Blogger Perempuan

Blogger Perempuan
Kunjungi laman Blogger Perempuan dan baca tulisan saya melalui link berikut

Minggu, 19 April 2015

Puisi (Curahan Rindu)

 
Rindu ini menjeratku.
Mampir dengan destinasi kelabu, yang sulit terhapus oleh mendung senja kelabu.
Refleksi yang tak jauh berbeda dengan dulu, saat semuanya masih tergenggam dalam kendaliku.

Kamu ada disini, di sekitarku.
Namun seolah jarak menengahi kita dan menyapa bersama rambu-rambu semu.

Saat aku berhasil menghapus nyatanya jarak, sesuatu yang mengganggu tiba-tiba muncul di kalbuku.
Kita tak pernah benar-benar terhubung, seperti kebanyakan orang bercerita tentang bagaimana mereka menghapus rindu.

Kita bicara mengenai dua arah, yang semestinya tergabung menjadi satu.
Entah karena malu, atau karena tak pernah mau menangkap kebenaran itu.

Seberapa aku mengharapkan kehadiran waktu, untuk kita sama-sama membagi rindu yang tak kunjung singgah dan menuju.

Sesulit aku mengungkap rasaku untukmu, yang berisi jutaan rindu hingga waktu merenggutnya untuk berlalu.

Mengingat kembali ketika kita pernah menertawakan hal yang sama atau saat kita saling menertawakan.
Semuanya indah namun memicu haru di benakku.

Kenapa semuanya tak bisa kembali seperti dulu?
Saat aku tak harus menumpuk luka lalu membiarkannya hingga nampak layu, atau ketika kita menjadikan satu sama lain sebagai yang nomor satu.

Cukup dengan kita mengingat, bahwa pernah ada sesuatu di antara aku dan kamu, walau itu tergolong semu.

Puisi (Retak Lalu Menyatu)

 
Ada yang retak, kasih
Disini.
Ada yang hilang, cinta
Disana.
Ada yang pergi, kasih
Ada yang datang.

Tuan, Andakah gerangan?

Tutup semua pintu, hentikan laju waktu, satukan serpih lalu menyatu.
Aku menujumu.

Rasa?
Aku tau!
Ialah Anda.

Ingatkah kau pada tidakku, Tuan?
Menantikah kau untuk iyaku?

Menataplah, Tuan.
Bukan, bukan mataku.
Bukan, bukan aku.
Tapi, hidupmu.

Sanggupkah kau membawaku kesitu?
Katakan, jangan ragu!

***

Palembang, 17 Maret 2015




(Siti Sonia Aseka)

Puisi (Senja yang Kehujanan)

 
Hujan kembali mampir sore ini.
Aku, seperti biasa. Duduk di antara kerumunan orang yang berkicau ria. Mengalahkan gemuruh hujan, tak peduli pada percikan air yang singgah ke tubuh mereka.
Seolah tak kedinginan, tak merasa terusik sedikit saja.

Aspal tampak basah.
Udara meniupkan nafas lembab dimana-mana.
Dedaunan bergoyang mengikuti kemana desah angin membawa mereka.
Masih pada posisi yang sama; aku tak hendak berpaling ataupun memejamkan mata.
Suasana ini terlalu indah untuk dilewatkan begitu saja.

Angin menampar tubuhku berkali-kali. Mantap membungkus setiap celah kosong tak terisi.
Kacamataku berembun.
Jari-jariku mengepal menjaga hangat untuk diikat.

Dan memori seketika terputar lagi.
Sungguh, ini lebih buruk daripada terjebak hujan yang entah kapan kan berhenti.

Terlalu menyakitkan memang. Ketika aku dipaksa untuk merindu (mungkin) sendirian. Menanti kabar, memperlebar sabar agar hati tak hendak berhenti di tepian.

Aku hanyut bersama sepi.
Sunyi yang datang bertubi-tubi.
Berharap satu pesan singkat dapat sedikit menghangatkan situasi.

Aku rindu getar itu.
Malu yang seketika menghampiriku ketika menatap matamu.
Sengatan listrik tak tampak yang memerintah tubuh untuk mati suri beberapa waktu.

Segalanya tak lagi sama, kini.
Hari-hari seolah kosong tak terisi, tak berarti.
Seperti aku kehilangan separuh jiwaku pergi.
Ketika dengan penuh kesungguhan hati ku katakan, bahwa kamu adalah salah satu harta yang selama ini kucari.

Satu tepukan pelan menyadarkanku dari tontonan semu.
Memberitahuku bahwa hujan telah berhenti, menyisakan sedikit gerimis di sekitar sini.

Matahari telah tak tampak lagi.
Mungkin sudah saatnya ia menyinari bagian bumi yang lain.
Meninggalkan aku disini, yang masih terbebani hati.
Terikat oleh sesuatu yang tak tampak, namun pasti.
Berada di antara tiang-tiang kekuatan yang dibangun bersama-sama, namun hanya dijaga seorang diri.

Sama seperti hari kemarin.
Nampaknya, aku harus mengakhiri hari sendirian lagi.

Aku (tetap) menunggu dalam rindu.
Mengharap waktu dapat sedikit membantuku, menyampaikan padamu bahwa aku hanya butuh satu; kamu.

Puisi (Adalah)

 
Adalah aku sang penantang rindu, yang tak kunjung melupakanmu dalam setiap helaan waktu.
Menapaki lurusan pasir pantai, berusaha untuk terlihat sama: baik-baik saja.

Adalah kamu sang peretas hati, pengendali memori. Objek rindu yang bagiku takkan lekang termakan masa.
Tergapai dalam siluet, terjangkau dalam setiap kepemilikan rasa. Ataukah hanya semu belaka?

Adalah kita sang perangkai cinta, penyulam setia, penenun percaya, serta pun penjahit kata.
Setitik ombak yang mampir kala resah, mengendalikan gelisah di rongga dada.

Adalah yang tak dapat terdeskripsi secara rinci.
Ialah hati yang bagiku tak jua melabuhkan pada satu rasa.
Yang lelah berjalan, juga tak hendak berhenti sendirian.

Adalah Sang Mega.
Pewarna dalam setiap melodi, yang menjadikan cinta sebagai obat penyembuh luka, penghalau galau yang merajai segenap jiwa dan raga.

Adapun senja.
Adalah sang penghubung abadi dalam setiap tawa dan luka.
Penghapus air mata, pelarut tangis, serta penghadir bahagia.
Bukankah indah?
Adalah... Kasih yang tak menemukan muara, sehingga mata turut serta mengeluarkan rasa: bulir-bulir permata.

Menyusun kata dalam untaian prosa, mengharap nyata kan menjadi akhirnya.
Kelamku, menjadi tirani penyiksa kalbu, bahwa sejak hari yang lalu, rinduku tak jua temukan obat yang engkau janjikan dulu.

Pantaskah ikatan itu ku lepas karena mu?

Puisi (Patah)

 
Masih tentang luka.
Bersama hujan di titik permulaan hari, kita bertemu lagi.

Entah bagaimana, cinta dapat membuat prosa paling indah, sekaligus paling tidak rasional untuk dibaca.


Mengatakan "Patah hati", padahal hati tak bertulang.



Sungguh pun, mengakulah; kalian orang yang sama, yang pernah menggunakan ungkapan itu. Terlampau tak dapat dihitung.

Tidak pernah ada yang nyaman dengan perasaan sakit. Satu orang pun, satu makhluk pun.
Namun, salahkah bila ku sarankan untuk menikmati luka, yang artinya juga ikut menikmati sakit?

Sekali lagi, itu hanya saranku.

Masalah utama dalam cinta adalah ketika luka hadir dan menguak air mata.
Dicampakan memang tak pernah menarik untuk dirasakan, tidak sama sekali.

Ketika yang kau yakini, ketika yang kau percaya, ketika yang kau jadikan tumpuan atas segala-galanya; suka dan duka, tak dapat menjaga segala yang telah kau beri, tersenyumlah. Katakan padanya, bahwa kau bisa. Dia bukan harta, apalagi dunia yang kau punya.

Menjadi jahat dimatanya bukanlah dosa. Kau tau, terkadang ada kesalahan yang harus dibalas dengan kekejaman serupa. Tak masalah.

Palembang, 9 Maret 2015.

Nikmatilah lukamu, lalu siapkan hati untuk seseorang yang baru, yang memahamimu, dan yang selalu ada kala kau butuh.



"Untuk seorang teman yang sedang patah hatinya, yang sedang terpuruk jiwanya, dan yang sedang dijatuhkan oleh cinta. Ingatlah, segalanya akan baik-baik saja, asal kau percaya." :)

Cerpen Romansa Islami (Sama)

 
Disa menengadahkan tangan. Menunduk dalam-dalam diatas sajadah, terdiam. Pipinya basah oleh air mata. Dia belum mengucapkan apapun, belum mengadukan apapun pada Tuhan-nya. Hanya saja, entah mengapa air mata selalu meluncur tatkala hendak memulai doa. Batin Disa berkecamuk. Dadanya sesak. Sedikit terisak, bibir mungil itu akhirnya mengucap suara. Ringan, pelan, perlahan. Ia tau Tuhan mendengar setiap denting bahkan yang terkecil sekalipun. Ia yakin, Tuhan melindungi tubuh kecilnya dibalik sayap-sayap damai, tanpa kata terkadang.

"Terimakasih untuk segala nikmat-Mu hari ini, Ya Rabb. Terimakasih atas apapun yang Kau beri, yang ku sadari maupun tidak. Yang ku ketahui maupun tersembunyi. Tenangkan aku, selalu. Terangi jalanku, sentuh aku dengan jemari-Mu. Kau tau apa yang ku mau dan yang terbaik bagiku. Termasuk, tentang dia. Mungkin Kau bosan mendengar aku menyebut namanya. Tapi, dialah mauku, bisa? Jaga ia, Ya Rabb. Limpahi berkah di hidupnya. Dia pria baik, dan aku tau Kau pasti lebih tau. Bimbing ia, haramkan bagi bencana untuk mampir di hidupnya. Jadikan aku pantas untuk berada disisinya, dan pantaskan ia untuk tetap ku harapkan...."

***

Amran baru saja selesai mengajar ngaji anak-anak di Mushola kampungnya. Belasan tubuh mungil itu, kini mengantri hendak menyalaminya hormat.

Amran tersenyum. Wajahnya cerah seperti biasa. Barulah, setelah Mushola sepi, ia mengeluarkan Al-Quran dari dalam tas hitamnya. Harta terbaik yang ia punya.

Kitab itu dibukanya pelan-pelan, seakan takut merusak.

"Siapa wanita itu, nak?"

Amran menoleh terkejut, sekejap kemudian buru-buru bangkit menyalami si empunya suara.

"Bapak mengejutkan saya." ternyata bapaknya. Amran tersipu malu, mempersilahkan sang bapak duduk lebih dulu.

"Bapak juga pernah muda." pria tua itu tersenyum bersahaja. Matanya menatap Amran teduh. "Jangan sungkan untuk bercerita pada bapak."

Amran mengangguk tiga kali, membiarkan bapaknya menyelesaikan batuk-batuk kecil di penghujung kata.

"Jadi, siapa wanita itu, Ran? Bapak perhatikan, kamu tidak pernah dekat dengan yang namanya wanita, selain ibu dan Listi."

"Namanya Disa, pak. Maharani Adisa." pelan Amran, kemudian tersenyum menatap bapaknya, segan.

"Nama yang cantik." gumam pria tua itu, lalu mengernyitkan dahi. "Kamu menyukainya?" sedikit terkejut, Amran merendah.

"Entahlah, pak. Saya bingung."

"Walah.. Jadi pria itu musti tegas toh, Ran. Suka ya bilang suka, tidak ya tidak. Bapak justru curiga, kalau tidak suka kenapa kamu menyimpan foto Disa disana?" bapaknya menunjuk Al-Quran yang terletak di atas meja, membuat Amran sekali lagi salah tingkah.

"Iya pak, saya menyukai Disa." menghela nafas sebentar, Amran melanjutkan, "Tapi tidak tau, Disa-nya suka saya atau tidak."

Bapak mengangguk-angguk paham. Kemudian menepuk bahu putra sulungnya itu memberi semangat.

"Allah tidak tidur, Ran. Kalau berjodoh, sudah pasti ada saja jalan untuk disatukan. Yang jelas, kamu musti sungguh-sungguh, berusaha, berdoa. Kalau sudah benar-benar yakin, bilang sama bapak. Biar kita kesana, temui orang tuanya, minta izin melamar anak mereka."

Amran tersenyum. Sedikit berkaca-kaca kedua matanya.

"Terimakasih, pak."

"Sama-sama. Sudah, jangan galau lagi. Anak bapak yang kuat kok ya bisa cengeng gara-gara wanita." bapaknya tertawa kecil, dan Amran segera menghapus setitik air mata pertama yang jatuh dari kedua matanya.

***



Palembang, 23 Februari 2015.


"Jika jatuh cinta, berdoalah. Semoga Allah merestui maumu, dan memudahkan jalanmu untuk bersamanya."

Puisi (Memuisikan)

 
 
Teruntuk, Anda
Unsur terpenting dalam setiap puisi, seluruh prosa, hingga rangkaian kata per kata.

Yang kala mengingatnya, hatiku sontak melontar zikir tiada sudah
Yang tanpanya, aku mungkin tenggelam dalam-dalam, kebingungan harus bagaimana menuliskan ribuan khayal menjadi arti dan bermakna.

Teruntuk Anda,
Titik imaji tertinggi
Tawa tanpa henti
Bahagia hingga ke pelosok hati

Selalu Anda,
Yang tanpa diundang, selalu mampir dan tak lekang
Yang tanpa diminta, menetap dan takkan pergi lagi; semoga.

Teruntuk Anda,
Selalu Anda.





Palembang, 29 Maret 2015
(Siti Sonia Aseka)

Cerpen (Naturally Love)

 
Liana membetulkan lagi letak kacamatanya yang melorot hingga pertengahan hidung. Membalik lembar demi lembar kertas dari buku tebal yang ia baca.
Perpustakaan ini sepi. Senyap, dan hening. Hanya suara pergantian waktu dari jam dinding yang menggema di setiap sudut ruangan.
Pria dengan kacamata berbingkai hitam di sebelah Liana terlihat amat membosankan -sama seperti dirinya- yang sama sekali tak terusik dengan berbagai macam suara karya si buntal penjaga perpustakaan tua itu. Bau kopi menguar dimana-mana, membuat Liana mencoba sesantai mungkin menarik nafas. Jelas, ia menyukai aroma kopi kental dengan campuran krim, atau hanya sekedar kopi hitam biasa.
"Sebaiknya, kita segera keluar dari sini."
Liana menggosok-gosok hidungnya yang terasa gatal. "Kenapa?" tanya gadis itu santai. Pria di sampingnya, yang baru saja mengeluarkan sebaris kalimat pendek menutup buku bersampul lusuh dengan wajah sedatar angin.
"Aku benci bau kopi." ujarnya kemudian, menoleh ke arah Liana yang terlihat aman-aman saja. Malah seolah tambah betah dengan bukunya.
"Tapi aku suka disini." tegas Liana, melancarkan protes halus dari nada suaranya yang setenang lautan.
"Katakan saja, bahwa kau suka menghirup aroma kopi ini lama-lama."
"Kau benar." Liana tersenyum tipis. "Jadi biarkan aku tetap duduk disini, membaca buku, dan bersantai dengan caraku sendiri." sambungnya padat.
Pria di sebelahnya mengeluarkan omelan-omelan kecil yang sama sekali tak di hiraukan oleh Liana.
"Orion Park, apa aku perlu memesan secangkir kopi panas pada Mrs. Brown agar kau bisa tutup mulut?"
Orion -nama pria itu- dengan gemas mengacak poni milik Liana yang tertata rapi. Membuat Liana mengeluarkan decakan-decakan kesal yang di buat-buat.
Orion tertawa, melindungi bahunya yang terkena pembalasan brutal dari Liana dua detik setelah ia menarik tangannya dari kepala gadis itu.
...
Orang-orang bilang, cinta tak butuh kesempurnaan. Namun entah mengapa, ketika bersama Orion, Liana merasakan kesempurnaan itu berpihak padanya.
Selagi mereka saling percaya, dan merasa nyaman satu sama lain, bukankah komitmen akan lurus-lurus saja?
Orang bilang, cinta bukanlah apa-apa tanpa rasa cemburu. Namun bukankah kecemburuan itu yang dapat menghancurkan suatu hubungan?
Lantas apa lagi?
Dari semua sistem yang ada, ada baiknya tetap berada di koridor sendiri-sendiri. Tak semua pepatah di dunia ini adalah benar dan harus di turuti. Terkadang, menjadi berbeda dengan tetap apa adanya adalah hal yang pantas untuk di jaga, di pertahankan.
...
FIN~

Puisi (Mencintai Tanpa Tapi)

Selamat sore, dari tebalnya riak debu jalanan. Dari bagian sisi kota yang tak terawas oleh mata.

Pertemuan kedua kali, dan aku dibuat tersenyum lagi-lagi.
Apa yang membuatmu istimewa selain kekata mereka tentang tawa renyahmu dan candaan tanpa makna yang luar biasa menawan hati?

Entahlah. Terlepas dari buncahan suka tak bertepi, aku khawatir mengenai satu hal; apakah kita akan bertemu lagi?

Aku duduk disini.
Diantara sekian banyak kepala, di bagian yang mungkin tak kau sadari hadirnya.
Memasang wajah setenang telaga, walau bola mata berlarian kemana-mana, mencari siluetmu yang tak tau ada dimana.

Tebak apa yang terjadi ketika tubuhmu tiba-tiba berjalan maju dari arah belakang?
Aku membeku.

Dan akhirnya, rasaku terpaku disitu, pada figur jangkungmu yang seperti kandungan magnet bagiku.

Ada yang berbeda kali ini.
Tak seperti debar biasanya, aku lebih bisa mengatur segala.
Tentang istilah tau diri dan mengerti posisi, aku menyadari.

Ketika aku percaya pada hatiku, seharusnya aku tak perlu meragukan apapun. Tidak pada jarak, tidak pada perasaan yang lain, tidak pula pada bisik dan desing tak kasat mata.

Kamu masih disana.
Tenang dengan wajah ramah seperti biasa.
Sesekali tertawa mendengar guyon dari teman-teman seperjuangan.

Aku juga masih di tempat, memperhatikanmu.
Kenapa tidak bisa memalingkan wajah sedikit saja?

Dan ketidakpedulian itu, seketika meyakinkanku tentang satu hal; aku menyukaimu, tanpa tapi.
Walau ku tau, mungkin setelah ini kita takkan bertemu lagi. Takkan saling bertatapan lagi. Takkan bisa melihat segala tingkahmu lagi.

Walau kita jelas-jelas terhalang spasi. Walau ada banyak alasan untuk pergi dan berhenti.

Selamat datang di Februari.
Aku akan mengingat selalu hari ini.

Cerpen (Mengenang)

 
Tempat ini masih sama.
Tak berbeda sejak empat tahun terakhir, ketika aku memilih pergi dan tak menyentuhnya lagi.
Sayangnya aku datang di musim berbeda. Memaksa nostalgia tak temukan titik penyatuan yang sesungguhnya.
Ketika aku menguatkan hati untuk kembali kemari, mengingat semuanya lagi, mengenang segala sesuatu yang pernah terjadi, aku mengalahkan rasa takutku dan menutupi celah kerapuhan di hati ini.
Berusaha terlihat baik, walau nyatanya sungguh terbalik.

Aroma kopi yang khas menyadarkanku, bahwa tempat ini benar-benar menyimpan ribuan kenangan yang tak terusik sedikit saja. Masih berada pada tempatnya dan tak berpindah.

Ketika kita pertama kali bertemu, ketika kita pertama kali bicara satu sama lain, ketika kita tertawa untuk alasan yang sama, ketika kita menatap ke arah objek yang satu, ketika kita bernaung di bawah langit yang sama, bahkan ketika kita memutuskan untuk berpisah, lalu memilih jalan berbeda.
Segalanya tentang kita, ada disini.

Dan aku masih tak paham, sebenarnya apa yang kita cari?

Ketika penyatuan yang dulu terasa indah tanpa kenal akhir, harus selesai bahkan sebelum dimulai.
Dan ketika perpisahn menjadi pilihan, kita pun tak kunjung temukan bahagia seperti yang pernah kita ikrarkan bersama-sama.

Salahkah?
Apa benar bahwa kebersamaan dan perpisahan ini adalah dosa?
Jika ia, haruskah kita menyalahkan pertemuan? Bukankah itu akan sama artinya dengan menggugat Tuhan dan takdir-Nya?

Seandainya saat ini, kamu ada disini.
Seandainya saat itu, kita tak berada pada puncak emosi.
Seandainya perpisahan itu dapat sama-sama kita hindari...
Mungkin takkan ada luka separah ini, dan takkan ada tangis yang menghiasi.

Namun kini semua berbeda.
Kalaupun Tuhan mengizinkan pertemuan sekali lagi, mungkin hanya untuk menyadarkan kita bahwa pernah ada kebersamaan yang mengikat memori. Bukan untuk bersatu kembali seperti waktu yang lalu, saat aku dan kamu masih menjadi kita. Saat kita, berharap ada pada keabadian, selamanya.

Cerpen (Something)

 
"Kamu mengetuk pintu, lalu ku bukakan. Kamu meminta masuk, lalu ku izinkan. Kamu ingin menetap, lalu ku persilahkan. Namun, dengan syarat; jangan pernah pergi, meninggalkanku sendirian."

***


Shabila masih berkutat dengan tumpukan kertas, membuat penanya menari-nari lalu menghasilkan sebuah titik terang atas soal-soal matematika; yang sebenarnya merupakan pelajaran paling ia hindari.

Cappucino yang tadinya beruap banyak, kini hampir tak membumbung lagi. Dingin.

Satu jam tanpa terasa, terlewat begitu saja. Kaki Shabila sedikit bergetar ketika menyentuh permukaan lantai yang dinginnya tanpa basa basi. Mendengus, gadis itu meraih ponsel yang ia terlantarkan di atas ranjang.

Tepat seperti dugaannya, dan sama seperti biasa; nyata yang menyerangnya dengan kejutan, dengan senyum mengembang, dengan suka, sesuai harapnya.

***


Jatuh cinta senyatanya ialah; kebodohan, keegoisan, dan kebutaan yang dibungkus oleh kebahagiaan.

Rela menghabiskan waktu hanya untuk memikirkan dia.

Rela menguras rasa demi cemburu terhadap siapapun yang dekat dengannya.

Serta, rela menutup mata atas segala kurangnya.

Cinta.



Tanpa sadar, dan tanpa aba-aba, terkadang hanya mampu memeluk dalam doa karena tak mampu merengkuh dalam nyata.

Atau,

Hanya berusaha untuk tidak menampakkan rasa, padahal sebenarnya meledak-ledak.

***

Ada yang mencintaimu, tanpa kau sadari karena terlalu sibuk mencintai yang lain.

Ada yang merindukanmu, tanpa kau sadari karena terlalu sering merindukan yang lain.

Ada yang memperjuangkanmu, sementara kau dengan kerasnya menuju yang lain.

Seklise itu, namun rumit pada nyatanya.

***

Ada yang berakhir karena masalah yang dapat diatasi.
Ada yang berakhir karena tamu tak diundang.
Ada yang berakhir karena perbedaan.
Ada yang berakhir karena kejenuhan.
Ada yang berakhir karena keegoisan.
Dan ada pula yang berakhir karena berpikir bahwa selesai adalah jalan satu-satunya.

Wajar.


Namun, sudah siapkah untuk menanggung luka?

***

Palembang, 10 Maret 2015.



"Memahami yang kau tuju, bukan perintah namun harusnya selalu."

Cerpen (Kita)

 
Nayra memegangi ponselnya dengan air mata yang mengalir perlahan sejak tadi. Waktu telah menunjukkan pukul dua dini hari. Dan gadis itu terisak kembali, meluapkan kecewanya lagi. Balasan yang ia tunggu tak memperlihatkan tanda-tanda akan datang, bahkan hingga nyeri di kepalanya mengganda tak tertahan.

'Sudah pulang, ya? Kenapa tidak balas pesannya? Istirahatlah.'

Nayra menyeka buah dukanya. Berusaha menguatkan diri. Mungkin Anggara telah lelap. Ya, mungkin pria itu sudah hanyut lebih dulu ke alam mimpi sehingga tak sempat membalas pesannya apalagi menelepon dini hari begini.

Nayra menarik selimut, lalu memejamkan mata. Walau baginya, sehari tanpa Anggara bagaikan setahun tanpa hujan. Dan Nayra, amat menyukai hujan.

***

Dear diary,

Aku rindu dia.
Rindu sekali.
Tapi, aku takut rinduku mengganggu keseruan harinya.
Bahkan yang lebih parah, aku takut merusak suasana hati yang ia bangun sejak pagi.

Dia pernah minta aku untuk mengerti hidupnya, ketika aku bersedia masuk kesana.
Bagiku, tak masalah selama aku mencintai segala yang ada dalam dirinya, segala yang ia punya, tak peduli apapun kekurangannya.

Tapi hari ini, sepertinya aku lelah.
Lelah menunggunya menyediakan waktu untukku, lelah menunggu kabar tak peduli waktu, dan yang terparah, aku lelah untuk mengerti.

Untuk sekali saja, aku ingin ia berada di posisiku. Di keadaan harus terus menunggu, harus terus sendiri kala butuh.

Satu kali saja.
Hanya satu kali.

Tertanda, Nayra Azzahra.

***

Cerpen (Hujan)

 
Hujan kembali mampir sore ini.
Membuat aroma tanah yang khas menguar dengan bebasnya di udara.
Trotoar berderap. Belasan kaki menghentak teratur untuk segera menyelamatkan diri.

Mataku tak lepas memandang sekitar.
Sesekali harus mengalah pada percikan air yang melompat dari tanah, tak tertampung sempurna.
Mengabaikan teriakan orang-orang di kanan-kiri agar berteduh ke tempat yang lebih baik.

Aku harus berterimakasih.
Langit mewakili hatiku untuk menumpahkan sesaknya.
Aku kelabu, dan luar biasanya, tanpa perlu berujar banyak, tekanan-tekanan resah itu perlahan terbawa arus air hujan yang mulai membasahi tepi-tepi sepatuku.

Ini hari yang sulit.
Di awali dengan usaha untuk melepaskan yang hampir tergenggam. Siapapun tau bahwa itu tidak mudah, tak akan pernah mudah.
Sama sekali ketika aku harus berpaling ke arah yang lain untuk menghindari kontak, sedikit saja. Aku terluka begitu banyak.
Entah bagaimana, ketika seseorang berkata, ada sejenis belati bambu mengiris hatimu perlahan-lahan. Itu benar.

Aku sesakit itu, dan tak ada yang tau.
Aku rapuh, tetapi tak ada yang menyadari dan membantu.

Mengingat yang tak pernah peduli, adalah bentuk dari simpati.
Tapi bukan itu maksudku.
Aku mencintai, yang tak pernah bisa tersentuh.
Mencintai yang tak pernah mampu tergapai, mencintai yang tak pernah ada di kala ku butuh.
Sehingga aku menyebutnya, masalah.

Lagi, ketika aku di hadapkan pada pilihan terakhir, bertahan atau pergi, yang ku mampu hanya menggeleng tanpa bisa melontarkan kata.

Jauh sebelum ini, aku benar-benar ingin menjadi satu-satunya.
Yang ia lihat tanpa perlu membandingkan berdasar pada apa dan bagaimana.
Tetapi tentu salah, ketika ku tau ia justru melihat pada yang lain di saat yang sama.

Lagi dan lagi, untuk waktu yang sudah tak bisa ku hitung banyaknya, aku terluka.

Hujan semakin deras, dan aku menarik nafas berat.

Izinkan aku mundur secara terhormat.

Cerpen (Edelweis)

 
 
"Mendung tak berarti hujan."

~

Ketika bangun, hal pertama yang tertangkap oleh visual mataku adalah wajah ibu.
Sembab, bengkak, memerah, berantakan.
Ia (tidak) sendirian.
Di sampingnya, sang suami -ayah tiriku- berdiri dengan wajah biasa, sangat biasa bahkan terkesan datar.

Ibu menjerit.
Nyaring suaranya menembus gendang telingaku begitu cepat.
Aku memegangi kepala.
Nyeri.

"Ya Tuhan... Ini mukjizat! Sayang, tolong panggilkan dokter!"

Beberapa kata penuh penekanan itu di ucapkan ibu cukup cepat. Aku memejamkan mata.
Nyerinya makin terasa.

"Ibu, kepalaku..."

~

Tidak banyak hal istimewa terjadi dalam hidupku. Termasuk dengan bagaimana caraku menghabiskan waktu.

Pohon ek ini semakin tua saja, kelihatannya.
Akar yang tampak menembus permukaan tanah mengingatkanku pada secangkir kopi yang biasa ku minum di kala senggang.

Dan ngomong-ngomong, aku melewatkan musim panas dengan amat sukses.
Rumah sakit menginfeksi berbagai indra tubuh, membuatku seolah terus-menerus tak berdaya.

Aktivitas baruku sejak terbangun seminggu yang lalu adalah tak henti menatap sekelompok edelweis di halaman belakang rumah.

Setauku, ibu tidak menyukai apapun yang berhubungan dengan bunga. Sama sekali tidak.
Suaminya?
Jangan tanya.

Aku bahkan lupa siapa namanya, berapa umurnya, atau sejak kapan mereka menikah. Apalagi mengenai hobi pria itu. Aku benar-benar tak tau. Lebih tepatnya, tak peduli.

Untungnya, pohon ek tua ini masih cukup rindang untuk menampungku dan sebuah kursi roda yang ku duduki.
Yang ku ingat, dulu pohon ini masih sangat kecil ketika ayah masih hidup. Yah... Dulu sekali.

"Masih disini rupanya."

Aku memutar kepala ke arah samping.
Tampilan seorang pria berwibawa menyambut pandangan mataku seketika.
Kacamata berbingkai hitam yang menggantung di antara kedua matanya, menyadarkanku betapa kharismatiknya ia.

Tapi terlepas dari itu semua, aku tak pernah sedikitpun berpikir untuk menyukainya.

Seseorang yang telah dengan tega merebut ibu dari ku. Jelas, aku takkan pernah melupakannya.

"Ya." singkat. Harapanku, ia akan segera berlalu dari sini atau bahkan pergi dari rumah ini selamanya, tanpa pernah kembali lagi.

"Kamu menyukainya?"

Aku mengernyit. Telunjuk pria itu mengarah pada gerombolan edelweis yang sejak tadi ku perhatikan.
Aku balas dengan mengangguk kecil. Entah ia melihat atau tidak, aku tak peduli.

"Lalu, kenapa tidak coba untuk memetiknya?"

Aku memutar kursi rodaku, mengarah padanya. "Aku tak tertarik, terimakasih."

Aku mengarahkan diri ke dalam rumah, melewatinya. Ingin segera sampai di kamar, lalu mengunci pintu dan berdiam diri seharian.

"Itu bunga keabadian. Aku menanamnya sebulan lalu, untukmu. Bahagia melihat kau menyukainya."

Aku menghentikan laju kursi rodaku lamat-lamat.

"Mengesankan." aku mendesis pendek. Ku dengar langkah kaki berderap menuju ke arahku dari belakang.

Dorongan besar begitu terasa disana. Seolah ini adalah adegan slow motion drama TV.

"Mau kemana kita? Ini bukan arah menuju kamarku."

"Ada yang ingin ku bicarakan. Sebentar saja, jika kamu tak keberatan."

Bayangan tubuhnya memutar, setelah kursi rodaku berhenti berjalan.
Sosok tinggi itu begitu tepat berada di depanku. Memaksa kepala ini mendongak menatap matanya.
Sekujur tubuhku menghangat.

"Apa yang ingin kamu sampaikan?"

"Kami akan bercerai."

Aku meringis, "Apa?"

Ia tersenyum teduh.
Dapat ku lihat genangan air yang siap melompat keluar dari matanya.

"Aku tak tau lagi apa yang harus ku perbuat agar kamu mau menerimaku. 7 tahun aku melewatkan kesempatan dan peluang untuk merebut paling tidak simpatimu. Ku pikir, sudah saatnya berhenti. Aku tau kamu tersiksa, nak. Maafkan aku terlalu egois, maafkan ibumu yang telah memilihku menjadi pendampingnya yang baru. Sekarang, kamu berhak bahagia. Dan ku sadari, inilah saatnya. Bersabarlah sebentar lagi, waktunya akan segera tiba."

Pria itu berjongkok.
Mensejajarkan posisi kami, sehingga kini aku dapat melihat cairan-cairan ketulusan itu mengalir pelan di wajahnya.

Kedua tangannya terulur memegang bahuku. "Senang dapat menjadi ayahmu walau hanya sekilas waktu."

Ia bangkit, dengan terlebih dahulu mengusap lembut puncak kepalaku. Derap langkahnya samar-samar.

"Jangan pergi... Ayah." aku tercekat. "Aku akan coba menerimamu sekali lagi."

Pria itu menghentikan langkah, dan di menit selanjutnya, ku rasakan sebuah pelukan hangat di punggungku, di sertai isak kecil pilu.

"Aku dan ibu membutuhkanmu."

~

*FIN*

Cerpen (Saling)

 
 
"Cinta tak hanya soal memuntahkan kata."

~

-Shania side-

Dulu, ku pikir semua pria adalah sama, hingga tak ada satu pun alasan bagiku untuk menyukai mereka.
Masalahnya sederhana: aku hanya tak ingin terluka.

Tapi pria ini berbeda.
Segala hal dalam dirinya, perlahan memaksaku membuka mata: tidak semua pria menyakiti wanita, lalu pergi tanpa mengobati luka yang telah mereka buat.

Kami tak pernah bertegur sapa, apalagi bicara untuk waktu yang lama.
Hanya sesekali saling menatap, lalu tersenyum dan bersikap biasa saja setelahnya.

Aku selalu suka melihat ia berjalan sendirian di tengah keramaian, atau ketika ia tersenyum pada orang-orang. Bagiku tak ada yang lebih indah selain rona merah di wajahnya.

Di titik itu, aku sadar telah menemukan satu lagi kebahagiaan: cinta.

~

-Nathan side-

Cukup dengan berpura-pura.
Aku mengaku telah jatuh cinta padanya, pada wanita itu.

Wanita berkacamata dengan lengkung indah ketika tersenyum, mempesona.
Padahal, apa bedanya ia dengan wanita yang lain?

Sekilas memang tampak sama saja.
Tetapi ada yang berbeda tiap kali aku menatapnya.

Aku suka mata itu.

Dalam, teduh, tenang, menghanyutkan.
Aku selalu betah menelusuri setiap isi di dalam bening bola matanya.

Ada saat ketika aku tak sadar menyunggingkan senyum ketika mengamatinya sibuk dengan buku bacaan.
Ia tampak istimewa. Entahlah.

Atau ketika ia tertawa bersama teman-temannya.
Ekspresi termanis yang belum pernah ku lihat sebelumnya.
Wanita ini..
Ceria, berkharisma, semua hal menarik ada dalam dirinya.

Tanpa alasan, aku memilihnya.
Dia.
Yang tampak berbeda, dan tanpa perlu berujar banyak, begitu indah dengan caranya.

Cerpen Romansa Islami (Fasting Edition)

 
Kamu ada di depan sana. Bersih dalam balutan putih nan suci. Damai senyummu, teduh pandanganmu, hanya dapat ku nikmati dalam hati yang tak henti memuji Sang Ilahi.
Pintu masjid penuh sesak oleh orang-orang yang hendak keluar, menunggu giliran. Dan aku begitu malas untuk ikut serta di dalamnya.
Posisiku masih sama. Duduk bersila, menundukkan kepala, dengan mukena yang tetap melekat di raga.
Alunan suara mu yang mengalun memenuhi masjid membuatku betah dalam diam yang lama.
Subhanallah...
Merdu sekali Ya Tuhan..
Betapa agungnya Kau limpahkan anugerah itu kepada pria terkasih.
Ku resapi bait demi bait ayat-ayat Tuhan yang kau baca.
Kurasakan syahdu yang lebih dari sebelumnya. Malam pertamaku di masjid ini, ibadah pertama di bulan nan fitri, ternyata ku lalui dengan begitu hebatnya.

***

Masjid telah sepi. Aku keluar dengan hati yang bagaikan terlahir kembali.
Ku lihat bulan menerangi kelamnya malam hari ini.
Ku dekap sajadahku erat. Senyum tak lepas menghias wajahku yang di bingkai jilbab berwarna biru pekat.
Baru ku sadari, waktu bergulir begitu cepat.

Ayah masih ada di dalam. Mungkin akan keluar sebentar lagi. Aku menunggu sembari memainkan ponsel yang sedari tadi ku matikan.
Ada beberapa pesan, menunggu balasan.

"Annisa."
Aku menoleh, mendapati ayah berdiri penuh senyum di wajahnya. Membuatku tak bisa menolak untuk melakukan hal yang sama.
"Ayah.." ku raih tangannya, ku salami dengan penuh hikmat.
"Oh ya, nak Affan, ini putri bapak. Annisa namanya."
Pria di samping ayah tersenyum padaku, sembari menangkupkan kedua tangannya di depan dada, dan aku pun berbuat hal serupa.
"Affan."
"Annisa."
Cepat-cepat ia menundukkan kepalanya, sebelum kemudian ku dengar ayah bersuara.
"Mari pulang. Sudah malam."
Ku biarkan ayah dan Affan berjalan di depan, sementara aku membuntuti di belakang. Sesekali dapat ku dengar perbincangan hangat mereka mengenai banyak hal. Tawa kedua pria di hadapanku sesekali memecah kesunyian malam. Bagaikan musik tersendiri bagi langkahku yang tadinya melemah karena kantuk yang melanda.

Suara indah ketika melantunkan ayat-ayat Allah tadi ternyata begitu lembut jika terdengar langsung di telinga.

Lengkap sudah malam ini, Tuhan.
Bisakah setiap hari ku lalui seperti ini?
Bersama damai-Mu yang mengusik hati, dengan berjuta rahmat-Mu yang menyelimuti nurani.
Hanya terimakasih atas ini, tak ada yang lain lagi.

Puisi (Takdir dan Kita)

 
Kamu tak seindah bunga kesturi.
Yang wanginya sebagian dari aroma syurgawi.
Kamu tak setampan Muhammad, yang senyumnya mampu meluruhkan hati berjuta umat.
Kamu pun tak setenang laut di kala surut gelombang.
Namun kamu hanyalah kamu.
Makhluk yang manis dalam sujudmu.
Makhluk yang lebih dari indah ketika terbasuh wudhu.
Dan makhluk Tuhan yang dapat menyelimuti hatiku dengan rindu.
Dapatkah kamu mendengar detak jantungku kala itu?
Bisakah kamu melihat semburat merah di wajahku?
Apakah kamu memandang senyumku yang malu-malu?
Cukuplah bagiku diam tanpa ragu mengenai rasaku padamu.
Tetap terjaga dalam zona yang tercipta di otakku, mengenai kamu yang tak pernah habis kukuh tetap di hatiku.
Aku nyaman dengan ini.
Dalam diamku yang betah dengan kata menunggu. Dalam senyumku yang kan terus menantimu.
Jika saat ini aku hanyalah aku, dan kamu hanyalah kamu. Maka suatu saat nanti, dua kata itu akan menjadi satu, yaitu kita dengan makna yang sama.
Maukah kamu berdiri di depanku dalam 5 waktu?
Memimpin ku ketika bersujud pada Tuhan?
Yang tangannya ku salami dengan penuh hikmat, yang wajahnya tenang dalam do'a-do'a yang melantun rapat.
Maukah kamu menjadi nahkoda kapalku?
Yang mengarahkan awaknya untuk tetap pada jalur yang benar, yang mengatur kapal dengan sepasti-pastinya?
Sungguh, hanya Tuhan yang tau. Dimana aku dan kamu akan berakhir tanpa berbatas khayal dan angan, namun berlabuh pada cinta yang semestinya.
Di bawah naungan kasih Yang Esa.

Cerpen (Nostalgia)

Koridor yang sama, tangga yang sama, lantai yang sama.
Atmosfer yang tetap hangat mengikat, cahaya yang menyelimuti setiap sisi yang ada.
Ingin rasanya ku bawa semua objek ini bersamaku, kemanapun ku mau. Selalu.
Siang yang terasa penuh hari ini. Penuh oleh bahagia yang tak tertahan dan penuh oleh memori lama yang terbongkar keluar.
Suara bel yang baru saja berbunyi membuat suasana sekolah riuh oleh lantunan do'a.
Aku rindu saat-saat seperti ini. Duduk di kursiku, mencorat coret buku, mengobrol tak kenal waktu, tidur semauku. Dulu.
Wajah-wajah muda penuh kepolosan itu menyambutku seketika. Membuatku harus menyingkir lebih lama, mengizinkan mereka untuk melangkah cepat keluar area.
Waktu berlalu cepat sekali.
8 tahun lalu, aku yang berada di posisi mereka saat ini. Dengan seragam putih abu-abu menutup diri, jilbab yang melekat sepanjang hari. Siap menjalani hari.
15 menit berlalu bersama lamunanku.
Sedikit lengang disini. Udara seakan berkumpul lebih banyak lagi.
Melanjutkan langkah, menyusuri barisan lantai yang ada.
Kaki-kaki kurusku berhenti di satu titik. Mengedarkan pandangan kesana sini, sebelum mulai untuk menjelajah lagi.
"Selamat siang pak."
"Siang."
Satu helai memori terkuak lagi dari tempatnya. Hanya dengan lirihan suara singkat, aku seperti membuka lebih banyak ruang ingatan.
Ku putar tubuhku untuk melihat ke belakang. Sesosok tubuh jangkung menyambut pandangan mataku seketika, tanpa hambatan. Ya, itu dia. Pria itu. Tak perlu waktu lama untuk mengenalinya. Terlalu mudah, terlalu ringan.
Seolah angin membelah duniaku sekejap saja. Pria itu mendongak, membuat pandangan mata kami bertemu dalam diam yang lama.
Mata itu pun masih sama. Bening dan apa adanya. Membuatku hanyut kedalam dunia yang sama, seperti awal berjumpa.
"Lama tak bertemu." Senyum itu tampak ringan, bersahabat, hangat. Membuatku mau tak mau ikut tersenyum dalam diam yang tak kunjung hilang.
"Apa kabar?"
3 detik! Dan aku mengerjapkan mata dengan bodohnya.
"Ba-ik." terbata, ku lihat tawa kecil merekah di wajahnya. "Kau?" Menyambung kata sedemikian rupa, ku harap takkan ada kekosongan yang hadir disini, saat ini.
"Seperti yang kau lihat." lagi-lagi, tanpa melepas senyum ramah yang sedari tadi ia tampilkan di depan mata.
Aku mengatupkan mulutku yang menganga sedikit. Pura-pura mengalihkan pandangan ke arah jam tangan di pergelangan.
"Wah... Sudah sore." ujarku, di balas senyum simpul yang ke sekian kali olehnya.
"Kalau begitu, aku... Pulang dulu." aku mengangkat tangan kananku, berusaha melambai di ambang canggung yang memburu.
"Secepat itu?"
"Ya?"
"Biar ku antar pulang, teman lama."
Pria itu melangkahkan kakinya melewatiku, masuk ke sebuah ruangan yang ku tau sebagai ruang guru. Sebentar kemudian muncul, bersama dengan tas jinjing hitam dan jaket abu-abu yang telah membungkus rapat tubuhnya.
Ia menoleh sebentar padaku, menggerakkan kepalanya, sebagai isyarat agar aku mengikuti.
Hingga aku sadar bahwa kami telah bertemu lagi.
Di tempat ini, di situasi ini.
Di atmosfer yang sama, di kondisi yang aku sendiri tak bisa pahami.
Dia ada disini, berada di jarak sedekat ini, sesuatu yang dulu mungkin tak pernah terjadi.
Mungkinkah aku akan memulai lagi?
Kisah yang aku sendiri belum bisa mengerti?
Di tengah kecamuk hati yang merajai diri, aku sadar bahwa kemanapun aku pergi, takdir akan merangkulnya kembali.
Tak masalah memulai lagi.
Selagi hati masih terpatri, apapun akan bisa terjadi.
Merangkai hari, bersama sebuah hati yang menunggu untuk di tempati.

Puisi (Tentang Aku, Kamu dan Waktu)

Semuanya, berawal dari hati.
Tentang aku, kamu, dan waktu.
Mengenai rasa yang belum bisa mencapai muara.
Mengenai cinta yang tumbuh dengan sendirinya.
Ketika pandangan kita bertemu, ketika kita menundukkan kepala karena malu, senyum yang tersipu.
Aku tau tak seharusnya terlalu buru-buru. Karena sesungguhnya aku tak pernah tau hatimu, sebelum kamu mengungkapkannya lebih dulu.
Aku berjuang untuk rasaku padamu.
Berjuang demi hatiku yang menunggu.
Berjuang bukan karena aku menginginkanmu, tetapi karena rasaku telah betah bersamamu.
Sampai kapan aku harus pura-pura tak tau?
Sampai kapan aku harus bersembunyi di balik malu?
Karena cinta tak tergantung waktu, dan karena cinta tak perlu terus berburu.
Selama aku mampu menghargai rasa yang timbul di hati, sepanjang aku dapat menjaga cinta yang Tuhan beri.
Takkan ada yang salah, karena memang tak pernah ada masalah.
Beginilah aku, bersama caraku mencintaimu~

Urgensi Kemahiran Berbahasa Inggris di Era Modernisasi dan Globalisasi

Urgensi Kemahiran Berbahasa Inggris di Era Modernisasi dan Globalisasi Sejak abad ke-18, bahasa Inggris ditetapkan sebagai bahasa Internasio...