Blogger Perempuan

Blogger Perempuan
Kunjungi laman Blogger Perempuan dan baca tulisan saya melalui link berikut

Kamis, 18 Januari 2024

Kita Merdeka untuk Memilih Termasuk dalam Membangun Rumah Tangga

Kita Merdeka untuk Memilih Termasuk dalam Membangun Rumah Tangga

(If you are planning to get married, maybe this is suitable for you to read)



Pernikahan adalah kumpulan janji, komitmen, kesetiaan, tanggung jawab, dan usaha. Bagaimana dua orang dengan perbedaan pribadi, latar belakang, asal usul, bahkan lingkar sosial memutuskan untuk membangun institusi rumah tangga dan bekerja keras bersama-sama untuk menyukseskan apa yang mereka yakini dan imani. Kompromi, saling mengerti, kepedulian, bahu membahu, saling melengkapi segala apa yang ganjil dan timpang pada jiwa serta kalbu masing-masing.


Untuk mencapai cita-cita dan destinasi yang telah disepakati, sepasang manusia harus rela pun bersedia mengoreksi, menyeleksi, dan mengeliminasi, menyatukan kepentingan, agar tidak ada kompetisi pun perbedaan pendapat yang berakhir saling menyakiti.


Namun, segala hal tersebut harus dimulai dengan satu prinsip dasar namun krusial; pondasi yang kokoh, tidak rawan ambruk. Pondasi tersebut meliputi kepercayaan, kejujuran, serta ketenangan. Kepercayaan bahwa perasaan yang ada dalam hati masing-masing setara, sehingga tak ada celah untuk saling curiga. Jujur mengenai kesediaan, ketidakterimaan, kesukaan, yang bermuara pada penerimaan, jiwa yang berkenan, tak menatap penuh tanda tanya dan menerka-nerka. Ketenangan, sebab mengetahui bahwa masing-masing senantiasa memiliki dan hadir secara utuh pun penuh.


Yang terpenting, pernikahan tidak menjadikan hanya salah satu berjuang seorang diri, merasa tunggal, didera kesepian akut.


Pernikahan tidak seharusnya menjadikan pelakunya was-was, khawatir, ketakutan yang tak berdasar. Jauh dan dekat jarak dengan pasangan sudah semestinya tidak menumbuhkan bibit kecemburuan dan runtuhnya percaya.


Pasangan yang baik, tidak membiarkan pasangannya berjuang dan larut dalam kecemasan terlalu lama tanpa sikap yang jelas. Karena sudah seharusnya dua orang yang hidup dalam institusi rumah tangga untuk saling menjaga; pikiran, hati, raga, serta jiwa. Tak kurang, tak setengah-setengah.


Maka adalah wajib memilih dan memilah pasangan bukan hanya dari apa yang tampak. Wajah boleh rupawan, tapi kita tidak hanya hidup untuk memandang wajahnya saja, bukan? Lapar tak dapat lenyap begitu saja dengan memandang, pekerjaan rumah tak mungkin selesai hanya dengan menatap wajah pasangan, anak-anak tumbuh dan berkembang di tangan orangtua yang siap dan berjuang bukan hanya orangtua yang memandang satu sama lain tanpa kedip dan berkesudahan.


Atau apabila bicara soal profesi, masyarakat Indonesia masih menganggap beberapa profesi lebih baik dari profesi lainnya. Memuja dan menganggap anak keturunannya harus berjodoh dengan pekerja A atau pekerja B. Hal tersebut secara sadar dan tidak, menimbulkan tekanan kepada anak, mengakibatkan pikirannya tersugesti untuk memenuhi angan-angan orangtua. Tak jarang, orangtua pun membatasi dan mewanti-wanti anak bahwa suku tertentu paling baik dan sang anak harus menikah dengan seseorang dari suku yang dimaksud.


Pada satu titik, bisa saja anak menjadi terpenjara dan tak berani melangkah untuk memulai. Merasa serba salah, merasa takut, dan tentu saja khawatir mengecewakan orangtua. Menjadi kelewat selektif, skeptis, dan trust issue.


Jangan abaikan tanda meski kecil nan samar sekalipun, sulit diterima, dilakukan berulang-ulang, dan hanya akan berakhir menyakiti kita hanya karena alasan kekanakan; soalnya dia GANTENG/CANTIK! Soalnya, karier dia cemerlang, gajinya besar! Soalnya dia PNS/ABDI NEGARA! Soalnya orangtuaku setuju karena dia berasal dari suku A atau suku B!


Angka perceraian di Indonesia mengalami kenaikan menjadi 516 ribu setiap tahun. Dari 13 penyebab utama perceraian yaitu; ketidakcocokan, kurangnya kedekatan, konflik terus menerus, minimnya komitmen, perbedaan pola asuh, dan prinsip yang bertentangan, dapat kita lihat, betapa penting setara dalam berpikir, bertindak, komunikasi, serta saling menghargai dan mengerti. Hal-hal yang seharusnya clear dan disepakati sebelum melangkah ke jenjang pernikahan.


Pada suatu hari di sebuah rumah sederhana, seorang isteri tengah mencuci piring selagi menunggu masakannya matang. Seorang anak batita menangis di bawah kakinya, berteriak meminta perhatian. Sementara tak jauh dari sana, anaknya yang lain tengah melemparkan benda-benda ke segala arah, mengamuk. Di ruangan lain, sang suami memegang gawai, bermain game berjam-jam, wajah masam sebab menahan lapar, mulutnya mengumpat, sumpah serapah keluar. Mencaci maki isterinya yang dianggap tak becus dalam segala hal.


Contoh kasus di atas terjadi akibat mengabaikan RED FLAG di fase saling mengenal. Sejak awal memang si lelaki gandrung terhadap game, tak punya manajemen waktu yang baik, kesulitan mengatur skala prioritas. Sejak awal memang si perempuan tak pernah berani mengemukakan pendapat. Sejak awal tidak ada kesepakatan dan visi misi yang jelas, sejak mula tak ada pembagian tugas, cara mengasuh dan membesarkan anak, TIDAK ADA. Hanya karena dimabuk cinta, memaksakan apa yang tak seharusnya menjadi wajar.


Maka, pahamilah dan praktekan. Ketika fase saling mengenal, jangan terburu-buru. Kenali sepenuhnya, seutuhnya, semaksimal dan seoptimalnya. KENALI, jangan menaruh ekspektasi atau harapan yang kelewat tinggi agar diri tetap objektif, tidak hanya didasari nafsu, mengesampingkan akal sehat. KENALI, nothing to lose. Take your time.


Ambil momen untuk berkomunikasi, berunding. Sibukkan diri dengan belajar dari pengalaman orang lain, mengetahui dan meningkatkan nilai diri. Agar apa? Agar kita tahu apa yang kita mau dan apa yang kita cari. Tidak luluh hanya sebab ujaran manis dan janji-janji palsu.


Jangan pernah merendahkan standar diri hanya agar diterima. Jangan merasa bisa mengubah sifat seseorang hanya karena kamu bersedia menjadi pasangannya.


Kamu mengidap asma atau masalah pernapasan lain yang akut dan ia perokok aktif. Kamu TETAP menerimanya dengan alasan bisa mengubah kebiasaan tersebut atau berdalih, "Ia pasti akan berhenti merokok suatu hari nanti. Saya akan membuatnya berhenti. Ketika punya anak ia pasti akan berubah."


ATAU ketika seorang lelaki datang dan menawarkan pernikahan. Sejak awal ia telah mengatakan tegas bahwa menginginkan isteri yang hanya di rumah, tidak bekerja, dan tidak akan menempuh pendidikan tambahan. Sementara kamu memiliki niat atau memang tengah membangun karier dan telah berencana untuk sekolah lagi. Secara logika, kalian semestinya tidak berakhir bersama karena hal yang demikian berpotensi menimbulkan masalah besar. NAMUN karena lagi-lagi merasa dapat mengubah keputusan atau dapat merundingkan prinsip tersebut setelah menikah, maka kamu tetap menerimanya. Merasa ia mungkin akan merevisi pemikirannya dan kamu bisa tetap menggapai cita-citamu.


Padahal, rumah tangga yang sehat tidak dibangun berdasarkan keragu-raguan dan dugaan. Rumah tangga tidak boleh dibangun di atas ketidakpastian.


Jangan pernah berpikir bahwa siapapun yang datang adalah jodoh kita hanya karena kita takut tak ada lagi orang yang berminat melamar. Jodoh adalah bagian dari ikhtiar. Sudah seharusnya kekhawatiran tentang apapun yang melingkupinya diserahkan hanya kepada-Nya.


Di dalam rumah tangga, rasa kepemilikan tidak hanya dimiliki oleh satu pihak. Otoritas terhadap tubuh misalnya. Masing-masing harus mengetahui batas dan membiarkan apapun yang terbaik dipilih berdasarkan kesadaran dan akal sehat. Contohnya, alat kontrasepsi. Banyak terjadi tidak adanya kesepakatan mengenai jumlah anak, jarak kelahiran, serta apakah akan berkontribusi dalam program keluarga berencana. Seringkali, perempuan disetir dan tidak disediakan pilihan. Dilarang menggunakan KB oleh suami, padahal ia merasa harus mengambil jeda dalam mengandung dan melahirkan anak. Sementara suaminya sendiri tak bersedia menggunakan alat kontrasepsi. Ketidakadilan semacam ini sudah seharusnya dihapuskan dengan edukasi yang tepat soal apa yang harus dan tidak boleh dalam pernikahan, jangan sampai kedzoliman dilanggengkan bahkan dalam institusi rumah tangga. Jangan sampai anak tumbuh dalam sistem keluarga yang otoriter, penuh penghakiman, sehingga hilangnya hak untuk bersuara, berpendapat, dan memilih.


Rumah tangga adalah anak tangga pertama yang akan menjadi contoh, cermin bagi generasi penerus dalam menghadapi kehidupan di dunia luar. Kebajikan, kepekaan, cinta kasih, dan kepercayaan diri terbentuk dari rumah. Bagaimana relasi yang sehat antar anggota keluarga, ayah dan ibu, adik-kakak. Bagaimana orangtua menjadi teladan, semua anggota keluarga berperan dan menjadi versi terbaik dari diri mereka sendiri.


Beberapa orang mampu jadi pasangan yang baik namun belum tentu bisa jadi orangtua yang bijak, begitupula sebaliknya.


Maka jangan hanya belajar untuk menjadi sempurna sebagai pasangan saja, namun juga belajar untuk menjadi orangtua dengan sebenar-benarnya dan sebaik-baiknya.


Dan kembali lagi pada statement awal, bahwa pernikahan adalah kumpulan janji, komitmen, kesetiaan, tanggung jawab, dan usaha. Janji yang disaksikan penghuni langit dan bumi, komitmen yang berlaku seumur hidup bahkan dunia dan akhirat, kesetiaan dan tanggung jawab untuk bertahan, bertumbuh, dan selalu ada. Serta usaha yang mengikat satu sama lain sekaligus memberi ruang seluas-luasnya dalam menjadi dirinya sendiri dan di waktu yang sama memberikan yang terbaik agar rumah tangga dapat tetap berjalan.


This requires time, a long process, and patience. Maka benarlah bila dikatakan bahwa pernikahan adalah kumpulan masalah yang harus diselesaikan dan mampu dijalani bagi mereka yang bersedia dan siap.


Marriage is an accumulation of beauty and beauty requires a process. Some of these processes are not easy. But, this is what will shape us, so that we are able to define what we are looking for and what we really need.

Urgensi Kemahiran Berbahasa Inggris di Era Modernisasi dan Globalisasi

Urgensi Kemahiran Berbahasa Inggris di Era Modernisasi dan Globalisasi Sejak abad ke-18, bahasa Inggris ditetapkan sebagai bahasa Internasio...