Blogger Perempuan

Blogger Perempuan
Kunjungi laman Blogger Perempuan dan baca tulisan saya melalui link berikut

Rabu, 26 Oktober 2022

Come to Terms with The New Role

Come to Terms with the New Role


Proses kehamilan hingga melahirkan adalah sebuah perjalanan panjang sekaligus singkat. Februari 2022, God gave a gift in the form of two blue lines which made many people overcome with joy. Dari sana, petualangan trimester pertama adalah yang tersulit sekaligus mendebarkan. Selalu ada kekhawatiran tentang janin dalam kandungan; apakah ia berkembang dengan baik? Apakah ia sehat dan cukup kuat untuk bertahan sampai tiba masa persalinan? Pengalaman kehilangan nafsu makan, morning sickness berupa pusing dan sakit kepala setiap hari, moodswing tanpa henti, hingga ketidakinginan untuk bertemu banyak orang; tidak percaya diri sebab hormon yang tidak stabil menyebabkan sepanjang kehamilan, wajah dipenuhi oleh jerawat dan flek hitam.

Kehamilan pertama adalah waktu-waktu krusial di mana kehidupan seolah berubah seratus delapan puluh derajat dari biasanya. Apalagi kala itu diwarnai dengan keharusan untuk hijrah ke sebuah kota baru. Perut memang belum menggelembung. Tubuh memang belum menampakkan perubahan signifikan. Tetapi deep down inside, ada yang sedang tumbuh dan mengakar, ada yang rebah dalam sebuah kantung kecil nan lembut, ada yang sedang berjuang untuk memperolah penghidupan. Belum ada detak jantung apalagi kejelasan soal jenis kelamin. Butuh beberapa minggu untuk melihat kembali melalui sebuah alat dan meyakinkan diri bahwa semuanya sehat, saya kuat, janin saya bergantung pada bagaimana saya menjalani hari-hari.

Lalu tibalah saatnya trimester terakhir. Jadwal check up diperbanyak. Nyaris lebih dari sekali dalam sepekan. USG, konsultasi, check lab karena HB yang masih berputar di angka sepuluh koma, meminum lebih banyak obat, makan makanan penambah darah lebih giat, dan tak lupa berjalan kaki lebih sering. Semua dilakukan sebab yakin bahwa persalinan akan berlangsung secara normal.

Sampai 29 September, pertemuan terakhir dengan dokter kandungan di RS pilihan. Bobot janin besar, timpang dengan ukuran panggul ibu serta pengapuran plasenta. Dengan kata lain, bayi harus dilahirkan segera. Ditawarkanlah opsi untuk operasi caesar sore itu juga. Kegalauan mencuat. Terlalu cepat. Kesiapan masih perlu dikumpulkan. But at the end, a mother always wants the best for her child. Whatever it is.

Setelah diskusi dengan keluarga, akhirnya diputuskan; caesar pada 1 Oktober. Ada waktu satu hari untuk memeriksa kembali kelengkapan dokumen dan mempersiapkan mental.

Pagi itu terasa lebih dingin dari biasanya. Kegugupan menyala-nyala dalam dada. Di dalam kendaraan yang mengantarkan menuju rumah sakit, pikiran tentang mati terasa semakin tebal melekat di dahi. Bagaimana jika hanya ada satu kesempatan hidup untuk satu orang? Bagaimana jika operasinya gagal? Bagaimana bila tidak ada cukup waktu untuk mengatakan kepada bayi yang bahkan belum sempat saya temui bahwa saya amat mencintainya?

Begitu sampai, proses berjalan cepat. Swab dan pemeriksaan darah, pendaftaran, lalu pemeriksaan tekanan darah, pemasangan infus, pemasangan kateter, deteksi alergi obat-obatan, pemeriksaan keadaan bayi melalui detak jantung dan gerakannya, kemudian berpindah ke ruang operasi di mana suasana terasa jauh, jauh lebih dingin.

Eracs adalah metode yang digunakan oleh tim dokter dengan pertimbangan pemulihan lebih cepat dan minim rasa sakit. Jangka waktu puasa juga lebih singkat ketimbang Caesar biasa. Namun, dalam kasus saya sendiri, terjadi fenomena tidak umum, yaitu keharusan disuntikannya bius sebanyak dua kali sebab bius pertama tidak bereaksi. Maka jadilah kata pulih lebih cepat dan minim rasa sakit itu hanya tinggal angan-angan. Saya malah harus mengalami rasa sakit luar biasa di bagian punggung yang menjalar hingga pundak, leher, dan kepala. Kesulitan untuk duduk, berbaring, dan berdiri sampai dua pekan setelah operasi, kesulitan untuk jongkok sehingga menganggu proses buang air kecil dan besar.

Proses persalinan sendiri memakan waktu tak sampai 30 menit. Bayi lahir sehat, selamat, tangisannya kencang, lalu tak lama, proses penutupan luka dilakukan setelah bayi dibawa keluar untuk sedikit dibersihkan sebelum dilakukan IMD (Inisiasi Menyusui Dini).

Safiyya Gania Rumi, itu namanya. Safiyya, teman terbaik. Ada banyak harapan dan kesadaran dari sebuah nama. Sebab nama bermakna 'cantik' sudah begitu banyak dipakai. Dan menjelma cantik saja tidaklah cukup bila tak pula dapat dijadikan teman yang baik. Apalah artinya, bukan?

Pertama kali Yaya (begitu kami memanggilnya) diletakkan di atas dada, Mashaa Allah. Si kecil inilah yang senantiasa ada kala waktu berjalan lambat setiap hari dalam 9 bulan. Si kecil ini yang menendang konstan pada waktu-waktu yang saya hapal di luar kepala.

IMD dilakukan selama satu jam. Selama itu, saya biarkan ia bergerak dan mengeluarkan ragam suara. Mengamati bagian-bagian tubuhnya, mengingat secara detail letak tanda lahirnya, memperhatikan bentuk mata, hidung, dan bibirnya, mensyukuri kehadirannya yang tanpa cacat dan salah. 

Setelahnya, saya dipindahkan ke ruang perawatan, masih dengan separuh bagian tubuh tidak bisa bergerak dan mati rasa. Saya pulang setelah 3 hari, masih dengan seluruh tubuh nyeri dan sulit digerakkan. Saya menghabiskan 2 pekan penuh di bawah pengawasan dan bantuan keluarga. Termasuk untuk pergi ke toilet. Pergerakan yang terbatas inilah menyebabkan saya begitu bergantung pada obat penghilang rasa sakit. Belum lagi permasalahan ASI yang belum lancar pada beberapa hari pertama. Membuat peran baru sebagai ibu terasa demikian berat. Merasa bersalah terhadap anak, serta down mendapati bentuk tubuh yang berubah sekian banyak; stretchmark, gelambir, jahitan, perubahan warna, sampai bengkak-bengkak.

Tetapi, saya masih percaya bahwa a woman's body is very capable of dealing with the process of pregnancy to childbirth as well as facing new changes afterward.

Perubahan itu nyata, jelas ada, namun tentu semakin menguatkan posisi kita sebagai seorang ibu, sebagai perempuan yang telah melahirkan penerus baru peradaban.

Adaptasi selama nyaris satu bulan setelah melahirkan jelas bukan pula hal yang mudah. Terjaga setiap hari, hampir tidak pernah mendapat jatah tidur cukup seperti dulu. Proses mengASIhi yang juga tidak selalu mulus, sampai harus menyiasati waktu terbaik untuk menyelesaikan pekerjaan rumah sebelum si kecil mungil terbangun.

Menjadi ibu adalah pekerjaan seumur hidup. Menemani anak-anak adalah perjalanan yang harus dihadapi dengan berbagai macam bentuk sabar. Being a mother, in truth, is a process of getting better every single day.

I told myself the first time I saw my daughter and hugged her so warmly; welcome, myself. Welcome to a new world that you must always fill with spaciousness and the best of love.

Menjadi seorang ibu memang membahagiakan. Tetapi tetap jangan lupakan, bahwa kadang, peran ini melelahkan dan memintamu duduk tenang, mengenali dirimu sendiri lagi, demi memulai kembali dari awal dengan persediaan cinta yang baru.

Canggung itu pasti ada. Tak lama mendapati diri sebagai istri, lalu secara cepat diberi amanah sebagai ibu, kemudian barangkali akan mendapat kejutan lain lagi di hari-hari setelahnya. However, these times will pass and we will look back on them with gratitude and pride.

Rabu, 31 Agustus 2022

[OPINI] Tentang Guyon yang Dianggap Serius



"Sekarang kan sedang viral di Bandung, ternyata ibu-ibu banyak yang kena HIV/AIDS. Kedua, anak-anak muda banyak juga yang kena. Maka pernikahan menjadi solusi untuk memelihara seseorang dari perbuatan zina," ujar Wakil Gubernur Jawa Barat, Uu Ruzhanul Ulum.

Lalu statement kedua:

"Daripada seolah-olah dia (suami) tidak suka begitu, tapi akhirnya kena (HIV/AIDS) ke istrinya sendiri, toh agama juga memberikan lampu hijau. Asalkan siap adil, kenapa tidak? Makanya daripada ibu kena (HIV/AIDS), sementara ketahuan suami seperti itu, mendingan diberi keleluasan untuk poligami." ucapnya.

Pernikahan dan poligami BUKAN solusi atas maraknya kasus HIV/AIDS apalagi bila dijadikan wacana untuk (katanya) melindungi generasi muda. Yang dibutuhkan oleh anak-anak kita saat ini adalah pencerdasan tentang bahaya seks bebas (seks berisiko tanpa pengaman), bahaya penggunaan jarum suntik untuk pemakaian obat-obatan terlarang (Narkotika), mengedukasi masyarakat terkait kontrasepsi sedini mungkin, serta pencerdasan mengenai risiko pernikahan dan persalinan dini.

Pertama-tama, mengenai pernikahan. Pernyataan Wakil Gubernur Jawa Barat di atas, bisa jadi disalahartikan menjadi narasi yang mendukung pernikahan dini. Sialnya, pernikahan dini dan nikah muda kerap disapahpahami seolah satu hal yang sama, walaupun sejatinya berbeda.

Berdasarkan aturan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 atas perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan di Indonesia, syarat nikah KUA adalah minimal berusia 19 tahun untuk perempuan dan laki-laki. Pasangan dengan usia di bawah 19 tahun yang hendak menikah diperbolehkan mengajukan dispensasi yang harus diurus oleh salah satu atau kedua pihak orangtua. Sayangnya, penambahan pemberkasan yang dianggap rumit ini membuat nikah di bawah tangan atau nikah siri menjamur terutama di daerah-daerah terpencil yang kesulitan menerima akses informasi.

Dari sisi kesehatan, dampak dari pernikahan dan persalinan dini secara fisiologis bagi ibu dan janin adalah tekanan darah tinggi, keguguran (abortus), persalinan premature, berat badan lahir rendah (BBLR) dan kelainan bawaan, mudah terjadi infeksi, anemia kehamilan, dan kematian ibu. Dampak jangka panjang perempuan yang menikah dini dan hamil usia muda sebelum 20 tahun ialah akan mengakibatkan pertumbuhan tulangnya terhenti. Pada kondisi paling parah, kepadatan tulang tidak tercapai optimal dan menyebabkan tulang keropos atau osteoporosis. Anak-anak yang lahir dari pernikahan dini juga berisiko tinggi terkena stunting (kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat dari kekurangan gizi kronis sehingga ukuran tubuh terlalu pendek untuk anak usianya).

Sedangkan secara psikologis, ibu dan anak-anak korban pernikahan dini berisiko tinggi menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), ditelantarkan, menerima pola asuh keliru, perceraian, berujung pada depresi atau gangguan kecemasan berat.

Maka, alangkah lebih baik apabila generasi muda diedukasi mengenai pernikahan yang sehat, melibatkan kedewasaan kedua belah pihak, kesiapan dalam aspek mental, psikis, fisik, dan finansial. Bukan sesuatu yang dilakukan hanya dengan berlandaskan nafsu atau alasan "demi menjauhi zina" yang mengakibatkan menurunnya kualitas generasi penerus berkat ketidaksiapan orangtuanya dalam pengasuhan.

Lalu, poligami yang menjadi buah bibir dalam beberapa hari ke belakang berkat opini kontroversial oleh Wakil Gubernur Jawa Barat yang menyatakan bahwa poligami dapat menjadi penawar atas meningkatnya kasus masyarakat yang terinfeksi HIV/AIDS. Hal ini sesungguhnya secara tidak langsung berpotensi mendukung (lagi-lagi) pernikahan di bawah tangan atau nikah siri, menurunnya keseimbangan antara ayah dan ibu dalam kontribusi pengasuhan anak, tidak stabil dan tidak idealnya kondisi rumah tangga, serta adanya potensi pengabaian kualitas pendidikan, layanan kesehatan, serta mutu hidup yang seharusnya menjadi tanggung jawab orangtua kepada anak.

Kementerian Kesehatan mencatat, jumlah kasus Human Immunodeficiency Virus (HIV) pada 2021 sebanyak 36.902 kasus. Adapun jumlah kasus HIV stadium lanjut atau Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) di Indonesia sebanyak 5.750 kasus. Sementara data yang dihimpun oleh Kementerian Kesehatan dari 2009 sampai 2019 menyatakan Pengidap HIV/AIDS terbanyak ialah dari kalangan karyawan dan ibu rumah tangga.

Kerentanan ibu rumah tangga rentan tertular HIV/AIDS ditengarai disebabkan oleh ketimpangan gender yang berdampak pada ketidakmampuan perempuan mengontrol perilaku seksual suami, seperti membeli jasa pekerja seks komersial dan memakai narkoba suntik. Jadi, hal ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan poligami. Praktik poligami sama sekali tidak membantu mengatasi angka pengidap HIV/AIDS. Sebab apabila seseorang terinfeksi HIV/AIDS lalu menikah dan menularkan virus kepada isteri dan anaknya, terus menerus, berkali-kali, maka jumlah kasus HIV/AIDS akan terus bertambah.

Pemerintah harus lebih terbuka kepada masyarakat terkait penanganan HIV/AIDS ketimbang terus membangun stigma tentang mitos-mitos penularan virus dan berhenti menyebarkan informasi yang salah tentang HIV/AIDS. Edukasi yang tepat terkait virus ini akan mampu menekan kenaikan angka kasus ODHA setiap tahun.

Sudah ada jenis obat yang dapat memperlambat laju perkembangan virus. Jenis obat ini disebut sebagai antiretroviral (ARV). ARV bekerja dengan menghilangkan unsur yang dibutuhkan oleh HIV untuk menggandakan diri dan mencegah HIV menghancurkan sel CD4. Dengan kata lain, ARV dapat mengendalikan jumlah virus HIV dalam tubuh sampai tidak terdeteksi dan tidak juga dapat menularkannya.

Pencerdasan terkait pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS jauh lebih substansial ketimbang terus menekankan pada fantasi dan andai-andai yang tidak juga terbukti secara ilmiah.


Tangerang Selatan, 31 Agustus 2022

Siti Sonia Aseka

Rabu, 15 Juni 2022

[OPINI] Kejahatan Seksual dalam Lingkar Aktivisme

Banyak orang mempersempit makna aktivisme sebagai hanya gerakan untuk mengemukakan masalah seputar pemerintahan dan politik saja. Padahal, lebih dari itu. Aktivisme sejatinya adalah aktifitas bersuara dan berbuat terkait tatanan masyarakat pun lingkungan. Oleh sebab itu, isu-isu dan narasi yang dibawa para aktivis (biasanya) tidak sekadar terbatas pada kepentingan satu golongan.

Namun belakangan, roda gerakan mulai diwarnai sekian kontroversi. Salah satunya oleh kasus pelecehan dan kekerasan seksual yang dilakukan orang-orang dengan riwayat aktivisme. Hal ini dapat terjadi karena minimnya pemahaman dan keingintahuan masyarakat terhadap topik-topik berkenaan dengan kejahatan seksual, ketimpangan gender, kekeliruan konstruksi sosial tentang peran serta fungsi perempuan dalam kehidupan sosial, minimnya pemberdayaan, hingga tidak ada upaya untuk meningkatkan partisipasi serta akses perempuan di berbagai bidang.

Saat masih aktif sebagai mahasiswa dan tergabung dalam organisasi internal kampus, saya kerap mendengar banyak isi kepala disampaikan mengenai peran perempuan. Harus bisa masak, harus terampil mengurus anak, harus gesit mengerjakan pekerjaan rumah sekaligus melayani suami. Tidak perlu bergelar pendidikan tinggi, karier juga bisa diatur nanti. Apabila ada pengurus organisasi 'terlihat' atau 'mengaku' tidak bisa memasak, tidak mencuci piring bertumpuk-tumpuk yang selesai dipakai orang lain di sekretariat (padahal memang seharusnya pengguna peralatan makan harus segera mencucinya sendiri sebagai bentuk tanggung jawab), petugas piket perempuan terlambat atau tidak datang walaupun dengan keterangan, dan lain sebagainya, maka siap-siap akan dicap sebagai perempuan pemalas yang nanti tidak mungkin menikah karena tidak ada laki-laki bersedia menerima perempuan yang tidak mau, tidak bisa, serta tidak mampu menghandle urusan-urusan domestik. Padahal, manusia-manusia yang berkata demikian, adalah orang-orang yang senantiasa kelihatan gagah dalam balutan almamater mentereng dan toa aksi di lapangan sana. Yang suaranya membahana membela rakyat (katanya). Tetapi soal basic life skills saja masih membebankan kepada (hanya) perempuan.

Apa salahnya bahu membahu? Saling bantu? Bekerja sama? Apa salahnya tidak selalu memandang gender dalam tugas dan tanggung jawab bersama? Ingat, organisasi bukan tempat bagi satu pihak saja untuk bersinar dan bersenang-senang, tetapi merupakan kesempatan bagi semua orang untuk menjadi berbagai bentuk sesuai kehendaknya. Tanpa paksaan, tanpa tekanan.

Beberapa orang yang melabeli dirinya sebagai aktivis seringkali merasa sudah menjalankan tugasnya dengan baik apabila telah lantang menyatakan pendapat terhadap isu politik. Namun sayang, mereka malah melupakan sisi lain, yaitu 'adil sebagai manusia dan menjunjung tinggi kemanusiaan' selain 'merdeka sejak dalam pikiran'.

Pada awalnya, saya masa bodoh mengenai anggapan-anggapan demikian. Pemikiran-pemikiran sempit yang tidak bisa disembuhkan dengan sebaris-dua baris nasihat jelas tidak layak dijadikan bahan perdebatan. Toh, nilai seorang perempuan tidak semata soal keterampilannya dalam menjalani hal-hal yang tidak ia inginkan, bahkan terkesan memperbudak. Coba bayangkan, berapa banyak perempuan harus menerima hidup dalam tekanan pola pikir patriarki tersebut hanya sebab kehilangan suara dan terjebak dalam lingkungan yang menanamkan kesalahan sebagai absolut kebenaran? Berapa banyak perempuan harus mengubur mimpinya dalam-dalam hanya demi memuaskan ekspektasi dan tuntutan masyarakat mengenai rupa perempuan sempurna versi era penjajahan?

Hal-hal seperti ini, secara sadar maupun tidak, telah berhasil melanggengkan perbuatan-perbuatan yang mendasari kian maraknya kejahatan seksual kini dan di masa yang akan datang. Sebab perempuan hanya dipandang sebagai objek dan bukan entitas dengan hak berdikari yang sama yang memiliki kesempatan untuk memilih dan menentukan.

Kesadaran terkait keadilan gender sudah seharusnya dibentuk sedini mungkin, dari level paling bawah, agar jangan sampai ada lagi kasus kejahatan seksual yang justru dilakukan oleh para aktivis dengan memanfaatkan nama baik dan panggung kekuasaan. Aktivis yang memiliki idealisme untuk bermanfaat bagi orang banyak perlu menyadari perannya dalam penghapusan stigma yang menjerat perempuan, bukan malah ikut ke dalam barisan mempertanyakan keikutsertaan perempuan sehingga mengokohkan konstruksi berpikir keliru.

Anggapan dan budaya patriarki sedikit banyak mengambil porsi signifikan dalam terbentuknya mentalitas menyepelekan salah satu gender dan menempatkannya lebih rendah daripada gender yang lain. Hal ini memicu menjamurnya tindakan tidak menyenangkan yang lebih dari separuhnya dialami perempuan sebagai korban. Tidak sedikit laki-laki yang masih menganggap bahwa perempuan hanyalah objek seksual, budak dalam institusi rumah tangga, hingga membatasi hak-hak perempuan untuk aktif dalam kegiatan-kegiatan masyarakat. Dari jumlah tak sedikit itu, segelintirnya ialah kaum-kaum aktivis yang memiliki riwayat lantang dalam menyuarakan kritik terhadap pemerintahan, namun lebih kuat lagi suaranya dalam menekan partisipasi perempuan.

Aktivis kaleng-kaleng begini, biasanya amat getol dalam mengomentari kesuksesan perempuan, tetapi justru semangat sekali membela kesalahan sesama lelaki. Rajin mencari-cari kesalahan perempuan untuk mendukung maskulinitasnya yang rapuh. Takut kalah bersaing dengan perempuan, menolak kolaborasi, hingga mendiskreditkan perempuan hanya demi mempertegas ketidakmampuannya dalam bersaing dan unggul.

Ironi rasanya mendengar berbagai idealisme meluncur dari mulut mereka yang juga kerap menjadikan perempuan si nomor dua. Sayangnya, hal-hal demikian juga tidak dapat berhenti sekejap mata.

Kasus kejahatan seksual yang terjadi dalam lingkar pergaulan aktivis seharusnya membuka mata kita akan urgensi saling menghormati dan bahu-bahu untuk menciptakan iklim sosial yang lebih baik dan terhindar dari tindakan-tindakan mengarah pada pelecehan dan kekerasan seksual atau perbuatan tidak menyenangkan lainnya.

Tidak ada salahnya bila laki-laki turut bersuara menentang tindak kejahatan seksual. Tidak masalah pula bagi laki-laki untuk ikut serta menolak budaya patriarki. Sebab korban kejahatan seksual seringkali tidak memandang gender. Laki-laki dan perempuan berpeluang sama dalam menerima perlakuan yangn tidak berkenan dan tanpa persetujuan.

Sudah waktunya bias gender dihentikan demi terciptanya kedamaian dalam upaya meningkatkan kemajuan generasi. Sudah seharusnya aktivisme kembali pada fitrah sejatinya untuk membawa kemaslahatan bagi semua orang dari berbagai lapisan masyarakat, menjadikan para aktivis sebagai teladan dan garda terdepan, sosok yang menghadirkan rasa aman serta mencerminkan wibawa. Yang pikirannya seterang sikapnya, yang menegakkan nilai-nilai kemanusiaan sampai tulang belulang, yang mampu memimpin logika dan nuraninya sejalan menuju sebuah tatanan perubahan baru ke arah yang lebih baik.

Sudah sepatutnya aktivisme dibersihkan dari pencemaran sejenis. Mari buat status aktivis yang menempel pada banyak dari kita sebagai identitas yang membanggakan dan bukan bahan guyon, apalagi hanya disandang demi memuaskan ego serta ambisi pribadi.



Tangerang Selatan, 15 Juni 2022

Siti Sonia Aseka

Jumat, 10 Juni 2022

Antologi Puisi: Rute Nol Kilorasa

 

RUTE NOL KILORASA

Penulis mana yang tidak ingin buku-bukunya terpajang di rak-rak toko buku besar? Atau bahkan di etalase best seller sebab dibaca ribuan orang dan dicetak ulang berkali-kali?

Saya pikir, semua penulis mengawali mimpinya dari satu keyakinan sederhana, bahwa suatu hari nanti, waktu yang tepat itu akan tiba. Namanya akan dikenal sebagai penulis atas buku yang berhasil difilmkan, diterjemahkan ke bahasa asing bahkan, atau dibedah dan diperbincangkan jutaan kali dari masa ke masa. Tetapi, tentu, tidak ada yang instan di dunia ini, bukan? Proses yang dilalui tiap-tiap penulis pastilah berliku dan sesak oleh kekecewaan.

Saya salah satunya.

Buku kedua saya, sebuah Antologi Puisi berjudul Rute Nol Kilorasa dengan percaya diri saya kirimkan kepada empat penerbir mayor sekaligus pada Juli 2021 lalu. Dan pada Desember di tahun yang sama, saya harus menerima kenyataan bahwa naskah tersebut ditolak begitu saja oleh empat penerbit tanpa ada permintaan revisi atau sedikit saja harapan bahwa mungkin di luar sana ada editor dari penerbit mayor lainnya yang bersedia meminang naskah untuk dicetak dan diterbitkan.

Patah hati dan hilang arah.

Tetapi, saya mengerti, kadang, everything is not for everyone. Setidaknya, untuk saat ini.

Lalu, berbulan setelahnya, melompati tahun, saya habiskan waktu dengan merevisi naskah tersebut, mengganti kata yang terasa timpang, menemukan kesalahan ketik, lalu membacanya berkali-kali lagi.

Sampai beranda Instagram mengantarkan sebuah informasi program terbit gratis dari salah satu penerbit buku indie sekaligus online bookstore cukup eksis di kalangan mahasiswa dan anak muda. Saya seketika tergerak untuk mengirimkan naskah antologi puisi tersebut, dengan sedikit revisi dan perubahan (lagi). Menurut saya, mengapa tidak? Bila hanya fokus pada penerbit mayor, sampai lupa bahwa mungkin kesempatan bertebaran dari segala penjuru dan muka pintu, kapan manusia bisa sedikit saja menghargai hal kecil dan berhenti terlalu fokus hanya pada perkara besar?

Saya kirimkan naskah dengan harap-harap cemas. Jujur, jejak penolakan oleh empat penerbit sebelumnya masih mengganggu saya. Namun ternyata, kabar baik datang. Setelah antologi tersebut saya publikasikan dan narahubung penerbit saya kontak dan konfirmasikan, naskah saya diterima, tanpa revisi, tanpa penolakan, tanpa panjang negosiasi. Hanya dalam SEHARI!

Barangkali memang belum waktunya buku ini bertemu dengan etalase toko buku besar. Barangkali, saya memang harus kembali bersabar. Tetapi terbit melalui self-publishing atau penerbit indie juga bukan suatu kedukaan.

Buku saya terbit dan sudah sepatutnya saya bersuka cita!

Rute Nul Kilorasa adalah buku berisi sembilan puluh tujuh (97) puisi sesuai dua angka terakhir tahun kelahiran saya. Dikumpulkan sejak tahun 2019 dan tentu disusun dengan sebaik-baiknya. Dengan diksi yang khas, saya mengajak pembaca untuk mengartikan suatu pengandaian dan kalimat ke dalam bentuk paling sederhana namun bermakna.

Antologi puisi ini mencakup pengalaman, kebesaran-Nya, ungkapan cinta, interpretasi kehidupan, serta berbagai jenis rasa dari banyak sudut pandang.

Rute nol kilorasa dapat dipesan melalui https://www.guepedia.com/book/26578 atau di beberapa online store lainnya di seluruh Indonesia.

Deskripsi lengkap, ada di bawah ini.

Selamat membaca!

*****

Rute Nol Kilorasa
Penulis    : Siti Sonia Aseka
Ukuran    : 14 x 21 cm
No. QRCBN : 62-39-9140-878
Terbit : Juni 2022
Harga : Rp. 132.000
www.guepedia.com

Sinopsis :
Rute Nol Kilorasa adalah antologi puisi pertama penulis yang berisi tentang pengamatan dan kepekaannya terhadap kehidupan, manusia, Tuhan, cinta, hingga pengalaman-pengalaman istimewa yang ia rasakan dan orang lain kisahkan. Beberapa pernah dipublikasikan melalui sosial media, dituliskan sebagai surat dan pesan untuk orang-orang terkasih, serta keresahan-keresahan pribadi yang tidak sempat diungkapkan secara lisan, ditumpuk memenuhi folder laptop hingga jadilah sebuah naskah yang siap menemani pembaca.

www.guepedia.com
Email    : guepedia@gmail.com
WA di 081287602508
Happy shopping & reading
Enjoy your day, guys

GUEPEDIA
https://www.guepedia.com/book/26578
TOKOPEDIA
https://tokopedia.com/guepedia/rute-nol-kilorasa
BUKALAPAK
https://www.bukalapak.com/p/hobi-koleksi/buku/buku-lainnya/4h9qyj7-jual-rute-nol-kilorasa
GUEPEDIA STORE
https://guepediastore.com/products/9103194/-rute-nol-kilorasa-
SHOPEE
https://shopee.co.id/guepedia 

FACEBOOK
https://www.facebook.com/guepediapenerbit/shop/

INSTAGRAM SHOPPING
Silakan buka Instagram lalu cari Guepedia_Penerbitan dan masuk ke icon “Lihat Toko”, kemudian ketik judul di kolom “Search”.

Kamis, 24 Maret 2022

Dongeng Tentang Lautan

 


Bertahun yang habis dihitung dengan jemari.


Suatu waktu, seseorang mengisahkan soal dongeng tentang lautan; kedalamannya, rahasianya, ombak yang kerap menghantam kuat maupun lambat, karang angkuh yang tinggal di jantung arus tempat ikan berenang-renang, atau kapal-kapal nelayan berlayar berminggu-minggu, menghabiskan hari-hari dengan kerja, lantas terjaga malam-malam, menatap bintang biduk penentu arah, menghitung kapan masanya mereka bisa menginjak daratan kembali, pulang dengan ragam hasil tangkapan di tangan.


Lautan adalah kehidupan yang riuh oleh sorak sorai pun isak tangis, hiruk pikuk, sampai kemungkinan, nihil maupun masif.


Namun, pesisir, yang kerap lupa masuk dalam serumpun cerita, ternyata menyajikan lebih banyak sedu sedan, tentang tanya dan putus asa, kecewa, angkara, tak jarang disulap menjadi ruang tunggu tempat hati yang rapuh menanti sembari mengeringkan air mata dan membasuh luka-luka.


Jangkar yang diangkat, tak pernah mampu mengangkat pula nama seseorang dari dasar sanubari. Layar yang berkibar dibimbing angin tak juga berhasil menerbangkan memori dalam rupa selamat tinggal. Perpisahan memang sebuah pahit yang perlu dicecap, perpisahan adalah sebuah jarak membentang yang tak pernah bisa dilipat spasinya dengan hanya sebuah permintaan maaf.
Maka lautan yang menyenangkan kadang kala masih tak kuasa menahan tangis seseorang. Tak dapat membatasi rindu dan menjadikannya seolah tiada.


Sebab sebelum lautan mengambil alih, pesisir pernah lebih dahulu mempertemukan dan memisahkan dua orang dengan dalih takdir. Saling melambaikan tangan, mencoba melepas belenggu ikatan yang kerap disebut sebagai ketidakrelaan, mencoba berdamai, lantas saling tatap, sendu, meneriakkan duka dalam dada.


Pesisir adalah misteri bagi hati yang tengah berlayar. Sebab kapanpun angin sepoi-sepoi menerbangkan imaji pada bait-bait masa depan, kenangan yang menggenang di kepala soal sosok-sosok lama tak pernah mampu lesap bak air dalam cangkir menguar ditelan udara.


Suatu waktu, seorang awak menepi dari bising sebuah kapal. Menatap sebuah titik, daratan yang dikiranya ada di sana meski tak lagi tampak di pelupuk. Dituliskannya resah, labuh sudah gelisah pada secarik kertas. Lukanya kembali basah.


"Tiap-tiap kulempar pandang pada pesisir, selalu kudapati rautmu menatap sendu, seolah temu tak pernah bisa jadi lain kali


Wajahmu masih dan selalu tertinggal di situ;
di hatiku."



Tangerang Selatan, 23 Maret 2022
Siti Sonia Aseka




Urgensi Kemahiran Berbahasa Inggris di Era Modernisasi dan Globalisasi

Urgensi Kemahiran Berbahasa Inggris di Era Modernisasi dan Globalisasi Sejak abad ke-18, bahasa Inggris ditetapkan sebagai bahasa Internasio...