Blogger Perempuan

Blogger Perempuan
Kunjungi laman Blogger Perempuan dan baca tulisan saya melalui link berikut

Jumat, 23 April 2021

jarak.




"Jadi, selamat tinggal?"


"Ya," aku menyahut, separuh getir. "Selamat tinggal."


Pada rentang dua pulau, lautan tempat ia memandang dari balik jendela pesawat barangkali akan menyimpan megah perasaan yang tak pernah mampu dikuapkan. Tentang hati yang sempat sesak oleh rimbun kasih sayang, mengenai takdir yang buat tergugu malam-malam, atau saat sepasang mata bertemu pada sebuah garis lurus; lelah, luka, putus asa.


Lelaki tersebut menarik kopernya di sepanjang jalur menuju terminal keberangkatan. Pandangnya sendu, rautnya sayu, tubuhnya kuyu, dan senyumnya layu. Beberapa kali mengalihkan tatap, menolak menyelami kedalaman mataku yang dulu selalu ia puja.


Kadang, beberapa hal justru terasa luar biasa sialan di saat-saat terakhir. Kala semua pihak tahu tidak ada yang bisa mengubah apa-apa. Kesempatan bukan sembarang benda temuan di sisi jalan atau toko-toko kelontong.


Usai saja, cukup. Tanpa penjelasan lebih lanjut, tanpa penjabaran memusingkan kepala, tanpa histeria yang akan membuat ia, kami, berubah pikiran dan pilih bertekuk lutut pada cinta.


"Kita tegak berpondasikan logika." Katanya, dahulu. Aku setuju.


Sebab itu, tidak pernah ada kata mengalah termasuk soal menetap atau tinggal.


Selepas hari ini, sedetik setelah pesawat lepas landas, akan kutemukan diriku kembali sibuk di antara bilik gedung berlantai dua puluh lima. Menatap layar maya seharian, menyesap bercangkir-cangkir kopi, mengakrabi kemacetan, klakson kendaraan, serta makan malam di sebuah kedai nasi goreng langganan. Memeriksa ponsel seperlunya, diburu rapat, dikejar deadline, dijejali target-target baru yang wajib dicapai.


Jarak jelas ada. Toh, dua pulau bukan spasi yang mampu ditempuh dengan sekadar lima langkah kaki.


Kemudian, aku dan ia akan terbiasa. Benar-benar terbiasa tanpa kehadiran masing-masingnya, terbiasa sendiri, kembali menjadi diri kami sebelum ceruk waktu mempertemukan. Kembali hampa dan tak masalah.



"Grief is the price we have to pay for love."-Queen Elizabeth II


Palembang, 22 April 2021

Siti Sonia Aseka


Kamis, 22 April 2021

Konflik Myanmar; Permasalahan Etnik, Bukan Agama


Konflik Myanmar; Permasalahan Etnik, Bukan Agama

Myanmar mengalami guncangan sejak militer mengambil alih kekuasaan pada Senin, 1 Februari 2021 lalu. Dalam kudeta itu, militer menangkap Kanselir Aung San Suu Kyi, Presiden Myanmar Win Myint, dan beberapa tokoh senior Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) dalam sebuah penggerebekan dini hari.

Panglima Tertinggi Tatmadaw (Militer), Jenderal Min Aung Hlaing langsung mengambil alih kekuasaan selama satu tahun dan mengumumkan keadaan darurat. Hal ini dilakukan karena adanya kecurigaan terhadap kecurangan pada Pemilu November 2020 lalu.

Jika boleh saya menyimpulkan, ada benang merah antara konflik di Myanmar (Burma) saat ini dengan issu kemanusiaan dalam hal deskriminasi hingga pembantaian masyarakat minoritas, Rohingya.

1. PBB mengungkapkan bahwa tindakan militer Myanmar merupakan aksi pemberantasan etnik yang melanggar kemanusiaan.
Kenapa Etnik dan bukan Agama? Karena etnis Rohingya sendiri tidak diisi oleh seluruhnya masyarakat Muslim. Ada golongan minoritas beragama Hindu dan Buddha yang juga ikut dibatasi geraknya, sampai menerima pembantaian oleh militer Myanmar.

2. Selama 50 tahun, Myanmar hidup di bawah kekuasaan Militer yang otoriter.
Baru pada tahun 2015 diselenggarakan Pemilihan Umum (Pemilu) paling demokratis sepanjang sejarah Myanmar dan menghasilkan Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) yang dipimpin Aung San Suu Kyi keluar sebagai pemenang dengan perolehan suara terbanyak hingga 80 persen. Inilah sebab mengapa bertahun-tahun, kekuasaan militer yang mengakar selama 5 dekade tersebut amat sulit dihentikan. Bahkan selama Aung San Suu Kyi menduduki jabatan sebagai pemimpin negara, kekuasaannya dalam mengendalikan militer Myanmar belum bisa dikatakan sempurna. Ini dibuktikan dengan munculnya Aung San Suu Kyi pada sidang Mahkamah Internasional dan dimintai keterangan terkait adanya genosida terhadap etnis minoritas. Aung San Suu Kyi membantah hal tersebut secara tegas. Ada dua kemungkinan mengapa seorang pemimpin negara sekaligus peraih Nobel Perdamaian melakukan hal demikian. Pertama, karena ia tidak ingin kelompok Militer melakukan Kudeta terhadap dirinya dan partainya yang otomatis akan mengancam kedamaian dan kesatuan rakyat Myanmar apabila ia mengakui dan membenarkan adanya genosida. Kedua, Aung San Suu Kyi memiliki pandangan yang sama dengan kelompok militer terkait sikap deskriminatif terhadap etnis Rohingya yang dianggap bukan penduduk asli Myanmar. Yang perlu diingat, di Myanmar sendiri, solidaritas kusukuan amat kuat sementara kecurigaan antaragama masih begitu tinggi.

Etnis Rohingya merupakan penduduk minoritas dan mayoritas beragama Islam yang bermukim di provinsi Arakan, kawasan Barat Laut Myanmar.

Latar belakang deskriminasi terhadap etnis Rohingya tidak hanya berasal dari sentimen agama, namun juga kepentingan politik dan ekonomi.
-Etnis Rohingya memiliki status yang berbeda dibandingkan dengan etnis minoritas lain
-Etnis Rohingya dianggap sebagai imigran gelap dari Bangladesh
-Etnis Burma di Myanmar tidak ingin bersaing dengan Rohingya di bidang perekonomian
-Kecemburuan etnis Rakhine terhadap etnis Rohingya dan lagi-lagi mengutamakan kepentingan kesukuan dibanding kepentingan persatuan bangsa secara utuh.

Pihak Militer Myanmar diduga ikut memprovokasi beberapa etnis Myanmar untuk menyerang Rohingya. Pada tahun 2017, militer Myanmar melakukan upaya pembersihan etnis Rohingya. Dalam peristiwa tersebut, militer Myanmar melakukan tindakan pengusiran paksa etnis Rohingnya dari Myanmar.

3. Setelah konflik meletus pada Februari 2021 hingga hari ini, tercatat puluhan korban jiwa dan ratusan perempuan ditangkap atas keikutsertaan mereka dalam demonstrasi menuntut kembalinya pemerintahan sipil yang berpegang pada demokrasi. Tetapi yang unik adalah, ternyata tidak semua barisan kepolisian dan tentara yang tergabung dalam militer sepakat dengan adanya gerakan kudeta dan sabotase ini. Tercatat beberapa oknum mengundurkan diri dan mengungsi ke bagian negara India hingga negara tetangga lain sebab tidak ingin melawan dan berhadapan langsung dengan rakyat.

Saya menangkap persoalan yang hampir mirip dengan deskriminasi rasial di Indonesia sampai hari ini. Meski tidak seekstrem Myanmar, tetapi mengakui atau tidak, Indonesia dengan ragam suku, agama, dan keyakinan selama bertahun-tahun hidup dalam bingkai yang serupa.

Contoh kasusnya adalah saat kerusuhan Mei 1998, ketika etnis Tionghoa diserang, kaum perempuan dilecehkan, pabrik-pabrik dan usaha yang dimiliki oleh etnis Tionghoa dibakar hingga dijarah isinya. Hal ini membuat etnis Tionghoa terdesak dan memutuskan untuk melarikan diri ke luar negeri.

Padahal etnis Tionghoa diperkirakan datang ke Indonesia sejak masa Dinasti Han (206 SM- 220 SM). Pada saat itu diketahui bahwa Tiongkok telah membuka jalur perdagangan ke Asia Tenggara dan Jawa termasuk Indonesia. Mereka kemudian tinggal di Indonesia untuk berdagang dan menyebarkan agama Buddha. Logikanya, etnis Tionghoa yang melebur dengan kita hari ini sama saja seperti kita, orang Indonesia, lahir di Indonesia, tumbuh dan besar di Indonesia, menggunakan Bahasa Indonesia. Hanya karena nenek moyangnya etnis Tionghoa, lantas mereka dianggap tidak akan pernah boleh menyandang status 'Indonesia'.

Pola pikir bahwa etnis Tionghoa sebagai kelompok yang selalu diuntungkan dan dapat menyaingi masyarakat pribumi dalam aspek ekonomi, sosial, hingga politik, menjadikan kebencian rasial dan sikap tidak ksatria tumbuh subur dalam diri bangsa. Padahal, asumsi tersebut amat tidak berdasar dan tidak bisa dijadikan alasan bagi kita untuk mendiskreditkan etnis Tionghoa hanya karena mereka 'terlihat' lebih maju selangkah. Anggapan semacam itu dapat dipastikan keliru sekaligus harus segera ditanggulangi demi keutuhan dan persatuan bangsa.

Terlepas dari etnis dan agama, sebuah negara lahir karena adanya keinginan untuk berdiri di atas konstitusi dan undang-undang yang jelas, dengan mengedepankan toleransi demi terwujudnya bangsa yang kuat dan kejayaan negara. Apabila kita tidak dapat menyingkirkan perasaan superior dalam diri, maka bukan tidak mungkin di kemudian hari Indonesia akan mengulang sejarah kerusuhan Mei 1998, bahkan lebih parah; mengalami nasib yang sama seperti negara tetangga; Myanmar.


Palembang, 22 April 2021

Kamis, 01 April 2021

Delos & Onyx




Rasanya aneh saat segala sesuatu menjelma repetitif dalam kepalamu. Seperti bunyi ranting patah disertai sepasang tungkai yang menginjaknya, atau ketika sebuah palu diketuk tiga kali, menandakan akhir atas sebuah putusan baru.


Aku tidak mengerti.

Bagaimana denganmu?


Tetapi katanya, kita memang tidak perlu memahami apa-apa. Karena pada petal-petal flamboyan di sepanjang setapak tempat dua suara saling melantunkan syair-syair tentang hidup, ada lentera dari pekarangan sebuah rumah. Sudi menuntun kita tiba, lapang dada menanti celoteh manusia dengan netra diisi badai; melempar tawa meski air mata merebak dengan kepala kacau dipenuhi sekelumit emosi, sebagian besarnya; angkara.


Aku tidak mengerti.

Kau?


Pada suatu pagi aku mengetuk pintu rumahmu, menyusuri trotoar pendek yang basah selepas hujan semalam.

Tidak sampai ketukan ketiga dan engkau muncul dengan wajah kelewat gundah. Umpama monster pemakan mimpi baik telah menyusup di kamarmu, menelan sisa kenangan indah yang mati-matian kau pertahankan dengan sepasang tangan kurus lagi lunglai.


Tetapi aku tidak datang hanya untuk menghibur manusia di tengah gersang harapan. Aku bukan oasis, dan dirimu bukan Sahara yang pernah sedemikian kudamba. Kita hanya dua orang, sempat berada pada satu proses panjang sebelum tiba pada sebuah konklusi sederhana; adalah benar bahwa tidak perlu repot menyusupkan jemari pada telapak masing-masingnya.


Hari beranjak siang namun bulan tetap betah; mengamati terang-terangan, menunggu kita angkat bicara dan kembali jadi rumah untuk hati yang sudah lama hampa. Tetapi, aku menatap sengit, menggertak, membuat awan bergerak cepat menghalangi bulan yang merasa malu pada semesta,

pada kita.


Tidak benar bahwa kusesalkan setiap memori pada bingkai-bingkai foto di dalam rumah. Barangkali kau terlalu malas untuk mengenyahkan presensi senyuman manis kita berdua, atau sekadar lupa bahwa sudah tidak ada lagi yang perlu diingat. Kecuali, bagaimana dirimu sendiri melepaskan satu senyum lega setelah berhasil membuatku merasa terbuang bertahun silam.


Hei, tapi, tidak. Aku tidak datang untuk mengingatkanmu pada dosa-dosa masa lampau, atau bagaimana jalinan kita yang semula merah muda, malah berubah membiru.

Aku sudah berjanji padamu untuk bahagia dan menjadi utuh, aku sudah berjanji pada diri sendiri untuk berlari sejauh mungkin dari probabilitas menyebalkan tentang kegagalan mempertahankan riak-riak tekad. Sebab itu, kusimpan kenangan yang rutin tandang pada malam-malam kelam, menitipkannya pada lagu-lagu sendu, menangkap satu per satu lalu mengurung mereka pada sebuah kotak usang di sudut paling terpencil.


Hatiku sudah mati. Aku yakin sekali. Bukan karenamu, tentu. Tetapi karena diriku tahu setelah disakiti berkali-kali dan menelan pahit sampai muak, aku tidak juga cukup berani untuk mendepakmu dari daftar prioritas.


Eksistensimu itu mengganggu sekaligus kurindukan, tahu?


Setidaknya, hingga beberapa waktu lalu. Kala pagiku seperti biasa dipenuhi aroma kopi berwarna pekat, langit mendung, serta loper koran yang melempar gulungan kertas sampai membentur pintu. Seseorang datang saat getir merambat cepat, membangunkanku yang tertidur di tengah pesta pora dunia, tersenyum manis melengkapi kopi yang sengaja kuseduh tanpa gula.


Coba katakan, bagaimana mungkin aku tidak menyambutnya dengan tangan terbuka?


Maka hari ini, aku kembali. Menyapamu seringan belasan tahun tertinggal, menganggap seolah tidak pernah ada jejak lumpur di sepanjang pasir pantai tempat kita pernah menata masa depan yang tidak akan pernah jadi nyata.


Lukanya masih ada, berbekas. Basah dan pedih, merah, menganga.


Tetapi, seseorang sudah datang. Tanpa sibuk kutunggu, tanpa repot kunanti. Menawarkan perbaikan  yang tak pernah kupikir ada apalagi perlu.


Berbeda denganmu, ia memberiku tempat tanpa pusing kuminta.


Kali ini, aku mengerti.

Iya, aku benar-benar mengerti.


Seseorang ini, syukurlah, bukan engkau.



Palembang, 31 Maret 2021

Siti Sonia Aseka


Urgensi Kemahiran Berbahasa Inggris di Era Modernisasi dan Globalisasi

Urgensi Kemahiran Berbahasa Inggris di Era Modernisasi dan Globalisasi Sejak abad ke-18, bahasa Inggris ditetapkan sebagai bahasa Internasio...