Blogger Perempuan

Blogger Perempuan
Kunjungi laman Blogger Perempuan dan baca tulisan saya melalui link berikut

Senin, 29 Juni 2020

(Barangkali) Lebih Baik


Barangkali, dari setapak yang kupijak demi berjalan menuju titik lebih baik, genggaman di kanan dan kiri tak berpikir serupa; mungkin, aku memang harus melepaskan, membiarkan mereka mengosongkan tangan, melegakan lubuk meski harus menjadi cabang selepas tunggal.

Barangkali, dari terjal dan curam tebing, landai sampai kalap laju ombak, sauh bernama relasi tak cukup kokoh demi antarkan kami pada pulau di seberang. Mungkin, satu dari sekian harus berkorban, melompat ditelan nyala samudera, menanti sampai sauh baru tiba, atau bahkan berenang kembali, berbalik, melambaikan tangan lantas mengucap selamat tinggal. Mungkin, memang hanya sampai di sana, sekelebat, tak lebih separuh pelayaran.

Barangkali, bila bukan diriku, mereka yang pergi juga tengah berupaya, mencapai terang, meraih cahaya dari gemerlap rasi bintang. Kala bagiku secercah bulan sudah cukup, Sirius untuk mereka bahkan tak mampu dikatakan paling; sebab si nomor satu tak memiliki umur panjang; bagaimanapun, yang megah selalu punya batas.

Barangkali memang salah kurentangkan tangan, mengharap dekap, menginginkan yang hilang kembali pulang. Salahku berharap atas rindu yang dibalas atau sepucuk sapa dari surat bertanda cinta. Afeksi yang kita bagi, kisah tiap malam yang kita langitkan dengan tawa, cita yang kita pikir akan bertahan melampaui selamanya.

Barangkali, bila prasangka tak bergerak lebih cepat ketimbang logika, bila kesediaan mendengarkan lebih berkuasa daripada rasa dikalahkan. Barangkali… barangkali yang tersisa bukan keping luka apalagi benih sakit hati, bukan caci maki apalagi ledak tak peduli.

Barangkali jika kita memulai dengan hati paling bersih, jika lusuh atas dengki tak buat kita dibutakan emosi, mungkin kisah masai tak perlu kita hadapi. Barangkali, tak satupun dari kita ditelan rusak bernama pembuktian, tenggelam dalam lautan angkara, terperosok lebih jauh ketimbang hitam dari nurani yang kecewa.

Barangkali, koyak pada percaya sebabkan kita berpaling muka. Mungkin, tak sudi lagi kita membagi tawa yang dahulu munculkan intensi atas lecut bahagia. Kita lesap, patah sebab merasa didorong mundur, lenyap karena dijadikan umpan atas balas di hari-hari lalu. Kita habis, lekang pada sekian memori, dimangsa gamang, hilang arah.

Betapa mungkin, di balik rimbun pohon atau semak belukar, sembunyi muak yang dilepaskan kala sedetik kuputar punggung, membelakangi. Kita memang tak mampu kendalikan benci, namun barangkali kita bisa berhenti terus menabur mesiu, berpikir dengan satu letus kelewat tak hingga, dunia yang kita mau sedetik mampu terbentuk setelah hancur.

Pada suatu hari, ketika kita saling menemukan lagi, semoga menguap sudah riuh ingatan buruk, bayang-bayang yang datang tiap malam, atau beranda hampa tiap-tiap senja saat hati masih dijajah bersalah. Suatu hari, saat kita bertemu lagi, semoga sapaku tak telak melukaimu, semoga senyummu tak bosan meraihku, juga semoga kita mampu lepaskan sekian beban bernama masa lalu.


Palembang, 29 Juni 2020
Siti Sonia Aseka

Minggu, 21 Juni 2020

[CERPEN] Obsolete

Obsolete

 
Khansa Adelana barangkali satu dari sekian orang yang harus menanggung perasaan entah pantas disebut apa kala sebuah undangan beraksen merah muda-putih mampir di tangannya. Senyum di wajah itu memang tak surut apalagi lesap. Lana selalu tahu bahwa ekspresi apapun yang dikeluarkan menyerupa raut, berkemungkinan besar membuat konklusi baru terbentuk dan berpola lebih kacau dari sebelum detik di mana seseorang menepuk pundaknya dengan tatap prihatin, berujar, “Na, dia akan menikah.”
Lana menghela napas, tertawa kecil. “Ya, lalu?”
Memiringkan kepala, menerka, menampilkan rupa penasaran kentara. Ah, memang siapa sih yang tidak tergelitik untuk setidaknya bertanya? Lana selalu sadar betapa orang-orang itu amat ingin tahu, meski waktu terus berjalan dan semua kisah sengaja ia tinggalkan di belakang, tak dikubur atau dikunci dalam satu ruang khusus, memang. Hanya diletakkan saja, dibiarkan berdebu, usang.
Ada satu waktu di mana ia memandang langit lantas mendengus, mengingat jejak kebodohan atau tipis pemahamannya mengenai segala sesuatu. Dulu, ia berubah hanya agar dikatakan sama. Ia bukan manusia yang siap di-cap berbeda. Kemudian, seseorang datang, memberitahu sisi lain dari dirinya yang bahkan Lana sendiri tak pernah sadari, sisi yang kini ia tumbuhkan hingga berbuah manis, semerbak harum; Lana menyukai puisi dan mahir bersenandung pula. Dalam ruah carut marut, tak bisa dipungkiri, orang tersebut adalah setitik atas sekian alasan Podcast bertajuk Runtuh Utuh merumahkan sosoknya, membuat Lana senantiasa merasa pulang.
Sudah lama ia membuang jauh kata jatuh. Ia lelah jatuh apalagi mencinta, ia lelah jatuh lalu nelangsa. Konsekuensi dari setiap bunga-bunga pun bahagia, Lana tidak mau lagi terjebak utopia atas janji-janji juga harapan.
“Drama, ya.”
Lana menatap Yusuf, ganjil. Senyumnya timpang saat menyahut, “Drama mana sama kamu dan Salwa?” cibir Lana, tanpa hati. Membuat Yusuf meringis, meringis malu.
“Iya, deh, drama semua kita. Nggak ada yang agak benar sedikit, kecuali Yaya, mungkin.”
Lana mengangguk, setuju. Beberapa tahun ini, kota tempatnya tinggal terasa lebih hidup dan lebih baik. Teman-temannya juga bukan jenis yang akan merusuh dan sibuk bertanya ‘kapan’ atau ‘kenapa’. Lana tahu ia memang bertahan secara sederhana sebab tak punya alasan untuk pergi.
Nggak ada istilah over-drama di dunia ini.”
Lana mengangkat kepalanya, menangkap presensi Salwa mengerutkan dahi di samping meja, muncul tiba-tiba setelah pergi memesan menu.
“Na, kamu butuh berhenti dengar omongan Mona, deh. Dia jelas cuma main-main.”
Lana tersenyum getir, “Iya, tahu, kok.”
“Lantas?” todong Salwa, sabar. “Kita semua sudah khatam ceritanya luar-dalam, nggak perlu diungkit lagi, lah.”
Yusuf yang menyadari percakapan Salwa dan Lana mendadak berubah serius, buru-buru bangkit, berbarengan dengan kedatangan Hanif, menyelamatkan ia dari situasi tidak menguntungkan. Memberi kode pada Salwa, lelaki tersebut menyambut kawannya lalu mengajak mengobrol cukup jauh dari dua perempuan yang tengah lebih dari sekadar membicarakan masa lalu. Mereka membicarakan luka, dan Yusuf tahu.
“Iya, Wa, ngerti.” Lana terkekeh, “Tapi, itu nggak menghentikan rumor-rumor basi. Paham kan kalau arang dibakar lalu kena angin apinya bisa kembali membesar?”
Salwa mengangguk, muram. Tersirat simpati dari caranya menatap. Lana tak ingin ambil pusing, sebenarnya. Ia tahu Salwa percaya bahwa Lana takkan sebucin itu apalagi terhadap masa lalu yang membuat ia masih tak luput dari ‘cie cie’ milik teman-teman seangkatan.
“Itu sih salah satu bahan kritik terhadap orang-orang kita. Terlalu sering bawa-bawa masa lalu, terlalu banyak mengaitkan yang sudah berlalu. Padahal yang sudah lewat bisa dianggap selesai tanpa dijadikan tolok ukur masa kini. Lagipula, manusia mana yang nggak pernah berbuat salah? Nggak ada. Bahkan Rasul pun pernah khilaf. Kita yang cuma remah kerupuk dalam kaleng Kong Guan ini apalagi.”
Lana tertawa lepas. Matanya berbinar cerah. Perumpamaan Salwa memang terdengar klise, namun disertai intonasi dan mimik yang pas, menjadikan hal biasa-biasa saja terasa nyaman sekaligus menggelikan.
“Aku bahagia dia nikah.” Pada akhirnya, Lana menyuarakan isi kepala.
“Walau bukan sama kamu?” potong Salwa, membuat Lana mengetuk jemarinya konstan di atas meja.
Well, itu fakta paling membahagiakan, jujur aja.”
Salwa menyipitkan matanya dibuat-buat, “Karena kamu nggak mau makan omongan sendiri?”
Lana berdecak, menyandarkan punggung pada kursi lalu tersenyum tipis sampai kawannya tak kuasa menangkap, “Aku bukan anak kecil lagi yang cuma nurut sama gengsi, Wa. Coba pikir deh, segala hal menyimpang dari perintah dan condong pada larangan banyaknya berakhir gimana? Nggak berkah, kan? Aku nggak mau begitu.”
“Iya, paham, Na.” Salwa mendorong undangan yang tadi ditimang sebentar oleh Lana lalu kembali membuat penawaran, “Artinya nggak ada yang perlu diberi ‘tapi’ lagi, kan? Anggap aja semuanya nggak pernah kejadian. Kamu dan dia cuma teman. Dulu bahkan sekarang.”
Semudah itu, memang. Harusnya memang sesederhana dan seringan cara Salwa berkata. Toh, sejak mereka hilang kontak dan Lana tahu betapa fatal kesalahannya, mereka memang tak pernah lagi sekadar bertukar sapa. Agaknya, semesta juga mendukung dengan tak mempertemukan mereka dalam ketidaksengajaan.
Sekarang, setelah segalanya, saat Lana bahkan dibuat lupa, lelaki tersebut datang, tentu dengan maksud berbeda, sesuatu yang tak ayal semerta Lana syukuri berkali lipat, melegakan benaknya.

“Adelana, jangan lupa hadir, ya. Aku akan menikah pekan depan.”



Palembang, 21 Juni 2020
Siti Sonia Aseka

Selasa, 16 Juni 2020

TRUST ISSUE; Sebuah Sirkuit Konflik


TRUST ISSUE

“Someone with trust issues often struggles to assume positive intent, or attributes mal intent to the actions and decisions of others. It may be based on past experience, fear, or a desire to protect themselves from the pain of vulnerability or disappointment.”

 


            Yep! Trust issue.
            Huft, agak berat sebenarnya membahas hal ini, namun beberapa orang patut tahu. Sebab, rentan sekali satu tindakan mengakibatkan dampak tak main-main bagi yang lain.
            Di sini, saya tidak akan banyak membahas teori. Karena saya yakin, kalau cuma bicara teori dan teori melulu, semua bisa melakukan sendiri; berselancar sampai tenggelam di internet dan tidak perlu sibuk membaca rangkuman dari saya lalu berakhir disalahpahami. Nope! Sudah cukup berlimpah spekulasi membuat saya makin tidak mau membuka mulut.
            Okay, here we go!
            Saya lupa kapan tepatnya, tapi setelah beberapa kali kejadian-kejadian tak terduga mampir, membuat tertekan atau dibebani entah apa yang sebenarnya tidak pula berat-berat amat, saya tahu bahwa saya mengidap apa yang disebut sebagai trust issue.
            Jujur, saya tidak punya pengalaman begitu membekas soal dikecewakan atau dibuat patah hati. Semua seringnya hanya berlalu meski tak bisa sepenuhnya dilupakan. Tetapi, sama seperti luka gores pada kulit; apapun yang mampir pasti meninggalkan jejak. Batin juga bekerja dengan cara yang sama. Pendeknya, akumulasi dari hal-hal kecil tersebut membentuk sebuah pertahanan yang membuat saya amat sangat tidak gampang mempercayai manusia.
            Mungkin pada beberapa orang, saya dapat terang-terangan berkata, ‘Saya tidak bisa percaya pada Anda. Belum, lebih tepatnya.’ hanya demi memperjelas dan tak ingin membuat ia bertanya-tanya bila mendapati saya menunjukkan gejala ‘curiga’ dalam tatap maupun kata.
            Ada pola yang selalu terjadi bila saya bertemu dengan orang-orang baru; mengamati, mengobservasi, lalu memutuskan apakah saya bisa mempercayai mereka atau tidak. Kebanyakan tidak. Segelintir masuk dalam daftar pertimbangan. Sisanya, lolos setelah bertahun-tahun bergaul dengan saya, mengalami banyak kejadian bersama, lalu berbagi ragam hal meski banyaknya orang-orang ini yang memulai. Saya selalu lebih senang menerima sebelum yakin untuk melakukan hal yang sama.
            Saya sering berkontemplasi, berpikir dan merenungi, apakah saya bisa mempertahankan sikap demikian sampai entah kapan? Apakah saya diperkenankan menjadi tidak mudah digapai hanya demi menguji seseorang berdasarkan skala waktu? Entahlah. Masih belum ada jawaban pasti. Saya tidak pula sibuk mencari jawaban paling benar. Semuanya hanya soal kesiapan. Sampai saat ini, saya sama sekali tidak siap untuk membuka pintu terlalu lebar.
            Lain waktu, saya pun sadar bahwa dalam komunikasi dan interaksi, saya seringkali bersikap defensif. Selalu bahkan. Mungkin, inilah mengapa seolah ada dinding tak kasat mata yang membuat saya tidak bisa melampaui sisi melankolis seseorang, juga tidak mudah bagi mereka menyentuh titik paling sensitif milik saya. Semuanya berjalan kelewat alami, sampai amat sulit dicegah dalam beberapa keadaan dan kondisi.
            Dalam hal memenuhi apa yang saya butuhkan dan inginkan pun, saya lebih banyak melakukan bersama diri sendiri. Tidak ingin melibatkan orang lain, bahkan menolak bergantung. Malas berharap-harap lalu berakhir dijatuhkan. Meski tidak semua orang suka membuat jatuh jelas, namun tetap; saya tidak bisa begitu saja mempercayakan diri saya kepada orang lain. Sulit. Saya bahkan ragu orang-orang suka diganggu dan direpotkan. Karena saya pribadi pun demikian; agak kacau dalam membantu, cenderung merasa harus merapikan bagian dari diri sendiri sebelum campur tangan terhadap masalah orang lain. Lagipula, tahu kan bahwa tidak semua orang mau dan mampu menyediakan waktu?
            Siklus yang terjadi entah bagaimana berputar pada roda mulai-klimaks-ragu. Kesempatan yang dimiliki orang-orang demi membuktikan bahwa mereka bisa dipercaya justru semakin membuat saya skeptis. Bukan prasangka buruk, namun lebih kepada menghindari titik api yang membakar diri sendiri. Sekali saya dibuat seolah rendah, saya tidak akan lupa. Saya tidak akan memberi kesempatan dengan besaran nominal yang sama. Saya akan memulai lagi dari nol dan itu tentu saja menyebalkan.
            Dalam bersosialisasi, mungkin banyak yang menyadari bahwa saya punya sisi sulit membangun konversasi. Saya bukan tipe yang mampu membuka percakapan dengan ramah tamah atau humor manis demi merebut intensi lawan bicara. Saya pasif. Sangat. Saya cenderung lebih banyak menjawab ketimbang bertanya, lebih sering tak peduli dengan apapun yang ingin orang-orang sampaikan. Bagi saya, jika mereka memang ingin melontarkan kisah, ya lakukan saja. Bila tidak juga bukan masalah. Boro-boro memperpanjang obrolan, sampai mencari topik yang tepat pun saya luar biasa payah. Jadi tidak heran bila beberapa orang menganggap saya membosankan. Memang. Tidak berusaha membuat siapapun terkesan, kok.

“I am not perfect, and I know that no human is perfect, indeed.”

            Bukan kebutuhan akan standar tinggi dari manusia yang saya harapkan. Bukan pula selalu sikap pengertian yang saya inginkan. Hanya memang barangkali, I, again, experienced the state of having to start from scratch. Some people rather make me feel vulnerable to broken, lately.

“Expecting the goodness of the universe always, and human humility without end.

May the wound be healed immediately, the fallen rises despite being limped, then the grieving is quickly given the antidote for the pain.”



Palembang, 16 Juni 2020
Siti Sonia Aseka

Urgensi Kemahiran Berbahasa Inggris di Era Modernisasi dan Globalisasi

Urgensi Kemahiran Berbahasa Inggris di Era Modernisasi dan Globalisasi Sejak abad ke-18, bahasa Inggris ditetapkan sebagai bahasa Internasio...