Blogger Perempuan

Blogger Perempuan
Kunjungi laman Blogger Perempuan dan baca tulisan saya melalui link berikut

Kamis, 28 Februari 2019

Jadi, Kita Pulang?

Hari ini, pukul sepuluh pagi.



Perempuan itu tak pernah mengerti mengapa secangkir kopi bisa luar biasa memberi dampak seperti sengatan listrik bagi beberapa orang. Kecuali fakta bahwa minuman pekat satu itu ternyata membawa sebongkah kenangan usang, nyaris membatu pada relung hati yang pecah jadi seribu.

Apa yang membawanya datang?
Sebuah undangan dari nomor tak dikenal, keinginan untuk menjemput penjelasan, atau memang karena ia hanya sekedar lupa meletakkan kemarahan dan kebencian pada tempat yang seharusnya?

Pada detik ketika kepala seolah dihantam tanpa ampun, Kina seketika membeku kala suara lonceng dari pintu masuk mendadak tersalur cepat memasuki rongga telinga. Tidak banyak orang sudi menghabiskan waktunya dengan duduk-duduk sembari menikmati sarapan di sebuah kafe, perempuan dengan mata sendu ini juga salah satunya. Tapi, untuk beberapa alasan, ia harus melakukan hal-hal menggelikan semacam itu demi janji bertemu seseorang.

Seseorang yang penting, barangkali.

Kursi dihadapannya ditarik mundur sekejap. Kina entah bagaimana bisa merasakan udara sekitar tiba-tiba menyusut tanpa sisa. Pada detik berikutnya, ketika perempuan itu mengangkat wajah yang setengah mati dibuat biasa, ia bisa dengan leluasa menangkap raut yang telah sekian lama lenyap dari jangkauan.

"Ingin memesan sesuatu atau hanya berniat duduk di situ tanpa melakukan apapun?"

Kina membulatkan mata tak percaya. Bermenit-menit yang habis dilibas canggung, laki-laki dengan surai hitam legam tersebut hanya menatap dan menghela napas berat untuk beberapa waktu yang tampak kalut.

Mengapa mereka ada di sini?
Kenapa bisa sampai berjumpa lagi?

"Secangkir kopi."

"Tanpa gula?"

"Ya, tolong."

Kina bisa merasakan atmosfer mendadak jadi dingin sekali. Perempuan itu bahkan memilih bangkit tanpa menunggu instruksi ke sekian kali. Memilih menjauh sejenak, mengatur degub dan detak. Sebab selalu ada yang bertalu tak normal sejak lama, bahkan kala ia merasa hal-hal semacam itu telah sirna dari bayangan.

"Secangkir kopi, tanpa gula." Kina tersenyum tipis kala pelayan mencatat pesanan, berkata tunggu sebentar, lalu menghilang dari pandangan. Perempuan itu memandang kosong ke depan, tanpa berniat mencari tahu apa yang tengah dilakukan oleh pria yang baru tiba di meja mereka.

Mereka harusnya membuka pertemuan dengan sapaan paling akrab, seperti pelukan atau paling tidak jabat tangan lalu bercakap mengenai banyak hal. Tentang kota yang telah ditinggalkan, soal memori yang mendadak mampir lalu menggoda, atau bahkan membicarakan perasaan satu sama lain kala harus hidup berjauhan.

Namun ternyata semua hal-hal manis itu hanya harus tetap tinggal lebih lama dalam kepala.

"Ini dia. Selamat menikmati."

Kina habis-habisan mengutuk diri kala tersadar dari lamunan dan harus menghadapi kenyataan di depan mata. Bangun, Kina. Batinnya, mengusir sekian keinginan untuk lari, menghilang. Menyembunyikan diri di balik selimut di dalam kamar, tertidur panjang. Mungkin tidak bangkit dari ranjang untuk satu pekan adalah ide bagus dalam keadaan super kacau begini.

"Apa menu sarapanmu pagi ini?"

Kina menahan napas tatkala mata bulat itu menatap lekat. Secangkir kopi telah diletakkan. Uapnya sebentar saja memenuhi udara, bercampur lalu terbang ke angkasa.

Perempuan itu mengerjap, tersenyum tipis lalu mengetuk pinggiran cangkir miliknya.

"Hanya latte saja."

"Kau harus berhenti memblock makanan di pagi hari, kau tahu?"

Kina tahu apa yang akan terjadi setelah ini. Omelan, nasihat, argh…. Perempuan itu mendadak diterpa pusing tepat di kepala.

"Berlin tampak luar biasa bagimu?"

Kina melontar tanya setelah mereka puas berargumen dengan tuduhan dan pembelaan. Laki-laki di hadapannya menyesap kopi sekali lagi hingga tandas. Memalingkan pandang ke luar jendela, lantas melempar tatapannya lurus lagi, tepat pada manik mata sendu yang selalu ia rindukan setengah mati.

"Berlin memang luar biasa. Tapi, kau tahulah, di antara dua tempat, selalu hanya ada satu yang bisa menarikmu kembali. Dan perasaan semacam itu faktanya tidak hadir saat aku ratusan mil jauh dari Berlin."

Kina tertawa kecil. Nyaris menggoda sebelum gendang telinganya kembali menangkap getar suara disusul deru napas yang begitu berat.

"Entah bagaimana, saat ini aku sungguh merasa pulang."

"Tapi, kau bahkan belum tiba di rumah."

"Memang." Laki-laki tersebut tertawa, menyipitkan mata lalu menyambung, "Aneh, 'kan?"

Kina mengangguk kecil. Merasakan dadanya seolah ditekan kuat. Ingin sekali ia mengeluarkan suara, berkata betapa selama nyaris bertahun, perempuan itu bahkan tak menemukan satupun tempat untuk pulang. Ia telah kehilangan rumah lamanya, sesuatu yang tiba-tiba saja tak mampu ia temukan di mana-mana.

Tapi, hari ini, sama seperti pemuda itu, mengapa ia mendadak merasa pulang?


Palembang, 28 Februari 2019
Siti Sonia Aseka

Selasa, 26 Februari 2019

Pada Tempat dan Waktunya

Perlu saya runut bagaimana saya bisa berada di sini? Melalui terjal jalan, tikungan tajam, ratusan rambu lalu lintas, gedung-gedung, rumah-rumah, perkebunan, sawah dan hutan.



Kesimpulannya, semua yang saya lewati demi tiba di tempat ini bukan sesuatu yang dapat dikatakan mudah, ajaib saja, bahkan tanpa membutuhkan usaha. Saya yakin semua orang memiliki momentumnya sendiri, arena yang tidak sama dengan orang lain. Kesulitan, masalah, beban, segala kepahitan itu bersatu dan membaur sedemikian padu sampai pusing kepala.

Nah, jadi, setelah segala jatuh bangun itu, ternyata masih ada oknum yang tidak dapat mengerti dan semena-mena dalam laku.

Terkadang, kadang saja, saya merasa bahwa manusia memang lahir dan menghadapi fase ingin bergerak cepat tak peduli menghantam apapun di depan sana. Baik, buruk, halal, haram, yang penting tujuan yang ia inginkan tercapai secara sempurna, tanpa cela. Termasuk juga dengan tidak memikirkan orang lain, dzholim, mengharapkan hal besar dengan hanya berbuat kecil, memaksa orang lain padahal masih memanjakan diri sendiri, menjelaskan keinginan, menuntut, tanpa mau mendengar harapan dan permintaan sesama.

Ini yang perlu diluruskan, sebenarnya.

Siapapun jelas ingin cepat dalam menggapai obsesi. Siapa sih yang tidak? Tapi, segala hal punya cara. Manusia masih perlu diperlakukan dengan baik tanpa dibuat menderita oleh kita sebagai alasan.

Nanti, di hari akhir, alangkah lucunya ketika dalam antrian perhitungan amal, orang beramai-ramai menunjuk kita sebagai si menyebalkan yang suka memaksa-maksa, memerintah sesukanya, otoriter, dominan keras kepala, apa lagi? Ah, si tekak bantah juga, barangkali.

Ayolah, memikirkan orang lain tidak akan membuat kita kesusahan. Memudahkan orang lain juga tidak akan mendadak menjadikan kita kerepotan. Biasa saja, apa adanya. Jangan jadi pribadi yang dihindari sebab tidak nyaman diajak bicara. Jangan sampai konten perkataan kita hanya berisi perintah, instruksi dan paksaan. Halo? Coba berhenti sejenak dan berdamai dengan lingkungan, lalu pahami keadaan.

Yang lebih lucu lagi, fenomena yang mungkin bisa membuat kita ingin ngakak sekaligus menangis, adalah ketika seorang katakanlah anak buah yang bertingkah seolah lebih pintar, lebih tahu segalanya, lebih mengerti dan lebih kuasa ketimbang sang pemimpin.

Well, are you okay, dear?

Miris? Sangat.

I don't even know what he/she think about his/her leader and what's really happened between them. Perhaps, I will never know. But, come on! He/she is your leader, he/she is your representation, your role model. Don't be too much. Clear your job, do your own responsibility, enough. Don't blame anyone because of your anger to yourself.

Saya berkaca dari diri saya sendiri.
Sebab, pernah pada satu sisi saya merasa saya bisa melakukan lebih baik dari yang dilakukan oleh orang yang posisinya berada di atas saya.

Tapi, perasaan tersebut faktanya cukup untuk dinikmati sendiri saja. Karena, makin mendewasa, saya sadar bahwa pemimpin memang tidak berjalan selamanya sebagai sosok sempurna. Itulah guna kita sebagai bawahan; mengingatkan, bergerak bersama, memahami, memahamkan dan meraih harapan serta tujuan itu bersama juga.

Start from now, please, please... stop complaining, stop judging. Just be fine with everything, even if you are not feeling well, just keep silent. You can speak up when your time comes. Really.

Belajarlah untuk menghargai orang lain, terutama orang yang memiliki posisi, usia, pengalaman lebih tinggi ketimbang diri.

Kalau memang ingin memimpin, nanti.
Akan ada waktunya, akan datang saatnya. Sekarang, selagi masih diberi kesempatan sebagai yang dipimpin, maka nikmati dan jalankan dengan semaksimal dan sebaik-baiknya. Agar nanti kala menjadi pemimpin, kita bisa memahami dan mengerti posisi mereka yang kita pimpin.

Okay, I'm out over the place, anyway.

But, yeah. That's all.
Happy to see everyone in their own best place.

Fyuh~~

Siti Sonia Aseka
Palembang, 25 Februari 2019

Urgensi Kemahiran Berbahasa Inggris di Era Modernisasi dan Globalisasi

Urgensi Kemahiran Berbahasa Inggris di Era Modernisasi dan Globalisasi Sejak abad ke-18, bahasa Inggris ditetapkan sebagai bahasa Internasio...