yang perlu dibeli." katanya saat kutanya kapan hari bahagia itu tiba.

"Siapa?"

Bimo mencicit, "Kamu kenal orangnya."

"Ya siapaaa?"

"Zalina Atmajaya, teman sebangkumu di kelas sebelas."

Aku terkesiap, namun tak ayal memberi satu acungan jempol, terkesima. "Dia terlalu baik buat kamu!"

"Heh, aku nggak sehina itu ya!"

Aku terbahak, lalu mendengarkan Bimo berceloteh tentang pertemuannya dengan Zalina sepulang ia dari Yogya, mengenal lagi setelah bertahun tak bertemu, menghadap orangtua masing-masing, lalu merencanakan pernikahan. Terdengar sederhana, indah tanpa hambatan, seperti dongeng.

"Kamu akan datang, kan? Kamu nggak ke mana-mana?"

Aku mengangkat bahu, nyengir. "Memangnya harus ke mana? Aku nggak akan beranjak ke manapun lagi. Kota ini sudah memberikan segalanya, kok."


***


Aku melambaikan tangan, tersenyum lebar pada Zalina yang baru tiba. Teman SMA-ku itu tertawa singkat, lalu bergegas menyongsongku pada sebuah meja dan kursi besi. Kami membuat janji bertemu setelah Bimo bercerita pada Zalina tentang pertemuan tidak sengaja di toko buku, lalu beralih menghubungiku dengan dalih minta ditemani ke IKEA untuk mencari perkakas rumah tangga.

Perempuan ini masih secantik dahulu dan seanggun biasanya. Aku ingat, Zalina selalu jadi pusat perhatian di sekolah karena nilai-nilainya yang menakjubkan dan keaktifannya di Rohis serta OSIS. Permata yang bernilai, memang. Bimo selalu tahu mana yang terbaik.

"Nara! Ya ampun, Bimo uring-uringan karena nggak bisa menemukan kamu saat undangan kami selesai dicetak." ia meringis, "Finally, kamu ada di hadapanku sekarang!"

Kukedipkan mata dua kali, pura-pura sebal. "Bimo mencari pakai mata kaki, kali?"

Zalina tertawa. Bahkan melodi tawanya saja terdengar demikian merdu.

"Wanna be my bridesmaid, Ra? Please, I beg you."

Aku menghela napas, mengambil jeda dengan pura-pura menelan cookies yang disediakan kafetaria ini. Sengaja membuat Zalina menunggu.

"Ra!" tegurnya, melotot.

"Fine." Terkekeh kecil, kuanggukkan kepala, sepakat. Aku tentu tidak berniat menolak sejak awal.

Kami terlibat obrolan seru seputar kehidupan sembari menanti Bimo yang baru bisa keluar kantor pada pukul dua. Ia memang sempat berkata sedang dikejar deadline akhir bulan ini sebelum masa cuti disetujui.

"Gimana rasanya? Lega?" Aku berusaha menggoda Zalina. Menemukan wajahnya sedikit memerah dengan senyum yang tak dapat disembunyikan. Namun, alih-alih menjawab, ia justru menatap ke luar jendela kaca, menerawang jauh.

"Waktuku hampir tiba." katanya, lembut. Aku berseru senang.

"Iyalah, sebulan lagi! Betapa singkatnya."

Tetapi, Zalina hanya diam.


***


Aku benci pemakaman.
Tetapi kini, aku justru tengah berdiri di tengah-tengahnya, menatap langit kelabu, serta melirik sayu pada bunga-bunga kamboja berguguran. Aroma duka menguar, isak tangis masih terdengar jelas, sementara jasad itu diturunkan ke liang lahat bersama keikhlasan yang dipaksa merekah. Jelas berat, tentu penerimaan terasa sulit digapai dengan hati yang masih terluka.

Namun, sejak dulu manusia tidak pernah punya banyak pilihan, bukan?

Seseorang di sisiku berdiri kaku, dingin, dan sendu. Ia tidak banyak bicara, tak pula terlihat meneteskan air mata. Hening, barangkali tak sudah merapal doa dalam benak, melucuti sekian kecewa, angkara, dan lelah.

Aku tidak ingin mengganggu damai yang susah payah ia terbitkan.

Maka, perhatianku terpusat pada seorang perempuan, duduk berjongkok di sisi makam yang tanahnya basah, gundukan penuh oleh beragam bunga dalam sekejap. Tangisnya tumpah ruah, membuatku ikut berjongkok, memeluk singkat, untuk kemudian mengambil alih tugas menabur bunga-bunga lebih banyak.

Lantunan doa kembali terdengar, sesak lagi-lagi menghujam, meraja, menebal dan memberatkan pundak. Semakin sering mataku menangkap nisan bertuliskan nama cantik itu, semakin netraku memanas dengan bulu kuduk meremang.

Kupejamkan mata, mengaamiinkan, berusaha menghentikan laju sesal dan bersalah.

Kembali, kutatap nisan paling baru, di bawah rimbun pohon kamboja, diukir dengan kayu cokelat tua, frustrasi sekaligus tak berdaya.

Zalina Atmajaya
lahir
1 Desember 1993 
wafat
27 Agustus 2020

Semoga lapang, semoga tenang.


***


(Bersambung ke bagian dua)

Selasa, 19 Oktober 2021

Diam Tak Selalu Jadi Jawaban

 

"Kita harus selalu siap bukan, dengan atau tanpa jawaban untuk setiap pertanyaan?"

Anggia tersenyum tipis sembari membiarkan dua gelas berisi minuman diletakkan ke atas meja mereka oleh seorang pelayan.

Jumat sore setelah adzan Ashar berkumandang satu jam lalu. Mereka duduk mengakrabi kedamaian Canala Collective lantai dua, sesekali memandang keramaian jalan raya di bawah sana, lantas hanyut oleh obrolan seputar remeh temeh dunia.

"Seringnya, kubiarkan semua mengambang di udara dan dilupakan saja, ketimbang memberi jawaban menyakiti. Kadang yang demikian secara ajaib lebih bisa diampuni."

Syakala menghela napas, menerawang kejadian sepekan kemarin, ketika seseorang mengganggu tenang dalam hari-harinya.

"Maka ketika dia izin pergi, kamu hanya diam?" Anggia mengerutkan dahi, sementara Syakala mengangkat bahu.

"Dia akan tatap mengambil keputusan itu dengan atau tanpa persetujuanku. Tidak ada bedanya."

"Tapi bagaimana jika ternyata dia menunggumu lugas dalam menginginkannya, Kala?"

Syakala diam, Anggia mendengus. "See? Lain kali, bilang. Sesuatu yang kamu inginkan, juga harus diusahakan."

Penganut paham diam, dan pemilik prinsip 'katakan'. Pada sisa hari kerja, menyambut akhir pekan esok serta lusa, meluruskan benang kusut pada kepala carut marut sudah jadi kebiasaan. Mereka selalu sibuk memikirkan segala jenis deadline Senin sampai Jumat, hingga abai untuk sekadar memvalidasi 'rasa'.

"Ya, kalau memang ada yang namanya lain kali."

Anggia menggeleng, tak habis pikir. Jemarinya meraih kopi susu hangat untuk diseruput pelan-pelan.

"Toh, undangan sudah sampai di tanganku. Kamu akan datang bersamaku, bukan?"

Syakala dan segala keputusannya yang absurd dan membuat gemas, Anggia dengan ketidaksabarannya tentang rute takdir dan penyampaian-penyampaian lambat lagi membuat ngantuk.

Kalau boleh memilih, Anggia ingin sekali berhenti mendukung Syakala dan menyemangatinya dalam menjalani pilihan yang kerap keliru.

"La, apa kamu pernah mencintainya?"

Syakala terkekeh, ujung jilbab biru langitnya melambai terbawa angin.

"Pernah atau tidak, tak ada gunanya."

"Tapi pengakuan haruslah menjadikan semua berhenti sayup-sayup dan tampak kelabu. Biar jadi hitam atau putih saja."

Syakala diam, air mukanya keruh. Anggia tahu, bukankah penyesalan dan rasa khawatir menjadikan manusia semakin ragu? Konsistensi keputusan yang dibuat seolah berubah rapuh. Namun, jalan untuk kembali dan mengubah keadaan jelas tidak pernah ada dalam sejarah peradaban manapun.

Anggia mengerti, perempuan itu maklum. Bukan hal mudah bagi Syakala mengakui di mana hatinya masih labuh dan rebah. Mimpi temannya selalu indah di dermaga tersebut, menunggu kapal di hadapan mengajak berlayar. Tetapi, hari yang diimpikan ternyata tidak akan pernah tiba, tak mungkin menyambut. Sebab jangkarnya telah diangkat, dan satu-satunya penumpang telah bersedia naik menemani nahkoda. Sayangnya, penumpang itu bukan Syakala.

Tidak ada yang patut disalahkan. Toh, tawaran telah dilontarkan, dan Syakala terlampau terkejut untuk sekadar mengiyakan. Pun, semua sudah berlalu dan kesempatan yang sama pernah terulang, namun Syakala terlalu takut untuk menghadapi ombak dan bertemu laut lepas.

Dalam bayangan Anggia, Syakala masih di tempat yang sama, duduk menunggu, sampai kapal baru tandang dan ia siap menaklukkan gelombang.

Sampai saat itu tiba…



Palembang, 19 Oktober 2021
Siti Sonia Aseka

Yang Sama (ternyata) Berbeda

 

Shakila masih perempuan yang sama, yang payung biru pudarnya mekar di bawah langit kelabu dan hujan sesorean itu. Shakila yang selalu berada di sampingnya meski barangkali kalbu si perempuan memaki habis-habisan. Pertemanan adalah sebuah relasi paling aneh melibatkan dua orang bahkan lebih, tak tertulis, tak memerlukan materai atau perjanjian-perjanjian sejenis, hanya dijalani saja, sembari pintu terus dibuka, mengizinkan yang hendak tandang pun pergi keluar-masuk sebagaimana garis waktu dan kesempatan mempertemukan hingga memisahkan manusia.

Akbar mencopot kacamatanya, melirik kopi yang kehilangan uap, lalu meletakkan kepala di sandaran kursi, memejam sejenak. Ia pening bukan main.

"La, ada persediaan aspirin, nggak?"

Lelaki itu mengintip kubikel sebelah yang hening meski cahaya komputer menyala terang, serta suara tak tik terdengar tanpa henti.

"Pusing lagi?" Shakila mengerutkan dahi, namun tangannya segera bergerak membongkar isi tas demi menemukan wadah penyimpanan berisi obat-obatan pribadi yang kerap ia bawa ke sana ke mari.

"Iya, nih."

"Belum makan, kan? Kebetulan aku mau nyemil. Pop mie aja, mau?"

Shakila berdiri, tak peduli pekerjaannya yang setengah nanggung terabaikan beberapa waktu. Perempuan tersebut buru-buru berjalan ke pantry, mendidihkan air, menyeduh dua gelas pop mie untuk dirinya dan Akbar, sekalian membuka kulkas dan meraih sekantung besar roti yang ia bawa dari rumah tadi pagi. Masih tersegel, belum dibuka.

Akbar yang menjelma workaholic sejati membuat Shakila kadang lelah sendiri. Sebagai teman, ia merasa punya tanggung jawab mengawasi Akbar, apalagi menilik orangtua mereka punya hubungan tak kalah dekat. Akbar adalah tetangga masa kecilnya, teman sepermainan, selalu memasuki sekolah yang sama, bertemu di kampus yang sama pula meski berbeda fakultas, sampai hari ini, menjadi dosen di salah satu Universitas Negeri terkemuka di kota mereka.

"Aku bawa roti juga, karena satu cup pop mie doang nggak akan cukup. Kalau kebanyakan, justru nggak sehat."

Akbar terkekeh lemah, menganggukkan kepala sepakat. Shakila memang benar.

"Sebentar lagi Ashar, sebaiknya kita pulang. Kamu jangan lembur dulu hari ini." Shakila berkata setelah mendudukkan diri di sisi temannya, menarik satu kursi terdekat, memecah keheningan ruang dosen yang hanya menyisakan tiga orang, termasuk dirinya dan Akbar.

"Kerjaan masih banyak banget. Sampai jam delapan malam aja, sih. Nggak begitu larut."

Shakila menghela napas, mengalah. Akbar selalu sulit meninggalkan apapun berkaitan dengan pekerjaan. Padahal dulu, ia tak segila kerja ini.

"Okay, kabari kalau kamu sudah pulang. Jangan bohong!"

Akbar nyengir, mengangguk patuh seperti anak kecil terhadap perintah ibunya. Mereka menghabiskan makanan sembari mengobrol kecil, membahas media kelas atau mahasiswa yang membolos, memberi saran sekaligus bertanya.

Baru dua menit mereka kembali ke tempat masing-masing, Adzan berkumandang memenuhi ruangan dari speaker yang sengaja dipasang pada sebuah sudut. Shakila tersentak, ditertawakan oleh Akbar yang sudah siap dengan sandal jepit dan kopiah hitam.

"Aku salat sekalian pulang, deh."

Shakila memberi isyarat tunggu dengan jemari, tergesa menyimpan peralata  dan merapikan mejanya sembari menunggu komputer redup hingga menyisakan sedikit cahaya senja dari celah ventilasi di atas jendela.

Lorong-lorong fakultas terasa sepi. Beberapa mahasiswa masih sibuk dengan laptop di ruang-ruang kelas tanpa suara; fokus, serius. Tangga yang menghubungkan lantai satu dan dua terletak di ujung kanan dan kiri, mengizinkan penghuni gedung memilih untuk turun-naik melalui sisi yang mana.

"Ternyata Alfaro sudah di bawah."

Shakila menginformasikan, sementara Akbar memaksakan sebuah senyuman. Ia mengangguk formalitas, kemudian mengucap istighfar kencang-kencang dalam hati. Walau sudah bilangan bulan berlalu, perasaan yang bercokol kuat dalam dada tak jua begitu saja lenyap ditelan keterbiasaan.

"Udah lama?"

Shakila menyambut Alfaro dengan pandangan dan raut yang demikian cerah sekaligus teduh begitupula sebaliknya.

"Nggak, kok. Tadi kebetulan bertemu Niru, jadi ngobrol dulu di depan."

Shakila mengangguk, kemudian pamit untuk mengambil wudhu, meninggalkan Akbar dan Alfaro yang saling melempar tatap canggung.

Padahal semua sudah selesai dan lembaran baru telah dibuka. Tetapi mengapa rasanya masih seolah baru kemarin?

Akbar tahu, Shakila telah memilih. Alfaro, lelaki yang kini rambutnya basah sebab air wudhu, yang mengimami salat setelah sedikit saling 'menumbalkan' dengan Akbar, yang selalu menang sekian langkah di depannya terutama soal Shakila, yang namanya selalu disebut dengan ekspresi kasih tak terbendung oleh perempuan itu.

"Jangan pulang malam banget, ya!" Shakila sekali lagi mengingatkan setelah mereka semua selesai menunaikan salat. Akbar mengangguk, disusul tanya oleh Alfaro yang dibalas, "Biasalah, Akbar cinta banget sama kerjaan, jadi tepar."

Pasangan suami istri tersebut berlalu setelah pamit dengan salam, meninggalkan Akbar yang masing menatap kedua punggung mereka; nanar lagi getir. Sisa-sisa keberatan dan ketidakterimaan itu masih ada, masih jelas terasa. Tetapi keikhlasan, seperti yang kerap ia rapal tanpa sudah bak mantera, adalah keharusan dan niscaya.

"Bukankah manusia pasti diuji dengan dua hal?"

Akbar ingat, Ibunya menasihati pemuda itu dengan lembut dan hati-hati.

"Terhadap hal-hal yang disukai dan tidak disukainya, Akbar."

Ibu benar.
Lantas mengapa ia masih larut dengan tanya yang juga sudah jelas jawabannya? Mengapa ia masih tak dapat beralih meski Shakila telah memutuskan untuk lupa dan menganggap mereka tak lebih dan tak kurang seindah kala SMP tanpa bumbu-bumbu lainnya? Mengapa hanya Akbar yang tertinggal di belakang bersama segala kenangan?

Adalah kerinduan, membuat manusia menggila sekaligus sembuh. Pun realitas, menyadarkan manusia; tak mungkin ada dua dalam satu.



Palembang, 19 Oktober 2021
Siti Sonia Aseka

Senin, 27 September 2021

hari yang cerah

 



Pada hari yang cerah, mentari bersinar dari kedua matamu, dan lautan berombak landai menggantung dari sepasang lesung pipi, mengantarkan kapal-kapal nelayan sampai pesisir


Di hidungmu yang kecil manis, anak-anak berlarian memegang pesawat kertas, mendaki ketinggian bernama tabah, lalu rebah pada puncak bukit, menikmati awan putih di langit yang warna warni


Salah seorang dari mereka menghampiri rentang tanganmu, kemudian berbisik, "Bisakah kita bangun sebuah bahtera yang mampu arungi segala jenis samudera?"


Kadang, jeda adalah aamiin paling dalam sekaligus ratap tanpa muara. Namun kau ternyata mengangguk; tak ragu, samar dari kalut


Lantas doa-doa, kau rapalkan dari bibir yang terkatup, dilepaskan melalui hati yang membumi, serta penantian rimbun pula kokoh


Sepasang kakiku berkenalan dengan rumput hijau, menyaksikan sebuah mungkin melangit disaksikan tekad; manusia dan mimpi-mimpi, kau dengan janji-janji


Betapa mulia jemari manusia, menangkup serumpun harapan dan menggenggam ketiadaan untuk hidup dalam rute masa depan.



Palembang, 22 September 2021 
Siti Sonia Aseka


Selasa, 31 Agustus 2021

Syair Suaka


Seperti Rembulan dan Mentari, Bumi juga menyebut dirinya perempuan; yang mendamba, memuja, mencari-cari atensi demi setitik afeksi. Perempuan, seperti yang kerap Rembulan lontarkan, ialah entitas dengan kapasitas lebih besar dan takkan habis sampai rentang selamanya. Dalam berbagai hal, Mentari menambahkan, selalu.


Tetapi, sudah sepatutnya syair-syair yang ditulis pun dibacakan tidak terlampau dibubuhi rasa. Kalau-kalau seorang penyair lupa bagaimana puisi seharusnya utuh menyentuh sanubari pembaca, bukan membunuh si penulis, alih-alih menghidupkannya kembali.


Harapan dan rindu, dua hal ini mampu mengubah segala biasa jadi istimewa. Penantian, angan, serta gravitasi takdir. Suaka dipenuhi angkara sekaligus pengampunan, tak cuma menampung luka dan rasa sakit, tetapi juga sesak oleh euforia dan oasis.


Samudera membalik badan, menatap mahasiswanya satu per satu. Beberapa sigap duduk tegap setelah nyaris ketahuan tertidur dengan mata terbuka.


"Apabila harap dan rindu berhasil disembuhkan, apakah penyair paling mahir sekalipun akan berhenti berkarya sebab segala bentuk komponen magis yang membakar sekaligus mengisi jiwanya telah berhasil labuh pada telapak yang kemarin kerap hampa?"


Bumi mengangkat tangan, menggeleng yakin. "Bukan demikian cara kerjanya."


"Lantas bagaimana seharusnya?" dosen pengampu mata kuliah Teologi Sastra Roman tersebut menaikkan alis, menatap tajam nan mendramatisir.


Seisi kelas menahan napas, ganti berganti melirik Bumi yang bersiap menjawab percaya diri. Bagaimanapun, semua orang iri dengan sikap yang ditunjukkan si gadis.


"Ketimbang menganggap rindu dan harapan sebagai penyakit, saya lebih suka menyebut mereka bahan bakar yang menjadi penyokong gerak dan fungsi. Dengannya, suatu benda dapat bekerja. Tanpanya, akan selalu ada bahan bakar pengganti. Pada tempat dan waktunya, semua hal jadi pantas dan tepat."


"Bisa Anda sebutkan apa bahan bakar pengganti itu?"


Kembali, seisi kelas menatap Bumi, menunggu. Tetapi, lebih dari lima detik kemudian, bahkan sampai Samudera, dosen mereka yang dingin melebihi kulkas lima pintu berjalan menuruni podium, Bumi masih menerawang separuh tercekat.


"Siswa nomor tiga puluh tiga, Bumi."


"Ya?" Bumi kembali dari lamunan, separuh skeptis.


"Apa jawaban Anda? Sebutkan bahan bakar pengganti yang Anda maksud."


"Luka." sahut Bumi, lantang.


"Lalu?"


"Angkara… dan pengampunan."


Rembulan menendang tungkai Mentari di bawah meja. Berpandangan mereka sebelum mengamati gerak Samudera yang kepalang canggung.


Atmosfer seketika berubah. Samudera berdeham, tersenyum simpul.


"Point tambahan untuk siswa nomor tiga puluh tiga." katanya, kalem.


Kelas tersenyum sumringah, bertepuk tangan dalam hati, turut senang akhirnya moment menegangkan itu berakhir happy ending.


"Tetapi, bila Anda tidak keberatan," Samudera berujar setelah menutup pertemuan, "datanglah ke ruangan saya setelah kelas Anda usai hari ini."


***



Palembang, 31 Agustus 2021

Siti Sonia Aseka

Rabu, 18 Agustus 2021

VIRUS MERAH JAMBU




Kenapa disebut Virus Merah Jambu?

Berdasarkan ilmu medis, Virus adalah agen infeksi berukuran kecil yang bereproduksi di dalam sel inang yang hidup. Ketika terinfeksi, sel inang dipaksa untuk menghasilkan ribuan salinan identik virus asli dengan cepat. Virus tidak memiliki sel, sehingga pembentukan virus-virus baru berlangsung dalam sel inang yang terinfeksi.


Merah jambu sendiri identik dengan perasaan romansa dan melibatkan aksi sampai reaksi.


Secara sederhana, Virus Merah Jambu ialah agen infeksi yang menyerang hati, dan lama kelamaan memaksa untuk menghasilkan ribuan salinan identik euforia hingga berkali lipat. Inilah mengapa, seseorang yang jatuh cinta, selalu punya pemakluman, pengecualian, hingga pengabaian terhadap apa-apa yang dianggapnya benar, walau orang lain mengatakan salah. Seperti istilah, "Dua orang yang paling sulit menerima nasihat adalah pendukung partai politik dan manusia yang tengah jatuh cinta."


Cinta adalah kecenderungan rasa untuk mengejar kesenangan yang kekal di dalam hati. Tanda-tanda bahwa kita mencintai sesuatu atau seseorang menurut Ibnu Qayyim adalah: pertama, menyenangi atau mencintai apa yang dicintai oleh kekasihnya. Kedua, bersiap dan rela untuk melakukan pengorbanan. Ketiga, selalu mendahulukan sang kekasih daripada apapun dalam kondisi bagaimanapun.


Ibnu Qayyim pernah berkata, "Seseorang tidak dapat membagi-bagi cintanya secara adil." Prinsip ketunggalan cinta ini diterapkan oleh Ibnu Qayyim dalam kecintaan kepada Allah semata. Ucapannya mengenai hal ini berbunyi, "Dalam kalbu seseorang tidak mungkin terdapat dua cinta. Demikian halnya di langit tidak terdapat dua Tuhan."


Maka ketika Virus Merah Jambu menyerang, manusia berbondong-bondong mencari pembenaran demi melanggengkan kesenangannya. Yang berbahaya adalah, VMJ bisa menjadikan seorang insan melakukan hal-hal yang dilarang. Misal, mulai bertabaruj atau berlebih-lebihan. Bisa jadi dalam hal berdandan, berpakaian, berbicara, dan sebagainya. Lalu coba-coba melakukan ikhtilat atau bercampur baur tanpa disertai dengan menundukkan pandangan, berulang-ulang, berkelanjutan, hasilnya; nyaman. Kemudian tak dapat dihindari berlanjut pada khalwat atau berdua-duaan. Di dalam benak suspect, tentu ia merasa benar dan tidak melakukan kesalahan.


Padahal sudah jelas di dalam Islam, "Jangan sekali-kali seorang lelaki menyendiri (khalwat) dengan wanita kecuali ada mahramnya. Dan janganlah seorang wanita bepergian kecuali bersama mahramnya." (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, Ibnu Majah, Tabrani, Baihaqi, dan lain-lain).


Apa bahaya dari segala tindakan di atas? Sudah pasti barang tentu, ialah Zina. Nauzubillah.


Virus Merah Jambu sudah terjadi jauh sebelum Virus Corona dan virus-virus berbahaya lain eksis di muka bumi. Pelakunya, datang dari berbagai lapisan dan lini. Sebabnya, jelas karena kelalaian dalam menjaga dan melindungi hati, iman sedang lemah, futhur, kurang menerima suplemen, lantas berakibat pada semakin lemahnya ruhiyah dan semangat untuk selalu beribadah pada Allah SWT.


Lantas ada yang berkata, "Lho, memang mencintai itu salah ya? Bukankah VMJ lebih baik daripada benar-benar berpacaran."


WAH, GAWAT pemikiran begini!


Seperti yang saya sampaikan di awal, dalam Virus Merah Jambu ada aksi dan reaksi. Kalau sekadar cinta saja dalam diam, dengan semakin menjaga diri, meningkatkan ruhiyah, tak mau dimanipulasi setan, itu bagus.


Tetapi yang digaris bawahi adalah saat seorang hamba mencintai hamba-Nya yang lain, lalu mencari dan menghalalkan segala cara untuk mendekati dan membuat kekasih yang ia damba melakukan hal yang sama sepertinya.


Ingat, pacaran merupalan implementasi. Tetapi perilaku dari berpacaran bisa dilakukan siapa saja tanpa status pacaran sekalipun.


Orang pacaran, berdua-duaan dengan pacarnya.

Orang yang kena VMJ, berdua-duaan juga, bedanya kalau ditanya, "Antum tadi jalan dengan siapa?" Jawabnya adalah, "Ah, teman doang."


Ngenes, woi!


Apa bedanya? Tidak ada. Sama-sama dosa, sama-sama mendekati zina!


Masih mau mencari-cari pembenaran lagi?


Yang juga membuat miris adalah saat perilaku ini menyebar dan mulai diwajarkan. Seolah pada menutup mata nih orang-orang. Bahkan sampai ada yang menyamakan perilaku menyimpang berlandaskan VMJ sebagai, "Ikhtiar dalam mencari jodoh."


LUAR BIASA!

Memang dunia sudah gila!


Astahghfirullah…

Nauzubillah…


Jangan ya, cantik, ganteng.

Jangan takut nggak dapat jodoh. Jangan sampai kegigihan dan harapan kita demi mendapatkan manusia, menjadikan diri lupa untuk bertaqwa kepada Allah.


Sudah-sudahlah, jadi-jadilah.

Berhentilah!

Bertaubat kepada Allah.

Puasa, tahan hawa nafsu.

Berdoa, aktualisasi diri. Jangan terlampau sibuk dengan misi, "Menikah sebelum tahun berganti." Cukup, ya ukhti, ya akhi.


Tugas kita banyak; berdakwah, menebar kebaikan, menanamkan manfaat. Menjadi sebaik-baik makhluk.


Jangan direcoki dengan penyakit-penyakit dan perilaku tak perlu.


Sekian.

Terima kasih.

Stay sane!




Palembang, 18 Agustus 2021
Siti Sonia Aseka

Selasa, 03 Agustus 2021

sebuah cerita dari selatan



SOLITUDE

"Andai jarak mampu dilipat
sesederhana bangau kertas di tepian jendela.
Barangkali pada satu garis lurus,
pandang kita dapat bertemu,
melucuti sekian praduga dan ragu-ragu.
Lantas dengan begitu,
mampu kubaca sungguh-sungguh
betapa netramu merapal luka lebih lantang
ketimbang kata-kata."


***

Satu tahun yang bahkan tak mampu mengubah letak rak sepatu di sisi kiri pintu rumahku. Kalau-kalau seseorang lupa, atau sengaja menganggap rasa sakitnya tiada, keberadaan lini masa sosial media selalu dan akan terus jadi pusat gravitasi informasi terbaik. Termasuk saat beranda menampilkan fotomu tersenyum lebar dalam ruangan yang kutebak sebagai kantormu di sisi timur pulau ini. Dipublikasikan dua puluh menit lalu, disukai oleh beberapa orang, dan terdapat tiga komentar kecil berisi seluruhnya candaan.

Pukul sembilan malam dan aku mendadak didera kantuk. Buru-buru kututup aplikasi Instagram setelah meninggalkan jejak berupa tanda hati berwarna merah, memeriksa dan membalas pesan penting di aplikasi chatting, lalu berdoa dalam benak, terbuai alam mimpi yang akan membawaku bangun di pukul empat pagi seperti biasa.

Aktivitasku masih tak berbeda, tetap diisi setumpuk agenda itu-itu saja; mengajar, berjalan-jalan kala senggang, atau sekadar metime di kamar kontrakan bila akhir pekan menyapa; menonton film jadul hingga series terbaru, mendengarkan begitu banyak podcast, atau video-video lucu di YouTube.

Kadang, aku masih bertemu beberapa orang, teman-teman sewaktu di kampus. Mengobrol, nongkrong di kedai kopi, bertukar kabar, disambung nostalgia. Kadang pula, satu-dua kali namamu mampir dalam percakapan. Lantas aku harus mati-matian bertingkah sewajar mungkin, menimpali seadanya, tidak boleh sedikit saja terlihat terlampau bersuka cita.

Tentang kita, tidak ada yang tahu.

Biarlah, biar kisah itu diziarahi ketika rindu sudah kepalang menggebu dan mendobrak sisi peduli. Aku jelas masih sering memutar kuncinya demi menerobos pintu menuju masa lalu. Duduk di sana, merenungkan waktu-waktu terlewat tanpa satu pun dari kita berani buka suara. Kita sudah usai, aku tak pernah mampu mengatakan hal tersebut keras-keras, tak berani kuungkap betapa sesal masih menghantui malam-malam.

Satu tahun lalu, kita adalah dua yang coba merangkak menuju tunggal.
Namun, gagal.


***


Indralaya
Sebuah kabupaten tiga puluh dua kilometer dari ibukota provinsi,
2017

Auditorium universitas seperti biasa ramai sebab parade kelulusan yang dijadikan sebagai ajang mengabadikan moment dan beramah tamah. Pelataran disesaki pengguna toga, melebar sampai kawasan rektorat. Ucapan selamat mengudara, tawa marak tertangkap telinga di tiap sudutnya, juga ratusan pasang mata melempar pandang, mencari-cari, atau sekadar mengamati untuk kemudian menyimpan panorama dalam laci memori.
Farah tiba setelah belasan panggilan tak terjawab di ponsel, menyisipkan satu pesan ter-pop up di layar dari nomor yang sama: Kamu di mana, dengan siapa, sekarang berbuat apaaa??? Yang wisuda udah pada keluar audit, antrean foto panjang begini, buruan! Nanti ditinggal, tahu rasa!
Perempuan tersebut terbahak setelah kakinya menjejak halaman rektorat yang melingkari sebuah kolam berhias batu-batu alam dengan undakan tangga kecil. Mengutarakan maaf yang tak sungguh-sungguh niat dilontarkan. Si pengirim pesan menatap Farah sebal, sekaligus lega. Sesi foto lembaga bisa dimulai segera saat yang ditunggu-tunggu tiba entah dari misi menyelamatkan bumi bagian mana.
Di tengah hiruk pikuk, seseorang menepi. Matanya cemerlang, berkilau karena berhasil menemukan satu sosok yang lama dinanti. Hangat merayap menyebabkan rona merah di wajah, senyum tersungging tanpa mampu dicegah. Sebuah dorongan berteriak lantang menyuruhnya maju. Sepercik rasa takut menyebabkan si lelaki terjebak diam yang melecut utuh ragu-ragu.
“Abiyan! Ayo, foto sini, dong!”
Lelaki tersebut tersentak, lamunannya pecah. Rautnya kembali diatur sedemikian rupa. Agar tak timbul curiga, supaya tak perlu ada resah melibatkan banyak kepala. Lagipula, setelah hari ini, ia sudah harus pergi, bukan?


***

Hadiah untuk seseorang.
Semoga bahagia senantiasa menyertai langkah.
Yang patah tumbuh, lukamu niscaya sembuh.

-Siti Sonia Aseka

Minggu, 18 Juli 2021

Solitude

Pernah pada suatu sore gerimis, aku berjalan di atas trotoar sempit menuju rumah. Sekitar sepi, cahaya senja menyapa malu-malu dari balik awan kelabu, playlist dalam ponsel melantunkan No Judgement milik Niall Horan secara sembrono namun melegakan entah bagaimana. Aku sudah melangkah seharian, pagi dengan klakson kendaraan di kiri-kanan, sementara kini bersama hati membiru sekaligus sembilu.


"Hei, tetangga."


Aku menghentikan langkah, mengangkat wajah yang nyaris melepaskan topeng baik-baik saja. Seraut dengan senyum tipis menggerakkan kepala, muncul dari balik kaca gelap diturunkan cepat-cepat, memberi isyarat untuk naik ke sisi kanan pengemudi. Biasanya, aku takkan menunggu diperintah dua kali. Jarak menuju rumah masih cukup melelahkan bagi tungkai dan aku sedang kalang kabut setengah mampus didera entah apa atau disebabkan oleh siapa.


Tetapi, aku hanya membalas dengan gelengan, berkata singkat bahwa akan mampir ke suatu tempat lebih dulu, menolak ikut serta seperti waktu-waktu lalu.


Aku hanya sedang ingin sendirian. Kehadiran manusia jelas tidak membantu banyak. Mereka tidak bisa memperbaiki apa-apa, dan aku juga hanya mampu berteriak sampai merusak. Aku muak, kepalaku selalu seolah nyaris pecah. Belakangan kian parah.


Bila aku mengizinkan seseorang hadir di sampingku hanya agar merasa diawasi dan berharap diberi pertolongan, aku jelas tidak ubahnya si fakir yang mendamba peduli, bukan?


Lalu tak sampai lima detik, mobil kembali melaju. Aku mengamati nanar sampai benda tersebut pun pemiliknya hilang di persimpangan. Kuhela napas, lalu mendengar Honeymoon Avenue mengalun dari earphone yang sempat kulepas.


Tidak ada lampu merah, namun rem dalam benak seketika menggertak gelisah. Tidak ada bangku-bangku kosong yang jadi saksi percakapan, atau bumper melintang di belakang yang siap menahan benturan.


Hatiku terjebak macet dan masih tak bergerak ke mana-mana. Diburu waktu, dikejar-kejar, dan tertekan oleh harapan-harapan baru. Sayangnya aku tak pernah berani memutuskan untuk turun.


Seseorang mengajariku meniup pesawat kertas, menatap langit dengan kupu-kupu berlomba keluar dari perut sembari menari ceria, kemudian menjanjikan ruang baru berisi hanya suka cita, lantas hilang sesaat setelah kupikir kami sampai pada tujuan yang sama; mengisi kekosongan masing-masing dan siap bahagia.


Adalah ketakutanmu yang menghentikan kau melaju.

Ialah aku yang naif dalam hal menunggu.

Merupakan kita, yang tak pernah menyadari bahwa manusia tidak lahir dengan keberanian. Mereka tumbuh bersamanya.


Siti Sonia Aseka

Palembang, 18 Juli 2021

Kamis, 10 Juni 2021

tidak sama.

Nenekku sudah pergi, tetapi jejaknya tidak pernah hilang. Masih bisa kutemukan pada dinding-dinding rumah yang perlahan kusam, pada bingkai-bingkai foto yang mulai usang.

Rumah di atas bukit dengan setapak sempit dikelilingi rumpun-rumpun bunga telang itu masih ada, masih berdiri tegak walau tak lagi sekokoh dahulu. Masih tetap menyambut tiap kali kami tandang meski penghuninya sudah lama berpulang. Teras yang luas setia menjadi tempat nenek mengayak beras, atau sekadar duduk-duduk menungguku kembali dari taman kanak-kanak.

"Kenapa cemberut muka kau?"

"Itu nah, si Anom ndak mau bagi roti tadi di kelas, padahal kemarin aku sudah bagi dia cicip nasi goreng."

Nenek berhenti mengayak beras, lalu bibirnya berkedut, lantas ia sekejap tertawa.

"Kenapa pula kau mesti kesal?"

"Iya kan harusnya dia kasih aku balik. Jahat kali." aku bersungut-sungut, sembari berjalan menghampiri nenek setelah melepas sepatu, memainkan butir beras yang sudah bersih.

"Itu hak dialah. Kan barang memang punya dia. Cuma karena kau sudah bagi Anom makanan kemarin, bukan berarti dia harus bagi kau makanan pula hari ini. Berbuat baik sama orang mana boleh maksa dapat balasan."

Wajahku masih tertekuk, tapi aku diam saja.

"Besok kau nak bawa bekal apa?" lanjut nenek, tangannya menyerahkan kacamata padaku, pertanda meminta tolong agar benda itu diletakkan pada lemari di dekat pintu.

"Roti."

"Roti cokelat?"

Aku mengangguk, lalu beranjak masuk sembari berpikir; sebenarnya, hakikat kebaikan… adalah apa?

Delapan belas tahun berlalu, dan nenek tak lagi ada di sampingku. Melompati sekian memori, mengenang lewat kilas balik, lalu menemukan jawaban atas pertanyaan yang sempat bertamu.

Kebaikan tidak pernah menyakiti, sesungguhnya. Bila ia justru membuat manusia terluka, maka jelas ada yang salah dari niat bahkan prosesnya. Jelas ada yang keliru dalam kalbu manusia.

Maka, nenek seutuhnya benar. Kebaikan dan balasan tidak selalu berada dalam pola hukum timbal balik. Apalagi jika individu yang jadi perantara, hanya makhluk penuh khilaf dan salah.

"Nek, bagaimana jika orang yang telah kita berikan bantuan justru berbuat jahat pada kita, alih-alih membalas dengan kebaikan pula?"

Pertanyaan tersebut jelas bukan dilontarkan oleh bocah umur lima tahun yang sekadar memaknai perasaan kecewa hanya dengan penolakan atas sebuah isi kotak makan.

Pada usia dua puluh tiga, aku kembali merasa kehilangan.

Andai nenek masih di sini, kalimat apa yang kira-kira akan ia lecutkan semata demi membawaku tetap merendahkan hati?

***

Palembang, 9 Juni 2021
Siti Sonia Aseka

Kamis, 20 Mei 2021

Seingatku...



Seingatku,
kita dulu cukup sering bertemu.

Kau dengan heningmu,
aku dengan bisingku.

Kita saling menyapa,
sekadar tanya kabar,
atau sesederhana berbalas salam.
Atau apabila sedang malas buka mulut,
aku hanya akan memberikan sebuah senyuman,
yang akan kau balas dengan senyum serupa; tidak terlampau lebar,
tidak kelewat tipis.
Sebagaimana mestinya saja.

Kesempatan kita mengobrol cukup panjang hanya berlandas sebuah ketidaksengajaan.
Politik pula topiknya.

Maka pada jarak yang tak habis ditempuh dalam empat puluh lima menit,
jelang maghrib,
bersama riuh klakson dan gerimis kecil-kecil,
pendapat kita ikut membumbung dengan asap-asap knalpot,
juga pengeras suara masjid sepenjuru kota.

Lantas sebelum hari ini,
aku tidak pernah sadar,
bahwa itulah yang semesta sebut kesempatan.

Berbilang bulan,
sepasang tahun,
ternyata ceruk waktu tidak berhasil mempertemukan kita lebih jauh ketimbang sepotong-dua potong kata lewat pesan digital.

Merindukan memang berat,
sekaligus moment baik untuk mengingat kenangan.
Sesekali,
memori tertentu berhak diziarahi,
didoakan,
lalu disimpan rapat kembali.
Agar nanti,
bila spasi berhasil dilipat,
jika presensi satu sama lain mampu memenuhi mata dan tak sekadar ramai di kepala,
maka ada setidaknya secawan obrolan,
tentang masa lalu,
soal genangan kemungkinan, mengenai sepetak harapan baru.
Agar senyum kita merekah lebih nyaman,
supaya nanti bila kesempatan yang sama tiba,
kita mampu menggenggamnya erat-erat,
menyadari betapa berharga waktu,
menyadari betapa menyebalkan rindu,
menyadari bila saat yang tepat untuk jadi lebih dari sekadar teman betul-betul nyata dan tak mustahil dikabulkan.

Seingatku,
dulu,
aku mengagumi diam-diam.
Sekarang,
aku mendoakan dalam-dalam.
Kadang bahagiamu membuatku menangis,
tak jarang,
kupikir kita akan berhenti begitu saja di titik 'pernah berteman.'
Tak capai level istimewa,
tak pantas merebut sepercik perhatian.

Ternyata,
menyimpan sekelumit emosi tak terbantah yang mati-matian kututup dengan ketidakpedulian,
sama berat dengan menanggung sepercik kerinduan.
Dan seperti yang sudah-sudah,
sesuai dugaan,
aku,
kembali terluka…

sendirian.


Palembang, 20 Mei 2021
Siti Sonia Aseka


Jumat, 23 April 2021

jarak.




"Jadi, selamat tinggal?"


"Ya," aku menyahut, separuh getir. "Selamat tinggal."


Pada rentang dua pulau, lautan tempat ia memandang dari balik jendela pesawat barangkali akan menyimpan megah perasaan yang tak pernah mampu dikuapkan. Tentang hati yang sempat sesak oleh rimbun kasih sayang, mengenai takdir yang buat tergugu malam-malam, atau saat sepasang mata bertemu pada sebuah garis lurus; lelah, luka, putus asa.


Lelaki tersebut menarik kopernya di sepanjang jalur menuju terminal keberangkatan. Pandangnya sendu, rautnya sayu, tubuhnya kuyu, dan senyumnya layu. Beberapa kali mengalihkan tatap, menolak menyelami kedalaman mataku yang dulu selalu ia puja.


Kadang, beberapa hal justru terasa luar biasa sialan di saat-saat terakhir. Kala semua pihak tahu tidak ada yang bisa mengubah apa-apa. Kesempatan bukan sembarang benda temuan di sisi jalan atau toko-toko kelontong.


Usai saja, cukup. Tanpa penjelasan lebih lanjut, tanpa penjabaran memusingkan kepala, tanpa histeria yang akan membuat ia, kami, berubah pikiran dan pilih bertekuk lutut pada cinta.


"Kita tegak berpondasikan logika." Katanya, dahulu. Aku setuju.


Sebab itu, tidak pernah ada kata mengalah termasuk soal menetap atau tinggal.


Selepas hari ini, sedetik setelah pesawat lepas landas, akan kutemukan diriku kembali sibuk di antara bilik gedung berlantai dua puluh lima. Menatap layar maya seharian, menyesap bercangkir-cangkir kopi, mengakrabi kemacetan, klakson kendaraan, serta makan malam di sebuah kedai nasi goreng langganan. Memeriksa ponsel seperlunya, diburu rapat, dikejar deadline, dijejali target-target baru yang wajib dicapai.


Jarak jelas ada. Toh, dua pulau bukan spasi yang mampu ditempuh dengan sekadar lima langkah kaki.


Kemudian, aku dan ia akan terbiasa. Benar-benar terbiasa tanpa kehadiran masing-masingnya, terbiasa sendiri, kembali menjadi diri kami sebelum ceruk waktu mempertemukan. Kembali hampa dan tak masalah.



"Grief is the price we have to pay for love."-Queen Elizabeth II


Palembang, 22 April 2021

Siti Sonia Aseka


Urgensi Kemahiran Berbahasa Inggris di Era Modernisasi dan Globalisasi

Urgensi Kemahiran Berbahasa Inggris di Era Modernisasi dan Globalisasi Sejak abad ke-18, bahasa Inggris ditetapkan sebagai bahasa Internasio...