Blogger Perempuan

Blogger Perempuan
Kunjungi laman Blogger Perempuan dan baca tulisan saya melalui link berikut

Jumat, 26 Juni 2015

FlashFiction (Jingga Senja)


JINGGA SENJA
SITI SONIA ASEKA

Destinasi Senja.
26 tahun, penyuka hujan, penikmat kopi, pecandu fiksi.

            Senja, begitu ia biasa dipanggil. Sekali lagi untuk kesekian masa terlewati, menyusut air mata yang berulang kali mengalir di pipi. Tiada isak, tiada ronta apalagi ratapan sakit yang entah mengapa menghujam dadanya. Memicu emosi yang selama ini tersimpan rapi, tak pernah meledak barang sekali. Tapi, malam ini lain. Dalam sunyi yang membuat ngeri, wanita itu memeluk lutut erat. Menenggelamkan wajahnya diantara kedua lengan yang melemah.
            Undangan itu ia tatap lagi. Sekali lagi, berkali-kali hingga letih dan matanya memanas kemudian meraung dalam hati. Mengapa?

~~~

            Wanita itu tersenyum. Bersusah payah ia langkahkan kaki ke panggung ini, berniat menyalami kedua mempelai. Tangis itu tak ada lagi. Luka itu, entah bagaimana telah diusir pergi. Hanya pasrah yang ia bangun setebal mungkin, setinggi yang mampu ia lakukan seorang diri.

“Barakallah.” bisiknya dengan senyum segaris.

“Terima kasih telah hadir.” Senja memeluk jemarinya, menyembunyikan getar yang kembali mampir. Mengangguk kecil, ia berjalan pergi, buru-buru sekali.

            Diakah genap yang selama ini kau cari?

Senja merapat ke pintu, berniat segera pergi dari situ. Matanya mendadak sendu, nyalinya mengabur termakan sesuatu yang ia pun tak tau. Selangkah menuju gerbang, seseorang menyerukan namanya. Nada yang ia kenali radarnya.

“Senja? Lama tak bertemu.”

~~~

Jingga Mahendra.
29 tahun, pencari genap yang sejati.

Puisi (Sooner or Later)


SOONER or LATER
SITI SONIA ASEKA

Aku memilih, pada akhir yang tak pernah berawal.
Berdamai pada keadaan.
Berkawan dengan sepi yang menghujam.

Sesungguhnya,
genapmu bukan ia yang selalu kau tuju arahnya.
Tetapi, hanya soal siapa yang Tuhan tunjuk sebagai kebutuhan.

Mungkin sayap lain jauh lebih indah.
Namun, apakah itu yang sesuai dengan sayapmu yang satunya?

Bukan soal rupa, apalagi rasa.
Hanya ketika kau bersamanya, duniamu terasa sama.
Tak ada lebih atau kurang yang kentara.

Cepat atau lambat,
tepat atau telat,
titik setaramu selalu datang di saat yang tak terduga.

Puisi (Ganjil)


G A N J I L
SITI SONIA ASEKA

Sebuah pola, perputaran roda.
Tentang begitu banyak rasa,
entah cinta, atau sesuatu yang mesti jadi rahasia.

            Sudah pernah kubilang, berulang.
            Ketika pertama ia datang,
            kali perdana pula bagiku meradang.
            Kepada lenganmu yang merentang,
            atau jemarimu yang menggapai awang-awang.

Sebuah pola, peredaran tak biasa.
Atau, hanya lambaian kecil tak berupa.

Dia yang kau tuju,
aku yang menunggu,
genggaman pilu, ketika pergi bukan jalan yang kumau.

Siapa yang ketiga, sebenarnya?
Aku atau dia?
Atau bahkan, mungkin itu kau.

Itulah mengapa,
ganjil tak selalu indah.
Itulah pula,
ganjil selalu membentuk luka.

Puisi (Pengertian Suatu Hari)


PENGERTIAN SUATU HARI
SITI SONIA ASEKA

Suatu saat, kau akan mengerti.
Bahwa cinta tak sesederhana ketika kau ingin memiliki,
atau merasa telah selesai mencari,
hingga tak harus pergi lagi.

Namun nanti, cinta itu hadir karena keharusan.
Karena hanya dia yang mampu menggenapkan hidupmu,
menjadi bagian dari sepasang sayap untuk terbang menyusuri perjalanan ini.

Bukan tentang mencari,
tetapi soal menemukan…
saling mengasihi,
hingga waktu bahkan tak mampu berkuasa lagi.

Minggu, 21 Juni 2015

Puisi (Jelang Dua Bulan)


JELANG DUA BULAN
(SITI SONIA ASEKA)

            Aku tak tau sejak kapan jadi segila ini. Puluhan lemparan bahkan tendangan membabi buta telah kulayangkan kesana, pada ring basket yang tak bersalah apa-apa. Hasilnya, aku terduduk ditengah lapangan, dengan keringat mengucur deras dan nafas yang tak beraturan lagi arahnya. Pandanganku meremang, setidaknya sebelum kuhempaskan bola basket itu sekuat tenaga untuk terakhir kalinya. Buru-buru bangkit, kuseka kasar keringat yang lagi-lagi mengalir dari pelipis dengan punggung telapak tangan.


            Aku tetaplah aku. Tak peduli sebanyak apa sakit yang kau antarkan padaku, atau seberapa besar luka yang kau jejalkan di jiwaku. Dan kau tetaplah kau. Yang tak butuh waktu lama untuk temukan tambatan hati yang baru, kemudian dengan mudahnya melupakanku; seseorang yang kau sebut sebagai masa lalu.
            Inilah jalan yang kita sepakati, awalnya. Ketika kau tawarkan jurang dan aku mengetuk palu tanda setuju. Semua sesak ini, terasa ngilu. Pun itu menggerogoti kesehatan batinku. Senyum ini, tawa ini jika kau mau tau, tak pernah lagi sebebas dulu. Terlalu sulit dan membelit tiap-tiap syaraf sadarku.

Seharusnya, aku menyebutmu apa?

            Hingga akhir dari segala kenangan itu tinggallah keinginan untuk melupakan, tanpa berpikir menyisakan sedikit saja cerita untuk dibagi nanti, ketika kita telah belajar memaafkan keadaan.

            Hampir dua bulan, Tuan. Sejak segala yang manis itu berakhir pahit bagiku. Seolah pemanis buatan, memaksa segala hambar menjadi rasa yang dicinta, kemudian meninggalkan bekas yang sulit hilang, pun itu menenggak air seteko penuh.
            Jelang dua bulan, Tuan. Berdiriku sendiri, tertawaku bukan karenamu lagi. Aku tak minta kau mengingat setiap memori. Hanya sedikit saja, sisakan ruang bagi sosokku untuk kau kenang di kemudian hari. Sebagai pembelajaran atas segala salah yang harus dibenahi.
            Pun, dimasa depan. Ketika kita menjelma mimpi yang abadi. Engkau dengan dia sementara aku dengan seseorang yang lebih baik. Takkan ada lagi spasi yang mengiringi sapa, atau tangis tanpa muara. Kita sama-sama berhak bahagia dan pantas untuk menikmati rentetan gelora, tak hanya tentang kita berdua.
            Jika nanti, Tuan. Jika nanti terbersit keinginan di hati untuk kembali, maka halaulah sesegera mungkin. Tak peduli jika aku pun masih mencintaimu, tak peduli bila rinduku menggebu menuntut temu. Jangan pernah datang lagi. Jangan pernah mengatasnamakan takdir atas segala yang telah terjadi. Karena bagiku, angin yang telah berhembus tak dapat kembali lagi. Dan kau harus berusaha untuk mencari jalan yang baru, tanpa aku… tanpa kita.

Palembang, 16 Juni 2015.
Kepada, yang telah kulupakan namanya.
Berbahagialah.

Urgensi Kemahiran Berbahasa Inggris di Era Modernisasi dan Globalisasi

Urgensi Kemahiran Berbahasa Inggris di Era Modernisasi dan Globalisasi Sejak abad ke-18, bahasa Inggris ditetapkan sebagai bahasa Internasio...