Blogger Perempuan

Blogger Perempuan
Kunjungi laman Blogger Perempuan dan baca tulisan saya melalui link berikut

Senin, 31 Desember 2018

Summer Maze


Bukan jenis another ending, tapi lebih ke sequel atas kisah EUNOIA oleh @augustddrugs di Wattpad dengan sudut pandang Song Jian sebagai pemeran utama wanita.

Anyway, sedikit bercerita, aku menemukan Eunoia dan Arcas pada bulan Agustus 2018 ketika memutuskan untuk aktif kembali di Wattpad setelah nyaris satu tahun menarik diri.

Good story, great account, and also an inspiring writer.

Note:
Bagi yang penasaran dengan kisah asli, silahkan baca Eunoia di Wattpad, ya.
Cerita yang bagus untuk kita agar lebih peduli terhadap kesehatan mental.

Karena resiko atas rehabilitasi seseorang dengan mental illness tidak main-main. Kalau tidak melupakan kenangan dan seluruh memori, ya meninggal. Sudah, tidak ada kemungkinan lain.

Selamat membaca.

_____

Song Jian masih mengingat semuanya. Memori masa kecil, hawa terik musim panas, aroma pie apel, pohon sansuyu, sepeda dan rumah sakit, taman bermain, bahkan pusat rehabilitasi, Busan, serta…

Jeon Jungkook.

Semua kenangan itu menjelma bagai sensasi gelitik yang menyerang di tengah suasana hati super buruk; menyebabkan tawa dan menghadirkan luka bersamaan. Tapi, jelas, Jian tidak bisa mengelak. Sama seperti kekecewaannya yang mengendap tinggi. Sekalipun ia coba benahi berkali-kali hingga mual, perasaan tak bernama yang kerap hadir tiap malam itu tidak bersedia enyah begitu saja.

Jadi, dengan gelegar petir yang hadir bersama hujan sejak sore, Jian menurunkan kaki-kaki kurusnya dari atas ranjang. Menyalakan lampu kamar, mengikat rambut hitam miliknya tinggi-tinggi sembarangan. Kerongkongannya kering, kepalanya pening, dan hidungnya tersumbat sebab terbangun dalam keadaan terisak hebat. Kedua matanya memerah dan sembab. Suaranya? Jangan tanya. Sudah luar biasa serak.

Jian lupa hal-hal macam ini telah berjalan seberapa sering. Yang ia tahu, mama akan menatapnya prihatin setiap pagi, menyodorkan segelas susu hangat dan roti tawar diolesi selai cokelat, menyapa riang, lalu bertingkah seolah wajah anak gadisnya tidak terlihat seperti habis dipukuli sebab tertangkap basah mencuri suami orang. Oh, buruk sekali. Padahal Jian sadar, mama akan dengan buru-buru menyuruhnya mengompres wajah setelah menandaskan sarapan, beralasan hal semacam itu baik untuk kesehatan.

Membuka pintu kamar, melangkah menuruni tangga, aroma manis samar tercium. Jian merasakan suhu udara di dalam rumah makin menggila. Berangin, lembab, mungkin mereka bisa didapati mati beku esok hari bila pemanas di dalam kamar tidak berfungsi dengan baik.

"Jian? Terbangun lagi, sayang?"

Perempuan dengan celemek biru laut cantik menoleh pada presensi Jian yang tampak terkejut dari arah dapur, menelusuri seraut wajah anak gadisnya yang seperti biasa, membengkak dan memerah, habis menangis. Sisa air mata bahkan masih tampak mengalir di kedua pipi.

"Iya, ma. Tiba-tiba haus. Mama belum tidur?"

"Belum mengantuk. Omong-omong, mama sedang membuat pie apel. Kau tidak keberatan dengan camilan tengah malam, kan?"

Jian mendekat pada dispenser, mengalirkan air hangat ke dalam gelas yang diserahkan mama baru saja. Kedua perempuan itu terdiam beberapa saat, sebelum salah satu dari mereka kembali buka suara.

"Aku selalu suka pie apel mama kapan saja. Beberapa potong tidak akan membuat kita tiba-tiba gemuk, kan?"

Mama tertawa. Melirik sekilas pada jam dinding yang menampilkan jarum pendek pada angka dua belas.

"Dan kenapa tiba-tiba mama terpikir untuk membuat pie apel di jam segini?"

Jian menjatuhkan tubuhnya pada kursi di hadapan meja makan. Menenggak air hingga tandas, mengerjap beberapa detik demi menunggu jawaban dari sang mama.

Mereka berpandangan pada satu garis lurus. Hening, sebelum kemudian suara nyaring dari pemanggang menyadarkan bahwa pie apel yang sedari tadi ditunggu telah matang dan mengeluarkan aroma menyenangkan untuk ditelan.

"Wah, kelihatannya lezat sekali. Sense seorang koki memang tidak bisa hilang."

Mama memandang anak gadisnya. Tersenyum pedih sebelum menaruh nampan ke atas meja. Memotong pie tersebut dalam diam dan meletakkannya ke atas piring, mendorong benda tersebut lebih dekat pada Jian.

"Jian, selamat hari satu September, lagi."

_____

Di tengah gulungan badai yang membawamu pergi, bersama kenangan, harapan, dan janji yang memeluk erat, ketiga hal tersebut berputar ibarat kaset rusak, menghantam kepala hingga berdarah, menyajikan kesepian dengan luka dan masa depan yang perlahan pudar dari pandangan.

Mengapa kau berlari, mengejar?
Padahal aku masih di sini, tak beranjak meski seinchi.
Menunggumu datang, memimpikanmu pulang.

Bersama memori yang berpesta pora, dengan janji yang menari di atas kepala, aku terjatuh di tengah lantai dansa, terisak parau, meneriakkan namamu yang bergema nyaring dalam ingatan.

Lantas, untuk alasan itu, aku berusaha meraihmu, menggenggam.
Menyadari bahwa tangan ini belum mampu menjaga apa-apa. Namun, impianku ternyata jelas tinggal jejak bayang dan pendar samar ilusi dalam angan.

Kemudian, pada satu titik paling egois yang kupunya, sekali ini saja, aku menginginkanmu melupakan sejenak jalan setapak yang terus kau gunakan demi menemukanku lagi.
Aku ingin berkata, aku hanya ingin menegaskan bahwa aku tak berada di sana, aku sama sekali tak menuju ke sana.

Maka, berbaliklah.

Kau sudah terlalu lama berlari, ragu berhenti, ketakutan setengah mati.
Aku tahu. Aku dapat membacamu.
Kau kehilangan kompas dan diselubungi gelap.
Kau hanya mendengar tanpa mampu melihatku mencegahmu semakin jauh dari hamparan mata.

Padahal, jika sedari awal kau melepaskan semuanya, bila kau dengan mudah menerima segalanya, Sirius yang kau puja tidak akan sebegitu menyilaukan.

Aku hanya memikirkanmu,
aku sangat merindukanmu.

Atas semua rasa sakit yang kau pendam, atas seluruh luka yang kau rasa, untuk setiap air mata yang kau simpan rapat, aku menyaksikan redup pada matamu bertambah kelam dan berpendar harap dalam waktu yang bersamaan.

Bisa aku memerintah waktu berputar ke belakang?

Menyaksikan kita dalam atmosfer musim panas, semangka dan ngengat, saling bercakap tanpa suara melalui masing-masing buku gambar di balkon kamar yang berhadapan, menatap langit demi memandangi gemintang walau semuanya tampak sama.

Aku masih mengingat semuanya, aku masih menyimpan memori kita kuat-kuat.
Dengan dalih hanya bila kau kembali dan melupakanku, melupakan kenangan yang pernah terjalin rapi bak sulaman benang, aku mampu mengisahkannya sekali lagi, membawamu menjumpai kotak memori terindah yang harusnya kita jaga hingga menua.

Jika aku dapat memelukmu sekali lagi,
Bila aku mampu menghalaumu pergi untuk kesekian kali,
Apabila aku bisa mempertahanmu di sini dan mencegah badai masa lalu maupun masa kini membawamu lari, maka aku ingin mengatakan, aku hanya ingin memberitahumu bahwa sekarang dan selamanya, segala kenangan yang terekam dalam ingatan sama sekali tidak pantas dikoyak maupun disobek sedemikian keras kepala.

Summer Maze,
Jian Song

_____

Bila dapat memilih, Song Jian jelas tidak kembali demi menyaksikan Jeon Jungkook mengaku kalah. Jika bisa, dia tentu ingin tiba dengan sambutan dan kabar bahwa seseorang yang masih ia nantikan sampai entah kapan, juga berjuang demi bertemu dengannya dalam kabar paling baik dan menyenangkan.

Tapi, bertahun-tahun berlatih mengelastiskan hati, Jian jelas sadar, keegoisan macam itu, keinginan yang tidak akan membawa pada satupun destinasi terbaik memang patut dienyahkan dari dalam kepala.

Memangnya, hidup dalam bayang-bayang masa lalu yang pemiliknya pun ingin hapuskan sudah pasti berjalan indah? Keadaan macam itu justru akan membawa jauh dari gravitasi kebahagiaan. Dan Jian tentu tidak mau.

Jian jelas tidak dapat melupakan hari di mana Jeon Jungkook secara resmi pergi menuju pusat fasilitas. Bersama pelukan erat yang seolah tak ingin dilepas, pria itu tersenyum dengan setitij air mata menetes dan habis mengalir sebab jatuh di telapak tangan Jian. Ada hati yang nyaris pecah, ada jiwa yang memberontak hebat terhadap skenario semesta, lantas segala riuh batin terasa sesak, berkumpul mendesak perempuan tersebut meloloskan kalimat paling drama dalam hidupnya, "Apapun yang terjadi, aku akan menunggumu kembali. Kau pasti sembuh. Pasti."

Ia jelas tidak tahu lagi apa yang Jungkook hadapi selepas hari itu. Jian jelas tidak akan mengerti betapa menyakitkan mengingat kembali moment terburuk dalam hidup dan merasakan kepingan luka masa lalu dipaksa mampir hanya demi dihapus dan dienyahkan sedemikian rupa.

Jian tidak akan paham, perempuan itu jelas tidak akan pernah mengerti.

Karena yang ia tanamkan di dalam hatinya, sesuatu yang Jian rancang bak bangunan pencakar langit megah nan dingin hanyalah kepercayaan bahwa Jeon Jungkook akan menemuinya dengan senyum paling indah, lantas berkata hangat, "Aku pulang."

_____

"Mencoba meraih harapan yang ditebarkan orang-orang, berusaha mengumpulkan serpih dari sekian kepercayaan, menjejak sebuah tempat baru demi janji petualangan dan masa depan. Ah, bukankah meletakkan keyakinan terhadap manusia seringkali menghadirkan kesakitan? Tetapi, mengapa aku masih tak menyerah? Bahkan bodohnya, kedua tangan kurus ini malah mati-matian menggapai cahaya yang tak pernah tampak; hati sekelam puncak menara pengawas, sempit nan gulita."

Pada sepasang mata hidup pun benderang tersebut, kutemukan engkau melambai-lambai bersama senyum paling meneduhkan yang pernah terbayang dan hadir dalam mimpi tiap malam. Bersama genggaman kecil penuh harap itu, kurasakan dirimu kembali merasuk pada rupa sepoi angin bahkan celoteh kecil yang dilayangkan mulut manis lagi dirindu.

Maka, beberapa kali dalam lipatan bulan, kupaksakan bercangkir tawa serta berpiring-piring canda hadir dengan hangat paling mengikat, berusaha membuat seseorang yang kau cinta berlari kuat dalam pelukan. Sebab, dialah juga satu dari sekian jalan untuk mengobati denyar rindu yang seringkali melompat-lompat bak kelinci manis bergigi lucu.

"Noona, mengapa kau tidak pindah kemari saja dan tinggal bersamaku?"

Kau tahu, sayang?

Jian noona-mu ini bahkan tidak lebih kuat dari sebatang kayu lapuk yang dapat patah dalam sekali hempas. Dan berdiri tegak begini saja, dengan kedua kaki yang bisa luruh kapanpun juga, aku tidak bisa berjanji untuk pula mampu menjadi punggung kuat tempatmu meletakkan ribuan kisah dan kenangan lagi.

Sebab, bila kau memaksa dan jika hal itu sampai terkabul, aku tidak dapat membayangkan apa yang mungkin terjadi pada kita. Aku bisa tidak mustahil membawa kekecewaan baru, atau malah menghadirkan kisah sama dengan milik papamu.

Jangan sampai kita terjebak dalam memori kosong bernama euforia fiksi, Kano.

Karena sekuat apapun rindumu pada pria itu, ia tidak akan pernah bisa kembali menyerupa nyata demi menyaksikanmu tumbuh besar dalam asuhan Min Yoongi si wajah batu, dan aku; si bodoh yang selalu berbohong tentang hati dan perasaanku.

Jadi, memaksakan seulas senyum yang kuharap tampak alami, memeluk erat tubuh mungil itu sekali lagi, merasakan jemari bocah itu melingkar pada pinggang kurus ini, aku menahan setengah mati getar suara demi melontarkan jawaban yang juga berkali-kali ia dengar ketika tawaran semacam itu hadir di tengah lingkar pertemuan.

"Noona tidak bisa meninggalkan pekerjaan Noona di Seoul, Kano."

Pekerjaan memandangi rumah lamamu yang kini dibiarkan tetap kosong tanpa penghuni. Mengulas setiap kenangan yang terjadi lagi dan lagi, ibarat candu, dampak dari rindu. Memikirkan dapur, pekarangan depan, halaman belakang, ruang tengah, bahkan balkon kamar kami yang saling berhadapan dan pernah menjadi saksi atas kisah kacang kenari bertahun-tahun lalu.

"Jian, masih di sini?"

"Oh, Yoong? Tentu. Urusanmu sudah selesai?"

Min Yoongi tersenyum samar, nyaris tak tampak. Mengangguk kecil mengiyakan kemudian. Lantas, pria tersebut meletakkan sesuatu yang ia bawa bersamanya melewati pintu kamar Kano di hadapanku lalu berujar pelan, "Makanlah. Ini sudah nyaris pukul dua."

Aku memandang isi kotak ukuran lumayan besar yang Yoongi bawa. Menghadirkan potongan-potongan ayam serta aroma gurih asin menggoda. Hah, pria ini. Bahkan menawarkan makan siang pada seorang perempuan pun bisa luar biasa kaku begini? Padahal, aku hanya Song Jian yang bertengkar dengannya sampai nyaris berteriak kuat sekali hanya karena tidak rapi dalam melipat baju Kano beberapa minggu lalu.

"Hey, kau dengar aku bukan? Jangan bilang otak idiotmu itu kembali disaat seperti ini."

Aku berdecih, hampir-hampir mengeluarkan seluruh persediaan makian yang terkumpul sepanjang hidup, jika saja tak merasakan seseorang menangkup wajahku hangat sembari berkata, "Ayo, akan kutemani Noona menghabiskan ayam-ayam lezat ini."

_____

Ada yang tetap tidak bisa Jian lakukan walau segala nasihat tentang melupakan dan melanjutkan hidup telah ia terima ribuan kali, sejak kembali dari pelarian dengan dalih bekerja, mendedikasikan waktunya demi membunuh sekian perasaan sepi dan bersalah. Perempuan tersebut hanya mampu tersenyum, mengangguk, meyakinkan orang-orang bahwa dia baik-baik saja dan akan hidup dengan bahagia.

Jian ingat perkataan Taehyung padanya beberapa waktu setelah perempuan itu kembali dari Paris. Jian ingat apa yang Taehyung lakukan untuknya tanpa ia minta melalui tutur bahkan tangis. Taehyung ada di sana untuknya, mendengarkan, tidak menyela. Mencoba memahami Jian yang retak sebab telak oleh kenyataan. "Selain cinta," kata Taehyung, "janji adalah salah satu dari sekian harapan seseorang untuk tetap bertahan hidup."

"Ya, dan aku berjanji pada Jungkook untuk tetap hidup dan bahagia."

"Tepat."

"Kau pikir itu saja alasanku bertahan sampai sekarang?"

"Memangnya apa lagi? Aku memahamimu, Jian. Jangan sok kuat begitu, lah. Kau menangis sedetik setelah aku berbalik badan, menutup pintu selangkah setelah aku meninggalkan."

Jian tertawa, terdengar seolah tercekik dan kehabisan napas. Perempuan itu menggeleng kecil, sebelum kemudian berujar lagi, "Ada banyak sekali konsep cinta di dunia ini, dan mencintai diri sendiri sebelum mati-matian mencurahkan cinta terhadap orang lain adalah satu dari sekian konsep yang amat kusukai."

"Jadi, apa alasanmu bertahan?"

"Karena aku ingin."

"Itu saja?"

"Karena mama, Kano, Yoongi, kau..." Jian menghela napas panjang, menatap lurus sebelum tersenyum kecil, "Setidaknya aku punya kalian ketika harapan seolah berpendar samar dan nyaris redup tanpa sisa."

Taehyung menatap tak percaya, menyunggingkan satu senyum keraguan lantas berkata pelan, nyaris tak terdengar, "Apa itu artinya, Jungkook perlahan bisa kau letakkan di belakang?"

Dan Jian hanya dapat mengedip dua kali sebelum buru-buru meraih gelas tehnya yang mulai beranjak dingin. Belum ada jawaban untuk tanya semacam itu. Belum ada kepastian yang dapat Jian berikan atas tanya tentang Jeon Jungkook.

Sebab, berulang kali, kala perempuan tersebut berpikir dapat berdamai dengan masa lalu dan bayang-bayang pria itu, kenangan dimensi lampau seketika menghantam kepalanya, menyebabkan pening, nyaris menggelapkan pandang.

Yang Jian sadari, sekeras apapun ia memaksa meletakkan memori sejenis itu disudut paling terpencil di dasar hati yang kelabu, memori tersebut akan dengan sangat kurang ajar, mengekspansi bagian lain hingga nyaris rusak dan hancur. Sudah cukup buruk bertahan dengan luka di sana sini tanpa tahu benda macam apa yang mampu mengobati. Jian ingin berhenti melawan arus.

Lantas, dengan seluruh kesadaran yang tersisa, perempuan tersebut membangun kepercayaan lain agar mampu melawan sekian kemungkinan tentang mengalah pada hidup dan mulai menata banyak kesiapan baru; masa depan.

Seperti kalimat yang pernah dikatakan Yoongi, "Kau punya tanggung jawab untuk melanjutkan hidup, mengambil banyak kesempatan, memenangkan sekian peran. Lalu, setelah segalanya membaik, saat kau mulai mampu berhenti menyalahkan keadaan dan menyesali kepergian, kau akan memandang banyak hal dengan syukur yang lebih dari sekedar ucapan. Sesederhana itu, Jian."

_____

Teruntuk Arcas,

Dengan Metanoia dan POV Taehyung yang akan tiba Januari nanti, kupersembahkan Song Jian dengan keadaan paling seadanya dan jauh dari kata istimewa.

Sekali lagi, tulisan ini sama sekali tidak diikutsertakan dalam Giveaway Eunoia, ya. Ini murni diposting demi kepentingan pelegaan hati penulis saja, hahaha.

Jadi, untuk kalian yang tengah berjuang demi Eunoia dan One Summer to Stay juga, bahkan. Semangat. Semoga nasib baik berada di pihakmu.


Sincerely,
AlwaySonia

(Siti Sonia Aseka)
Palembang, 31 Desember 2018

Note:
Summer Maze sudah pernah saya Posting di Wattpad dengan judul Eunoia - Summer Maze di akun @AlwaySonia

Versi di Blog sudah mengalami penambahan part dan jelas lebih panjang (lebih dari 2000 kata) ketimbang Wattpad yang hanya sekitar 1500-an kata.

Rabu, 26 Desember 2018

Tsun(Dere)

Di masa lalu, saya beberapa kali berurusan dengan jenis manusia yang loyal sekali terhadap sesuatu atau seseorang. Apapun yang sesuatu atau seseorang itu yakini, ia juga akan ikut meyakini tanpa tapi. Begitupun terhadap apa yang sesuatu atau seseorang itu benci, dia juga akan membenci sampai setengah mati. Seolah pengkultusan terhadap makhluk, bisa dibilang. Mereka ini bukan tipe yang mudah meletakkan kepercayaan. Namun, sekali tersandung sesuatu yang memaksanya percaya (keadaan barangkali), maka ia akan sukarela memasrahkan diri. Terdengar lucu, ya?



Lalu, di usia dua puluhan, saya kembali berjumpa dengan jenis manusia gunung es. Kelihatan dingin habis-habisan dan sulit dijangkau, tidak berpondasi pada hal selain diri sendiri, bagai buku tertutup yang tak terbaca, bahkan menjelma pintu rumah yang takkan sengaja dibuka walau sudah digedor berulang kali. Seram. Jika bisa, saya bahkan tidak ingin berurusan dengan manusia sejenis ini sama sekali.

Tapi, ada pula jenis manusia hangat, yang dengannya seolah matahari bersinar terang walau diluar badai melanda. Sosok yang ingin terus didekati dan dijadikan tempat pulang bagi banyak orang. Presensi dengan senyuman mengembang dan mata berbinar indah setiap saat. Orang yang akan mengulurkan tangan, meminjamkan jaket, mengantar sampai di tempat, menunggu hingga bosan, bahkan memasakkan makanan kesukaan ketika sakit.

Dari dua tipe manusia itu, saya ternyata cukup terlambat menyadari bahwa sesungguhnya masih ada tipe lain yang harus saya pandang baik-baik.

Pertama, sosok hangat yang terlihat dingin.
Saya berhadapan dengan jenis pribadi macam ini terlampau jarang dalam hidup. Ia diam, fokus, tak banyak berulah, namun peduli. Tidak bertanya dengan suara, namun mengetahui via indera pendengaran. Orang yang tidak akan duduk menunggu, tetapi dengan sukarela bangkit mencari. Orang yang seolah tidak memikirkan atau mengkhawatirkan apapun, walau faktanya dia yang lebih dahulu mengerti dan mencemaskan. Manusia yang tidak butuh diingatkan berulang kali, sebab ia segera melaksanakan tak lebih dari lima detik peringatan. Ia seolah fokus pada dirinya sendiri dan masa bodoh dengan sekitar, tampak hidup demi sekedar bertahan, lalu menyelesaikan apa yang tampak sukar dan mustahil diperbaiki. Ia mencoba segalanya dalam diam yang terjaga.

Kedua, sosok dingin yang terlihat hangat.
Orang macam ini, kurang lebih sama dengan manusia yang masuk dalam hidup saya di paragraf pertama. Orang yang seolah hangat, padahal dingin. Terlihat lembut ternyata keras. Orang yang sekali menerima kritik langsung patah bahkan hancur berantakan. Orang yang terbiasa didengar namun tak bisa mendengarkan. Hanya fokus pada sesuatu atau seseorang yang menurutnya penting, tanpa pandang apakah hal tersebut benar atau salah. Melelahkan. Manusia macam ini sungguh nyaris seratus persen merepotkan. Hanya akan menjadi beban pikiran. Parahnya, ia berdiri atas dasar kekuasaan. Untuk yang satu ini, kita perlu banyak berdoa hingga mulut lelah hanya demi mengharapkan ia berubah selangkah saja.

Jadi, sebelum bertemu dengan jenis-jenis manusia macam itu, ada baiknya kita belajar mengelastiskan hati, agar kala ditarik dan dilempar, kita akan tetap kembali pada wujud semula. Tidak hancur, tidak lebur.

Atau pilihan paling akhir; bersikap masa bodoh. Hal ini perlu juga, terkadang. Demi melindungi hati yang sekokoh apapun tetaplah segumpal daging. Tidak terbuat dari baja atau logam sejenis. Bagus, demi kesehatan dan keberlangsungan kalbu, katanya.

Jadi, manusia macam apa?
Individu yang bagaimana?

Sudahkah kita mengenal diri sendiri sebelum acak-acakan menilai orang lain?

"Jangan sekedar paham. Selami!"

____________________________________

Palembang, 26 Desember 2018

Selasa, 25 Desember 2018

Mulai dari NOL

Satu tahun lalu, saya memutuskan menggunakan tagline "Mulai dari NOL" untuk sebuah awal atas banyak pembaruan demi mengobati sekian kekecewaan. Langkah-langkah yang saya lakukan agak lucu, sebenarnya. Malah terkesan seolah lari dari kenyataan. Padahal, ibarat karet elastis, sejauh apapun ditarik, akan ada satu moment di mana ia kembali pada wujud asalnya. Konklusinya? Ya semua usaha pelarian (atau malah persembunyian?) itu total percuma saja.



Saya menutup akun Instagram yang telah menemani sejak memulai petualangan di Kampus, melakukan perjalanan ke dua negeri satu rumpun yang kebetulan bertepatan dengan masa PKL program studi, lantas berusaha membangun kembali jiwa masa lalu; menilik serius pada hobi, minat dan bakat yang nyaris satu tahun saya kesampingkan, kemudian berupaya mendaftar pada banyak program pengabdian masyarakat, beasiswa, serta pertukaran pelajar bahkan. Hasilnya? Well, bisa dibilang tidak semua rencana tersebut mendulang sukses, memang. Tapi, saya sadar, ada beberapa kesalahan atas kekecewaan itu yang membuat diri mampu bertindak dan berpikir lebih seimbang. Contohnya? Berusaha melihat pada sudut pandang berbeda dan menyelami pemikiran orang lain, mungkin. Beberapa waktu saya habiskan dalam balutan esklusifitas, yang mana menjadikan pemahaman saya sesempit pandangan mata saja. Saya memihak dan tidak menyukai dengan kadar habis-habisan, menyatakan persetujuan dan ketidaksepakatan secara luar biasa keras. Input dari semua itu adalah rusaknya jiwa yang saya anggap sudah benar dan baik.

Maka, saya baca lagi banyak kisah tentang kepatahan hati, alasan dibalik pergi dan berhentinya seseorang dari sesuatu yang awalnya amat ia yakini, mencoba menerima segala hal dalam genggaman dengan tidak banyak melirik pada kepunyaan orang.

Saya akui, pemaksaan pemikiran positif macam itu berguna walau tak mendominasi. Sebab, bila melihat ke belakang lagi, saya jadi mengerti mengapa di masa lalu saya amat berambisi untuk menjadi sesuatu, minimal menerima pengakuan. Terkadang, jatuh sedalam-dalamnya membuat kita berharap dan melihat puncak yang setinggi-tingginya. Hal semacam itu memicu keinginan dan keberanian kuat untuk memanjat tanpa memedulikan resiko terluka. Bagus, bukan? Tidak perlu berpikir dua kali demi mencapai tujuan baru, niat menjadi lebih lurus dan hati hanya dipenuhi oleh kepentingan yang memang dibutuhkan. Pada gilirannya, diri berhenti membandingkan hasil yang didapat sendiri dengan apa yang dimiliki orang lain, lebih bisa menghargai pencapaian dan mengerti kapan harus rehat setelah berjuang keras.

Tapi, tetap, ya. Jangan lupakan bahwa segala aksi yang kelihatan baik-baik saja itu aman dari riuh jerit hati. Karena sesungguhnya, berbulan-bulan yang habis dimakan galau, saya masih sering mempertanyakan takdir hingga beberapa kali berujar ingin menyerah. Memalukan, bukan? Lagi-lagi, banyak sekali tindakan tidak rasional yang telah saya perbuat di masa lalu dan sukses menyulut tawa hari ini.

Tentang menerima dan mengikhlaskan memang bukan perkara membalik telapak tangan. Sama dengan kebahagiaan, hal-hal macam itu bukan sesuatu yang dapat kita jumpai di toko serba serbi atau pasar kelontong, tidak pula ditemukan asal di pinggir jalan, atau benda yang kita simpan lama hingga beku dan berdebu di sudut lemari. Jadi, jelas, butuh usaha lebih dari seadanya untuk mencapai satu senyum kelegaan. Karena harapan dan retorika saja tidak mempan lagi menyatakan masa depan. Hidup tidak seindah dan semanis drama Korea, kawan-kawan.

Lantas, walau terseok sampai nangis-nangis bahkan, saya tekankan pada diri bahwa saya harus jauh lebih baik ketimbang kemarin. Malu dong, sudah mendeklarasikan diri berubah dan move on tapi masih tidak bergerak walau selangkah. Bukan saya banget. Pokoknya, apapun yang terjadi, badai macam apapun harus saya lalui demi menjadi sosok baru dengan meninggalkan segala jenis sakit hati.

So, untuk siapa saja yang sedang memulai dari nol lagi kisah perjalanannya, jangan mudah berputus asa, ya. Jangan berprasangka buruk pada Allah dan orang-orang di sekitar. Jangan pula menyalahkan diri berkepanjangan. Karena masing-masing orang punya garis jalan yang tidak selalu sama dengan individu lain. Jangan merecoki takdir dengan penolakan, jangan merusak sirkuit otak dengan menjadikan segala kegagalan pencapaian sebagai beban berat luar biasa hebat.

Hei, berhenti menjadi ratu drama. Kamu bukan satu-satunya orang yang menderita di dunia ini.

Jangan terlalu meninggikan sesuatu hingga membutakan mata terhadap banyak hal. Rugi. Masa muda haruslah diisi dengan perjalanan yang mengkayakan pola pikir, bukan malah mempersempit sudut pandang.

Kebahagiaan sebenarnya kita yang ciptakan, bukan orang lain, tidak pula bergantung pada hal-hal yang bersifat dunia saja. Mengingat kebermanfaatan macam apa yang dapat membawa kita lebih dekat dengan pahala pun mampu menjelma rasa bahagia yang dibalut syukur. Jadi, kenapa harus berberat hati? Mengapa masih menukik tajam bila bisa mendarat mulus? Ayolah, menerima dengan hati paling bersih dan lapang tidak akan melukai siapa-siapa, sungguh.

Oh, dan satu lagi.
Niat yang lurus juga diperlukan, ternyata.
Jadi, kalau ingin benar-benar "Memulai dari NOL", kita harus mampu dan cukup tegas dalam meluruskan niat yang bengkok dan acak-acakan. Tidak peduli seluar biasa apapun rasa sakit dari pelurusan paksa itu, ya nikmati saja. Toh, tidak ada pilihan lain juga.

Asal jangan sampai patah.

___________________________

Palembang, 25 Desember 2018
Siti Sonia Aseka

Sabtu, 22 Desember 2018

A Sweetener


Omong-omong soal gula....

Selain tebu, ternyata ada beberapa varian produk yang dapat dijadikan sebagai bahan pemanis ke dalam makanan dan olahan. Dua diantaranya adalah jagung dan rumput stevia.

Apa sebenarnya perbedaan dari tiga bahan baku gula tersebut?

Berdasarkan urutan kandungan kalori, gula tebu menduduki peringkat pertama dengan total 4 kalori. Disusul gula jagung (3 kalori) dan terakhir gula dari rumput stevia (0 kalori). Data ini berhasil menunjukkan bahwa ternyata, gula yang terbuat dari rumput stevia lebih baik digunakan untuk mencegah dan mengurangi efek diabetes, yang hari ini diidap oleh kurang lebih 10 juta orang di Indonesia.

Namun, apakah dengan kandungan kalori yang begitu rendah, rumput stevia memiliki dampak rasa manis yang rendah pula?

Faktanya tidak, saudara-saudara.

Untuk urutan pemanis paling manis diantara tiga jenis bahan baku gula tersebut, rumput stevia ternyata memiliki rasa manis yang paling signifikan alias paling manis di antara gula tebu dan gula jagung. Posisi kedua dengan mulus diraih oleh gula tebu dan yang terakhir sudah pasti gula jagung.

Jadi, baiknya gula apa yang digunakan dalam keseharian?

Jika mendasar pada data di atas, sudah jelas bahwa gula dari rumput stevia memiliki kelebihan yang membuatnya unggul dua langkah dibanding gula lain. Namun, tentu dibalik segala kelebihan, pasti ada kekurangan pula, bukan?

Rasa manis gula stevia menyentuh kadar 300 kali dibanding gula tebu. Hal ini menimbulkan hadirnya rasa lain selain manis, yang agak mengganggu setelah kita mengkonsumsi makanan olahan yang mengandung gula stevia, yaitu sensasi sepat atau kelat.

Duh, jadi makin galau, ya? Hahaha....

Jadi, sebenarnya apa maksud saya menulis hal semacam ini?

Jelas ada tujuannya, dong.

Seperti memilih gula, dalam hidup, kita tidak bisa sembarangan. Salah ambil langkah, tamat sudah riwayat, the end.

Juga layaknya menentukan gula mana yang akan menjadi teman sehari-hari, kita tidak bisa menggunakan ketiga jenis tersebut dalam satu olahan. Merepotkan dan tidak efisien. Nah, sama dengan hidup. Kita tidak boleh serakah dengan menjadi ketiga-tiganya atau berupaya untuk memiliki semuanya. Kita harus konsisten terhadap satu dan bertahan atasnya hingga akhir. Yah, itu pun bila kita tidak berubah pikiran di tengah jalan.

Saya selalu percaya bahwa saya adalah salah satu jenis manusia gula jagung. Kenapa? Karena saya kurang dan memang tidak bisa bersikap manis. Hahaha.. ketawa dong, biar nampak lucu. Tapi, dibalik sekedar ketidakmanisan itu, semoga saya juga mencontoh gula jagung yang rendah kalori serta menjadi pilihan demi sesuatu bernama kesehatan. Kesehatan di sini tidak selalu berarti fisik, ya. Bisa juga hati, mental, agar tidak ada yang namanya 'diabetes kalbu', hiyaaa.

Seperti lagunya Hivi, "Siapkah Kau tuk Jatuh Cinta Lagi?"
Saya juga akan bertanya," Siapkah Kau tuk Memilih Kembali?"

Jadi, gula apa yang kamu suka?
Dan apakah gula tersebut mewakili dirimu yang sesungguhnya?

______________________________

Palembang, 22 Desember 2018
Siti Sonia Aseka

Selasa, 18 Desember 2018

Being Who I Am


Di dalam dimensi yang kepala ini ciptakan kala sendiri, alat pengendali waktu ternyata bekerja cepat sekali. Dalam satu detik menyebalkan, ia membawaku kembali pada masa di mana langit masih sempurna biru. Lalu, di detik setelahnya melemparku serta merta, tanpa permisi, demi menyaksikan diri ini berada dalam satu kotak kaca yang bisa pecah kapan saja.

Ada masa ketika kau tak memahami apa-apa, tak bisa membedakan mana yang harus dan mana sekedarnya. Ada saat di mana kau hanya ingin didengar kemudian segala nasihat panjang lagi membosankan itu tidak menghentikan atau mengubah apapun juga. Singkatnya, kau merasa dirimu sudah mampu tanpa bantuan dari siapa-siapa dalam satu bentuk pemikiran paling sempit yang pernah ada. Dan sialnya, radar logika macam itu tidak bisa diselamatkan sebab pemahaman yang hanya sebatas mata kaki tanpa kesadaran dan jauh dari keinginan untuk coba ditingkatkan.

Tapi, hei.
Terkadang perasaan melangit justru membawamu pada dasar inti bumi.
Dan, ya. Aku mengalami yang demikian.

Maka, pada satu titik ketika segalanya seolah dihancurkan tanpa sisa, aku mencoba meraih keping yang mungkin bisa memperbaiki semuanya. Walau jelas, tak ada lagi yang dapat dilakukan terhadap bangunan tanpa atap serta dinding selain menghadirkan kekhawatiran dan perasaan kecewa.

Apa yang salah?
Siapa yang bertanggung jawab?

Waktu tidak akan kembali. Ia menelanmu dan kesempatan sampai habis, menghapusmu hingga jadi debu lalu terbang dibawa angin.

Pada akhirnya, ketika tak ada yang sedia menawarkan pundak, saat tak ada yang bisa membawa kembali ke arah cahaya, maka satu-satunya pilihan yang tersisa tinggal harapan. Dan kepada siapa harap itu dapat diletakkan? Berkacalah, lalu temukan presensi paling bisa diandalkan dalam situasi tergenting; diri sendiri.

Bangkit, terseok, terjatuh, bangkit lagi, terseok lagi dan terjatuh untuk ke sekian kali.
Tidak, jangan menyerah, jangan berserah, jangan merasa bersalah.
Garis finish belum terlihat, genderang menang belum ditabuh, sorak sorai juga belum terdengar.

Aku selalu berpikir bahwa kebaikan dan perjuangan adalah garis lurus tanpa cabang. Padahal, jauh sekali, ketika menyadari di mana kaki berpijak, atau kepada apa mata ini memandang dan apa saja yang sudah masuk dan tersaring oleh gendang telinga, konklusiku mengarah pada konfigurasi paling sederhana; naif.

Lantas, menatap ke atas, mengamati tebing tinggi nan menjulang, mendapati kedua tangan yang mungkin hanya akan terluka bila mati-matian memanjat, aku menghela nafas dengan pemikiran paling kusyukuri sepanjang usia; aku harus.

Kala itu, aku hanya meyakini satu hal; apapun yang terjadi, setidaknya aku telah mencoba.

Lalu, apa yang kugenggam hari ini tidak akan serta merta menghapus begitu banyak luka yang mampir di kedua telapak tangan. Menjadi saksi atas berapa panjang dan berat jalan yang harus kulalui sedemikian hebat demi sampai di puncak. Aku tak perlu buka suara, tak harus memaksa orang mendengar kisah. Aku hanya harus mencapai tempat setinggi-tingginya bersama kemampuan yang mungkin masih rendah di bawah.

Sampai di sini, segalanya tidak terdengar begitu sederhana, kan?

Sebab, pada faktanya, segala sakit hati dan kecewa yang tertelan tanpa pernah terlontar, seluruh persediaan air mata dan sumpah serapah, semua perih dalam luka, tidak akan pernah bisa diterjemahkan sedemikian sempurna oleh hanya sekedar kata pada kepala dengan sirkuit yang telah rusak.

Sejujurnya, tidak ada begitu banyak pilihan. Bahkan bisa dibilang, tidak ada cukup pilihan. Lakukan saja, atau terbuang, mati, hilang, dilupakan. Dan percayalah, tidak ada satu entitas hidup pun yang bersedia berdiri pada pilihan kedua. Tentu, aku salah satunya.

Jadi, apapun yang terjadi, apa saja yang berhasil diraih atau gagal tertangkap tangan, biarkan. Aku hanya perlu mencapai satu kata demi melega sedemikian rupa; layak, pantas.

Tapi, di mana? Bagaimana caranya?
Pertanyaan yang kutemukan sendiri dengan susah payah, meletakkan segala rasa sakit dan tak kuasa itu jauh dari pandangan mata. Hanya agar tidak ada istilah bermanja pada proses takdir yang sementara. Segala drama ini harus berakhir, selesai, habis.

Dan untukmu, bila dalam kepala itu masih ada sepetak tanya tentangku, maka benahilah dan bulatkan tekad untuk bertanya dengan hati paling lapang. Atau tetaplah diam. Jangan bersuara, bungkam saja. Jika kau tahu pada akhirnya, segala untai kata hanya akan makin menyakiti lubuk yang tengah mencari jalan demi menerima.

Kau tak tahu apa yang tersembunyi dibalik satu senyuman.
Kau tidak mengerti apa yang terjadi dibalik tirai keceriaan.
Kau pun tak melihat air mata yang terhela disela canda mengangkasa.

Karena kau adalah kau, bukan aku.

______________________________
Palembang, 18 Desember 2018
Siti Sonia Aseka

Senin, 17 Desember 2018

Gelato 🍦


Jadi, pada senja yang nyaris rebah itu, ku telusuri jalanan padat lagi sempit. Demi satu porsi Gelato yang habis ditelan ingin, pada masing-masing scoop greentea dan cokelat yang memicu rasa manis lagi pahit.

Desember ke-lima belas.

Pagiku diawali bersama perayaan kecil dengan tahu goreng hangat nan berasap. Masih diikuti kesibukan yang memburu, ucapan selamat ulang tahun singkat, serta doa-doa yang kami semua panjatkan tanpa suara.

Seperti biasa, janji bagai instruksi, segala yang serba mendadak juga kesepakatan tiba-tiba. Pagi padat, hari yang penuh, dan beberapa jadwal seolah minta diperhatikan ulang.

Namun, tentu.

Hanya untuk satu hari di bulan Desember, aku berjanji untuk tidak memaki meski dalam hati. Setidaknya, hingga tengah malam tiba dan aku bisa meluapkan segala rasa kesal, marah dan kecewa itu melalui hela napas lega, "Akhirnya hari ini berakhir juga."

Tapi, hei.
Tahun ini, aku mendapatkan banyak hal, ternyata.
Harapan masa lampau yang jadi nyata, doa yang terjawab tepat saat aku membutuhkannya, manusia-manusia baik di sekitar, serta tujuan-tujuan yang tercapai.

Syukurku, bahagiaku, tawa dan perasaan berharga.
Tidak ada yang bisa menandingi segala macam riuh rendah euforia tersebut, meski harus menunggu demi beberapa masa lalu habis ditelan waktu.

Seminar kecil, makan siang yang kelewat santai, perjalanan menuju lebih dari sekedar film bagus, dan ditutup dengan satu porsi Gelato mengenyangkan di pinggir jalan kota padat itu.

Aku mengingat segalanya.
Dan aku harap, kamu pun takkan lupa.

_______________________________

Palembang, 17 Desember 2018
Siti Sonia Aseka

Sabtu, 15 Desember 2018

CANOPUS

Aku ingat semuanya.
Aku ingat kesan pertama ketika kali awal kita bertatap mata. Ada yang merangsek masuk dalam dada, perasaan sekuat keyakinan, nyaris menyita atensi terbaik, tidak pantas atas perhatian setengah dari porsi normalnya.
Sebentuk denyar yang memaksa hati berjanji untuk selalu terjaga, bertahan dan setia di sana. Pada ruang yang kau ciptakan, pada pondasi yang coba kau bangun, dalam rinai bernama keberanian dan kehangatan.
Walau aku dapat melihat, kendati aku mampu merasakan dari sorot mata redup itu, kau jelas tak menjanjikan apa-apa. Tapi, sekali lagi, meski dipatahkan berkali-kali, walau dihempas tanpa ampun berulang kali, aku tetap memilih tegak di sini.



Kira-kira mengapa, ya?
Kenapa aku begitu keras kepala?

Mencoba menggapaimu, meraih, merengkuh.
Namun, ke mana semua persediaan rasa sakit itu luput dan tergilas? Di mana seluruh luka dan air mata hilang kemudian reda? Apa yang terjadi pada semua sisa keraguan dan ketakutan?

Sebab, pada akhirnya, setelah sekian lama, meski tampak retak dan patah, aku masih saja menanti di ambang pintu. Lelah mengetuk dan pilih menunggu.

Biarkan aku masuk, izinkan aku tinggal.
Sebagaimana kesempatan yang masih kau punya dan harapan yang selalu ku bawa.

Kita bisa menjaganya berdua.

Aku mengenalimu pada sebingkai tawa dibalut canda senja hari itu. Dalam bercangkir-cangkir khawatir pun berpiring gelisah pada sebentuk logika yang nyaris miring, aku menemukan setitik rasa melecut pedih, lantas membawa hamparan kenyataan terbentang seadanya, di bawa angin, digiring hujan. Memalingkan wajah, menatap jendela kusam berwarna putih yang nyaris menguning, Apodis tampak menyenangkan meski kepalaku habis dilibas tanya.

Mengapa?
Ada apa?

Mereka ulang percakapan sederhana kita entah kapan, berputar bak kaset rusak di ruang pikiran, menyita banyak gurat tuntutan dan keinginan, "Kapan engkau pulang?"

Sebab, aku ingin membagi segalanya. Bersamamu, denganmu, menuntaskan harapan dan menegaskan keharusan. Tentang batas dan dinding, mengenai peran dan cara bermain. Aku ingin menatap matamu dan mengalirkan diksi hidup, paling tidak sekali sepanjang usia.

Desember membawa segalanya. Harapan, impian, angan, khayalan, menyatukan semua dalam satu kotak kecil bernama awal yang baru; masa depan.

Pernah tidak kau terbangun dengan kepala penuh sesak, seolah tidur barusan tak mengubah apapun?

Aku mengalami itu sejak entah minggu ke berapa pertemuan kita yang selurus takdir. Bersama mimpi yang kau bagi, dengan tekad di atas kepalaku kala itu, aku ingin menggapaimu erat, meraih tujuan dan melihat pada sudut yang sama. Aku ingin di sana bersamamu, walau kau tidak menjanjikan apa-apa, meski aku seolah benar-benar meminta, aku hanya ingin kau tahu bahwa ada begitu banyak cinta di dunia ini, dan salah satu bentuk yang dijadikan konsepsi atas dasar kebutuhan dan tanggung jawab adalah jenis yang paling ku percaya sedemikian hebat.

Aku ingin bertemu denganmu, berhenti berlari, mendobrak, menepis anggapan dan menjadi seorang paling bahagia di muka bumi. Hanya bila hidup sepakat untuk turut mengubah kita, hanya jika aku sanggup untuk memeluk semesta dan mencegah keburukan terjadi lagi pada kali kedua.

Mungkin aku bukan orang yang kau bayangkan, bukan seseorang yang kau masukkan dalam daftar terdepan. Bisa jadi, aku adalah yang tak pernah terlintas barang setitik. Bukan masalah, tak akan mengubah apa-apa.

Sebab bagiku, engkau masih sama saja.

CANOPUS
Siti Sonia Aseka

_________________

Palembang, 15 Desember 2018

Minggu, 09 Desember 2018

Dear, Wattpad 💜

DEAR, DUNIA JINGGA YANG BAGIKU SEMESTA
Khusus untuk author-author berbakat nan menginspirasi,
semoga kesempatan baik mengizinkan kita bertemu di dunia nyata yang riuh ini.



Sebelum membaca, seduh setidaknya secangkir kopi dulu, biar tidak ngegas-ngegas amat.

☕☕☕

Okay, jadi, harus kita mulai dari mana segala ketidakpentingan ini?
Baiknya dari awal saya kenal Wattpad saja, mungkin. Semoga tidak terlalu panjang, aamiin.

Jadi, awal mula saya mengenal Wattpad adalah di tahun 2015, saat libur lebaran, kalau tidak salah? Saya pun lupa kapan pastinya.

Jadi, seorang teman sejak zaman TPA (ketika diri masih luar biasa bocah polos nan lugu) membuka sebuah ruang konversasi di kolom chat, menanyakan tentang beberapa hal, lalu menjurus ke jenis bacaan. Kemudian, beliau merekomendasikan satu cerita berjudul 'The Sweetest You' yang ternyata ditulis di sebuah platform menulis online bernama Wattpad. Saat itu, saya sama sekali tidak berminat mendownload aplikasi tersebut, namun sangat tertarik untuk membaca cerita yang direkomendasikan. Jadilah saya iseng men-search 'The Sweetest You' beserta nama akun authornya di Google. Tada! Ternyata bisa, saudara-saudara! Saya bacalah itu cerita dari awal sampai akhir. Sedih, sampai nangis-nangis. Tapi, saya masih merasa aneh. Pasalnya, seolah cerita yang saya baca itu melompat-lompat atau katakanlah tidak lengkap di beberapa bagian. Memang masih nyambung sih di kepala. Tapi, sayang sekali kan kalau ternyata ada adegan yang terlewat barang sedikit, mana tahu penting.

So, berbekal niat yang lurus demi membaca 'The Sweetest You', saya instal-lah dunia oranye penuh drama ini di ponsel saya. Saya follow authornya, saya masukkan ke perpustakaan ceritanya, saya beri vote dan komentar, lalu saya mulai membaca lagi dari awal. Benar dugaan saya. Ada beberapa scene yang terpotong dan tidak tertampil ketika membaca via web biasa.

Ternyata, tulisan mbak authornya tidak cuma satu. Ada beberapa cerita lagi yang seluruhnya saya baca dan saya masukkan ke perpustakaan. Percaya atau tidak, cerita-cerita itu bahkan saya baca berulang-ulang tanpa bosan.

Sampai tahun 2016 atau 2017, saya masih aktif menggunakan Wattpad, bahkan telah ikut mempublikasikan beberapa karya juga. Tapi, di tahun 2017 atau 2018 awal, mbak author yang tulisannya menurut saya sangat luar biasa itu memutuskan untuk menghapus seluruh karya yang telah beliau publish, karena alasan kesibukan. Saya maklum, sih. Beliau baru lulus S2, dosen muda pula, membina beberapa kelompok pekanan juga sepertinya. Jadi ya, begitulah. Saat itu bisa dikatakan saya mengalami patah hati parah. Karena selama bertahun-tahun, yang saya baca hanya karya si mbak. Tidak tertarik membaca kisah dari author lain.

Saya sempat vakum dari dunia Wattpad sekitar setengah tahun bahkan lebih. Aplikasi itu bersawang dan nampak sepi di ponsel saya. Tidak ada notifikasi, tidak ada sesuatu yang membuat saya tergerak untuk membukanya lagi.

Hingga pertengahan tahun 2018, mbak author kesukaan saya kembali (yeay!) dengan tulisan 'A Flash Fiction' yang memang tampaknya hanya sebagai sarana pengalih stress dari rutinitas pekerjaan menyebalkan berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Cerita yang beliau tulis masih tidak jauh berbeda dengan yang lama. Seputar kisah perjalanan menuju keputusan untuk menikah oleh perempuan lajang, mapan, cerdas, dan menyenangkan. Menurut saya, sang author menuliskan kisahnya sendiri yang dimodifikasi sedemikian rupa. Tidak tahu kalau salah, ya. Hanya saja konklusi saya mengarah ke sana.

Pertengahan tahun ini pun, saya sedang suka-sukanya memburu dan membaca fanfiksi dari salah satu grup idola Korea. Beberapa author populer beserta karya-karyanya saya ikuti dan saya baca.

Jujur saja, saya merasa kecewa dengan beberapa orang yang menganggap bahwa author fanfiksi adalah manusia yang hanya mendompleng popularitas idolanya demi keuntungan pribadi semata. Bahkan ada pula yang terang-terangan menuduh author-author ini sebagai penulis amatir tak berbakat.

Serius, kalau isi kepala kalian begitu, mending main lebih jauh lagi, deh. Sampai itu kaki bisa ngomong bahwa mereka capek dibawa ke sana ke mari demi meluruskan otak pemiliknya yang bengkok.

Oke, balik lagi ke topik.
Jadi, dari sekian banyak author fanfiksi itu, ada satu yang benar-benar membuat saya tertarik. Kisah yang dia tulis benar-benar jenis alternative universe dan diluar bayangan. Ya, coba di mana lagi bisa menemukan nama-nama idolamu yang berperan sebagai penderita kepribadian ganda, pecandu narkoba, perokok, dan kengerian sejenis selain di karya author ini? Mungkin ada, dan jelas pasti ada. Tapi dengan tanpa keraguan atau ketakutan untuk melompati batas kewajaran demi menjaga image sang idola, sepertinya langka, benar kan?

Ketika saya sudah benar-benar tertarik dengan satu author, maka akan saya cari sampai ketemu akun media sosial mereka yang lain. Terniat, memang. Tapi, itulah salah satu cara saya memahami pola pikir mereka, supaya ketularan keren juga. Hahaha... bercanda.

Jadi, dalam rentang tiga tahun, perpustakaan Wattpad saya yang awalnya hanya berisi paling banyak 12 karya, mendadak bertambah menjadi nyaris ratusan. Luar biasa, memang. Dan dari kisah-kisah itu, ada beberapa yang sudah dibukukan dan dihapus beberapa bagian demi kepentingan penerbitan oleh sang author. Keren kan penulis-penulis ini?

Walau tidak memungkiri juga, saya terkadang menyaksikan perbedaan signifikan antara satu author dengan author yang lain. Ada yang memang menulis karena dia suka, enjoy dan cinta. Namun ada juga yang menulis karena memang itu full time jobnya. Apa bedanya? Jelas ada. Contohnya nih, satu author menulis kisah karena dia tertarik dengan topik yang ingin dia angkat. Akan ada masanya dia sibuk, atau bosan, atau sekedar malas memosting dan menulis kelanjutan kisah. Ketika pembacanya menagih untuk melanjutkan cerita, ya dia bisa mengabaikan saja, dong. Kan itu tulisan dia, ide dia, akun dia, hak dirinya mau melanjutkan ceritanya atau tidak. Kok pembaca yang repot? Hm....

Beda lagi kalau yang menulis adalah full time author. Biasanya mereka sudah punya jadwal rutin memosting dalam satu minggu. Lengkap dengan hari dan pukul berapa. Aman terkendali. Biasanya sih, setelah kisah tersebut tamat dan minat pembaca yang stabil bahkan meningkat, tulisan tersebut bisa saja dibukukan dalam bentuk fisik.

Tapi, kembali lagi. Semuanya soal profesionalitas juga. Ada yang tidak mematenkan diri sebagai full time author namun berdedikasi dan konsisten dalam mempublish cerita.

Tentang tagih menagih macam hutang piutang antara author Wattpad dan pembacanya ini kadang menyulut tawa juga sebenarnya. Karena saya sudah pernah menjadi salah satu dari mereka (author) bertahun-tahun lalu, saya mengertilah ya, bagaimana rasanya dipaksa menulis saat sedang tidak mood, dipaksa membalas komentar pembaca satu per satu dengan seramah dan sehangat mungkin, membaca komentar yang seluruh isinya nyaris hanya kata 'Next' atau 'Lanjut' atau agak panjang dikit 'Lanjuuuut....'

Menyebalkan, ya?

Oh iya, dan bicara soal untung-untungan juga, nih. Saat ini saya senang sih, semakin banyak author yang tergerak untuk membukukan karya mereka. Paling tidak mereka sadar kalau estetika dunia, salah satunya tulisan, patut diapresiasi, contohnya dengan mengabadikan mereka selain dalam ingatan juga dalam genggaman.

Tapi, khusus author fanfiksi, menurut saya ada beberapa pemahaman yang berbeda dari beberapa orang juga. Salah satu yang paling mencolok adalah soal memilih penerbit. Lihat kan, kalau sekarang di toko buku banyak sekali kita jumpai fanbook dan bahkan beberapa mungkin sudah pernah kita baca di Wattpad sebelum dihapus separuh atau lebih bagian demi kepentingan penerbitan oleh penulisnya.

Well, tapi tentu, ada juga beberapa fanbook yang tidak bisa kita temui begitu saja di toko-toko buku. Dengan kata lain, sang author memang membukukan karyanya namun dengan pilihan alternatif selfpublishing.

Jadi, kalau author fanfiksi lain yang kebetulan menerima tawaran penerbit mayor untuk menerbitkan buku, biasanya akan menerima bantuan berupa tim editor, illustrator, dan lain sebagainya sebagai penunjang kesempurnaan buku yang akan diterbitkan demi memenuhi ekspektasi pembaca. Deadline juga biasanya ditentukan oleh penerbit. Kapan seluruh bab harus selesai, kapan revisi harus kelar, cover apa yang akan dipakai (walau ini melibatkan penulis originalnya juga), bahkan sampai keuntungan pun akan mengalami istilah perundingan panjang.

Nah, berbeda dengan selfpublishing. Dengan cara ini, penulis merangkap sebagai editor, illustrator, dan penerbit secara bersamaan. Kebayang kan betapa hecticnya? Biasanya karya dengan selfpublishing hanya bisa di dapat melalui OPEN PO dan tidak dijual dimana pun. Jadi, kalau authornya buka PO, bagusnya kamu segera booking deh, sebelum menyesal. Memang prosesnya lebih lama dari fanbook yang diterbitkan oleh penerbit mayor, sih. Tapi, saya justru lebih suka author yang memilih selfpublishing sebagai jalur penerbitan. Kenapa? Karena menurut saya, author yang seperti itu lebih menghargai idolanya dengan tidak menjual nama idola tersebut demi popularitas dan keuntungan pribadi. Tapi, ini hanya pendapat saya, ya. Serius. Saya tidak memengaruhi orang lain untuk berpikiran serupa.

Balik ke Wattpad lagi. Semakin ke sini, menurut saya Wattpad makin dikenal. Entah di kalangan remaja yang sedang cinta-cintanya dengan K-Pop, di kalangan mahasiswa yang sedang sibuk mencari jurnal, atau bahkan kalangan pekerja yang sekedar mencari hiburan demi menghilangkan penat. Berbagai kepentingan dalam satu wadah, tidak masalah dong ya, selagi tidak menyulut lempar-lemparan sandal hahaha.

Selain sebagai sarana membaca yang menyenangkan, Wattpad juga menurut saya menjadi tempat yang tepat untuk meletakkan satu sisi dari diri saya yang lain, yang tidak bisa saya tampilkan di dunia nyata dengan seaman dan senyaman-nyamannya.

Tahu sendirilah, kalau sekarang agak drama dan puitis dikit dianggap galau, peduli dan perhatian dikit dikira baper, nangis dan kecewa sampai merajuk sebentar disangka lebay. Padahal oh padahal, ini hanya soal mengolah rasa, saudara-saudara.

Okay, lanjut, deh.
Saya mulai ngelantur.

Intinya, sejauh ini saya bahagia menjadi bagian dari Wattpad. Saya bisa menjadi diri saya sendiri, bisa menyalurkan hobi, bisa bertemu dan berteman dengan orang-orang baru, bisa mengasah bakat dan menambah kosakata, juga bisa mencari serta menjadi inspirasi (semoga).

Daaan...
Ada beberapa hal yang perlu diketahui, sih. Entah related atau tidak. Dibaca sajalah.

1. Tidak semua orang mau memberikan rekomendasi bacaan yang mereka baca di Wattpad (Jadi, please, jangan suka minta rekomendasi cerita. Mandiri, cari sendiri!)

2. Tidak sepanjang waktu author Wattpad itu ramah. Mereka manusia biasa, bukan malaikat. Jadi jangan berharap komentar dan pesanmu selalu dibalas dengan nada bersahabat. Mereka punya kehidupan nyata yang harus diurus juga.

3. Percayalah, author Wattpad tidak suka ditagih untuk melanjutkan cerita.

4. Author Wattpad akan sakit mata dan memilih untuk tidak membaca kolom komentar kalau isinya hanya sekedar 'Next' atau semacamnya.

5. Sebagai pembaca yang baik, cobalah luangkan beberapa detik untuk memberi vote terhadap karya yang kamu baca. Menghargai author itu sederhana, loh. Yuk, saling membahagiakan.
Eaaaa

Jadi, untukmu pecinta dunia jingga yang sama, yuk mulai menjadi pembaca yang menyenangkan dan penulis yang dirindukan.

Jangan banyak menuntut author dan jangan menjadi author yang terlalu banyak berharap.

Menulislah karena kamu ingin,
membacalah karena kamu suka.

Kalau bukan sekarang, kapan lagi?
Kalau bukan kita, siapa lagi?
Kalau tidak Wattpad, apa lagi?

"Blog dong, Son."

-____- Suka gitu deh.

__

Palembang, 8 Desember 2018
Siti Sonia Aseka

Selasa, 04 Desember 2018

Cheat-chat

Perempuan itu tidak beranjak dari duduknya setelah nyaris dua kali putaran penuh jarum jam menyentuh angka tepat dua belas.
Kursi di hadapannya telah kosong, walau bayang seseorang yang menemaninya sejak tadi telah pergi dan menyisakan satu cangkir berisi ampas kopi dan kehangatan yang perlahan pudar.



Jadi, apa alasannya masih bertahan di sini?
Tentu bukan sekedar demi secangkir latte atau buku-buku fiksi keluaran lama yang digandrunginya. Tidak, sama sekali bukan itu. 

"Itulah sebabnya aku tak pernah memperlakukan orang lain dengan cara yang kelewat biasa. Aku sadar, tak setiap manusia memiliki pola pikir sama dengan kita. Aku jelas akan baik-baik saja dengan sapaan selamat malam, atau bagaimana ketika beberapa orang mengingatkanku untuk makan siang. Aku juga akan luar biasa tak mengapa saat mereka meminta ditemani ke toko buku, membeli sesuatu di toserba atau sekedar duduk untuk berdiskusi tentang apa saja. Aku benar-benar terbuka untuk hal-hal macam itu. Tetapi, jelas beberapa orang tidak, kan? Akan ada beberapa opsi buruk ketika kita merasa istimewa, ketika orang lain seolah menjadikan kita segalanya. Sampai pada titik itu saja sebenarnya kita sudah diperdaya, loh. Bukan oleh orang lain, namun oleh pikiran kita sendiri."

Kalimat-kalimat panjang itu berdengung di telinga kala mengingat kembali percakapan yang terjalin hampir setengah jam lalu.

Tentang perasaan istimewa, perasaan paling sesuatu dan dianggap berbeda.

Diluar sedang tidak hujan, sayangnya. Panas terik juga lahan-lahan yang tampak gersang membuat mata malas memandang. Tapi, perempuan itu tak punya pilihan selain memandang jalanan kecil di samping jendela kaca dan debu yang berterbangan lalu bercampur dengan udara.

"Tapi, aku masih tidak mengerti. Mengapa aku bisa menjadi salah satu yang terjebak dalam istilah, 'merasa paling' itu?"

"Hei, dengar. Kamu sama sekali tidak terjebak. Jangan sok penting, begitu. Kamu hanya sedang tidak punya banyak pilihan selain menjadikan segala hal yang datang sebagai prioritas dan orang semacam pemberi perhatian cuma-cuma itu adalah salah satunya."

"Maksudmu aku terlalu iya-iya saja?"

"Bisa jadi, deh. Agak rumit kalau dibahas dengan manusia dengan logika anak kelas lima SD sepertimu."

Perempuan itu mendengus sejenak sebelum beralih menandaskan sisa latte, lalu terdiam untuk beberapa waktu yang mendadak hening.

"Jadi, bisa aku pergi sekarang? Jujur saja, aku sudah telat dua menit."

Lawan bicara menyebalkan itu mengangkat kedua alis, tampak memohon untuk diizinkan melarikan diri. Memang siapa sih, yang betah mendengarkan keluh kesah perempuan setengah depresi begini?

"Pergi sana."

"Jangan lupa pulang sebelum pukul enam. Aku akan tiba sekitar pukul delapan. Ingin titip sesuatu?"

"Tidak, terima kasih."

Dua perempuan itu melempar tatap beberapa detik, sebelum satu diantaranya memutuskan pergi dan meninggalkan perempuan lain dengan tanda tanya penuh di atas kepala.

"Kenapa aku tidak bisa untuk tidak peduli dan berhenti memasukkan segalanya ke dalam hati?"

___

Indralaya, 4 Desember 2018 
Siti Sonia Aseka

Senin, 03 Desember 2018

Hidup (dan) Saya

Jadi, karena beberapa waktu belakangan banyak sekali hal yang terjadi, dan kepala saya jujur saja tidak bisa menampung segalanya dengan baik (karena saya juga tidak terlalu suka banyak bercerita tentang detail kisah pada orang-orang), saya memutuskan untuk menuliskan beberapa keping yang semoga tidak disatukan dengan cara yang salah oleh siapapun yang membaca.



1. Kenapa banyak manusia malah makin tertantang ketika dilarang?
Karena sifat alami manusia adalah bangga dalam penaklukan. Ketika ia mampu menyelesaikan sesuatu, ketika ia dapat melakukan banyak hal entah yang baik atau buruk, saat ia bisa memamerkan hasil dari jerih payah jemarinya pada banyak orang dan mendapat pengakuan, ia akan merasa menjadi manusia paling luar biasa dan terhebat yang pernah ada.

2. Kenapa banyak orang tidak suka dikekang?
Saya pun tidak suka dikekang sama sekali. Sebagai manusia yang terlahir merdeka, jelas kita semua sepakat untuk berbuat sesuka dan sebebas yang kita inginkan. Tapi, merdeka yang benar adalah dengan tetap tunduk dan patuh pada satu kuasa; Allah. Kita mungkin bisa membalikkan badan, menutup telinga bahkan mata pada manusia, namun kepada Allah, kita tidak pernah mampu untuk bersikap seolah tidak tahu.

3. Senioritas?
Saya lebih suka menyebutnya tata krama. Kita bisa menghormati orang lain sekedarnya, asal tidak melebihi rasa hormat kita terhadap Allah. Kaum muda identik dengan sopan santun yang memudar, beralasan bahwa dunia ini tidak dihuni untuk merendahkan kepala terhadap manusia, tidak dibuat untuk membungkuk dan bermuka dua terhadap yang lebih tua. Namun, kita harus mengerti, bahwa bahkan Rasul pun menaruh kerendahan hati dan menjunjung tinggi tata krama terhadap sosok-sosok yang lebih tua dalam segi usia dibanding dirinya. Lantas, mengapa kita tidak?

4. Hanyut dalam kesibukan yang menyiksa atau diam dalam kelapangan yang membuat resah?
Sibuk. Sibuk. Sibuk.
Saya tidak pernah bisa diam dalam waktu yang lama tanpa melakukan apa-apa. Give me jobs, please! Haha....

5. Pengabaian manusia?
Sejak awal, saya tidak pernah menaruh ekspektasi atau harapan apapun pada manusia sejak pertama kali bertemu dengan siapa saja. Karena dulu sekali saya pernah dilempar sampai nyaris berguling-guling oleh kenyataan, dan itu menyakitkan. Jadi, ketika diabaikan, saya hanya akan tersenyum dan menggumam, "Cukup tahu."
Marah? Kecewa? Tidak.
Hanya sekedar, "Cukup tahu." selamanya.

6. Dendam?
Entah orang lain, tapi saya tidak. Saya hanya tidak akan lupa. Itu saja.

7. Membalas atau Let It Flow?
Let it flow, lebih baik. Yang sepakat bisa makan di kantin terdekat. Disponsori oleh dompet masing-masing. *Garing
Untuk apa mengotori tangan kita demi membalas keburukan orang lain. Toh, ketika kita bersikap bodo amat, hidup akan terasa lebih menenangkan.

8. Wanita karier atau ibu rumah tangga?
Wanita karier.
Karena saya tumbuh dalam keluarga yang seperti itu dan saya telah sangat akrab dengan kesibukan yang menyenangkan dari orang-orang di sekitar.

9. Jadi anak rumahan karena mager atau...?
Mager. Malas melakukan segala sesuatu yang tidak mendesak, apalagi sekedar jalan entah ke mana. Mending di rumah dan produktif. Produktif balas chat WhatsApp juga salah satunya, jangan salah sangka.

10. Wattpad atau Blog?
HECK!
BOTH OF COURSE!

11. Kenapa selalu ada uname Instagram di seluruh quotes yang dibuat?
Percaya atau tidak, karya saya di zaman SMP pernah di plagiat oleh orang lain. Pada saat itu saya tidak ambil pusing karena merasa saya juga cuma nulis karena suka, bukan untuk diseriusin. Tapi, semakin lama plagiarisme ternyata makin berkembang dan saya yang saat itu fokus untuk test masuk Sekolah Menengah Atas sedang sibuk-sibuknya menyiapkan diri, lantas memutuskan untuk vakum sejenak. Begitulah, agak rumit. Semakin dewasa, saya merasa bahwa yang namanya hak cipta memang amat sangat penting. So, taulah sendiri ya, kalau posting hasil karya orang, sertakan sumber yang jelas. Jangan asal comot.

12. Tentang lincah?
Saya lincah, dulu. Sekarang? Masih. Tapi, saya tahu bahwa tidak semua orang mampu menerima kelincahan saya. Lantas, saya mulai membatasi segalanya, dengan pedoman, "Karena terlalu lincah memiliki peluang lebih besar dan sangat mungkin untuk terbuang." Jadi, saya sebisa mungkin menahan diri.

13. Hal yang nampak repot-repot akhir-akhir ini adalah hal yang disukai?
Tentu. Saya menyukai segala hal tentang apa yang saya lakukan dan segala yang saya pikirkan. Percayalah, ketika kamu melakukan sesuatu yang kamu sukai, lelah, penat, letih, akan terganti dengan kepuasan ketika segalanya berakhir baik.

14. Definisi 24 jam dalam sehari?
Saya membagi diri saya menjadi banyak peran; mahasiswa, seorang anak, seorang mbak, pembimbing, penulis, pendidik, seorang perempuan, dan manusia yang kebetulan aktif di suatu tempat. Jadi, dua puluh empat jam saya adalah menjadi sisi-sisi itu, dengan seadil-adilnya.

15. Pusat perhatian atau memusatkan perhatian?
Fokus pada tujuan.

16. Syarat memilih lagu?
Ballad, punya arti yang bagus, suara penyanyinya sesuai dengan yang saya harapkan.

17. Sesuatu yang tiba-tiba menggelitik logikamu?
WOW, IT'S DECEMBER!

___

Indralaya, 3 Desember 2018
Siti Sonia Aseka

Minggu, 25 November 2018

Hari Anti Kekerasan Perempuan Internasional

#KAMPANYE16HARIANTIKEKERASANTERHADAPPEREMPUAN

Secara fisik, perempuan jelas jauh lebih lemah ketimbang laki-laki. Tidak perlu banyak argumen atau debat kusir mengenai hal ini. Kelemahan itulah yang menjadikan Perempuan rentan mendapat pelecehan bahkan kekerasan di berbagai tempat di belahan bumi. Sayangnya, dari berbagai tindak pelecehan maupun kekerasan tersebut, hanya sedikit sekali perempuan yang berani melaporkan tindakan tidak menyenangkan yang ia terima kepada pihak berwajib. Alasannya? Karena mereka malu dan takut. Malu merusak nama baik keluarga serta takut menghancurkan reputasinya sendiri di masyarakat. Padahal mereka sadar, melepaskan pelaku pelecehan dan kekerasan begitu saja hanya akan memberikan mereka ruang untuk melakukan pelecehan dan kekerasan serupa terhadap pihak lain. Ini artinya, secara tidak langsung, perempuan yang mengalami pelecehan, mengizinkan pelecehan atau kekerasan yang sama terjadi kepada perempuan lain. Ironi, bukan?

Komisi Nasional (Komnas) Perempuan mencatat sebanyak 348.446 kasus kekerasan terhadap perempuan terjadi di Indonesia baik yang dilaporkan maupun di tangani sepanjang tahun 2017. Sebanyak 335.062 kasus tersebut bersumber pada data kasus yang di tangani oleh Pengadilan Agama (PA), 13.384 kasus ditangani oleh 237 lembaga mitra pengadaan layanan yang tersebar di 34 provinsi. Di tahun 2017, kekerasan tertinggi terjadi di ranah privat/personal. Data PA menunjukan ada 335.062 kasus kekerasan terhadap istri yang berujung perceraian. Sementara 13.384 kasus masuk dari lembaga mitra pengadaan layanan, dengan kekerasan yang terjadi di ranah privat/personal sebanyak 71% atau 9.609 kasus. Ranah publik/komunitas 3.528 atau 26% kasus dan 247 atau (1,8%) itu di ranah negara.

Data tersebut hanyalah data yang berhasil dihimpun di Indonesia. Dengan kata lain, adalah kemungkinan besar bahwa di belahan bumi berbeda, angka kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan lebih tinggi dan ekstrim. Yang harus digaris bawahi, perempuan perlu memiliki pemahaman mengenai jenis-jenis pelecehan dan kekerasan, tidak boleh menganggap remeh bila diperlakukan demikian dan harus melawan. Diam saja tidak akan mengubah apapun. Diammu bukan lagi emas ketika hak pribadi untuk bersuara dan melindungi diri hanya sebatas kata-kata.

Sekitar dua bulan lalu, pemikiran tentang keterampilan bela diri bagi perempuan merangsek masuk dalam kepala saya berkali-kali, menjadi cikal bakal renungan, menunggu eksekusi pasti barangkali. Dan saya sepakat juga luar biasa mendukung kaum hawa mengembangkan serta melatih keterampilan tersebut sebagai bentuk perlindungan dan penjagaan diri. Karena seperti yang telah saya sebutkan di awal, kelemahan fisik perempuan menjadi tameng bagi pelaku kekerasan dan pelecehan untuk melancarkan aksi kejinya.

Jadi, anggapan bahwa perempuan hanya boleh bersikap lembut dan penuh kasih tidak semata membodohi perempuan untuk terhenti di tempat, dengan mengabaikan fakta bahwa perempuan perlu memiliki kesempatan dan peluang melawan penindasan.

Catatan penting, ironi lain yang saya dapatkan setelah membaca dan memperoleh informasi seputar kasus-kasus pelecehan dan kekerasan terhadap perempuan, bahwa terkadang sesama perempuan sendirilah yang seolah menyalahkan korban dengan berbagai alasan. Mengomentari cara berpakaian, cara berbicara, dandanan, juga lain sebagainya. Padahal, sungguh bukan penghakiman semacam itu yang dibutuhkan oleh korban pelecehan dan kekerasan. Mereka memerlukan dukungan tanpa batas, serta diyakinkan untuk bersemangat dalam meraih kembali hak yang telah dirampas. Kehilangan simpati tidak akan menjadikan kita manusia suci, justru sebaliknya; menekan pribadi kita sampai pada titik tidak memiliki hati.

Perlu diingat dan diresapi, entah memiliki makna mengena atau tidak sama sekali, tidak ada kasus pelecehan maupun kekerasan terhadap perempuan yang patut dikesampingkan demi kasus lain sejenis. Kita haruslah adil, menuntut setara kasus semacam itu dan tidak membedakan atas dasar kepentingan individu atau kelompok saja. Seperti masalah #KitaAgni juga #UntukBaiqNuril. Jelas, tidak ada namanya kasus prioritas, tidak ada kasus yang lebih penting untuk diurus dengan meninggalkan kasus yang lain. Kedua kasus tersebut harus mempunyai porsi sama, tak beda. Maka, bila satu mendapat kejelasan, yang lainnya pun berhak atas kejelasan yang sama.

Sebagai penutup, saya teringat kata-kata yang menjadi penguat Geng Gullaby asal India untuk terus bergerak melindungi korban pelecehan dan kekerasan di negara mereka; "Jika hukum tidak dapat melindungi perempuan, maka perempuanlah yang harus melindungi diri mereka sendiri."

Palembang, 25 November 2018
Memperingati Hari Anti Kekerasan Perempuan Internasional

Rabu, 31 Oktober 2018

Di Balik Layar

Tentu saja aku lega. Setelah semua terjal jalan kita permalukan, jelas aku merasa bahagia luar biasa. Harapan dan perjuangan, tak sekedar pendar samar berupa keributan kecil dalam kepala. Hari ini, semuanya nyata di depan mata, berkelebat dalam bentuk paling riuh dan penuh warna.
Kita sampai, pada pemberhentian pertama, bersiap naik pada bus selanjutnya yang entah akan mengantarkan kita kemana, mungkin tempat yang berbeda-beda, bisa jadi sebuah lahan kosong dan perlu diisi segera. Atau bahkan pelabuhan yang meminta berlayar dan berperang dengan hingar bingar kapal, sebelum sampai pada tujuan sebenarnya.

Tapi...
Setelah semua euforia ini, mengapa mendadak aku merasa kehilangan sesuatu, ya?

__

Pesta Demokrasi kampus telah usai.
Agenda besar tahunan yang rutin menjadi pusat perhatian itu tuntas lugas pada pekan terakhir di bulan Oktober, dua purnama menjelang pergantian tahun.

Jejak lentera masih ada, belum redup benar. Peralatan perang dan baju besi sudah mulai ditanggalkan. Langkah kaki, hentak seruan, sigap gerak bahkan pikiran yang terselotip erat dengan berbagai macam sumber tenaga entah apa, menjadi saksi bahwa ada yang meletup dan nyaris meledak.

Aku ingat masa itu.
Ketika banyak mata menatap curiga, saat sebuah kata tak mampu mendesak percaya, ketika saling menodong senjata adalah hal yang biasa.

Biarlah.

Nanti, setelah habis semua drama berkualitas tinggi ini, kita mungkin menyadari betapa sepele hal-hal sejenis menjatuhkan lawan atau mencari kelemahannya hingga tanpa sisa, macam kacang rebus yang dijual di pinggiran jalan malam minggu.

Lucu.

__

Terlepas dari peran-peran penuh sorotan, ada yang lebih patut mendapat pengakuan dan jelas apresiasi istimewa.

Pemeran utama mungkin nyaris sempurna, tetapi mereka tentu bukan apa-apa tanpa kru yang bertugas di belakang layar.

Untuk teman-teman yang entah bagaimana cara paling tepat mendeskripsikan kalian satu persatu, terima kasih telah bertahan dalam rinai bernama amanah. Terima kasih telah bersedia menjadi alasan bergeraknya poros kebaikan hingga sampai tujuan.

Kepada perempuan paling tangguh, yang tanggung jawabnya jelas bukan tentang dirinya saja tetapi kami semua, terima kasih. Untuk perempuan yang kami panggil bunda, terima kasih pula telah menyeimbangkan segala bentuk kegilaan dan perbuatan tanpa pikir panjang kami. Kepada dua perempuan yang ku panggil bidadari, terima kasih karena telah dengan aman terkendali menjadi pendingin hati kala emosi berapi-api. Untuk perempuan yang ku panggil kembaran, tetaplah menjadi perempuan kuat yang bisa melakukan nyaris segalanya. Jadilah dirimu sendiri. Di sini, aku pun berusaha untuk terus mencintai diri sendiri sebelum apapun. Tsundere-ku yang awalnya membuat bertanya-tanya dan menebak-nebak bagaimana cara menghadapimu, terima kasih juga karena telah menjadi perempuan paling peduli dan mudah dicintai. Untuk perempuan yang memiliki dominasi emosi meledak-ledak tak terkendali sepertiku, kamu juga takkan terganti. Terima kasih karena telah bersedia ku repotkan bahkan sampai hal-hal paling pribadi, membayarkan pembelian buku online-ku salah satunya, haha.

Untuk lima orang lain yang akan selalu dirindu, semoga kita segera mengolah segala bentuk kangen ini menjadi temu. Sebab, bila terlalu banyak rasa yang bergumul jadi satu, dalam medis, tentu bukan hal yang bagus, bukan begitu?

Dan tentu saja, kepada sekelompok manusia zaman entah kapan, terima kasih banyak karena telah menanggung lebih banyak beban serta tanggung jawab. Maaf karena kami seringkali malas menyiapkan makanan, maaf karena bahkan kami terlalu banyak tak di tempat saat kalian butuh (terutama aku), maaf karena belum bisa menjadi ibu-ibu bijak nan lemah lembut, maaf pula sebab kami terlalu banyak mengomel dan berubah cerewet pada banyak bagian waktu, maaf seringkali berbicara hingga menggurui kalian yang mungkin malah terdengar menyebalkan setengah mati.

Yah, pokoknya, terima kasih banyak.

Walau kalian juga punya ragam maaf yang ingin sekali kami dengar, hahaha.. Tapi, sungguh. Tulisan ini sama sekali tak meminta balasan.

Khusus dariku, untuk kalian yang merasa pernah melihat bahkan merasakan sendiri bagaimana judesnya aku, harap maklumi dan lupakan saja bila perlu. Lebih dari sekedar menyebalkan, memang.

__

Segala keindahan itu terlihat, sebab kita yang berbeda-beda ini dipaksa untuk beradu menjadi padu bagai warna-warni pelangi selepas hujan.

Agak drama, tentu.

Selamat dan sukses!
Barakallah wa Innalillah, saudaraku Wawan dan Tio yang telah dideklarasikan sebagai Presiden Mahasiswa dan Wakil Presiden Mahasiswa terpilih Universitas Sriwijaya periode yang akan datang.

Aku sungguh menanti gagasan #GerakBersama demi Universitas Sriwijaya dan menunggu kemajuan serta gebrakan baru di masa depan.

Kita bisa bila bersama!
Mahasiswa Universitas Sriwijaya, jangan lupa, KAWAL!

__

Siti Sonia Aseka
Palembang, 31 Oktober 2018

Jumat, 26 Oktober 2018

Being 'Today'

Saat kanak-kanak dulu, aku ingat betul. Ketika ayah, ibu, bahkan guru-guru bertanya, apa cita-citaku, maka dengan lugas aku menjawab, "Menjadi dokter!"

Yeah, terdengar klise sekali, kan?

Di tahun terakhir kuliah, di tengah hectic penyusunan skripsi dan tugas akhir, aku mulai berpikir, "Kenapa dulu aku ingin sekali jadi dokter, sih?" lalu seketika terbahak.

Sebenarnya, masalah cita-cita dan harapan masa depan semacam ini selalu jadi denyar agak ganjil. Apalagi untuk anak-anak yang "Hidup untuk hari ini" sepertiku.

Masa lalu? Apa sih, yang membuat orang-orang terkadang membandingkan sepanjang waktunya dengan hari-hari yang berlalu, dan berakhir dengan harapan tentang kembali ke masa itu? Konyol.

Juga masa depan. Tak peduli seberapa banyak kau menginginkan kehidupan yang lebih baik, bukankah harusnya memaksimalkan apa yang tampak di hadapan malah lebih baik?

Bagiku, waktu paling penting dalam hidup adalah ketika aku berjalan di detik ini saja, tak repot memikirkan apa-apa. Sejenis itulah.

Karena terlalu mengkhawatirkan banyak hal tentu menghabiskan sisa tenaga, bukan? Yeah, iyakan saja tanyaku satu itu, retoris.

Omong-omong soal hidup, datanglah ke ruangan kantor seseorang, dan kau akan temukan seluruh jiwanya di sana. Singgahilah rumah-rumah dan akan kau dapati kudapan enak serta ruang tengah yang nyaman.

Seperti aku, di tengah hiruk-pikuk ruang guru.
Aku seorang pengajar, ternyata.
Wow... Bertahun yang ku habiskan dengan bergulat dalam bilik-bilik kelas, coba tebak apa yang bisa lebih baik?

Mejaku ada di baris kedua dari pintu masuk. Dilapisi penutup meja bergambar sebuah rumah yang kehujanan. Hasil lukisan seorang siswa yang kini entah telah menjadi apa, bertahun-tahun lalu.

Komponen yang memenuhi meja itu sudah jelas sekali; buku latihan siswa yang bertumpuk-tumpuk, segelas teh hangat, tiga bunga mawar plastik di dalam vas yang berdebu, serta beberapa buku cetak milikku sendiri, sebagai pegangan.

Jadi, pagi ini, setelah mengantarkan dua anak dan 'teman' sepanjang usiaku sampai di depan pintu untuk berangkat sekolah dan pergi bekerja, aku gegas bersiap dan meluncur ke tempatku menghabiskan lebih dari setengah dari waktu dua belas jam.

Kelas pertamaku dimulai pukul 8.20 hari ini. Jadi, melirik jam tangan berwarna abu-abu pudar, aku menghela nafas. Masih pukul tujuh. Tidak buruk. Aku bisa menghabiskan waktu dengan menyiapkan bahan ajar, memeriksa buku soal atau menyelesaikan bacaan yang beberapa hari terakhir menemani waktu-waktu senggangku. Soal game yang kata orang bisa menghilangkan stress bahkan, aku tak peduli. Bagiku, alat pengalih perhatian sejenis itu sungguh bukan alternatif. Sama sekali nol besar.

"Selamat pagi. Hari yang cerah, ya."

Aku menatap tak habis pikir. Mendapati sosok perempuan tiga tahun lebih tua dariku tengah menarik kursinya, bersiap duduk. Kemudian, mataku menangkap sisa-sisa air hujan yang mengalir di jendela. Menarik nafas jengah.

"Mendung begini, bu?"

Aku meyakinkan perempuan yang menampilkan rona merah pada wajahnya.

"Mendung pun tampak indah di mataku, kau tau?"

Aku tersenyum sok mengerti. Memalingkan wajah pada keadaan di luar sana sekali lagi.

Ya, ya. Mungkin aku memang butuh sudut pandang selalu berbaik sangka semacam itu, beberapa persen saja.

__

Ada beberapa perjanjian di dunia ini yang tidak perlu menggunakan materai. Seperti ketika aku berjanji pada ibu untuk tidak bermain di tengah hujan sampai basah kuyup, berjanji pada ayah untuk melapor ke mana dan dengan siapa pergi tanpa ia yang mengantar, atau sebuah janji yang terlontar sebelum aku memutuskan untuk mengikat sebentuk persahabatan seumur hidup dengan seorang lelaki.

"Aku akan bekerja. Mengabdi sebagai guru sampai nyaris habis usiaku."

"Berarti, kita sama, ya?"

Aku mengangguk pasti. Tersenyum. Membiarkan sebuah petang berakhir dengan ia yang pamit pulang dan kesepakatan bulat tanpa embel-embel tuntutan sama sekali, "Bekerja; menjadi guru, menjadi istrinya, menjadi ibu dari anak-anaknya."

Perjanjian itu berjalan telah lama sekali.
Hingga hari ini, ketika bahkan terkadang aku lupa untuk menjadi seseorang yang memprioritaskan keluarga saja, berhenti menjadi lelah atas diri sendiri, tanggung jawab untuk mengabdi itu masih cukup besar hingga membelah pribadiku menjadi dua.

"Kita tidak boleh berakhir mengorbankan salah satu demi yang lain, sayang. Kita hadir untuk menyeimbangkan keduanya. Untuk kasusmu, jadi tiga."

Ya, aku mengerti.
Aku memang harus melakukan ini. Selama yang ia restui, sepanjang yang aku sanggupi. Tidak boleh menyerah, tidak boleh.

__

"Bu, kenapa guru suka sekali memberi tugas kepada murid?"

Suatu ketika putriku bertanya, menghentikan kegiatan menulis di atas buku Matematikanya. Menatapku, mengharapkan jawaban.

"Agar kalian bisa terus mengulang pelajaran di rumah, sayang."

"Kenapa harus diulang?"

"Agar ingat, tidak lupa. Sampai pintar."

Kepala kecil itu mengangguk-angguk, merasa cukup. Meraih kembali pensil hijau tuanya dan memasang raut serius, menyelesaikan sesuatu yang memang harus ia selesaikan.

Deja vu.

Jauh sebelum hari ini, aku sepertinya pernah mengalami hal serupa. Kapan, ya?

__

Siti Sonia Aseka
Palembang, 26 Oktober 2018

Kamis, 30 Agustus 2018

Sirius Menjelma Venus

Dalam kotak kacaku,
di sisa rintik setelah hujan hari itu,
kursi kayu yang biasa kau duduki,
Latte hangat yang rutin kau reguk,
kacamata yang tak lekang dari hidungmu,
lalu...
aku yang setia menunggu.

Suatu ketika,
kau bercerita.
Tentang dongeng sebuah bintang,
yang begitu terang tak terhalang.

Ia meminta pada Tuhan;
cahaya tanpa lawan,
api tanpa banding,
juga teman bukan lawan.

Tuhan mengabulkan.
Memberi bintang itu sebanyak yang ia minta.

Tetapi, sang bintang melupakan satu,
permintaan sederhana
namun menjadi sesal selamanya...

Ia lupa meminta umur panjang.

Lantas, ketika ia menjadi yang paling terang,
menghasilkan api tak habis dalam sekejap mata,
dikagumi oleh sesama kawan...

Ia tau bahwa sempurnanya takkan bertahan selama yang ia suka.

Sama sepertimu.

Seandainya, aku di sana saat kau membutuhkanku...
harusnya aku masih mendengarmu memohon tunggu...
mestinya aku di sisimu kala tamat segala cahaya itu.

Ya, harusnya aku tak meninggalkanmu.

Hanya karena aku lelah dengan sinar yang kau punya,
hanya tentang ironi bayang-bayang,
hanya sebab aku ingin berhenti menjadi sekedar satelit penghantar...
hanya biar aku memenuhi keegoisan tentang pembuktian...

Padahal, aku tak bisa berhenti mencintai Siriusku yang pergi, Sabtu malam itu.

Kini, bersama sisa bayangmu
aku sadar...

Syukuri segala cukup,
maksimalkan tenggat waktu,
jaga segala beri,
lalu, berhenti menuntut lebih

Melihatmu pada eksistensi Venus senja hari,
singkat namun berarti, bahwa ketika bumi mengitari porosnya, kita selalu bertemu.

Walau tak tampak wujudmu,
walau begitu lemah presensi hadir yang ku tunggu,
Tetap...
aku membutuhkan itu.

Cukup Namaku

Bertahun mengarungi hamparan bunga,
tidakkah bagimu aku satu dari sekian tangkai di sana?

Seperti dia, begitu terang mengakui aku sang mawar anti layu....
Bukankah terdengar drama?

Jangan pinta aku menunggu,
atau memohon uluran tangan padaku,
sebab, harusnya kamu tau...
melangkah mendekat,
tersenyum menawan,
atau menatap dalam sama sekali bukan caraku.

Aku terbiasa merentang,
tak takut lekang,
berani menerjang,
tak kenal pantang

Ironi adalah,
Kamu mengenalku
namun, tak bisa memahami segala resiko dari ungkapan, "inilah aku."

Aku tak memintamu datang,
tak memaksamu menetap, tinggal,
tak ingin menjadi pengekang.

Bahwa dalam langkahmu,
di setiap jalan yang kau pilih itu,
tanpa aku harus repot berlaku,
harusnya kamu sisipkan satu harap.
Tak harus panjang,
apalagi lebar...
cukup namaku.

Sederhana, kan?

Rabu, 15 Agustus 2018

IMBANG

IMBANG


Bagi saya, salah satu unsur penting atas tercapainya taraf bernama bahagia adalah imbang.

Imbang yang bagaimana?

Sudah pasti, keseimbangan itu di raih dengan terlebih dahulu memenuhi hak-hak hidup.

Seperti apa?

Banyak orang mengatakan bahwa dengan membantu orang lain, dengan bermanfaat untuk sesama, berguna di mata masyarakat dan memberi dampak positif untuk sekitar, maka otomatis kita dapat dikatakan bahagia.

Tapi, apakah benar itu satu-satunya definisi kebahagiaan?

Dimulai dengan banyaknya kejadian beberapa tahun ke belakang, saya mampu mendefinisikan hal kecil tentang bahagia.

Adalah memahami segala kekurangan dan kelebihan diri, lalu memenuhi segala kewajiban hidup. Lantas, apabila segala kewajiban itu telah tunai, jangan pernah lupa untuk memberikan penghargaan kepada diri sendiri atas pencapaian yang telah kita raih.

Opini tentang mencintai diri sendiri itu sungguh benar. Apabila kita ingin dicintai orang lain, bukankah kita harus lebih dulu mencintai diri kita sendiri? Memberikan penghargaan atas pencapaian adalah salah satu solusinya.

Saya seringkali menjumpai fakta bahwa banyak sekali manusia yang mengorbankan hobi, bakat, minat maupun keterampilannya hanya demi memenuhi harapan-harapan orang lain. Mereka memangkas waktu-waktu penting yang harusnya khusus diberikan untuk merenungi segala pencapaian dan prestasi diri.

Pada akhirnya, ia merasa kehilangan dirinya, tidak menjadi diri sendiri dan hidup dalam kepura-puraan.

Mengapa saya berkata demikian? Sebab, saya pernah berada di posisi itu. Saya mati-matian mengejar kesempurnaan untuk orang lain, tetapi saya lalai terhadap diri sendiri. Saya ingat betul, ada tahun di mana saya sama sekali tidak pernah meluangkan waktu untuk menulis (kecuali caption-caption panjang di Instagram), padahal menulis adalah bakat dan minat saya. Saya tidak pernah memberikan hak-hak tubuh dengan cukup dan sesuai porsi, salah satunya tidur nyenyak dan makan teratur. Saya bahkan jarang sekali merenungi pencapaian saya dan hanya berfokus pada perbuatan apa selanjutnya tanpa istirahat. Di titik itu, saya merasa hebat dan hampa di saat yang sama.

Bayangkan, ketika teman-teman lain mampu berbuat bebas, saya terjebak dalam bingkai aktivitas yang dulu saya pikir adalah yang paling baik. Padahal, apalah artinya keterbaikan itu bila saya melupakan siapa diri saya sesungguhnya?

Hari ini, ketika saya diberi kesempatan untuk menjadi pengamat dalam diam, saya sadar bahwa kejadian serupa terjadi pada orang lain.

Mereka tak mengenal tahap diam untuk melompat, sebaliknya hanya tau kerja, kerja, paksa. Ya, ketika jatuh, mereka tak mengambil jeda untuk mengobati, melainkan semakin kencang berlari demi mengejar entah apa yang bahkan jauh dari jangkauan mata.

Sama dengan siklus siang dan malam, fenomena ini menurut kacamata saya, akan terus berlanjut hingga titik di mana semua kesibukan itu membunuh karakter kita perlahan.

Saya mengerti bahwa masa muda haruslah diisi dengan kebaikan-kebaikan dan kebermanfaatan. Saya pun paham bahwa banyak sekali hal yang harus kita raih sebelum usia merenggut habis kesempatan. Saya tau, dan saya sadar kita semua tengah berusaha untuk sampai di tingkat itu.

Tapi, alangkah lebih baik bila kita menemukan titik keseimbangan itu, kan?
Karena yang berlebihan tak pernah berakhir indah, maka prioritaskan kesesuaian porsi dalam gerak.

Kepada entah siapa, yang mungkin membaca tulisan saya, saya harap kamu merenungi apa saja yang telah terjadi sepanjang perjalanan ini, lalu segeralah mengukur pencapaian kemudian membuat jeda waktu.

Karena kita hanya hidup sekali, dan kesempatan untuk menjadi yang terbaik juga tak mungkin dua kali, maka jadilah pribadi yang adil dan takkan lagi mengorbankan salah satu demi sisi yang lain.

Siti Sonia Aseka
Palembang, 15 Agustus 2018

Sabtu, 11 Agustus 2018

Percaya

PERCAYA


Orang bilang, temukanlah seseorang yang kamu percaya lalu jatuh saja sedalam mungkin bersamanya. Karena walau sesulit apapun, ia akan membuat segala sesuatu terasa mudah dan indah.

Tapi, aku punya teori lain. Bagaimana jika ternyata aku tak ingin jatuh bersamanya? Apakah pilihan itu akan membulat pada simpul bahwa aku tak cukup percaya?

Sebab, dengan yang paling ku percaya, sekuat tenaga akan ku pastikan bahwa terbang dan angkasaku berarti juga segala tinggi dan hebatnya. Tak pernah ada kata jatuh, sebab kami mampu untuk saling menyusun petak tangga sedemikian rupa.

Apa yang lebih melegakan ketimbang sesuatu yang dicari akhirnya ditemukan, sesuatu yang pergi ternyata kembali, atau saat sadar bahwa sesuatu yang kamu perjuangkan juga ikut berkorban untukmu demi kebaikan-kebaikan kalian?

Dalam diam panjang dan perenungan dalam, sesuatu itu, mungkin juga... seseorang, selalu mendahulukanmu untuk memastikan kamu baik-baik saja, sebelum ia juga mengusahakan kebaikan untuk dirinya.

Suatu ketika, aku pernah yakin tentang kepercayaan adalah kebebasan yang menyiksa. Kebebasan yang dibungkus kepura-puraan. Padahal, jauh di dalam sana, ada kekhawatiran dan keresahan, rasa penasaran yang tertahan dan tanya yang tak pernah bisa diungkap. Semata demi sesuatu bernama tahan lama.

Ah, untuk apa? Membiarkan diri kita seolah tak peduli padahal cemas? Mengapa?

Sebab itu, aku lalu sadar bahwa suatu ketika, bertemu seseorang dengan segala sikap yang mampu kamu maklumi lalu bisa memberikan pemakluman padamu adalah harus.

Karena dengan begitu, bagaimanapun sekitar menangkap ketidakbaikan, engkau tetap mampu menarik benang merah untuk senantiasa berada disisinya lalu percaya.

Cukup percaya saja.

Dengan begitu, kemanapun dia pergi, bersama siapapun, apapun yang ia lakukan bersama atau tanpamu, takkan membuat takut, apalagi resah, atau bahkan curiga.

Sehebat itu eksistensi percaya.

Jadi, kamu percaya padaku, kan?

Siti Sonia Aseka
Palembang, 11 Agustus 2018

Minggu, 05 Agustus 2018

Patah Hati Sesederhana Ini

Minggu, 5 Agustus 2018
Waktu menunjukkan pukul 3 sore, tepat.

Beberapa menit yang lalu, saya masih asik streaming YouTube sambil makan mie. Kala itu, kondisi laptop tersambung dengan charger. Tapi, ternyata setelah sekian lama saya baru sadar bahwa cahaya merah yang biasanya menandakan pengisian daya laptop sedang berjalan tidak menyala. Jadilah, saya sok cool memeriksa keadaan charger, apakah sudah terpasang dengan baik atau belum. Sudah kok, malah indah sekali kelihatannya. Saya masih berusaha. Pasang lepas charger, pindahkan posisi charger, hingga akhirnya saya mulai lebay. Padahal sebenarnya kelebayan itu tidak usah terjadi. Karena faktanya, ini adalah kali ketiga charger Laptop mengalami hal serupa. Kemudian, masih dengan harapan yang belum purna, saya pindah dari kamar ke ruang tengah. Entah untuk apa, intinya saya merasa mungkin laptop itu bosan melihat keadaan kamar.

Ternyata...

Sama saja. Bedanya kali ini saya mulai menguatkan diri. Tapi, hubungan charger dengan laptop belum saya putuskan, sebab saya tak setega itu. Biarlah, mereka butuh waktu. Mungkin siang ini mereka hanya habis marahan, disusul saling mendiamkan dan memutus kontak.

Saya yakin, bila habis segala drama ini, mereka akan kembali seperti sedia kala.

Maklum, beberapa hari mereka tidak digunakan oleh saya. Ditinggalkan begitu saja dalam keadaan buru-buru. Mungkin mereka kaget, mungkin pula ternyata melakukan settingan untuk menghukum saya. Biarlah, saya ikhlas.


Jumat, 20 Juli 2018

Menjelma Aku


Menjelma Aku
Siti Sonia Aseka


Menjelma aku, kau harus tau. Bahwa senyum dan tawa yang biasa ku tampilkan tak selalu berarti sama. Dibaliknya bisa saja ku simpan beribu luka, yang hanya mampu kau lihat kala air mata tak mampu jadi obatnya.
            Menjadi aku, kau harus paham. Tegarku lahir dari jatuh berkali-kali, luka berdarah-darah, amarah tertahan lama dan pengkhianatan berulang-ulang. Aku kuat sebab tak ada lagi pilihan. Namun, cemerlang itu hanya diartikan terang. Padahal bulan pun punya sisi gelap.
            Kau tau, ada masa aku ingin menghancurkan seisi dunia, menghukum seluruh manusia dan mengubah biru langit menjadi jingga. Untuk membunuh sekian rasa ingin menyerah, menghalau gundah yang mendadak singgah, melepaskan diri dari tuduhan bersalah.
            Aku pernah percaya pada mereka yang kuanggap saudara. Orang yang tumbuh bersama denganku disebuah tempat yang menuai beragam kenang. Menganggap mereka keluarga kedua, menceritakan segala resah, melenyapkan gelisah. Bersama mereka, kuceritakan seluruh mimpi, berharap mereka menjadi tangga atau setidaknya menuntunku berjalan. Bertahun-tahun, ribuan hari, kala waktu menggilas habis risauku, sebuah fakta hadir di depan mata, menghapus seluruh percaya yang ku bangun nyaris sepanjang juang.
            Menyerupa aku, kau harus mengerti, kisah-kisah yang ku beri, hanya bagian kecil dari kerikil-kerikil yang ku lalui. Untuk menjadi aku, setidaknya puluhan luka harus mampu kau lewati. Bukan hanya menganggap kecil konsekuensi. Tetapi, ialah sesuatu yang harus kau adapi walau menolak berkali-kali.
            Pada akhirnya, satu tempat menerimamu. Ialah rumah untuk pulang setelah segala jalan panjang tak berujung. Bukan yang pertama, memang. Namun tanpanya, kau pun hanya serpih yang mengudara. Bersamanya, kau akan jadi dirimu yang sesungguhnya, bukan lagi sekedar harap yang tak pernah menjadi nyata.

Urgensi Kemahiran Berbahasa Inggris di Era Modernisasi dan Globalisasi

Urgensi Kemahiran Berbahasa Inggris di Era Modernisasi dan Globalisasi Sejak abad ke-18, bahasa Inggris ditetapkan sebagai bahasa Internasio...