Blogger Perempuan

Blogger Perempuan
Kunjungi laman Blogger Perempuan dan baca tulisan saya melalui link berikut

Jumat, 20 September 2019

(Jangan) Pedulikan Kami!

Lingkungan sosial memiliki dinamika serta hukum rimbanya sendiri. Katakanlah demikian; bila kau ingin hidup aman, tenteram, ikuti saja arus yang ada. Bila tak ingin dimangsa "spesies" lain, maka jadilah predatornya. Jika telah melakukan kedua hal di atas, selamat. Hidupmu pasti ada dalam level lurus dan sepi tikungan. Namun, percaya tidak? Terkadang meski sudah berbuat semaksimal mungkin demi tidak beririsan dengan jenis manusia super menyebalkan, kau masih saja harus menghadapi mereka dalam taraf yang mungkin tidak sampai membuat ingin membunuh seisi dunia. Minimal merasa harus sembunyi dalam kerak bumi saja. Iya, barangkali. Mencair dan menguap karena panasnya lalu berhasil kabur dari dunia yang melelahkan. Itu opsi paling lumayan sekaligus mustahil, sebenarnya.



Pernah mendengar kalimat semacam, "Duh, perempuan lho. Mbok ya lembut sedikit dong, kalem. Jangan lincah bener. Ngomongnya halus, senyum dipasang, jangan suka marah-marah macam singa gitu. Perempuan harus manis, ndak boleh dominan bener. Malu."

W.H.A.T
T.H.E
H.E.L.L?

Okay, wait.
Hold on.

Jadi, kalau bukan perempuan, lantas boleh berkata dan berbuat kasar? Boleh bermuka masam? Boleh tidak senyum? Boleh marah-marah? Boleh mendominasi dan boleh tidak punya malu?

Seriously?

Pada beberapa titik krusial, saya merasa saya berhak bicara. Sebagai seorang perempuan dan manusia biasa yang punya pikiran apalagi hati, saya merasa lingkungan sosial kita tengah terjangkit wabah serius, siaga. Butuh penanganan segera.

Perempuan punya hak untuk menampakkan perasaannya, isi hatinya. Mengungkapkan isi kepalanya, termasuk marah, mengamuk dan memaki bahkan.
Perempuan berhak mengatakan apa yang ingin ia katakan. Perempuan tidak butuh izin siapa-siapa untuk melampiaskan emosinya. Perempuan punya hak untuk memasang senyum atau berwajah masam. Perempuan diperbolehkan memilih dan menentukan pendapat, berhak mengkritik dan memberi masukan bahkan menghadirkan arahan. Perempuan bisa melakukan apa yang ia suka. Perempuan tidak bergerak atas perintah yang mematikan saja, perempuan bisa menentukan di mana ia harus berada dan menjadi seperti atau sebagai apa.

Sampai pada keadaan di mana seorang perempuan memaki dan mengutuk, tak berarti ia bukan perempuan baik. Itu sama sekali bukan kesimpulan yang cerdas dari kepala yang sehat.

Dari satu kekejaman lidahnya, barangkali telah banyak kesabaran yang ia hadirkan, sudah jutaan pahit ia telan, telah sering penerimaan atas maaf yang ia pilih untuk melanjutkan kehidupan.

Namun, tak ada yang peduli.

Apa ada yang bertanya tentang kabarnya? Bagaimana hari ini ia lalui terseok-seok, bagaimana belasan hingga puluhan tuntutan dari banyak kepala yang harus ia masukkan dan pertimbangkan dengan logika paling baik? Bagaimana ia mengakhiri segalanya dengan berdamai?

Tidak ada yang mau tahu.
Semua orang sibuk menuntut.

Lucu, bukan?

Lantas, masih ada saja kesalahan yang harus ia tanggung setelah semuanya?
Masih ada tuduhan yang harus ia terima dengan alasan memuntahkan beban jiwa?

Sebenarnya dia yang salah, atau kau yang tak pernah mau peduli barang seinchi?



Inderalaya, 20 September 2019
Siti Sonia Aseka

Senin, 16 September 2019

Sepotong Maaf dan Penyesalan

Kutulis ini dengan penyesalan dan ketakutan menghujam.
Kutulis ini bersama memori yang berputar, tak tergerus oleh zaman, menikam, mengingatkan tanpa lelah bahwa aku pernah, aku sempat menjadi pribadi bersalah dan bermain sulit hanya demi memenuhi ego lantas berpikir akulah yang paling terluka.

Meski sejujurnya, aku memang terluka.



Bodohnya, saat itu, aku mengabaikan rasa sakit orang lain. Aku menganggap remeh perjuangan orang-orang. Aku merasa sudah paling dan lebih dari mereka.
Aku jelas tak termaafkan, tak terampuni.

Aku … mungkin akan hidup dengan bayang-bayang mimpi buruk selamanya.

Maka, pada hari ini, ketika impian dan tuntutan masa lalu dariku terhadap orang lain malah menjadi bom waktu pada diri sendiri, aku tampak semakin ahli dalam mengendalikan titik api dan membawanya ke masa kini hanya untuk menyalahkan diriku lagi dan lagi.

Aku dalam mode siaga.

Pesan tak berbalas.
Saran tak diterima.
Peringatan yang diabaikan.
Permintaan tak diwujudkan.
Keinginan tak diberi.
Nasihat yang dijauhi.
Pertemuan dihindari.
Presensi yang tak lagi berarti.
Ucapan-ucapan kosong.
Perintah tanpa makna.

Ya, semua itu memaksaku menghitung hari hanya untuk bersiap pergi.
Sesuatu yang hanya akan kukenang tanpa ingin mengulangi.
Sesuatu yang barangkali hanya akan masuk dalam daftar pengalaman di selembar kertas demi mendapat pengakuan, apresiasi, bukan agar nilai-nilai kekeluargaan atau omong kosong macam solidaritas itu tumbuh dan hadir seperti seharusnya.

Aku hanya ingin mengatakan, bahwa aku sudah selesai.

Koper sudah tersedia di pojok ruang, pintu pun telah terbuka lebar.
Lemari yang dikosongkan, barang-barang yang diangkut serta, ranjang hampa, jendela yang dibiarkan berkarat kesepian.

Aku benar-benar siap untuk meninggalkan segala kisah patah dan berdarah.
Aku siap untuk tumbuh dengan rona yang baru.
Dan yang paling penting, aku siap untuk bebas.

Ada yang bilang, kunci dari sebuah penerimaan adalah berdamai.

Ya, itu benar.

Namun, lebih dari sekedar damai yang mungkin hanya diartikan sebagai diam, aku memilih untuk membuka lembar lain, menuliskan kisah baru, bersama orang-orang baru, meledakkan suka cita baru dan merayakan kehidupan lebih hebat dan istimewa ketimbang apa yang telah kulalui dahulu.

Aku ingin mengatakan padamu bahwa jauh dari kata terima kasih, aku jelas memiliki segudang maaf yang perlu dilontarkan agar semuanya sembuh dan memahami, tidak ada satu hari pun kulewati tanpa harapan agar kau menjadi lebih baik dan lebih menawan ketimbang detik ini. Tidak ada satu doa pun lolos tanpa menyebutkan rindu terbaik yang mungkin mampu mengubahmu. Tidak ada satu perilaku pun yang kubuat tanpa memikirkan apa yang mungkin kau lakukan dan harus dengan apa aku memperbaikinya apabila menjelma kesalahan. Kesalahan fatal.

Maaf kepada diri sendiri.
Maaf, yang tidak akan kau beri padaku meski kesalahanmu selalu mampu mendorongku masuk dalam pusara tanggung jawab.
Maaf untuk diriku yang menanggung rasa sakit hanya demi menutupi sekian caci maki yang ditujukan padamu.
Maaf untuk aku yang tidak dapat memaafkan diri sendiri.

Maaf.

Iya, hanya sepotong maaf.

Seperti katamu, segelas kopi pahit menandakan tuan rumah meminta tamunya pergi dengan kelewat halus.
Segelas kopi pahit berarti tuan rumah yang tidak ingin diganggu.

Hei, aku mengerti sekarang.
Segala perlakuan pahitmu, jelas sekali memintaku tak ikut campur barang setitik, kan?

Tapi, masalahnya, ikut campur pada urusanmu adalah pekerjaanku.
Ikut campur terhadap dosa yang kau buat ternyata adalah tugas yang harus kuselesaikan.
Ikut campur terhadap segala perilakumu itu bukan lagi pilihan di antara kata ya dan tidak.

Ikut campur bagiku adalah kewajiban.

Dan harusnya, kau adalah orang pertama yang mengerti.
Kau harusnya menjadi orang yang paling memahami.
Sebab, seperti kesepakatan kita di awal pertemuan akhir tahun kemarin; aku ini alarm dan kau nahkoda.

Meski pada akhirnya, kita harus bertemu tujuan dengan awak yang lelah dan berpencar jadi entah apa saja.
Tak meninggalkan bekas.
Tak dianggap pernah ada.

Ah, itu yang kau mau?
Benar hanya begitu?

Padahal, aku telah berharap banyak.
Mengabaikan kecewa yang kata orang bisa saja kuterima sewaktu-waktu.
Melupakan segenap getir yang harus kulalui demi sampai padamu.

Lampunya akan kupadamkan segera.
Sebab, aku sudah harus pergi sebelum terang menyambut.
Aku harus segera meninggalkan tempat ini sebelum kepalaku berdenyar lebih nyeri.

Karena bagiku cukup.
Cukup.

Siti Sonia Aseka
Palembang, 16 September 2019

Urgensi Kemahiran Berbahasa Inggris di Era Modernisasi dan Globalisasi

Urgensi Kemahiran Berbahasa Inggris di Era Modernisasi dan Globalisasi Sejak abad ke-18, bahasa Inggris ditetapkan sebagai bahasa Internasio...