Blogger Perempuan

Blogger Perempuan
Kunjungi laman Blogger Perempuan dan baca tulisan saya melalui link berikut

Selasa, 16 April 2019

Rekam Jejak Harapan (Untuk Indonesia)

Menuju pesta demokrasi Republik Indonesia demi lahirnya pemimpin ideal, 17 April 2019.

Berdasarkan jajak pendapat yang saya lakukan di akun Instagram pribadi saya @sitisoniaaseka, maka terkumpul lebih dari dua puluh harapan masyarakat terhadap sosok pemimpin yang mereka inginkan menjadi role model serta nahkoda baru negeri ini.

Terima kasih kepada seluruh partisipan.
Semoga dengan demikian, kita mampu mengawal lebih jauh dan berkontribusi dalam program-program kebaikan dalam rangka kebermanfaatan.

Bangsa ini punya suara, dan kita berhak menyatakan pilihan!
Gunakan hak pilihmu, satu suara menentukan masa depan Indonesia.




























Palembang, 16 April 2019
Siti Sonia Aseka 

Mahasiswa: Diantara Independensi dan Hak Menyatakan Pilihan

Mahasiswa: Di Antara Independensi Dan Hak Menyatakan Pilihan



Dikutip dari brainly.co.id, independensi adalah suatu keadaan atau posisi dimana kita tidak terikat dengan pihak manapun. Artinya, keberadaan kita adalah mandiri, tidak mengusung kepentingan pihak atau organisasi tertentu.

2019 adalah tahun politik, di mana tampuk kekuasaan atau pemerintahan tertinggi republik ini akan dilelang kembali melalui ajang Pemilihan Umum serentak yang akan diselenggarakan pada 17 April mendatang di seluruh pelosok negeri.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyatakan bahwa daftar jumlah pemilih tetap di Indonesia pada tahun 2019 adalah sebanyak lebih dari 192 juta jiwa. Angka tersebut meningkat pesat dibandingkan dengan empat tahun lalu. Hal ini diakibatkan oleh banyaknya pemilih pemula atau pemilih muda (mencapai angka 5 juta pemilih) yang akan ikut berpartisipasi memberikan hak suara mereka pada pesta demokrasi sebentar lagi.

Lantas, di mana peran mahasiswa saat Indonesia tengah riuh oleh narasi serta janji yang dilontarkan oleh para calon pemimpin negeri?

5 juta adalah angka yang tidak main-main. Cukup besar untuk membawa pengaruh terhadap masa depan dan keberlangsungan bangsa Indonesia. Ditambah dengan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya ikut serta dalam menggunakan hak pilih yang membawa dampak baik, melepaskan rantai ketidakpedulian, acuh tak acuh, serta meminimalisir anggapan bahwa golput bukan masalah berarti, bahkan bisa dijadikan solusi atas ketidakpuasan dan kekecewaan ketika ekspektasi terhadap pemimpin tidak memenuhi standar pribadi, secara bertahap dan pasti meningkat tinggi.

Melalui databoks.katadata.co.id, jumlah pemilih yang tidak menggunakan suaranya atau disebut golongan putih (golput) pada 2014, secara nasional rata-rata mencapai 30,8 persen. Provinsi dengan angka golput tertinggi adalah Kepulauan Riau mencapai 40 persen dari total pemilih terdaftar sebanyak 1,39 juta.

See, kita ingin kecolongan lagi?

Mahasiswa sudah seharusnya ambil bagian, menjadi garda terdepan, tidak menyingkir ke tepi, lalu menghilang di balik ketakutan yang menumpuk tak terkendali. Hei, dengar! Menyatakan pilihan adalah hak, begitupula ketika menentukan sikap. Sebagai individu yang bebas dari tekanan serta penuh dengan kesadaran, kita tidak bisa terus bertahan dalam penjara kebisuan, bukan?

Ada apa dengan Mahasiswa sesungguhnya?

Mahasiswa hari ini dibenturkan pada opini bahwa bersuara berarti cerminan, serta menyatakan pendapat dianggap mutlak sebagai sikap meminta bahkan menagih keberpihakan yang sama terhadap barisannya. Padahal, di sisi lain, tugas mahasiswa selain mengkritisi adalah memberi solusi konkret, realistis, cenderung membawa ke arah yang progresif, relevan juga tidak berbatas dinding-dinding pemisah.

Mahasiswa hari ini, diharuskan untuk membuat keputusan, meskipun dalam banyak segi justru harus tetap menegakkan sikap merdeka, netral, tidak seolah berdiri di satu pihak apalagi memperlihatkan karakter memusuhi, menjatuhkan bahkan memberi ultimatum pada pihak lain. Memunculkan narasi-narasi kokoh yang kemudian mampu menggiring seseorang atau kelompok untuk berkaca dan memiliki sikap serupa.

Namun, terlepas dari itu semua, tentang suara mahasiswa yang seakan hilang di tengah kontestasi menuju pesta demokrasi bahkan cenderung sembunyi dan bermain kucing-kucingan, ke mana mahasiswa yang biasanya lantang memberikan ketegasan serta kepastian ketika suaranya dinantikan untuk dijadikan patokan, atau setidaknya rambu-rambu bagi masyarakat untuk menentukan pilihan?

Otomatis publik kehilangan arah secara percuma. Bukan ini yang diharapkan seluruh pihak, tentu saja. Lantas, peran mahasiswa dalam mencerdaskan kehidupan bangsa juga harusnya tidak ditabukan apalagi dianggap pelanggaran kala menjalankan tugas sebagai agen perubahan, benar?

Masihkah mahasiswa harus membuat blokade terhadap geraknya, ketika bangsa ini bahkan harus mendapatkan hak melangkah maju dan hak menyatakan cinta dengan turut mengusahakan yang terbaik, salah satunya dengan memilihkan pemimpin dengan latar belakang yang mampu diterima dan dapat membawa Indonesia berjuta langkah lebih maju dan tidak lagi dianggap tertinggal bahkan oleh rakyatnya sendiri?

Sudah seharusnya mahasiswa bergabung, padu. Tidak terpecah dan memecah, apalagi tidak merasa perlu untuk menjadi prajurit yang setia terhadap Indonesia. Barisan perjuangan ini terlalu longgar apabila mahasiswa memutuskan untuk mundur. Kontribusi kita terlalu minim apabila hanya berkutat pada remeh-temeh anggapan orang. Mahasiswa tidak perlu takut lagi dicap memihak, karena sesungguhnya keberpihakan adalah sense natural seluruh manusia.

Bukan sebab kita mahasiswa lantas tidak diperbolehkan mengumumkan pilihan. Bukan pula karena kita takut dicap memihak dan dikuasai oleh suatu kelompok lantas kita harus berlepas diri dari segala persiapan Pemilihan Umum ini dan terlena tanpa mengawal apapun serta merasa cukup dengan menjadi penonton.

Mahasiswa tidak lemah begitu, bung!
Mahasiswa punya ciri khas mengamankan dan mengontrol.

Jadi, dengan segala kerendahan hati, mari kita turunkan kadar ego, untuk melambungkan cita-cita bangsa, sekaligus menyuburkan bibit-bibit harapan. Karena kita masih sangat muda di antara jalan panjang, juga amat belia dihadapan bumi yang begitu tua.

Lantas, sudahkah kita menentukan kekhasan apa yang harus pemimpin ideal miliki untuk bersama membangun negeri ini tanpa eleminisasi dan bertengger pada eksklusifitas?

Jajak pendapat yang saya lakukan pada Senin, 15 April 2019 berhasil menjaring lebih dari 20 suara mengenai impian masyarakat terhadap calon pemimpin Indonesia. Banyak di antaranya mengharapkan kehadiran pemimpin yang memiliki aksi, reaksi, pikiran, didasari gagasan yang mumpuni, lantas kemudian saya simpulkan secara sederhana, bahwa masyarakat membutuhkan sosok yang tidak hanya sekedar hebat dalam bingkai, namun memang luar biasa dalam menghasilkan, berkarya serta menciptakan sesuatu yang mampu dinikmati bersama.

Masih ada waktu untuk berpikir matang, masih belum terlambat untuk mengoreksi kembali, dan jelas masih tersedia kesempatan seluas-luasnya kepada siapa saja untuk memilih berdasarkan hati nurani dan didasari oleh ilmu dan pemahaman yang jelas, atas nama Indonesia, negeri dengan kekayaan alam, budaya, tradisi serta kehidupan murni pribumi yang harus terus dijaga, dilestarikan, diperlakukan sedemikian istimewa agar tidak terkikis habis lalu punah.

Akan sangat besar tanggung jawab yang mesti dipikul oleh pemimpin bangsa ini, terlepas dari bagaimana keberlangsungan itu berjalan, kita sebagai bagian dari masyarakat beradab dan bertanggung jawab atas pilihan, harus terus berdiri tegak demi mengoreksi dan menjadi pengingat, tidak berlepas tangan atas pemerintahan dan terus berada di jalur yang benar demi membawa dengan tekad bulat keinginan serta mimpi-mimpi terdalam bangsa Indonesia.

267 juta jiwa yang bernaung di bawah langit negeri ini harus diberi makan, mendapat perlindungan dan diperlakukan dengan sebagaimana mestinya, adil, bijaksana.

9.66 persen angka kemiskinan harus terus diturunkan, meminimalisir tingkat kriminalitas yang disusul oleh angka 6.87 juta jiwa masyarakat tanpa pekerjaan (pengangguran).

Utang luar negeri Indonesia berdasarkan catatan Bank Indonesia pada akhir Februari 2019 adalah sebesar 388,7 miliar dolar AS, naik 4,8 miliar dolar AS, harus dibayarkan! Tidak boleh terus ditumpuk dan membiarkan negeri ini diagadaikan begitu saja, serta dicap kembali sebagai negara gagal!

Ada banyak sekali PR yang harus diselesaikan, bukan? Ada banyak tanggung jawab serta tuntutan kepada siapapun nantinya pemimpin yang akan membawa negeri ini ke arah yang diharapkan lebih baik dan lebih menjanjikan.

Lapangan pekerjaan, pembangunan dan infrastruktur, pertumbuhan ekonomi, sarana dan prasarana pendidikan, kesehatan, peningkatan kesejahteraan rakyat dan pengawasan serta penjagaan atas kekayaan alam, peningkatan dan pendistribusian sumber daya manusia (SDM) berkualitas, juga pesatnya teknologi yang harus terus dikawal sedemikian intensif.

Sudahkah pemimpin pilihanmu memiliki target mewujudkan segala penyelesaian masalah di atas? Atau hanya sekedar akan diam ketika negerinya dihabisi hingga ke tulang dan lumpuh lalu hancur berantakan?

Menuju PEMILU cerdas, berkualitas dan berdampak. Mari gunakan hak pilih Anda di TPS terdekat pada 17 April 2019 mendatang!

Satu suaramu, lima menit waktunya, mampu mengubah Indonesia.


Siti Sonia Aseka
Palembang, 16 April 2019

Dari Mahasiswa untuk Bangsa.

Jumat, 05 April 2019

Friends

Sebab, kepercayaan bukan sesuatu yang dapat dibeli di toko kelontong, bukan pula hal yang dijajakan murah meriah di gerai kaki lima. Malah, lebih jauh, kepercayaan tidak pernah ditawarkan cuma-cuma, tidak ditemukan tanpa sengaja di tengah jalan, pun dapat dipetik suka-suka berapapun kebutuhannya.



Atas alasan tersebut, Kina tidak pernah bisa seutuhnya yakin tentang percaya. Baginya, hal-hal semacam itu bukan satu dari sekian rasionalitas manusia sehingga amat mudah dibodohi lantas hidup dalam kepura-puraan, memanjangkan harapan. Menghapus sekian sisi paling realistis demi membangun angan-angan. Kina selalu berpegang pada logika bahwa asa tidak patut diberi tempat, karena betapapun ia ingin, berapa banyak ia berusaha, pengkhianatan, kecewa, rasa sakit dan luka yang menganga selalu tiba di akhir kisahnya.

Dan perempuan itu sungguh merasa cukup.

Larut dalam sibuk, keras terhadap diri, menikmati sekian tekanan, menjadikan pekerjaan sebagai cinta sejati. Sebab hanya dengan begitu, segala jejak yang tertinggal, sekian darah yang mengering, serta amarah yang meningkat tinggi mampu ia paksa sembunyi, dapat ia takut-takuti.

Barangkali.

"Usiamu sudah dua puluh enam, loh. Tidak berminat menyusul teman-teman yang telah naik pelaminan?"

Kina tersenyum ganjil.

Ah, dari mana ia harus membalas tanya terkesan penghakiman macam ini? Sebanyak apa lagi alasan yang harus ia kuak, agar tak seorangpun berani menghampiri hanya demi melontarkan caci maki?

"Proposalmu?"

Kina tertawa kering, terdengar muak dan tercekik. Fakta bahwa orang lain seolah memahami segalanya, kenyataan bahwa semua hal ini tak semudah kelihatannya.

Menikah bukan soal perlombaan siapa yang cepat, siapa yang lebih dahulu atau siapa yang mampu bersaing demi mendapatkan siapa. Lebih dari itu, menikah adalah tentang menyeimbangkan yang oleng, berbagi sekian kekurangan selain untuk memperindah kelebihan.

Jadi, masih dengan senyum yang berusaha ia ukir sedemikian rupa, Kina menarik diri dari gerombolan, menyepi. Melenyapkan keinginan untuk pulang, mengusir jauh luka lama yang dipaksa menganga. Bila bukan karena ini adalah hari bahagia sahabat baiknya, jika tidak memikirkan betapa buruk pikiran lari yang sempat mampir ke dalam kepala, perempuan tersebut pasti telah memutuskan untuk memesan jasa transportasi kekinian melalui salah satu layanan taksi online dan pulang menuju rumah.

Untuk hari ini, saat ini saja, ia harus menumbuhkan ketinggian sabar.

"Hei, tumben masih jadi satu dari sekian personil yang bertahan?"

Kina menoleh demi mendapati presensi pemuda dengan senyum paling menyebalkan dan selalu tampak seolah menganggapnya sebagai boneka kaca yang mudah pecah dalam waktu bersamaan.

"Kurang ajar!" Kina mengepalkan tinju, siap menggertak dan memaksa sang lawan mundur. Perempuan itu sejenak menarik napas keras, merasa sesak. Kenapa pula ia harus bertemu salah satu makhluk Tuhan paling tidak paham situasi disaat kondisi genting begini?

"Eits... anarkis banget. Butuh aqua? Sini-sini, papa belikan, nak."

Kina mendecih, sejenak kehilangan alasan untuk marah dan memilih mengabaikan sosok yang perlahan mengambil tempat duduk di sampingnya. Menghadap pelaminan, menyoroti lalu lalang serta hiruk pikuk.

"Kenapa rasanya seolah balik ke masa kuliah, ya?"

Kina menoleh, mendapati seraut wajah yang sarat akan rindu tengah coba mencari celah demi mengenang masa lalu.

"Hebohnya, lebaynya, alay mereka. Well, walau gue bukan tipe dari semua yang baru disebutkan, ya. Tapi, merasa gitu gak sih?"

Kina tersenyum kecil, lantas ikut mengingat-ingat. Dulu sekali, kala mereka masih total melajang dan menghadiri undangan pernikahan para kakak tingkat, tingkah konyol khas anak kost selalu mewarnai setiap acara yang harusnya sakral macam itu. Prinsip mahasiswa; asal gratis, apapun hantam!

"Lo lupa siapa yang dulu bolak-balik dari meja hidangan ke tempat duduk demi dapat makan gratis sampai puas? Plis, jangan sok polos."

Kina mencerca, terkesan mengejek. Pemuda satu ini memang butuh dihajSebab, kepercayaan bukan sesuatu yang dapat dibeli di toko kelontong, bukan pula hal yang dijajakan murah meriah di gerai kaki lima. Malah, lebih jauh, kepercayaan tidak pernah ditawarkan cuma-cuma, tidak ditemukan tanpa sengaja di tengah jalan, pun dapat dipetik suka-suka berapapun kebutuhannya.

Atas alasan tersebut, Kina tidak pernah bisa seutuhnya yakin tentang percaya. Baginya, hal-hal semacam itu bukan satu dari sekian rasionalitas manusia sehingga amat mudah dibodohi lantas hidup dalam kepura-puraan, memanjangkan harapan. Menghapus sekian sisi paling realistis demi membangun angan-angan. Kina selalu berpegang pada logika bahwa asa tidak patut diberi tempat, karena betapapun ia ingin, berapa banyak ia berusaha, pengkhianatan, kecewa, rasa sakit dan luka yang menganga selalu tiba di akhir kisahnya.

Dan perempuan itu sungguh merasa cukup.

Larut dalam sibuk, keras terhadap diri, menikmati sekian tekanan, menjadikan pekerjaan sebagai cinta sejati. Sebab hanya dengan begitu, segala jejak yang tertinggal, sekian darah yang mengering, serta amarah yang meningkat tinggi mampu ia paksa sembunyi, dapat ia takut-takuti.

Barangkali.

"Usiamu sudah dua puluh enam, loh. Tidak berminat menyusul teman-teman yang telah naik pelaminan?"

Kina tersenyum ganjil.

Ah, dari mana ia harus membalas tanya terkesan penghakiman macam ini? Sebanyak apa lagi alasan yang harus ia kuak, agar tak seorangpun berani menghampiri hanya demi melontarkan caci maki?

"Proposalmu?"

Kina tertawa kering, terdengar muak dan tercekik. Fakta bahwa orang lain seolah memahami segalanya, kenyataan bahwa semua hal ini tak semudah kelihatannya.

Menikah bukan soal perlombaan siapa yang cepat, siapa yang lebih dahulu atau siapa yang mampu bersaing demi mendapatkan siapa. Lebih dari itu, menikah adalah tentang menyeimbangkan yang oleng, berbagi sekian kekurangan selain untuk memperindah kelebihan.

Jadi, masih dengan senyum yang berusaha ia ukir sedemikian rupa, Kina menarik diri dari gerombolan, menyepi. Melenyapkan keinginan untuk pulang, mengusir jauh luka lama yang dipaksa menganga. Bila bukan karena ini adalah hari bahagia sahabat baiknya, jika tidak memikirkan betapa buruk pikiran lari yang sempat mampir ke dalam kepala, perempuan tersebut pasti telah memutuskan untuk memesan jasa transportasi kekinian melalui salah satu layanan taksi online dan pulang menuju rumah.

Untuk hari ini, saat ini saja, ia harus menumbuhkan ketinggian sabar.

"Hei, tumben masih jadi satu dari sekian personil yang bertahan?"

Kina menoleh demi mendapati presensi pemuda dengan senyum paling menyebalkan dan selalu tampak seolah menganggapnya sebagai boneka kaca yang mudah pecah dalam waktu bersamaan.

"Kurang ajar!" Kina mengepalkan tinju, siap menggertak dan memaksa sang lawan mundur. Perempuan itu sejenak menarik napas keras, merasa sesak. Kenapa pula ia harus bertemu salah satu makhluk Tuhan paling tidak paham situasi disaat kondisi genting begini?

"Eits... anarkis banget. Butuh aqua? Sini-sini, papa belikan, nak."

Kina mendecih, sejenak kehilangan alasan untuk marah dan memilih mengabaikan sosok yang perlahan mengambil tempat duduk di sampingnya. Menghadap pelaminan, menyoroti lalu lalang serta hiruk pikuk.

"Kenapa rasanya seolah balik ke masa kuliah, ya?"

Kina menoleh, mendapati seraut wajah yang sarat akan rindu tengah coba mencari celah demi mengenang masa lalu.

"Hebohnya, lebaynya, alay mereka. Well, walau gue bukan tipe dari semua yang baru disebutkan, ya. Tapi, merasa gitu gak sih?"

Kina tersenyum kecil, lantas ikut mengingat-ingat. Dulu sekali, kala mereka masih total melajang dan menghadiri undangan pernikahan para kakak tingkat, tingkah konyol khas anak kost selalu mewarnai setiap acara yang harusnya sakral macam itu. Prinsip mahasiswa; asal gratis, apapun hantam!

"Lo lupa siapa yang dulu bolak-balik dari meja hidangan ke tempat duduk demi dapat makan gratis sampai puas? Plis, jangan sok polos."

Kina mencerca, terkesan mengejek. Pemuda satu ini memang butuh dihajar sampai babak belur oleh kenyataan, biar sadar.

"Yaaaa... kan ngambil banyak buat lu juga. Jangan pura-pura lupa!"

Kina tertawa, mengangguk-angguk kemudian. Benar. Ia tidak akan lupa hal satu itu. Mereka bahkan sibuk menyantap makanan ketika yang lain getol ingin berfoto dengan mempelai.

Ah, masalah foto doang mah, gampang.

Itu alibi, sebenarnya. Sebab di akhir acara, ketika semua orang telah mendapatkan apa yang mereka inginkan demi mengunggah apa saja di sosial media, Kina dan Kano terpaksa berfoto berdua dengan mempelai sebab diancam dengan bobot, "Kalau nggak foto, tak sumpahin lama nyusul, loh."

Padahal ukuran lama itu berbeda-beda setiap orang.

Jadilah dengan senyum yang terpatri dibuat-buat, perpaduan antara kekenyangan dan malas karena dijodoh-jodohkan oleh kawan-kawan lain yang mendadak jadi penonton bayaran, mereka menyelesaikan satu sesi yang dibuat sesingkat mungkin. Sialnya, justru foto penyebab doa-doa tanpa sengaja itu yang dipublikasikan dan jadi bahan perbincangan.

Itu dulu, dulu sekali.

Sekarang? Kina tidak yakin. Namun, beberapa kali, setelah mereka dihadapkan pada jarak, perbedaan profesi, pertemuan yang berlangsung dalam sekian waktu setahun, beberapa pertanyaan itu masih seringkali mampir.

"Kenapa tidak dengan Kano saja, sih? Kan sama-sama masih melajang, tuh. Dia juga sepertinya nungguin kamu."

Sepertinya.

Kina tertawa keras, menampik cepat.

"Nantilah, menikah bukan prioritas untuk sekarang."

"Ya jadi kapan? Prioritasmu itu selalu kantor, kantor dan kantor."

"Selagi aku baik-baik saja, sepanjang aku masih bisa bahagia dengan upaya yang kubuat sendiri, menikah bukan hal yang harus dipusingkan. Lagipula, tidak semerta dengan menikah segala permasalahan dunia ini luntur tanpa sisa. Malah akan bertambah lebih banyak, lebih pelik. Memikirkan masalahku sendiri saja sudah pusing setengah mati, ini mau ditambah mengurusi orang lain beserta masalah-masalah hidupnya? Haduh, tidak deh. Terima kasih."

"Ya minimal kalian saling membantu dalam memecahkan masalah, punya teman berdiskusi, bisa saling mendukung dan memotivasi."

Kina menggeleng, menatap sepiring sosis dan nugget di hadapannya tanpa minat. Masih dengan perasaan yang sama; terluka, lelah, ingin menghilang sejenak dari tanya soal, "Kapan?"

"Malah melamun." Kano melayangkan satu tangan di depan wajah Kina. Membuat yang tengah diajak bicara kembali ke saat di mana dunianya berputar dalam fase "menonton pertunjukan."

"Sudah sepi, ayo foto dulu. Karina pasti ingin sahabatnya terabadikan dalam bidikan kamera juga."

Kina menatap Kano sejenak, melemparkan anggukan pelan sebelum berjalan bersama demi menyapa dan mengucapkan selamat pada mempelai.

Karina cantik sekali.
Sejujurnya, dia memang selalu cantik. Namun hari ini, kecantikan itu bahkan paripurna sebab ada seseorang yang berdiri tegak di sampingnya, memamerkan senyum bahagia yang sama, menyambut Kina dan Kano dengan keramahan tak beda.

Sempurna.

Kina berdiri kikuk.

Tepat saat kamera siap dibidik, sedetik setelah blitz itu menerpa matanya, Kina yakin bila ia mendengar Kano berujar sungguh-sungguh, "Jadi, kapan kita bisa mulai memikirkan tanggal, Kina?"

Ah, kenapa begitu tiba-tiba?
Itu tadi pasti hanya bercanda. Benar, kan?

Namun, mengapa ia malah dengan bodohnya percaya?


Indralaya, 5 April 2019
Siti Sonia Aseka

Dulu dan Sekarang

Dahulu, aku tak tahu, mengapa manusia mampu membenci sedemikian rupa. Mengapa mereka bisa menebar ketidaksukaan, lantas tertawa cekikikan di balik tindak seseorang.



Dahulu, aku tak mengerti bagaimana mungkin cinta dan percaya dapat berganti jadi benci dan curiga. Aku tak paham mengapa orang yang dahulu begitu indah dengan caranya mampu dilimpahi kesalahan dan dosa dari sesama manusia hanya karena ia melempar senyum setiap hari, menebar bahagia sepanjang waktu dan selalu diakui sebagai si nomor satu.

Mengapa mereka bisa membentuk koloni baru demi membantu membangun pendapat mengenai orang lain, menanamkan keburukan pada sosok tersebut, lalu merasa baik setelah mendapatkan apa yang mereka mau; kekecewaan dan sakit hati baru.

Aku benar-benar tak mengerti, sekaligus kebingungan setengah mati.

Padahal, ketimbang membenci, ketimbang menjatuhi  penghakiman atas laku seseorang, akan lebih bagus jika energi tersebut diinvestasikan pada corong-corong manfaat. Melakukan kegiatan-kegiatan yang menghasilkan sesuatu, atau sekedar menjaga berbagai sudut jiwa agar tak mudah membusuk sebab terlalu sering bersinggungan dengan kriminalitas tak kasat mata macam itu.

Sebab, bagaimanapun juga, aku melihat bahwa membenci membutuhkan tenaga dan alokasi massa yang tidak main-main.

Namun, sekarang, hari ini, setelah bertemu bahkan merasakan begitu banyak kebencian, penghakiman, seruan menjatuhkan pun makian membabi buta, aku jadi bisa menyimpulkan banyak sekali hal yang dahulu hanya berupa tanda tanya juga gelembung kebingungan.

Sesungguhnya, para pembenci hanya tak menemukan alasan lain untuk menyukai seseorang. Mereka menjumpai sesuatu atau seseorang, memberi waktu untuk menentukan apakah akan menyukai atau malah membenci, dan meletakkan berbagai penilaian paling tidak masuk akal sekalipun hanya agar pendapat mereka dari sisi paling tidak logis tersebut mampu terbangun dan tegak di atas pondasi yang bukan kaleng-kaleng.

Jujur saja, beberapa waktu belakangan, setelah mendapatkan tatapan kebencian lebih banyak ketimbang sebelumnya, aku mendadak mengerti, terkadang untuk membenci seseorang, di balik sekian alasan yang tercetus atau terlontar, selalu ada sisi kosong di mana sesungguhnya sang pembenci juga tak menemukan alasan pasti mengapa ia meletakkan kebencian.

Tidak semata iri, bukan karena kehabisan persediaan kemampuan menyukai, juga tak melulu soal kekecewaannya terhadap diri sendiri yang tak mampu menjadi sebaik orang lain.

Terkadang, membenci seseorang, perasaan tidak suka, muncul hanya karena tidak ada alasan apapun untuk merangkum cinta. Kerepotan dalam berpikir bahwa semua orang tentu memiliki peluang untuk sama-sama menatap galak dan penuh permusuhan juga.

Sederhana, kan?

Kenyataan bahwa tidak semua orang dikaruniai hati yang seluas dan selapang samudera, menjadi alasan kuat mengapa hal-hal semacam ini masih terus terjadi.

Yang jelas, membenci hanya menghabiskan waktu, tenaga, pikiran. Ia tidak akan berbuah manis sekeras apapun kau bermimpi mampu memetik kebaikan dari keburukan yang kau pertahankan itu.

Orang-orang jelas butuh sesuatu untuk menyadarkan mereka bahwa ketimbang jatuh bersama sosok yang mereka benci, akan lebih bagus jika perasaan menggebu tentang menjatuhkan orang lain itu diredam sedemikian rupa dan dibuat hangus dalam kobaran kenyataan.

Coba pikir, saat semua orang telah memilih mengabaikan rasa benci, tak memberi muka pada ketidaksukaan, bahkan terang-terangan menampik dengki, bukankah perdamaian dunia yang kita idamkan itu akan terjadi?

Well, walau terdengar berlebihan, tapi aku tidak main-main saat berkata bahwa bertahun waktu yang kau habiskan untuk membenci, bila dikumpulkan dan disatukan justru mampu menciptakan rentang untuk meraih Nobel Perdamaian dan menyelamatkan dunia seisinya.

Jadi, duduk diam dan ambil waktu menepimu. Pikirkan ulang, hentikan perpanjangan angan. Kembali ke fakta saja, bahwa jauh di dalam, menjadi lebih baik dari orang lain adalah hal paling mudah ketimbang menjadi versi terbaik dari diri sendiri.

Kita bisa menyelesaikan tulisan ini sampai di titik pada kalimat di atas.

Tapi, omong-omong, apa kebencian terbesar yang pernah kau lakukan, atau mungkin kau rasakan?
Bagaimana caramu berdamai lalu berjalan berdampingan dengannya?


Siti Sonia Aseka
Indralaya, 5 April 2019

Urgensi Kemahiran Berbahasa Inggris di Era Modernisasi dan Globalisasi

Urgensi Kemahiran Berbahasa Inggris di Era Modernisasi dan Globalisasi Sejak abad ke-18, bahasa Inggris ditetapkan sebagai bahasa Internasio...