Blogger Perempuan

Blogger Perempuan
Kunjungi laman Blogger Perempuan dan baca tulisan saya melalui link berikut

Kamis, 24 Maret 2022

Dongeng Tentang Lautan

 


Bertahun yang habis dihitung dengan jemari.


Suatu waktu, seseorang mengisahkan soal dongeng tentang lautan; kedalamannya, rahasianya, ombak yang kerap menghantam kuat maupun lambat, karang angkuh yang tinggal di jantung arus tempat ikan berenang-renang, atau kapal-kapal nelayan berlayar berminggu-minggu, menghabiskan hari-hari dengan kerja, lantas terjaga malam-malam, menatap bintang biduk penentu arah, menghitung kapan masanya mereka bisa menginjak daratan kembali, pulang dengan ragam hasil tangkapan di tangan.


Lautan adalah kehidupan yang riuh oleh sorak sorai pun isak tangis, hiruk pikuk, sampai kemungkinan, nihil maupun masif.


Namun, pesisir, yang kerap lupa masuk dalam serumpun cerita, ternyata menyajikan lebih banyak sedu sedan, tentang tanya dan putus asa, kecewa, angkara, tak jarang disulap menjadi ruang tunggu tempat hati yang rapuh menanti sembari mengeringkan air mata dan membasuh luka-luka.


Jangkar yang diangkat, tak pernah mampu mengangkat pula nama seseorang dari dasar sanubari. Layar yang berkibar dibimbing angin tak juga berhasil menerbangkan memori dalam rupa selamat tinggal. Perpisahan memang sebuah pahit yang perlu dicecap, perpisahan adalah sebuah jarak membentang yang tak pernah bisa dilipat spasinya dengan hanya sebuah permintaan maaf.
Maka lautan yang menyenangkan kadang kala masih tak kuasa menahan tangis seseorang. Tak dapat membatasi rindu dan menjadikannya seolah tiada.


Sebab sebelum lautan mengambil alih, pesisir pernah lebih dahulu mempertemukan dan memisahkan dua orang dengan dalih takdir. Saling melambaikan tangan, mencoba melepas belenggu ikatan yang kerap disebut sebagai ketidakrelaan, mencoba berdamai, lantas saling tatap, sendu, meneriakkan duka dalam dada.


Pesisir adalah misteri bagi hati yang tengah berlayar. Sebab kapanpun angin sepoi-sepoi menerbangkan imaji pada bait-bait masa depan, kenangan yang menggenang di kepala soal sosok-sosok lama tak pernah mampu lesap bak air dalam cangkir menguar ditelan udara.


Suatu waktu, seorang awak menepi dari bising sebuah kapal. Menatap sebuah titik, daratan yang dikiranya ada di sana meski tak lagi tampak di pelupuk. Dituliskannya resah, labuh sudah gelisah pada secarik kertas. Lukanya kembali basah.


"Tiap-tiap kulempar pandang pada pesisir, selalu kudapati rautmu menatap sendu, seolah temu tak pernah bisa jadi lain kali


Wajahmu masih dan selalu tertinggal di situ;
di hatiku."



Tangerang Selatan, 23 Maret 2022
Siti Sonia Aseka




Urgensi Kemahiran Berbahasa Inggris di Era Modernisasi dan Globalisasi

Urgensi Kemahiran Berbahasa Inggris di Era Modernisasi dan Globalisasi Sejak abad ke-18, bahasa Inggris ditetapkan sebagai bahasa Internasio...