Blogger Perempuan

Blogger Perempuan
Kunjungi laman Blogger Perempuan dan baca tulisan saya melalui link berikut

Selasa, 31 Agustus 2021

Syair Suaka


Seperti Rembulan dan Mentari, Bumi juga menyebut dirinya perempuan; yang mendamba, memuja, mencari-cari atensi demi setitik afeksi. Perempuan, seperti yang kerap Rembulan lontarkan, ialah entitas dengan kapasitas lebih besar dan takkan habis sampai rentang selamanya. Dalam berbagai hal, Mentari menambahkan, selalu.


Tetapi, sudah sepatutnya syair-syair yang ditulis pun dibacakan tidak terlampau dibubuhi rasa. Kalau-kalau seorang penyair lupa bagaimana puisi seharusnya utuh menyentuh sanubari pembaca, bukan membunuh si penulis, alih-alih menghidupkannya kembali.


Harapan dan rindu, dua hal ini mampu mengubah segala biasa jadi istimewa. Penantian, angan, serta gravitasi takdir. Suaka dipenuhi angkara sekaligus pengampunan, tak cuma menampung luka dan rasa sakit, tetapi juga sesak oleh euforia dan oasis.


Samudera membalik badan, menatap mahasiswanya satu per satu. Beberapa sigap duduk tegap setelah nyaris ketahuan tertidur dengan mata terbuka.


"Apabila harap dan rindu berhasil disembuhkan, apakah penyair paling mahir sekalipun akan berhenti berkarya sebab segala bentuk komponen magis yang membakar sekaligus mengisi jiwanya telah berhasil labuh pada telapak yang kemarin kerap hampa?"


Bumi mengangkat tangan, menggeleng yakin. "Bukan demikian cara kerjanya."


"Lantas bagaimana seharusnya?" dosen pengampu mata kuliah Teologi Sastra Roman tersebut menaikkan alis, menatap tajam nan mendramatisir.


Seisi kelas menahan napas, ganti berganti melirik Bumi yang bersiap menjawab percaya diri. Bagaimanapun, semua orang iri dengan sikap yang ditunjukkan si gadis.


"Ketimbang menganggap rindu dan harapan sebagai penyakit, saya lebih suka menyebut mereka bahan bakar yang menjadi penyokong gerak dan fungsi. Dengannya, suatu benda dapat bekerja. Tanpanya, akan selalu ada bahan bakar pengganti. Pada tempat dan waktunya, semua hal jadi pantas dan tepat."


"Bisa Anda sebutkan apa bahan bakar pengganti itu?"


Kembali, seisi kelas menatap Bumi, menunggu. Tetapi, lebih dari lima detik kemudian, bahkan sampai Samudera, dosen mereka yang dingin melebihi kulkas lima pintu berjalan menuruni podium, Bumi masih menerawang separuh tercekat.


"Siswa nomor tiga puluh tiga, Bumi."


"Ya?" Bumi kembali dari lamunan, separuh skeptis.


"Apa jawaban Anda? Sebutkan bahan bakar pengganti yang Anda maksud."


"Luka." sahut Bumi, lantang.


"Lalu?"


"Angkara… dan pengampunan."


Rembulan menendang tungkai Mentari di bawah meja. Berpandangan mereka sebelum mengamati gerak Samudera yang kepalang canggung.


Atmosfer seketika berubah. Samudera berdeham, tersenyum simpul.


"Point tambahan untuk siswa nomor tiga puluh tiga." katanya, kalem.


Kelas tersenyum sumringah, bertepuk tangan dalam hati, turut senang akhirnya moment menegangkan itu berakhir happy ending.


"Tetapi, bila Anda tidak keberatan," Samudera berujar setelah menutup pertemuan, "datanglah ke ruangan saya setelah kelas Anda usai hari ini."


***



Palembang, 31 Agustus 2021

Siti Sonia Aseka

Rabu, 18 Agustus 2021

VIRUS MERAH JAMBU




Kenapa disebut Virus Merah Jambu?

Berdasarkan ilmu medis, Virus adalah agen infeksi berukuran kecil yang bereproduksi di dalam sel inang yang hidup. Ketika terinfeksi, sel inang dipaksa untuk menghasilkan ribuan salinan identik virus asli dengan cepat. Virus tidak memiliki sel, sehingga pembentukan virus-virus baru berlangsung dalam sel inang yang terinfeksi.


Merah jambu sendiri identik dengan perasaan romansa dan melibatkan aksi sampai reaksi.


Secara sederhana, Virus Merah Jambu ialah agen infeksi yang menyerang hati, dan lama kelamaan memaksa untuk menghasilkan ribuan salinan identik euforia hingga berkali lipat. Inilah mengapa, seseorang yang jatuh cinta, selalu punya pemakluman, pengecualian, hingga pengabaian terhadap apa-apa yang dianggapnya benar, walau orang lain mengatakan salah. Seperti istilah, "Dua orang yang paling sulit menerima nasihat adalah pendukung partai politik dan manusia yang tengah jatuh cinta."


Cinta adalah kecenderungan rasa untuk mengejar kesenangan yang kekal di dalam hati. Tanda-tanda bahwa kita mencintai sesuatu atau seseorang menurut Ibnu Qayyim adalah: pertama, menyenangi atau mencintai apa yang dicintai oleh kekasihnya. Kedua, bersiap dan rela untuk melakukan pengorbanan. Ketiga, selalu mendahulukan sang kekasih daripada apapun dalam kondisi bagaimanapun.


Ibnu Qayyim pernah berkata, "Seseorang tidak dapat membagi-bagi cintanya secara adil." Prinsip ketunggalan cinta ini diterapkan oleh Ibnu Qayyim dalam kecintaan kepada Allah semata. Ucapannya mengenai hal ini berbunyi, "Dalam kalbu seseorang tidak mungkin terdapat dua cinta. Demikian halnya di langit tidak terdapat dua Tuhan."


Maka ketika Virus Merah Jambu menyerang, manusia berbondong-bondong mencari pembenaran demi melanggengkan kesenangannya. Yang berbahaya adalah, VMJ bisa menjadikan seorang insan melakukan hal-hal yang dilarang. Misal, mulai bertabaruj atau berlebih-lebihan. Bisa jadi dalam hal berdandan, berpakaian, berbicara, dan sebagainya. Lalu coba-coba melakukan ikhtilat atau bercampur baur tanpa disertai dengan menundukkan pandangan, berulang-ulang, berkelanjutan, hasilnya; nyaman. Kemudian tak dapat dihindari berlanjut pada khalwat atau berdua-duaan. Di dalam benak suspect, tentu ia merasa benar dan tidak melakukan kesalahan.


Padahal sudah jelas di dalam Islam, "Jangan sekali-kali seorang lelaki menyendiri (khalwat) dengan wanita kecuali ada mahramnya. Dan janganlah seorang wanita bepergian kecuali bersama mahramnya." (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, Ibnu Majah, Tabrani, Baihaqi, dan lain-lain).


Apa bahaya dari segala tindakan di atas? Sudah pasti barang tentu, ialah Zina. Nauzubillah.


Virus Merah Jambu sudah terjadi jauh sebelum Virus Corona dan virus-virus berbahaya lain eksis di muka bumi. Pelakunya, datang dari berbagai lapisan dan lini. Sebabnya, jelas karena kelalaian dalam menjaga dan melindungi hati, iman sedang lemah, futhur, kurang menerima suplemen, lantas berakibat pada semakin lemahnya ruhiyah dan semangat untuk selalu beribadah pada Allah SWT.


Lantas ada yang berkata, "Lho, memang mencintai itu salah ya? Bukankah VMJ lebih baik daripada benar-benar berpacaran."


WAH, GAWAT pemikiran begini!


Seperti yang saya sampaikan di awal, dalam Virus Merah Jambu ada aksi dan reaksi. Kalau sekadar cinta saja dalam diam, dengan semakin menjaga diri, meningkatkan ruhiyah, tak mau dimanipulasi setan, itu bagus.


Tetapi yang digaris bawahi adalah saat seorang hamba mencintai hamba-Nya yang lain, lalu mencari dan menghalalkan segala cara untuk mendekati dan membuat kekasih yang ia damba melakukan hal yang sama sepertinya.


Ingat, pacaran merupalan implementasi. Tetapi perilaku dari berpacaran bisa dilakukan siapa saja tanpa status pacaran sekalipun.


Orang pacaran, berdua-duaan dengan pacarnya.

Orang yang kena VMJ, berdua-duaan juga, bedanya kalau ditanya, "Antum tadi jalan dengan siapa?" Jawabnya adalah, "Ah, teman doang."


Ngenes, woi!


Apa bedanya? Tidak ada. Sama-sama dosa, sama-sama mendekati zina!


Masih mau mencari-cari pembenaran lagi?


Yang juga membuat miris adalah saat perilaku ini menyebar dan mulai diwajarkan. Seolah pada menutup mata nih orang-orang. Bahkan sampai ada yang menyamakan perilaku menyimpang berlandaskan VMJ sebagai, "Ikhtiar dalam mencari jodoh."


LUAR BIASA!

Memang dunia sudah gila!


Astahghfirullah…

Nauzubillah…


Jangan ya, cantik, ganteng.

Jangan takut nggak dapat jodoh. Jangan sampai kegigihan dan harapan kita demi mendapatkan manusia, menjadikan diri lupa untuk bertaqwa kepada Allah.


Sudah-sudahlah, jadi-jadilah.

Berhentilah!

Bertaubat kepada Allah.

Puasa, tahan hawa nafsu.

Berdoa, aktualisasi diri. Jangan terlampau sibuk dengan misi, "Menikah sebelum tahun berganti." Cukup, ya ukhti, ya akhi.


Tugas kita banyak; berdakwah, menebar kebaikan, menanamkan manfaat. Menjadi sebaik-baik makhluk.


Jangan direcoki dengan penyakit-penyakit dan perilaku tak perlu.


Sekian.

Terima kasih.

Stay sane!




Palembang, 18 Agustus 2021
Siti Sonia Aseka

Selasa, 03 Agustus 2021

sebuah cerita dari selatan



SOLITUDE

"Andai jarak mampu dilipat
sesederhana bangau kertas di tepian jendela.
Barangkali pada satu garis lurus,
pandang kita dapat bertemu,
melucuti sekian praduga dan ragu-ragu.
Lantas dengan begitu,
mampu kubaca sungguh-sungguh
betapa netramu merapal luka lebih lantang
ketimbang kata-kata."


***

Satu tahun yang bahkan tak mampu mengubah letak rak sepatu di sisi kiri pintu rumahku. Kalau-kalau seseorang lupa, atau sengaja menganggap rasa sakitnya tiada, keberadaan lini masa sosial media selalu dan akan terus jadi pusat gravitasi informasi terbaik. Termasuk saat beranda menampilkan fotomu tersenyum lebar dalam ruangan yang kutebak sebagai kantormu di sisi timur pulau ini. Dipublikasikan dua puluh menit lalu, disukai oleh beberapa orang, dan terdapat tiga komentar kecil berisi seluruhnya candaan.

Pukul sembilan malam dan aku mendadak didera kantuk. Buru-buru kututup aplikasi Instagram setelah meninggalkan jejak berupa tanda hati berwarna merah, memeriksa dan membalas pesan penting di aplikasi chatting, lalu berdoa dalam benak, terbuai alam mimpi yang akan membawaku bangun di pukul empat pagi seperti biasa.

Aktivitasku masih tak berbeda, tetap diisi setumpuk agenda itu-itu saja; mengajar, berjalan-jalan kala senggang, atau sekadar metime di kamar kontrakan bila akhir pekan menyapa; menonton film jadul hingga series terbaru, mendengarkan begitu banyak podcast, atau video-video lucu di YouTube.

Kadang, aku masih bertemu beberapa orang, teman-teman sewaktu di kampus. Mengobrol, nongkrong di kedai kopi, bertukar kabar, disambung nostalgia. Kadang pula, satu-dua kali namamu mampir dalam percakapan. Lantas aku harus mati-matian bertingkah sewajar mungkin, menimpali seadanya, tidak boleh sedikit saja terlihat terlampau bersuka cita.

Tentang kita, tidak ada yang tahu.

Biarlah, biar kisah itu diziarahi ketika rindu sudah kepalang menggebu dan mendobrak sisi peduli. Aku jelas masih sering memutar kuncinya demi menerobos pintu menuju masa lalu. Duduk di sana, merenungkan waktu-waktu terlewat tanpa satu pun dari kita berani buka suara. Kita sudah usai, aku tak pernah mampu mengatakan hal tersebut keras-keras, tak berani kuungkap betapa sesal masih menghantui malam-malam.

Satu tahun lalu, kita adalah dua yang coba merangkak menuju tunggal.
Namun, gagal.


***


Indralaya
Sebuah kabupaten tiga puluh dua kilometer dari ibukota provinsi,
2017

Auditorium universitas seperti biasa ramai sebab parade kelulusan yang dijadikan sebagai ajang mengabadikan moment dan beramah tamah. Pelataran disesaki pengguna toga, melebar sampai kawasan rektorat. Ucapan selamat mengudara, tawa marak tertangkap telinga di tiap sudutnya, juga ratusan pasang mata melempar pandang, mencari-cari, atau sekadar mengamati untuk kemudian menyimpan panorama dalam laci memori.
Farah tiba setelah belasan panggilan tak terjawab di ponsel, menyisipkan satu pesan ter-pop up di layar dari nomor yang sama: Kamu di mana, dengan siapa, sekarang berbuat apaaa??? Yang wisuda udah pada keluar audit, antrean foto panjang begini, buruan! Nanti ditinggal, tahu rasa!
Perempuan tersebut terbahak setelah kakinya menjejak halaman rektorat yang melingkari sebuah kolam berhias batu-batu alam dengan undakan tangga kecil. Mengutarakan maaf yang tak sungguh-sungguh niat dilontarkan. Si pengirim pesan menatap Farah sebal, sekaligus lega. Sesi foto lembaga bisa dimulai segera saat yang ditunggu-tunggu tiba entah dari misi menyelamatkan bumi bagian mana.
Di tengah hiruk pikuk, seseorang menepi. Matanya cemerlang, berkilau karena berhasil menemukan satu sosok yang lama dinanti. Hangat merayap menyebabkan rona merah di wajah, senyum tersungging tanpa mampu dicegah. Sebuah dorongan berteriak lantang menyuruhnya maju. Sepercik rasa takut menyebabkan si lelaki terjebak diam yang melecut utuh ragu-ragu.
“Abiyan! Ayo, foto sini, dong!”
Lelaki tersebut tersentak, lamunannya pecah. Rautnya kembali diatur sedemikian rupa. Agar tak timbul curiga, supaya tak perlu ada resah melibatkan banyak kepala. Lagipula, setelah hari ini, ia sudah harus pergi, bukan?


***

Hadiah untuk seseorang.
Semoga bahagia senantiasa menyertai langkah.
Yang patah tumbuh, lukamu niscaya sembuh.

-Siti Sonia Aseka

Urgensi Kemahiran Berbahasa Inggris di Era Modernisasi dan Globalisasi

Urgensi Kemahiran Berbahasa Inggris di Era Modernisasi dan Globalisasi Sejak abad ke-18, bahasa Inggris ditetapkan sebagai bahasa Internasio...