Blogger Perempuan

Blogger Perempuan
Kunjungi laman Blogger Perempuan dan baca tulisan saya melalui link berikut

Rabu, 15 Juni 2022

[OPINI] Kejahatan Seksual dalam Lingkar Aktivisme

Banyak orang mempersempit makna aktivisme sebagai hanya gerakan untuk mengemukakan masalah seputar pemerintahan dan politik saja. Padahal, lebih dari itu. Aktivisme sejatinya adalah aktifitas bersuara dan berbuat terkait tatanan masyarakat pun lingkungan. Oleh sebab itu, isu-isu dan narasi yang dibawa para aktivis (biasanya) tidak sekadar terbatas pada kepentingan satu golongan.

Namun belakangan, roda gerakan mulai diwarnai sekian kontroversi. Salah satunya oleh kasus pelecehan dan kekerasan seksual yang dilakukan orang-orang dengan riwayat aktivisme. Hal ini dapat terjadi karena minimnya pemahaman dan keingintahuan masyarakat terhadap topik-topik berkenaan dengan kejahatan seksual, ketimpangan gender, kekeliruan konstruksi sosial tentang peran serta fungsi perempuan dalam kehidupan sosial, minimnya pemberdayaan, hingga tidak ada upaya untuk meningkatkan partisipasi serta akses perempuan di berbagai bidang.

Saat masih aktif sebagai mahasiswa dan tergabung dalam organisasi internal kampus, saya kerap mendengar banyak isi kepala disampaikan mengenai peran perempuan. Harus bisa masak, harus terampil mengurus anak, harus gesit mengerjakan pekerjaan rumah sekaligus melayani suami. Tidak perlu bergelar pendidikan tinggi, karier juga bisa diatur nanti. Apabila ada pengurus organisasi 'terlihat' atau 'mengaku' tidak bisa memasak, tidak mencuci piring bertumpuk-tumpuk yang selesai dipakai orang lain di sekretariat (padahal memang seharusnya pengguna peralatan makan harus segera mencucinya sendiri sebagai bentuk tanggung jawab), petugas piket perempuan terlambat atau tidak datang walaupun dengan keterangan, dan lain sebagainya, maka siap-siap akan dicap sebagai perempuan pemalas yang nanti tidak mungkin menikah karena tidak ada laki-laki bersedia menerima perempuan yang tidak mau, tidak bisa, serta tidak mampu menghandle urusan-urusan domestik. Padahal, manusia-manusia yang berkata demikian, adalah orang-orang yang senantiasa kelihatan gagah dalam balutan almamater mentereng dan toa aksi di lapangan sana. Yang suaranya membahana membela rakyat (katanya). Tetapi soal basic life skills saja masih membebankan kepada (hanya) perempuan.

Apa salahnya bahu membahu? Saling bantu? Bekerja sama? Apa salahnya tidak selalu memandang gender dalam tugas dan tanggung jawab bersama? Ingat, organisasi bukan tempat bagi satu pihak saja untuk bersinar dan bersenang-senang, tetapi merupakan kesempatan bagi semua orang untuk menjadi berbagai bentuk sesuai kehendaknya. Tanpa paksaan, tanpa tekanan.

Beberapa orang yang melabeli dirinya sebagai aktivis seringkali merasa sudah menjalankan tugasnya dengan baik apabila telah lantang menyatakan pendapat terhadap isu politik. Namun sayang, mereka malah melupakan sisi lain, yaitu 'adil sebagai manusia dan menjunjung tinggi kemanusiaan' selain 'merdeka sejak dalam pikiran'.

Pada awalnya, saya masa bodoh mengenai anggapan-anggapan demikian. Pemikiran-pemikiran sempit yang tidak bisa disembuhkan dengan sebaris-dua baris nasihat jelas tidak layak dijadikan bahan perdebatan. Toh, nilai seorang perempuan tidak semata soal keterampilannya dalam menjalani hal-hal yang tidak ia inginkan, bahkan terkesan memperbudak. Coba bayangkan, berapa banyak perempuan harus menerima hidup dalam tekanan pola pikir patriarki tersebut hanya sebab kehilangan suara dan terjebak dalam lingkungan yang menanamkan kesalahan sebagai absolut kebenaran? Berapa banyak perempuan harus mengubur mimpinya dalam-dalam hanya demi memuaskan ekspektasi dan tuntutan masyarakat mengenai rupa perempuan sempurna versi era penjajahan?

Hal-hal seperti ini, secara sadar maupun tidak, telah berhasil melanggengkan perbuatan-perbuatan yang mendasari kian maraknya kejahatan seksual kini dan di masa yang akan datang. Sebab perempuan hanya dipandang sebagai objek dan bukan entitas dengan hak berdikari yang sama yang memiliki kesempatan untuk memilih dan menentukan.

Kesadaran terkait keadilan gender sudah seharusnya dibentuk sedini mungkin, dari level paling bawah, agar jangan sampai ada lagi kasus kejahatan seksual yang justru dilakukan oleh para aktivis dengan memanfaatkan nama baik dan panggung kekuasaan. Aktivis yang memiliki idealisme untuk bermanfaat bagi orang banyak perlu menyadari perannya dalam penghapusan stigma yang menjerat perempuan, bukan malah ikut ke dalam barisan mempertanyakan keikutsertaan perempuan sehingga mengokohkan konstruksi berpikir keliru.

Anggapan dan budaya patriarki sedikit banyak mengambil porsi signifikan dalam terbentuknya mentalitas menyepelekan salah satu gender dan menempatkannya lebih rendah daripada gender yang lain. Hal ini memicu menjamurnya tindakan tidak menyenangkan yang lebih dari separuhnya dialami perempuan sebagai korban. Tidak sedikit laki-laki yang masih menganggap bahwa perempuan hanyalah objek seksual, budak dalam institusi rumah tangga, hingga membatasi hak-hak perempuan untuk aktif dalam kegiatan-kegiatan masyarakat. Dari jumlah tak sedikit itu, segelintirnya ialah kaum-kaum aktivis yang memiliki riwayat lantang dalam menyuarakan kritik terhadap pemerintahan, namun lebih kuat lagi suaranya dalam menekan partisipasi perempuan.

Aktivis kaleng-kaleng begini, biasanya amat getol dalam mengomentari kesuksesan perempuan, tetapi justru semangat sekali membela kesalahan sesama lelaki. Rajin mencari-cari kesalahan perempuan untuk mendukung maskulinitasnya yang rapuh. Takut kalah bersaing dengan perempuan, menolak kolaborasi, hingga mendiskreditkan perempuan hanya demi mempertegas ketidakmampuannya dalam bersaing dan unggul.

Ironi rasanya mendengar berbagai idealisme meluncur dari mulut mereka yang juga kerap menjadikan perempuan si nomor dua. Sayangnya, hal-hal demikian juga tidak dapat berhenti sekejap mata.

Kasus kejahatan seksual yang terjadi dalam lingkar pergaulan aktivis seharusnya membuka mata kita akan urgensi saling menghormati dan bahu-bahu untuk menciptakan iklim sosial yang lebih baik dan terhindar dari tindakan-tindakan mengarah pada pelecehan dan kekerasan seksual atau perbuatan tidak menyenangkan lainnya.

Tidak ada salahnya bila laki-laki turut bersuara menentang tindak kejahatan seksual. Tidak masalah pula bagi laki-laki untuk ikut serta menolak budaya patriarki. Sebab korban kejahatan seksual seringkali tidak memandang gender. Laki-laki dan perempuan berpeluang sama dalam menerima perlakuan yangn tidak berkenan dan tanpa persetujuan.

Sudah waktunya bias gender dihentikan demi terciptanya kedamaian dalam upaya meningkatkan kemajuan generasi. Sudah seharusnya aktivisme kembali pada fitrah sejatinya untuk membawa kemaslahatan bagi semua orang dari berbagai lapisan masyarakat, menjadikan para aktivis sebagai teladan dan garda terdepan, sosok yang menghadirkan rasa aman serta mencerminkan wibawa. Yang pikirannya seterang sikapnya, yang menegakkan nilai-nilai kemanusiaan sampai tulang belulang, yang mampu memimpin logika dan nuraninya sejalan menuju sebuah tatanan perubahan baru ke arah yang lebih baik.

Sudah sepatutnya aktivisme dibersihkan dari pencemaran sejenis. Mari buat status aktivis yang menempel pada banyak dari kita sebagai identitas yang membanggakan dan bukan bahan guyon, apalagi hanya disandang demi memuaskan ego serta ambisi pribadi.



Tangerang Selatan, 15 Juni 2022

Siti Sonia Aseka

Jumat, 10 Juni 2022

Antologi Puisi: Rute Nol Kilorasa

 

RUTE NOL KILORASA

Penulis mana yang tidak ingin buku-bukunya terpajang di rak-rak toko buku besar? Atau bahkan di etalase best seller sebab dibaca ribuan orang dan dicetak ulang berkali-kali?

Saya pikir, semua penulis mengawali mimpinya dari satu keyakinan sederhana, bahwa suatu hari nanti, waktu yang tepat itu akan tiba. Namanya akan dikenal sebagai penulis atas buku yang berhasil difilmkan, diterjemahkan ke bahasa asing bahkan, atau dibedah dan diperbincangkan jutaan kali dari masa ke masa. Tetapi, tentu, tidak ada yang instan di dunia ini, bukan? Proses yang dilalui tiap-tiap penulis pastilah berliku dan sesak oleh kekecewaan.

Saya salah satunya.

Buku kedua saya, sebuah Antologi Puisi berjudul Rute Nol Kilorasa dengan percaya diri saya kirimkan kepada empat penerbir mayor sekaligus pada Juli 2021 lalu. Dan pada Desember di tahun yang sama, saya harus menerima kenyataan bahwa naskah tersebut ditolak begitu saja oleh empat penerbit tanpa ada permintaan revisi atau sedikit saja harapan bahwa mungkin di luar sana ada editor dari penerbit mayor lainnya yang bersedia meminang naskah untuk dicetak dan diterbitkan.

Patah hati dan hilang arah.

Tetapi, saya mengerti, kadang, everything is not for everyone. Setidaknya, untuk saat ini.

Lalu, berbulan setelahnya, melompati tahun, saya habiskan waktu dengan merevisi naskah tersebut, mengganti kata yang terasa timpang, menemukan kesalahan ketik, lalu membacanya berkali-kali lagi.

Sampai beranda Instagram mengantarkan sebuah informasi program terbit gratis dari salah satu penerbit buku indie sekaligus online bookstore cukup eksis di kalangan mahasiswa dan anak muda. Saya seketika tergerak untuk mengirimkan naskah antologi puisi tersebut, dengan sedikit revisi dan perubahan (lagi). Menurut saya, mengapa tidak? Bila hanya fokus pada penerbit mayor, sampai lupa bahwa mungkin kesempatan bertebaran dari segala penjuru dan muka pintu, kapan manusia bisa sedikit saja menghargai hal kecil dan berhenti terlalu fokus hanya pada perkara besar?

Saya kirimkan naskah dengan harap-harap cemas. Jujur, jejak penolakan oleh empat penerbit sebelumnya masih mengganggu saya. Namun ternyata, kabar baik datang. Setelah antologi tersebut saya publikasikan dan narahubung penerbit saya kontak dan konfirmasikan, naskah saya diterima, tanpa revisi, tanpa penolakan, tanpa panjang negosiasi. Hanya dalam SEHARI!

Barangkali memang belum waktunya buku ini bertemu dengan etalase toko buku besar. Barangkali, saya memang harus kembali bersabar. Tetapi terbit melalui self-publishing atau penerbit indie juga bukan suatu kedukaan.

Buku saya terbit dan sudah sepatutnya saya bersuka cita!

Rute Nul Kilorasa adalah buku berisi sembilan puluh tujuh (97) puisi sesuai dua angka terakhir tahun kelahiran saya. Dikumpulkan sejak tahun 2019 dan tentu disusun dengan sebaik-baiknya. Dengan diksi yang khas, saya mengajak pembaca untuk mengartikan suatu pengandaian dan kalimat ke dalam bentuk paling sederhana namun bermakna.

Antologi puisi ini mencakup pengalaman, kebesaran-Nya, ungkapan cinta, interpretasi kehidupan, serta berbagai jenis rasa dari banyak sudut pandang.

Rute nol kilorasa dapat dipesan melalui https://www.guepedia.com/book/26578 atau di beberapa online store lainnya di seluruh Indonesia.

Deskripsi lengkap, ada di bawah ini.

Selamat membaca!

*****

Rute Nol Kilorasa
Penulis    : Siti Sonia Aseka
Ukuran    : 14 x 21 cm
No. QRCBN : 62-39-9140-878
Terbit : Juni 2022
Harga : Rp. 132.000
www.guepedia.com

Sinopsis :
Rute Nol Kilorasa adalah antologi puisi pertama penulis yang berisi tentang pengamatan dan kepekaannya terhadap kehidupan, manusia, Tuhan, cinta, hingga pengalaman-pengalaman istimewa yang ia rasakan dan orang lain kisahkan. Beberapa pernah dipublikasikan melalui sosial media, dituliskan sebagai surat dan pesan untuk orang-orang terkasih, serta keresahan-keresahan pribadi yang tidak sempat diungkapkan secara lisan, ditumpuk memenuhi folder laptop hingga jadilah sebuah naskah yang siap menemani pembaca.

www.guepedia.com
Email    : guepedia@gmail.com
WA di 081287602508
Happy shopping & reading
Enjoy your day, guys

GUEPEDIA
https://www.guepedia.com/book/26578
TOKOPEDIA
https://tokopedia.com/guepedia/rute-nol-kilorasa
BUKALAPAK
https://www.bukalapak.com/p/hobi-koleksi/buku/buku-lainnya/4h9qyj7-jual-rute-nol-kilorasa
GUEPEDIA STORE
https://guepediastore.com/products/9103194/-rute-nol-kilorasa-
SHOPEE
https://shopee.co.id/guepedia 

FACEBOOK
https://www.facebook.com/guepediapenerbit/shop/

INSTAGRAM SHOPPING
Silakan buka Instagram lalu cari Guepedia_Penerbitan dan masuk ke icon “Lihat Toko”, kemudian ketik judul di kolom “Search”.

Urgensi Kemahiran Berbahasa Inggris di Era Modernisasi dan Globalisasi

Urgensi Kemahiran Berbahasa Inggris di Era Modernisasi dan Globalisasi Sejak abad ke-18, bahasa Inggris ditetapkan sebagai bahasa Internasio...